Ilustrasi
(Sumber: Depositphotos)
Oleh: Syaiful W HARAHAP
Hasil tes HIV akurat jika darah diambil minimal tiga bulan setelah tertular HIV
atau tiga bulan sejak hubungan seksual atau perilaku seksual yang berisiko
tertular HIV. Itu karena tes HIV bukan mencari virus (HIV) di darah tapi
mendeteksi antibody HIV yang baru terbentuk setelah tiga bulan virus (HIV) ada di
dalam tubuh.
Perilaku seksual yang berisiko tinggi tertular HIV, al.:
(1). Laki-laki dan perempuan dewasa yang sering
melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang
berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, dan
(2). Laki-laki dewasa yang sering melakukan hubungan
seksual seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial
(PSK), dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom.
Maka, orang-orang yang terdeteksi HIV bukan kasus
penularan baru karena bisa saja mereka sudah tertular beberapa bulan atau
beberapa tahun sebelum tes HIV. Itulah sebabnya pernyataan dalam berita (Jumlah
Penderita HIV/AIDS di Brebes Tiap Tahun Meningkat, detiknews, 22/11-2017): “Dinas
Kesehatan Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, mencatat, jumlah penderita baru
HIV/AIDS tahun 2017 mengalami peningkatan di banding tahun sebelumnya” tidak
pas.
Mereka yaitu orang-orang yang yang
terdeteksi HIV melalui tes HIV bukan penderita baru karena bisa saja mereka
sudah tertular jauh sebelum tes HIV. Mereka itu adalah pengidap HIV yang baru
terdeteksi melalui tes HIV.
Selain itu pemakaian kata ‘penderita’ tidak tepat
karena orang-orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS tidak otomatis menderita
karena banyak di antaranya yang belum mengidap penyakit-penyakit lain, disebut
infeksi oportunistik.
Penyebutan yang lebih pas adalah HIV-positif. Kalau
sudah masuk masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV)
disebut pengidap HIV/AIDS. Agar lebih mudah pakailah Odha (Orang dengan
HIV/AIDS) yang jauh lebih netral dan dinamis (Pers Meliput AIDS, Syaiful W
Harahap, The Ford Foundation/Pusrtaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000).
Catatan Dinas Kesehatan Kabupaten
Brebes menunjukkan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Brebes sejah tahun 2006
mencapai 162 dengan 125 kematian. Yang perlu diingat adalah angka yang
dilaporkan (162) hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat karena
epdemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Jumlah yang
terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan
air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai
bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Yang sangat disayangkan adalah informasi HIV/AIDS
selalu mengedepankan sensasi. Lihat saja pernyataan ini: Kasi Pencegahan, Pengendalian Penyakit Menular dan
Tidak Menular, Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes, Ismawan Nur Laksono,
menyatakan, dari hasil pendataan diketahui juga jumlah penderita terbesar
berasal dari kaum Lelaki Suka Lelaki (LSL) atau gay. Prosentasenya mencapai 30
persen dari total jumlah penderita yang ada. Diurutan kedua, berasal dari ibu
rumah tangga sebesar 20 persen.
Kalau saja informasi akurat, maka
heteroseksual tentu lebih banyak daripada LSL karena ada 20 persen ibu rumah
tangga dan suami ibu-ibu rumah tangga tsb. juga heteroseksual.
Lagi pula dalam epidemi HIV/AIDS
kasus HIV/AIDS pada kalangan LSL atau laki-laki gay adalah terminal terakahir
karena mereka tidak punya perempuan sebagai pasangan tetap sehingga HIV tidak
akan menyebar ke masyarakat. HIV hanya berputar di komunitas LSL.
Ini pernyataan Ismawan:
"Jumlahnya penderita baru tiap tahunnya meningkat dan kami terus berupaya
meningkatkan penemuan penderita melalui screening kelompok risiko." Yang
lebih pasti yang meningkat adalah jumlah kasus yang baru terdeteksi, sedangkan
penderita baru atau yang baru tertular tidak bisa diketahui.
Ada lagi pernyataan: Golongan
LSL ini menurutnya memang paling rentan, dan kini kecenderungannya sudah mulai
menjalar di kalangan remaja. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya kaum LSL
remaja dan sudah ada yang positif HIV/AIDS.
Pernyataan ini tidak akurat karena
kerentanan tertular HIV melalui hubungan seksual bukan karena orientasi
seksual, tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu
mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom. Kalau yang dimaksud
rencan karena cara melakukan hubungan seksual yaitu seks anal, maka suami istri
pun ada yang melakkan seks anal. Laki-laki heteroseksual pun melakukan seks
anal dengan waria. Itulah sebabnya banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi pada ibu
rumah tangga karena suami mereka selain melacur juga ada yang melakukan seks
anal dengan waria.
Disebutkan lagi: Sejauh ini,
penanganan dan pencegahan penderita HIV/AIDS menghadapi banyak kendala, antara
lain masih minimnya kesadaran penderita untuk berobat. Padahal selama ini
pemerintah daerah memberikan fasilitas gratis dalam pengobatan penderita
HIV/AIDS.
Penanggulangan HIV/AIDS yaitu
mencegah penularan baru bukan karena ‘masih minimnya kesadaran penderita untuk
berobat’ tapi karena tidak ada program yang ril di hulu yaitu menurunkan insiden
infeksi HIV pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK melalui
intervensi yang memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan
seksal dengan PSK. Secara ril PSK sendiri dikenal ada dua tipe, yaitu:
(a).
PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau
lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(b).
PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru
sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam
kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau
pemegang kekuasaan), dll.
Penanganan pada poin 1 tidak bisa
dilakukan intervensi karena praktek PSK langsung tidak dilokalisir. Sedangkan
pada poin 2 jelas tidak tidak bisa diintervensi karena transaksi seks terjadi
di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Ketika epidemi HIV/AIDS sudah ada di
masyarakat langkah konkret penanggulangan bukan lagi hanya sekedar sosialisasi
dan kampanye bahaya HIV/AIDS karena hal itu sudah dilakukan sejak awal epidemi
HIV/AIDS di Indonesia yaitu tahun 1987. Lagi pula ada rentang waktu yang
panjang antara menerima sosialisasi dan kampanye dengan kesadaran sehingga bisa
saja di rentang waktu itu terjadi penularan HIV melalui perilaku berisiko.
Anjuran tes HIV yang dilanjutkan dengan pengobatan
dengan obat antiretroviral (ARV) adalah kegiatan di hilir. Artinya, warga
dibiarkan dulu tertular HIV baru menjalani tes HIV dan mengkuti program ART
(pengobatan dengan ARV).
Tanpa program yang ril di hulu, maka insiden infeksi
HIV baru akan terus terjadi yang pada gilirannya disebarkan di masyarakat dan
kelak akan berbuara sebagai ‘ledakan AIDS’. * [kompasiana.com/infokespro] *
Markas Daerah BaraJP
NTT, Kupang, 10/1-2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.