28 Desember 2018

Perjaka Seks dengan Perawan, Adakah Risiko Tertular HIV/AIDS?

Ilustrasi (Sumber: developmentnews.in)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Tanya Jawab AIDS No 1 /September 2018
Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar semua pembaca bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Tanya-Jawab AIDS ini dimuat di: "AIDS Watch Indonesia" (http://www.aidsindonesia.com) dan kompasiana.com/infokespro. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke Syaiful W. Harahap, melalui: (1) Telepon (021) 8566755, (2) e-mail: aidsindonesia@gmail.com, (3) SMS 08129092017, dan (4) WhatsApp:  0811974977. Redaksi.
*****
Tanya
(1). Kalau seorang laki-laki melakukan hubungan seksual pertama kali dengan perawan, kemudian ganti-ganti pasangan seks lagi dengan 20 perawan atau perempuan yang baru pertama kali seks dengan perjaka, apakah bisa terinfeksi HIV/AIDS?
(2). Kalau seorang laki-laki melakukan hubungan seksual ganti-ganti pasangan dengan 20 perempuan yang belum pernah kena HIV/AIDS, apakah bisa tertular HIV/AIDS?
(3). Kalau 20 perempuan perawan atau yang belum pernah kena HIV/AIDS tadi seks dengan laki-laki lain, apakah bisa kena HIV/AIDS?
Via SMS (28/8-2018)
Jawab: (1) Penularan HIV/AIDS tidak hanya melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, tapi juga melalui cara-cara lain (faktor risiko), yaitu: (a) Melalui transfusi darah yang tidak melalui skirining HIV, (b) Melalui jarum suntik pada penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) secara bersama-sama dengan bergantian, (c) Melalui alat-alat kesehatan yang bisa menyimpan darah, (d) Melalui angkok organ tubuh yang tidak diskirining HIV, dan (e) Melalui air  susu ibu (ASI).
Di sebuah pusat rehabilitasi narkoba di Bogor, Jawa Barat, seorang mahasiswa terdeteksi mengidap HIV/AIDS (awal tahun 1990-an). Mahasiswi ini seorang perawan. Ternyata dia tertular HIV/AIDS melalui jarum suntik narkoba karena dia menyuntikkan narkoba dengan teman-temannya secara bergantian jarum suntik. Karena salah satu dari mereka mengidap HIV/AIDS, maka jarum suntik jadi media penyebaran HIV/AIDS di antara mereka.
Itu artinya keperawanan tidak jadi jaminan seseorang tidak mengidap HIV/AIDS. Begitu juga dengan seorang perjaka tidak jaminan bebas HIV/AIDS karena bisa saja tertular melalui cara-cara di luar seks seperti yang dijelaskan di atas.
Maka, bisa saja ada risiko tertular HIV/AIDS bagi seorang laki-laki yang seks dengan beberapa perawan jika perawan tsb. pernah melakukan faktor risiko di luar hubungan seksual.
(2) dan (3). Tidak bisa dipastikan seseorang tidak mengidap HIV/AIDS atau tidak pernah kena HIV/AIDS hanya karena perawan atau perjaka karena mereka bisa tertular melalui cara-cara di luar hubungan seksual seperti dijelaskan di atas. Maka, bisa saja ada risiko tertular HIV/AIDS bagi seorang perawan yang seks dengan laki-laki yang berganti-ganti jika ada di antara laki-laki tsb. pernah melakukan faktor risiko di luar hubungan seksual.
Hal yang sama terjadi bagi perawan yang seks dengan perjaka yang berganti-ganti juga ada risiko tertular HIV/AIDS kalau ada di antara perjaka tsb. yang pernah melakukan faktor risiko di luar hubungan seksual. 
Risiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pengidap HIV/AIDS adalah 1:100. Dalam 100 kali seks ada 1 kali kemungkinan terjadi penularan. Masalahnya adalah tidak bisa diketahui pada hubungan seksual yang ke berapa terjadi penularan. Bisa yang pertama, kedua, kelima belas, kesembilan puluh, dst.
Sedangkan seks perjaka dengan perawan yang berganti-ganti atau sebaliknya merupakan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS jika ada di antara perawan atau perjaka tsb. yang pernah melakukan faktor risiko di luar hubungan seksual. * [kompasiana.com/infokespro] *
disclaimer-5b89b2c6c112fe5a9a6bc322.jpg
disclaimer-5b89b2c6c112fe5a9a6bc322.jpg

Berapa Kali Seks Baru Tertular HIV/AIDS?

