Ilustrasi: Pusat
Tes HIV Anonim di Moskow, Rusia, 1/9-1987 (Sumber: rbth.com/Vladimir Velengurin/TASS)
Oleh: Syaiful W HARAHAP
“Akibat berjangkit
HIV/AIDS, tiga warga asal Kabupaten Toraja Utara (Sulawesi Selatan-pen.)
dirujuk di Rumah Sakit Elim Rantepao.” Ini pernyataan pada lead berita “Terjangkit HIV/AIDS, Dua Warga Torut Meninggal” (beritalima.com, 21/2-2018).
Judul dan lead
berita ini menunjukkan pemahaman wartawan dan redaktur media online itu yang
sangat rendah terkait dengan HIV/AIDS. Orang-orang yang terdeteksi mengidap
HIV/AIDS tidak otomatis menderita (sakit) sebelum masa AIDS (secara statistik
antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).
Jika ada pengidap HIV/AIDS yang dirujuk ke rumah
sakit, itu menunjukkan mereka mengidap penyakit infeksi oportunistik yang
muncul pada masa AIDS. Celakanya, dalam berita tidak disebutkan apa penyakit
yang diderita tiga warga pengidap HIV/AIDS itu sehingga mereka dirujuk ke rumah
sakit. Bisa saja penyakit yang menyebabkan mereka dirujuk ke rumah sakit sama
sekali tidak terkait dengan HIV/AIDS, seperti luka-luka karena kecelakaan lalu
lintas atau kecelakaan kerja.
Disebutkan
dalam berita “Setelah mendapat perawatan intensif medis pihak RS Elim Rantepao,
selang beberapa hari, dua dari tiga pasien HIV/AIDS menyatakan meninggal
dunia.”
Pernyataan
di atas mengesakan dua pengidap HIV/AIDS itu meninggal karena HIV/AIDS. Ini
keliru karena kematian pengidap HIV/AIDS bukan karena HIV atau AIDS tapi karena
penyakit lain yang muncul pada masa AIDS, disebut infeksi oportunistik, seperti
diare, TB, dll. Dalam berita tidak disebutkan penyakit penyebab kematian dua
pengidap HIV/AIDS itu.
Di
bagian lain berita disebutkan: Maraknya penyakit HIV/AIDS masuk di Toraja,
dikarenakan banyaknya perantau dari luar seperti, dari Malaysia, Papua, dan
Kalimantan yang membawa keberadaan penyakit hingga saat ini belum ditemukan
obatnya.
Sedangkan
Kepala RS Elim Rantepao, Dokter Hendrik Sarangnga, mengatakan: “Pasien HIV/AIDS
yang berobat di RS Elim kebanyakan setelah mereka tertular baru berobat di
Toraja. Pasien HIV/AIDS kebanyakan setelah tertular baru pulang ke Toraja,”
Pernyataan
di atas bisa mendorong stigma (cap buruk) terhadap perantau. Lagi pula mereka
tidak menjalani tes HIV sebelum merantau sehingga tidak bisa dikatakan bahwa
mereka tertular HIV di perantauan.
Ketika
penanganan HIV/AIDS sudah berjalan dengan baik di banyak negara dengan
indikator jumlah kasus baru yang turun drastis, di Indonesia justru sebaliknya:
debat kusir terus terjadi terkait dengan kondom, pelacuran, dll. yang akhirnya
meningkatkan jumlah insiden infeksi HIV baru, khususnya pada laki-laki
heteroseksual dewasa.
Thailand,
misalnya, dengan kasus450.000 pada tahun 2016 mencacat 6.400 kasus baru per
tahun. Bandingkan dengan Indonesia dengan 620.000 kasus setiap tahun bertamban 48.000
(aidsdatahub.org).
Apakah
kita tetap memilih debat kusir dengan risiko kasus baru terus bertambah atau
menerapkan penanggulangan yang konkret. Pilihan ada di tangan kita. *[kompasiana.com/infokespro] *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.