Ilustrasi
(Sumber: mbioblog.asm.org)
Oleh: Syaiful W HARAHAP
“HIV/AIDS Masih
Mengancam Kota Padang.” Ini judul berita di republika.co.id
(3/12-2017). Judul berita ini menunjukkan pemahaman yang sangat rendah terkait
dengan HIV/AIDS sebagai fakta medis.
Karena HIV/AIDS adalah fakta medis yaitu bisa diuji di laboratorium
dengan teknologi kedokteran, maka cara-cara penularan dan pencegahannya pun
bisa dilakukan dengan cara-cara yang realistis.
Disebutkan
dalam berita “ .... penyakit menular dan mematikan ini ternyata tetap menjadi
ancaman bagi warga Padang.”
Pertama, HIV dan AIDS
atau HIV/AIDS bukan penyakit. HIV adalah virus dan AIDS adalah kondisi
seseorang yang mengidap HIV yang secara statistik terjadi antara 5-15 tahun
setelah tertular HIV.
Kedua, sebagai virus HIV tidak
mematikan, sedangkan AIDS bukan pula penyakit. Maka, pernyataan ‘mematikan’
adalah ngawur karena belum ada kasus kematian karena HIV atau AIDS.
Ketiga, kematian pada pengidap HIV/AIDS
terjadi karena penyakit-penyakit yang muncul pada masa AIDS, disebut infeksi
oportunistik, seperti diare, TB, dll.
Keempat, yang menular
adalah HIV sebagai virus. Dalam jumlah yang bisa ditularkan HIV hanya terdapat
dalam darah, air mani (dalam sperma tidak ada HIV), cairan vagina dan air susu
ibu (ASI).
Maka,
mencegah agar tidak tertular HIV adalah dengan menghindarkan salah satu atau
beberapa cairan di atas yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh. Ini fakta.
Cara-cara pencegahan pun bisa dilakukan dengan cara-cara yang masuk akal sehat.
Data
di Dinas Kesehatan Kota Padang menunjukkan penemuan kasus HIV baru sampai bulan
September 2017 mencapai 294 kasus dan 65 kasus untuk AIDS. Sayang, dalam berita
tidak disebutkan jumlah kasus kumulatif sejak pertama ditemukan di Kota Padang.
Penyebaran
HIV di Kota Padang al. terjadi melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam
dan di luar nikah yang dilakukan oleh laki-laki yang mengidap HIV/AIDS.
Sebagian besar tanpa disadari karena tidak ada tanda-tanda, gejala, atau
ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang mengidap HIV/AIDS sebelum
masa AIDS. Tapi, biar pun tidak ada tanda penularan sudah bisa terjadi, al.
melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Laki-laki
dewasa yang berisiko tertular HIV adalah yang pernah atau sering melakukan:
(1)
hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan perempuan yang
berganti-ganti di Kota Padang, di luar Kota Padang atau di luar negeri, dan
(2)
hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti
pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK). Dalam prakteknya PSK dikenal
dua tipe, yaitu:
(a)
PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau
lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(b)
PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru
sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam
kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekanan bisnis atau
pemegang kekuasaan), dll.
Dalam
penanggulangan epidemi HIV/AIDS pemerintah tidak bisa melakukan intervensi pada
poin (a) karena sekarang transaksi seks yang melibatkan PSK langsung tidak lagi
dilokalisir. Transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Sedangkan pada poin (b) tentu saja mustahil melakukan intervensi.
Maka,
praktis tidak ada yang bisa dilakukan pemerintah secara ril. Maka, imbauan Wali
Kota Padang, Mahyeldi Ansharullah relevan dalam kondisi keterbatasan pemerintah:
“ .... agar masyarakat yang melakukan perilaku berisiko dengan kesadaran
sendiri memeriksakan diri ke Puskesmas untuk konseling dan tes.”
Hanya
saja Mahyeldi kurang jeli karena tidak semua orang (masyarakat) pernah atau
sering melakukan perilaku berisiko poin (1) dan (2). Maka, yang tepat diajak
konseling HIV adalah laki-laki yang pernah atau sering melakukan perilaku
berisio (1) dan (2).
Langkah
konkret yang bisa dilakukan Pemkot Padang adalah membuat regulasi, seperti
peraturan walikota (Perwali) atau peraturan daerah (Perda), yang mewajibkan
suami dari ibu hamil menjalani konseling HIV yang dilanjutkan tes HIV jika
hasil konseling menunjukkan perilaku seksual suami berisiko tertular HIV.
Langkah
ini menyelamatkan dua nyawa yaitu si istri dan janin yang dikandung si istri
serta memutus mata rantai penyebaran HIV melalui suami jika hasil tes HIV
menunjukkan suami tertular HIV.
Istri
yang hamil ditangani dokter untuk pemberikan obat antriretroviral (ARV)
sehingga risiko penularan HIV vertikal dari-ibu-ke-bayi yang dikandung bisa
ditekan sampai nol persen. Si ibu pun akan hidup sehat jika teratur minum obat
ARV. Suami dikonseling agar menerapkan seks aman untuk mencegah penularan HIV.
* [kompasiana.com/infokespro] *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.