Ilustrasi (Sumber: askideas.com)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Tanya Jawab AIDS No 4 /Agustus 2018
Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar semua pembaca bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Tanya-Jawab AIDS ini dimuat di: "AIDS Watch Indonesia" (http://www.aidsindonesia.com) dan kompasiana.com/infokespro. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke Syaiful W. Harahap, melalui: (1) Telepon (021) 8566755, (2) e-mail: aidsindonesia@gmail.com, (3) SMS 08129092017, dan (4) WhatsApp:  0811974977. Redaksi.
*****
Tanya: (1). Dalam berapa kali seseorang berganti-ganti pasangan dan berhubungan seks baru bisa dinyatakan terinfeksi HIV/AIDS? (2). Apakah ada penelitian konkretnya?  
Via SMS (25/8-2018)
Jawab: (1) dan (2) Berganti-ganti pasangan adalah perilaku seksual yang berisiko tertular HIV/AIDS. Soalnya, tidak bisa diketahui apakah seseorang mengidap HIV/AIDS atau tidak dengan melihat fisiknya karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang mengidap HIV/AIDS. Bahkan, keluhan kesehatan pun tidak ada yang khas AIDS.
Itu artinya setiap hubungan seksual, di dalam atau di luar nikah, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom setiap kali hubungan seksual selalu ada risiko penularan HIV. Bisa dari laki-laki ke perempuan atau sebaliknya.
Laporan Badan Kesehatan Sedunia (WHO) menyebutkan dalam 100 kali hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan seseorang yang mengidap HIV/AIDS ada 1 kali terjadi penularan.
Persoalannya adalah tidak bisa diketahui pada hubungan seksual yang ke berapa terjadi penularan HIV/AIDS. Bisa yang pertama, kedua, kelima, ketujuh belas, kelima puluh, kesembilan puluh atau yang keseratus.
Seorang mahasiswa yang melakukan konseling tes HIV di YPI (Yayasan Pelita Ilmu), institusi yang menanganai HIV/AIDS di Jakarta, di tahun 1990-an mengaku baru 10 kali melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di Kalijodo, Jakarta (tempat pelacuran ini sudah diratakan dengan tanah oleh Gubernur Ahok bukan sekedar menutup seperti yang dilakukan Walikota Surabaya di Dolly). Hasil tes HIV menunjukkan mahasiswa itu positif tertular HIV/AIDS.
Maka, satu kali, dua kali dst. tetap ada risiko tertular HIV jika dilakukan dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK. Yang perlu diingat PSK ada dua tipe, yaitu:
(a). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(b). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.
PSK kedua tipe ini sama saja perilaku seksualnya yaitu melayani laki-laki yang berganti-ganti melakukan hubungan seksual tanpa kondom sehingga ada risiko tertular HIV karena bisa saja salah satu dari laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS. * [kompasiana.com/infokespro] *
disclaimer-5b8733c612ae947261561694.jpg
disclaimer-5b8733c612ae947261561694.jpg

Pengidap HIV/AIDS Terbanyak di Karawang adalah PSK

Ilustrasi (Sumber: hivdoctorspune.com)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP


"Mayoritas yang kena HIV/AIDS adalah para pekerja seks komersial (PSK)." Ini dikatakan oleh Staf Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Karawang, Awan Gunawan dalam berita Pengidap HIV/AIDS di Karawang Bertambah 51 Orang (spiritnews.co.id, 3/8-2018).
Jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Kab Karawang, Jawa Barat, sejak tahun 1992 sampai Mei 2018 dilaporkan 898. Namun, perlu diingat bahwa jumlah yang dilaporkan (898) hanyalah kasus yang terdeteksi, sedangkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat tidak diketahui.
Data yang disampaikan Awan ini tidak dikembangkan oleh wartawan. Celakanya, sebagai orang yang berkecimpung di KPA Awan juga tidak memberikan penjelasan tentang apa yang akan terjadi dan bagaiman hal itu terjadi terkait dengan data yang dia sampaikan terkait AIDS pada PSK.
Sayang wartawan tidak bertanya jumlah PSK yang mengidap HIV/AIDS di Karawang sehingga tidak ada data terkait jumlah PSK pengidap HIV/AIDS. Namun, terlepas dari jumlah riil ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh masyarakat, yaitu:
Pertama, ada laki-laki yang menularkan HIV/AIDS ke PSK. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki ini bisa seorang suami, duda, lajang atau perjaka. Mereka ini jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat. Yang beristri akan menularkan HIV ke istrinya dan PSK, sedangkan yang tidak beristri akan menularkan HIV ke pasangan seksualnya atau PSK.
Kedua, ada laki-laki yang berisiko tertular HIV dari PSK pengidap HIV/AIDS. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki ini bisa seorang suami, duda, lajang atau perjaka. Mereka ini jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat. Yang beristri akan menularkan HIV ke istrinya dan PSK, sedangkan yang tidak beristri akan menularkan HIV ke pasangan seksualnya atau PSK.
Ketiga, PSK yang mengidap HIV/AIDS tidak bisa dikenal dari fisiknya karena tidak ada gejala-gejala khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan orang-orang yang mengidap HIV/AIDS.
Keempat, jika setiap malam seorang PSK melayani 3 laki-laki hidung belang tanpa kondom, maka bisa dibayangkan jumlah laki-laki yang berisiko tertular HIV dari PSK pengidap HIV/AIDS selama PSK itu tetap buka 'praktek'.
Kelima, laki-laki yang tertular HIV dari PSK tidak menyadari dirinya mengidap HIV/AIDS karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan. Akibatnya, tanpa sadar mereka menularkan HIV ke pasangan seksualnya.
Nah, lima hal di atas tidak muncul dalam berita sehingga berita itu tidak berguna bagi masyarakat karena tidak ada informasi yang terkait dengan cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS.
Disebutkan oleh Awan: " .... diantaranya ibu-ibu rumah tangga yang tertular dari suaminya yang sering melakukan seks bebas."
Lagi-lagi staf KPA yang seharusnya menyampaikan fakta tapi ini menyebarkan mitos (anggapan yang salah). Kalau yang dimaksud Awan seks bebas adalah zina, khususnya dengan PSK, maka pernyataan itu ngawur karena tidak ada kaitan seks bebas dengan penularan HIV melalui hubungan seksual.
Penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (seks bebas), tapi karena kondisi hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, jika salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki mengidap HIV/AIDS.
Langkah penanggulangan HIV/AIDS? Ini pernyataan Awan: "Kita berusaha mencegah agar warga jangan tertular, kita juga berharap elemen masyarakat bisa tahu bahaya HIV/AIDS."
Tapi, bagaimana caranya Pak Awan?
Tidak ada penjelasan dalam berita sehingga berita ini tidak mendorong masyarakat mengubah perilaku seksual yang berisiko. Itu artinya insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi, terutama pada laki-laki dewasa,  melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK.
Mereka yang terular jadi mata rantai penyebaran HIV bagaikan 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. * [kompasiana.com/infokespro] *

