Ilustrasi (Sumber: apa.org)
Oleh: Syaiful W HARAHAP
“Ditemukan 132 Kasus HIV/AIDS di Kudus, Lelaki Suka Lelaki Disebut Paling Rawan.” Ini
judul berita di tribunjateng.com
(1/11-2017). Judul berita ini sensasional dan menyesatkan.
Risiko tertular HIV melalui hubungan seksual bukan
karena orientasi seksual. Di judul disebut LSL (Lelaki Suka Seks Lelaki).
Risiko tertular HIV melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah,
terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan
laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual.
Suami-istri yang melakukan seks anal pun berisiko
terjadi penularan HIV kalau salah satu atau kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan
suami tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual. Sebaliknya
pada LSL tidak ada risiko penularan HIV kalau kedua-duanya tidak mengidap
HIV/AIDS.
Kasus HIV/AIDS di Kudus disebutkan 244 sejak tahun
2016 sampai Oktober 2017. Tapi, angka ini tidak menggambarkan jumlah kasus yang
sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannhya dengan
fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (244) digambarkan sebagai puncak
gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang ada di
masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Disebutkan oleh Ketua Kaukus Masyarakat Anti Narkoba
dan Kelompok Pendampingan Sebaya (Kauman dan KPS) Kudus, Eny Mardiyanti, bahwa
kelompok yang paling rentan terkena penyebaran HIV/AIDS yaitu lelaki suka
lelaki (LSL). Pasalnya, para penyuka sesama jenis tersebut acap kali berganti
pasangan untuk melakukan kontak fisik berupa hubungan seksual.
Erry mengabaikan ‘laki-laki hidung belang’ bahkan yang
beristri yang sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja
seks komersial (PSK). Risiko tertular HIV justru jauh lebih besar pada
‘laki-laki hidung belang’ karena hubungan seksual mereka lakukan dengan PSK
yang berganti-ganti di lokasi yang berbeda. Sedangkan gay hanya punya satu
pasangan dan HIV/AIDS pada gay adalah terminal terakhir karena mereka tidak
punya perempuan sebagai pasangan tetap.
Disebutkan pula oleh Erry, kenaikan angka kasus
HIV/AIDS tersebut dipengaruhi faktor lingkungan. Selain itu, pengawasan dan
perhatian orang tua kian memudar. Pernyataan itu jelas ngawur karena risiko
penularan HIV ada para perilaku orang per orang. Kasus pada kalangan dewasa
sama sekali tidak terkait dengan pengawasan dan perhatian orang tua (mereka).
Yang jadi persoalan besar adalah perilaku laki-laki
dewasa warga Kudus yang perilaku seksualnya berisiko tertular HIV baik di
Kudus, di luar Kudus dan di luar negeri. Perilaku ini ada di hulu pada epidemi
HIV/AIDS.
Salah satu risiko terbesar terjadi adalah insiden
infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa adalah melalui hubungan seksual dengan
pekerja seks komersial (PSK). Program penanggulangan yang konkret yaitu
intervensi terhadap laki-laki supaya memakai kondom setiap kali melakukan
hubungan seksual dengan PSK.
Sayang, program ini tidak bisa dijalalankan karena
transaksi seks laki-laki dengan.PSK tidak dilokalisir sehingga terjadi di
sembarang tempat dan sembarang waktu. Itu artinya penyebaran HIV/AIDS di
masyarakat akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. * [kompasiana.com/infokespro] *
Markas Daerah BaraJP
NTT, Kupang, 10/1-2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.