Kemenkes Sebarkan Mitos AIDS

Ilustrasi (Sumber: kqed.org/Chung Sung-Jun/Getty Images)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Epidemi HIV/AIDS yang diakui pemerintah di Indonesia berawal dari kasus kematian seorang wisatawan Belanda terkait dengan HIV/AIDS di RS Sanglah, Denpasar, Bali, pada April 1987. Sedangkan dunia menjadikan publikasi pertama AIDS pada tahun 1981 sebagai titik awal epidemi HIV/AIDS [Baca juga:Menyoal (Kapan) 'Kasus AIDS Pertama' di Indonesia].
Jika kita berpegang pada pengakuan pemerintah tentang kasus HIV/AIDS pertama di Indonesia, yaitu tahun 1987, maka sampai sekarang epidemi HIV/AIDS di Indonesia sudah 31 tahun. Celakanya, mitos (anggapan yang salah) yang menyertai pengakuan pemerintah, al. tentang penularan HIV yang dibalut dengan moral, sampai sekarang tetap dipegang banyak pihak, bahkan Kementerian Kesehatan RI.
Lihat saja berita Kementerian Kesehatan RI Perkenalkan Rumus ABCDE untuk Cegah HIV/AIDS (jateng.tribunnews.com, 21/8-2018) yang bersumber dari penjelasan Kasubdit AIDS dan PIMS, Kementerian Kesehatan RI, dr. Endang Budi Hastuti, yang menyebutkan: Untuk menurunkan penularan HIV di Indonesia, ada rumus ABCDE yang selama ini disosialisasikan sebagai cara pencegahan HIV.Berikut ini ABCDE, tips untuk terhindar dari virus HIV: 1. A (abstinance) adalah tidak berhubungan seks di luar nikah.
Pernyataan ini benar-benar di luar akal sehat karena secara medis penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena status pernikahan atau sifat hubungan seksual.
Penularan HIV melalui hubungan seksual (bisa) terjadi di dalam dan di luar nikah jika salah satu atau kedua pasangan yang melakukan hubungan seksual mengidap HIV/AIDS dengan kondisi suami atau laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual (kondisi hubungan seksual). Ini fakta medis (Lihat gambar).
Dok Pribadi
Dok Pribadi
Jika Kemenkes RI tetap mempertahakan pernyataan A (abstinance) sebagai "tidak berhubungan seks di luar nikah", maka konteksnya adalah perilaku seksual berisiko laki-laki dewasa jika dilakukan dengan pekerja seks komersial (PSK) dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom.
Risiko terjadi karena PSK, PSK sendiri dikenal dua tipe, dalam hal ini PSK langsung adalah perempuan yang sering berganti-ganti pasangan seksual yaitu laki-laki yang membayar layanan seks. Sejak reformasi lokasi dan lokalisasi pelacuran binaan instansi, dalam hal ini dinas sosial, yang merupakan tempat PSK, dalam hal ini PSK langsung, melayani laki-laki 'hidung belang' sudah tidak ada.
Dua tipe PSK yang dikenal adalah:
(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan, dan
(2). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.
Akibatnya, transaksi seks yang melibatkan PSK langsung tidak lagi dilakukan di lokasi atau lokalisasi pelacuran tapi sudah menyebar di sembarang tempat dan sembarang waktu. Kondisi ini menghentikan intervensi yaitu program pemakaian kondom bagi laki-laki 'hidung belang' sehingga insiden infeksi baru IMS [infeksi menular seksual yang lebih dikenal sebagai 'penyakit kelamin', yaitu kencing nanah (GO), raja singa (sifilis), herpes genitalis, virus hepatitis B, klamidia, jengger ayam, virus kanker serviks, dll.] dan HIV/AIDS terus terjadi.
Laki-laki yang menularkan IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus ke PSK dan sebaliknya laki-laki yang tertular IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus dari PSK jadi mata rantai penyebaran IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus di masyarakat secara horizontal. Yang punya istri, bahkan ada yang lebih dari satu, akan menularkan ke istrinya atau pasangan seks lain. Yan tidak punya istri menularkan HIV ke pasangan seksnya.
Jika istri mereka terular HIV/AIDS, maka ada pula risiko penularan HIV secara vertikal dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya kelak. Celakanya, belum ada perangkat hukum yang bisa dipakai untuk mendeteksi HIV/AIDS pada ibu-ibu hamil. Yang terjadi hanya sebatas anjuran.
Survei Kemenkes tahun 2012 di beberapa kota (pelabuhan dan perbatasan) di Indonesia ada 6,7 juta laki-laki pelanggan tetap 230.000 pekerja seks komersial (PSK) langsung yaitu PSK yang kasat mata. Dari jumlah ini 4,9 juta mempunyai istri (antarabali.com, 9/4-2013). Sedangkan jumlah ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS dari 1987-September 2015 berjumlah 9.096 (BBC Indonesia, 1/12-2015).
Jika 6,7 juta laki-laki tsb., teruma 4,9 juta yang beristri, tidak diintervensi agar mereka memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK, maka risiko tertular HIV sangat besar yang kelak bermuara pada istri dan anak-anak mereka.
Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia kian masif karena transaksi seks yang melibatkan PSK tidak langsung tidak bisa diintervensi. Transaksi seks yang melibatkan PSK tidak langsung tejadi di sembarang tempat dan sembarang waktu dengan modus yang beragam (Baca juga: AIDS di Sulawesi Selatan Didorong PSK Tidak Langsung).
Kembali ke A (abstinance) adalah tidak berhubungan seks di luar nikah, risiko bukan hanya dengan PSK langsung dan tidak langsung tapi juga dengan setiap orang yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pelaku kawin-kontrak dan kawin-cerai. Bahkan, risiko penularan HIV sama juga besarnya jika dilakukan dalam ikatan pernikahan dengan pelaku kawin-kontrak dan kawin-cerai karena bisa saja dalah satu dari mereka mengidap HIV/AIDS.
Lihat saja pengalaman guru agama di Sumut ini yang kebingungan tertular HIV/AIDS karena dia tidak pernah melakukan hubungan seksual berisiko (Baca juga: Guru Agama Ini Kebingungan Anak Keduanya Lahir dengan AIDS)
Maka, amatlah naif instansi yang seharusnya mengedepankan fakta medis, yaitu Kemenkes RI, justru menyebarkan mitos terkait dengan HIV/AIDS. Ini merupakan langkah yang menyurutkan penanggulangan HIV/AIDS jauh ke belakang. * [kompasiana.com/infokespro] *

Tertular HIV karena Termakan Mitos "Cewek Bukan PSK"

Ilustrasi (Sumber: pinknews.co.uk)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Akhir-akhir ini media massa dan media online diramaikan dengan berita tentang mitos (anggapan yang salah) dan hoax (berita bohong) terkait HIV/AIDS. Sayang, 10 mitos atau hoax yang diumbar itu sama sekali tidak terkait dengan insiden infeksi HIV baru di hulu melalui hubungan seksual yang berisiko.
Kegiatan-kegiatan terkait dengan hoax atau mitos AIDS tsb. sangat kecil jika dibandingkan dengan perilaku seksual berisiko yang terjadi setiap saat di berbagai tempat dengan berbagai macam modus.
Celakanya, perilaku-perilaku berisiko tsb. dianggap tidak berisiko tertular HIV/AIDS karena sejak awal epidemi HIV/AIDS di Indonesia informasi terkait cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos.
Misalnya, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual selalu dikaitkan dengan zina, seks pranikah, seks di luar nikah, perselingkuhan, seks menyimpang, dan pelacuran. Ini semua merupakan sifat hubungan seksual.
Mitosnya kian parah karena penularan HIV/AIDS melalui pelacuran dikaitkan dengan pekerja seks komersial (PSK) langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran, di jalanan, dll.
Akibatnya, banyak laki-laki yang merasa dirinya tidak berisiko tertular HIV karena: (a) tidak melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung, dan (b) hubungan seksual tidak dilakukan di lokasi atau lokalisasi pelacuran.
Seperti yang disampaikan oleh seorang pejabat tinggi di sebuah kabupaten di Indonesia bagian Timur melalui surat untuk sebuah rubrik "Konsultasi HIV/AIDS" di sebuah koran di Sulsel awal tahun 2000-an: "Bang, saya seks dengan cewek cantik dan mulus di hotel berbintang di Surabaya dan Jakarta. Tentu saya tidak punya risiko tertular HIV/AIDS."
Waktu itu penulis menganjurkan agar pejabat itu menjalani tes HIV karena dia seks dengan perempuan yang sering ganti-ganti pasangan yang sama saja dengan seorang PSK. Tapi, dengan tegas dia menolak karena tidak hubungan seksual yang dia lakukan tidak berisiko. Belakangan saya dengar kabar dari seorang teman konselor AIDS di sana pejabat tadi berobat rutin ke sebuah rumah sakit rujukan di ibu kota provinsi dengan catatan penyakit infeksi.
Dok Pribadi
Dok Pribadi
'Cewek cantik dan mulus'atau 'cewek bukan PSK langsung' yang disebut pejabat tadi dikenal sebagai PSK tidak langsung yaitu cewek yang melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti. Bisa saja salah satu dari sekian banyak laki-laki yang pernah seks dengan dia, terutama jika laki-laki tidak memakai kondom, mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS.
Inilah salah satu mitos yang sangat kuat di masyarakat karena disuarakan oleh pejabat (tinggi), sebagian pakar, bahkan pakar medis, toga (tokoh agama) dan toma (tokoh masyarakat) serta aktivis AIDS.
PSK tidak langsung adalah perempuan atau cewek yang sifatnya seperti PSK tapi tidak kasat mata dan tidak mangkal di satu tempat yaitu cewek atau perempuan yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.
Insiden infeksi HIV baru melalui hubungan seksual dengan 'cewek bukan PSK langsung' jadi motor pendorong penyebaran HIV di masyarakat, terutama pada laki-laki beristri yang menularkan HIV/AIDS ke istri atau pasangan seks lain (horizontal). Jika istri atau pasangan seksnya tertular HIV, maka ada pula risiko penularan HIV kepada bayi yang mereka kandung kelak (vertikal).
Hal itu terjadi karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan orang-orang yang tertular HIV sebelum masa AIDS, secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV.
Yang perlu diperhatikan adalah pada rentang waktu antara tertular HIV sampai masa AIDS bahkan sampai meninggal dunia biar pun orang-orang yang mengidap HIV tapi tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV secara diam-diam bagikan 'silent disaster' (bencana terselubung) yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'.
Celakanya, pemerintah (Pusat) tidak bisa berbuat banyak terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS karena di era Otonomi Daerah (Otda) kebijakan, dalam hal ini penanggulangan HIV/AIDS, ada di pemerintah daerah. Setiap daerah mempunyai aturan main sendiri-sendiri yang tidak terkoneksi secara nasional. * [kompasiana.com/infokespro] *

354 Kasus HIV Baru Terdeteksi di Kota Makassar

Ilustrasi (Sumber: nigerianmedicals.com)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

"HIV itu yang berbahaya penyakitnya, bukan penderitanya. Jadi kita harap segala bentuk diskriminasi bisa dihilangkan." Ini pernyataan Sekretatis KPA Makassar, Mawardi, dalam berita KPA Makassar Minta Masyarakat Tak Diskriminasi Penderita HIV (makassar.tribunnews.com, 15/8-2018).
Jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Makassar, Sulsel, dilaporkan oleh Dinkes Kota Makassar dari Juni 2005 sampai Oktober 2017 mencapai 9.302 (republika.co.id, 6/10-2017).
Sedangkan kasus HIV baru di Kota Makassar dari Januari -- Juli 2018 mencapai 354 yang terdeteksi dari 21.725 warga yang datang ke layanan konseling dan tes HIV (makassar.tribunnews.com, 15/8-2018). Sayang, dalam berita tidak dijelaskan faktor risiko (cara penularan) HIV/AIDS pada 354 kasus baru yang terdeteksi di Kota Makassar.
Persoalan besar terkait HIV/AIDS adalah HIV ada di dalam tubuh penderita HIV/AIDS. Maka, kalau pun disebut 'yang berbahaya penyakitnya bukan penderitanya' tentulah diperlukan penjelasan yang komprehensif agar warga tidak melakukan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap pengidap HIV/AIDS.
Celakanya, seperti dalam berita ini (KPA Makassar Minta Masyarakat Tak Diskriminasi Penderita HIV) tidak ada informasi yang bisa memberikan pencerahan kepada masyarakat agar tidak melakukan stigma dan diskriminasi terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS).
Disebutkan oleh Mawardi: "Karena selama ini kita ketahui bahwa media punya peran penting dalam menginformasi dan mengedukasi publik, salah satunya terkait bahaya HIV."
Nah, yang diperlukan bukan informasi tentang 'bahaya HIV' tapi tentang cara-cara penularan dan pencegahan yang riil. Soalnya, selama ini banyak media yang membalut informasi HIV/AIDS dengan moral dalam berita HIV/AIDS. Akibatnya, yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah) sehingga masyarakat tidak memperoleh informasi yang akurat.
Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan 'perilaku menyimpang', zina, pelacuran, dll. Padalah, sebagai fakta medis HIV al. menular melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah yang menyimpang atau tidak menyimpang (sifaf hubungan seksual), yaitu jika salah satu atau kedua pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom (kondisi hubungan seksual).
Terkait dengan penularan melalui hubungan seksual selama ini dikaitkan pula dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokasi atau lokalisasi pelacuran. Celakanya, selain PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran yang kasat mata, disebut PSK langsung, ada juga PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata. Mereka ini 'menyamar' sebagai cewek di tempat-tempat hiburan malam dan pemijar di panti pijat plus-plus (Baca juga: AIDS di Sulawesi Selatan Didorong PSK Tidak Langsung).
Stigma dan diskriminasi ada di hilir, sedangkan yang diperlukan untuk menanggulangai HIV/AIDS adalah program di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK.
Persoalan besar adalah sejak reformasi lokasi pelacuran tidak ada lagi sehingga PSK langsung dan PSK tidak langsung melakukan transaksi seksual di sembarang tempat dan sembarang waktu sehingga tidak terjangkau untuk melakukan intervensi pencegahan HIV/AIDS.
Selama informasi tentang HIV/AIDS terus dibalut dengan moral, maka selama itu pula informasi HIV/AIDS tidak akan akurat sehingga tidak mendorang masyarakat untuk menghindari perilaku-perilaku yang berisiko tertular HIV. Kalau ini yang terjadi, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi sebagai 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. * [kompasiana.com/infokespro] *

Kematian Pengidap HIV/AIDS di Situbondo Tidak Dikaitkan dengan Epidemi HIV/AIDS

Ilustrasi (Sunber: gettyimages.com)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Berita tentang kematian pengidap HIV/AIDS di Kabupaten Situbondo, Jatim, sama sekali tidak menyentuh akar persoalan terkait dengan epidemi HIV/AIDS. 
Pernyataan Kepala Dinas Kesehatan Situbondo, Abu Bakar Abdi, dalam berita Dalam Setahun, 60 Penderita HIV/AIDS di Situbondo Meninggal Dunia (jatim.tribunnews.com, 1/8-2018) sama sekali tidak dikaitkan dengan epidemi HIV/AIDS.
Disebutkan sepanjag tahun 2017 dari 200 kasus yang terdeteksi 60 di antaranya meninggal dunia. Informasi ini sama sekal tidak berguna dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS.
Pertama, tidak ada penjelasan tentang penyakit yang menyebabkan kematian 60 pengidap HIV/AIDS tsb. Informasi ini penting agar masyarakat paham bahwa yang mematikan bukan HIV atau AIDS atau HIV/AIDS, tapi ada penyakit lain yang terjadi di masa AIDS (masa AIDS secara statistik terjadi pada rentang waktu antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).
Kedua, sebelum meninggal dunia 60 pengidap HIV/AIDS tsb., kecuali bayi dan anak-anak, kemungkinan sudah menularkan HIV ke orang lain.
Jika ada di antara yang 60 pengidap HIV/AIDS tsb. pekerja seks komersial (PSK), maka sebelum meninggal dia sudah melayani hubungan seksual tanpa kondom dengan ratusan bahkan ribuan laki-laki. Kalau rata-rata setiap malam seorang PSK melayani 3 laki-laki, maka sebelum meninggal sudah ada 3.600 -- 10.800 laki-laki yang berisiko tertular HIV [1 PSK x 3 laki-laki/malam x 20 hari/bulan x (5 atau 15) tahun.
Kalau di antara 60 pengidap HIV/AIDS yang meninggal itu ada laki-laki dewasa, maka ada satu orang perempuan yaitu istrinya yang berisiko tertular HIV. Kalau laki-laki itu beristri lebih dari satu, maka kian banyak perempuan yang berisiko tertular HIV.
Jika di antara 60 pengidap HIV/AIDS yang meninggal itu ada ibu rumah tangga, maka ada risiko penularan H IV kepada bayi yang dikandungnya. Probabilitas penularan secara vertikal lebih dari 30 persen jika selama hamil tidak ditangani oleh dokter.
Kalau di antara 60 pengidap HIV/AIDS yang meninggal itu ada waria, maka ada pula sekian laki-laki heteroseksual pelanggan waria yang berisiko tertular HIV.
Jika di antara 60 pengidap HIV/AIDS yang meninggal itu ada laki-laki biseksual, maka istri dan pasangan seks laki-laki berisiko tertular HIV.
Kalau saja Abu Bakar Abdi dan wartawan yang meliput dan menulis berita ini memahami epidemi HIV/AIDS sebagai fakta medis, maka berita yang ditulis adalah menggambarkan realitas sosial terkait dengan kematian 60 pengidap HIV/AIDS tsb. Bukan sekedar menonjolkan angka tapi tidak bermakna karena lebih ke arah sensasi.
Ini merupakan pernyataan Abu Bakar Abdi: "La jika diketahui ada obat dari kita, tapi untuk sembuh masih 50:50. Ya paling dengan pemberian obat obatan itu, dari Aids kembali ke HIV."
Pernyataan ini menyesatkan karena: (a) HIV tidak bisa dimatikan di dalam tubuh manusia, (b) AIDS bukan penyakit sehingga tidak ada obatnya, dan (c) pengidap HIV/AIDS yang meminum obat antiretroviral (ARV) bukan kembali ke kondisi HIV tapi obat ARV menghambat laju replikasi HIV di darah sehingga sistem kekebalan tubuh tetap terjaga.
Di bagian lain Abu Bakar Abdi mengatakan: "Kita menerapkan operasi senyap dan tidak fulgar. Namun jika ditemukan yang terindikasi kita akan melakukan perhatian khusus."
Ini juga menjadi kontra produktif dalam penanggulangan HIV/AIDS karena terkesan ada program intelijen atau reserse dalam mencari kasus HIV/AIDS. Mendeteksi warga yang mengidap HIV/AIDS tidak perlu dengan cara-cara yang busuk, seperti intel-intelan, tapi lakukanlah dengan regulasi dengan pijakan aspek hukum.
Misalnya, membuat regulasi, seperti peraturan bupati/walikota atau peraturan daerah, yang mewajibkan suami ibu hamil menjalani konseling tes HIV. Pasangan yang dijaring adalah yang memeriksakan kehamilan di sarana kesehatan pemerintah. Ini perlu agar tidak terjerat pelanggaran hak asasi manusia (HAM) karena ada opsi (pilihan). Bagi yang tidak mau konseling tes HIV jangan periksa kehamilan di sarana kesehatan pemerintah.
Tanpa program yang konkret di hulu, al. menurukan infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK, maka penyebaran HIV di Situbondo akan terus terjadi bagaikan 'bom waktu' yang kelak berakhir dengan 'ledakan AIDS'. * [kompasiana.com/infokespro] *

AIDS di Magetan Memang Permasalahan Besar, Tapi Bukan Persoalan Pemandu Lagu

Ilustrasi (Sumber: dnaindia.com)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Dikatakan oleh Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P), Dinkes Magetan, Jatim, Didik Setyo Margono, tes kesehatan ini dilakukan untuk mengetahui bahwa pemandu lagu terjangkit HIV-AIDS atau tidak.
"Ya biar tahu. Jika memang terjangkit ya kami bina," terangnya. Ini ada dalam berita Pemandu Lagu Terjaring Razia di Magetan Dites HIV/AIDS (jatimnow.com, 27/7-2018).
Jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Kabupaten Magetan dalam kurun waktu 18 tahun mulai  tahun 2000 hingga 2018, tercatat  sebanyak 535 (jurnaltoday.id, 3/8-2018).
Jika dikaitkan dengan epidemi HIV/AIDS, dari pernyataan Didik ini ada beberapa hal yang diabaikan, yaitu:
Pertama, jika dari hasil tes HIV ternyata ada pemandu lagu yang mengidap HIV/AIDS, maka ada laki-laki yang menularkan HIV ke pemandu lagu tsb. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki yang menularkan HIV ke pemandu lagu bisa sebagai seorang suami, lajang, atau duda. Mereka pun jadi mata rantai dengan menularkan HIV ke istri atau pasangan masing-masing.
Kedua, ada beberapa laki-laki yang berisiko tertular HIV dari pemandu lagu yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki yang menularkan HIV ke pemandu lagu bisa sebagai seorang suami, lajang, atau duda. Mereka pun jadi mata rantai dengan menularkan HIV ke istri atau pasangan masing-masing.
Dari dua fakta di atas persoalan (besar) bukan pada pemandu lagu yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS, tapi pada laki-laki yang menularkan HIV ke pemandu lagu dan laki-laki yang tertular HIV dari pemandu lagu.
paluekspres.fajar.co.id
paluekspres.fajar.co.id
Jadi, yang diperlukan bukan membina pemandu lagu tapi menyebarluaskan informasi bahwa ada pemandu lagu yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS di Magetan.
Untuk itulah bagi laki-laki yang pernah melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pemandu lagu di Magetan dianjurkan menjalani tes HIV secara sukarela.
Berita ini merupakan salah satu bukti narasumber dan wartawan tidak memanfaatkan berita sebagai sumber informasi HIV/AIDS. Ada kesan berita ini menonjolkan sensasi tapi kehilangan esensi. Tidak ada pula gambaran riil tentang jumlah pemandu lagu di Magetan sehingga tidak ada gambaran tentang risiko penyebaran HIV melalui pemandu lagu.
Berita hanya berkutat soal tes HIV terhadap pemandu lagu, tapi sama sekali tidak menjelaskan mengapa tes HIV dilakukan terhadap pemandu lagu. Pembaca tidak diberikan informasi yang akurat tentang faktor risiko penularan HIV pada pemandu lagu.
Tidak ada penjelasan tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV dalam berita. Itu artinya pembaca tidak mendapatkan informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Padahal, media sangat berperan dalam penyebaran informasi HIV/AIDS sebagai bagian dari upaya meningkatkan kepedulian masyarakat untuk menghindari perilaku yang berisiko tertular HIV. * [kompasiana.com/infokespro] *

Kasus HIV/AIDS di Sikka, NTT, Ditemukan di Semua Kecamatan

Ilustrasi (Sumber: bustle.com)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

HIV/Aids Ditemukan di Semua Kecamatan di Sikka, Kenapa Aids Lebih Tinggi? Ini judul berita di kupang.tribunnews.com (10/8-2018).
Sejak tahun 2003 sampai Agustus 2018 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Kabupaten Sikka, NTT, dilaporkan 705 yang terdiri atas 222 HIV dan 483 AIDS dengan 379 kematian.
Ada kesan penemuan kasus di semua kecamatan (27) di wilayah Kabupaten Sikka sebagai hal yang buruk (negatif). Ini salah besar karena setiap 1 kasus HIV/AIDS yang terdeteksi itu artinya 1 mata rantai diputuskan sehingga penyebaran HIV/AIDS berhenti pada warga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Itu artinya makin banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi kian banyak puna mata rantai penyebaran HIV/AIDS yang diputus.
Selain itu yang dipersoalkan dalam berita adalah: mengapa jumlah kasus AIDS lebih tinggi daripada HIV.
Disebutkan oleh Pengelola Program KPA Sikka, Yuyun Baitanu: .... kondisi lingkungan masyarakat yang tidak kondusif berkontribusi besar. Bila si penderita yang sakit-sakitan diketahui mengindap HIV akan dikucilkan dari pergaulan.
Pertama, warga yang terdeksi pada masa AIDS adalah warga yang sudah terlebih dahulu tertular HIV karena masa AIDS secara statistik terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV.
Kedua, warga yang tertular HIV tidak otomatis menderita sehingga tidak tepat disebut penderita HIV/AIDS, tapi lebih tepat disebut pengidap HIV/AIDS.
Ketiga, pengucilan bukan faktor yang mendorong masa AIDS.
Maka, mengapa lebih banyak kasus AIDS yang terdeteksi daripada kasus HIV?
Warga yang tertular HIV tidak otomatis menderita serta tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan mereka sehingga tidak berurusan dengan sarana kesehatan.
Sebaliknya, warga yang tertular HIV ketika masuk masa AIDS ada yang sudah menunjukkan penyakit terkait dengan gejala-gejala AIDS, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TBC, dll. yang sulit sembuh. Kondisi ini membuat mereka berobat ke sarana kesehatan. Tenaga medis di sarana kesehatan pemerintah sudah dilatih menjalankan inisiatif mendeteksi (gejala) HIV/AIDS pada pasien dengan melakukan konseling (perilaku seksual) yang akan dirujuk tes HIV jika hasil konseling menunjukkan perilaku pasien berisiko tertular HIV [ini oleh WHO disebut provider-initiated counsellingand testing (PICT)].
Sedangkan warga yang sudah tertular HIV tidak menyadari karena tidak ada keluhan kesehatan yang terkait langsung dengan HIV/AIDS sebelum masa AIDS sehingga merka tidak terdeteksi.
Masih dikatakan oleh Yuyun: "Masih ada cap buruk yang kuat masyrakat terhadap penderitanya. Mereka baru mulai memeriksakan diri ketika kondisinya sudah akut dan menjadi Aids."
Lagi-lagi Yuyun menyebutkan 'penderita'. Sebaiknya kata ini tidak dipakai lagi dalam kosa-kata terkait HIV/AIDS karena hal ini justru mendorong stigma (cap buruk) dan dikriminasi (perlaku berbeda) terhadap pengidap HIV/AIDS.
Warga yang datang berobat bukan karena infeksi HIV sudah mencapai masa AIDS (dalam berita disebut 'menjadi AIDS'), tapi karena penyakit mereka sulit sembuh. AIDS bukan penyakit, tapi kondisi pengidap HIV/AIDS setelah tertular antara 5-15 tahun dengan gejala infeksi oportunistik.
Yang tidak muncul dalam berita adalah: apa faktor risiko (penyebab) infeksi (penularan) HIV/AIDS pada 705 warga Sikka?
Dalam berita sama sekali tidak ada informasi tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS. Lalu, apa yang diharapkan Sekretaris KPAD Sikka, Yohanes Siga, dan Yuyun menyampaikan informasi itu kepada wartawan?
Dengan model berita yang hanya berkutat pada angka-angka (kasus), seperti berita ini, tidak ada informasi yang bisa jadi agent of changeyaitu informasi yang bisa mendorong perubahan perilaku warga, dalam hal ini perilaku seksual, yang terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS. * [kompasiana.com/infokespro] *

Menyesatkan, Sebut IRT Lebih Rentan Tertular HIV/AIDS Daripada PSK

Ilustrasi (Sumber: telegraph.co.uk)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Pernyataan sebagai judul berita ini "Ibu Rumah Tangga Lebih Rentan Terkena HIV-AIDS, Kok Bisa?" (health.detik.com, 10/8-2018) bisa dikategorikan sebagai hoax. Maklum, fakta yang disampaikan sebagai penyebabnya tidak akurat.
Disebutkan oleh dr Adiyana Esti, Klinik Angsamerah Jakarta: "Kalau pekerja seks kan bilang 'kamu pake kondom ya, biar aman' biasa aja. Coba kalau ibu rumah tangga dikasih tahu suaminya, 'sayang pakai kondom ya' kan pasti jawabnya 'kamu habis dari mana?' ya nggak? Itu lebih susah, jadi ternyata ibu rumah tangga lebih banyak dibanding profesi yang lain."
Pertama, pemakaian kondom oleh laki-laki pada hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) sangat rendah. Ini terjadi pada PSK langsung di lokalisasi pelacuran dengan regulasi pemerintah daerah karena PSK ada di bawah kekuasaan germo atau mucikari. Laki-laki akan memakai 'kekuasaan' germo untuk memaksa PSK meladeni laki-laki tanpa memakai kondom.
Kedua, pemakaian kondom pada PSK tidak langsung tidak bisa dikontrol karena transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu. PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek-cewek di pusat-pusat hiburan, panti pijat plus-plus, dll.
Ketiga, pada hubungan seksual di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti  juta tidak bisa dilakukan intervensi agar laki-laki pakai kondom karena transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Keempat, IRT tes HIV ketika hamil atau hendak persalinan sehingga kasus terdeteksi, sedangkan pada PSK yang sering dilakukan hanya survailans tes HIV secara sporadis. Sebagian PSK yang terdeteksi ketika berobat dengan penyakit yang sulit sembuh.
Kelima, sejak reformasi tidak ada lagi lokalisasi pelacuran sehingga tidak bisa dilakukan intervensi berupa anjuran agar laki-laki pakai kondom karena praktek PSK langsung pun sudah teradi di berbagai tempat dengan beragama modus pula.
Lima hal di atas sudah bisa 'menumbangkan' argumentasi yang disampaikan mengapa kasus AIDS lebih banyak pada ibu rumah tangga (IRT) daripada pada PSK (Baca juga: Hoaks, Ibu Rumah Tangga Lebih Rentan Terinfeksi HIV daripada PSK).
Survei Kemenkes RI tahun 2012 di beberapa kota (pelabuhan dan perbatasan) di Indonesia ada 6,7 juta laki-laki pelanggan tetap 230.000 pekerja seks komersial (PSK) langsung yaitu PSK yang kasat mata. Dari jumlah ini 4,9 juta mempunyai istri (antarabali.com, 9/4-2013). Sedangkan jumlah ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS dari 1987-September 2015 berjumlah 9.096 (BBC Indonesia, 1/12-2015).
Ada 4,9 juta laki-laki pelanggan PSK yang beristri, sedangkan jumlah PSK langsung 230.000. Dari fakta ini juga jelas jumlah IRT yang berisiko tertular HIV lebih banyak daripada PSK.
Faktor lain yang juga dominan adalah banyak laki-laki yang tidak merasa berisiko tertular HIV karena dia tidak melakukan hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran. Soalnya, sejak awal epidemi informasi HIV/AIDS selalu dibalut dengan moral yaitu disebutkan penularan HIV terjadi karena hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi. Mereka melakukan hubungan seksual dengan cewek di rumah, kos, hotel atau apartemen.
Selain itu seorang PSK meladeni banyak laki-laki sehingga risiko tertular HIV lebih besar daripada seorang IRT yang hanya berisiko tertular HIV dari satu orang yaitu suaminya kalau suami mengidap HIV/AIDS.
Informasi HIV/AIDS yang dibalut dengan moral itu menghasilkan mitos (anggapan yang salah), seperti penularan HIV terjadi karena seks dengan PSK. Akibatnya, banyak orang yang termakan mitos tsb. dan merasa dirinya tidak berisiko karena dia tidak seks dengan PSK di lokalisasi.
Pada gambar di atas bisa dilihat bahwa seorang PSK pengidap HIV/AIDS tertular dari laki-laki. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki itu bisa saja sebagai seorang suami yang juga menularkan HIV ke istrinya (IRT). Bisa jadi pula ada laki-laki pengidap HIV/AIDS yang beristri lebih dari satu sehingga kian banyak IRT yang berisiko tertular HIV.
Sejak seorang PSK tertular HIV sampai dia berhenti sebagai PSK ratusan bahkah ribuan laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK tsb. berisiko tertular HIV. Seorang PSK meladeni rata-rata 5 laki-laki setiap malam.
Nah, ada  ribuan laki-laki yang tertular HIV dari seorang PSK. Ribuan laki-laki ini jadi mata rantai yang (akan) menularkan HIV ke istrinya (IRT).
Selama tidak ada penanggulangan di hulu yaitu intervensi terhadap laki-laki agar memakai kondom setiap kali seks dengan PSK, maka insiden infeksi HIV baru pada laki-laki akan terus terjadi yang pada gilirannya akan menularkan HIV kepada istrinya (IRT) atau pasangan seks lain.* [kompasiana.com/infokespro] *

AIDS di Karawang, Banyak Warga yang Belum Terbuka Soal HIV/AIDS

Ilustrasi (Sumber: bbc.com)
Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Kabupaten Karawang, melansir sedikitnya 753 warga di wilayah ini terinfeksi penyakit mematikan tersebut. Ini bagian lead pada berita: Sebanyak 753 Warga Karawang Terinfeksi HIV/AIDS (republika.co.id, 22/7-2018).
'Hari gini' masih saja ada wartawan dan redaktur yang tidak memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis. Sampai detik ini belum ada laporan kasus kematian karena HIV atau AIDS sehingga pernyataan 'terinfeksi penyakit mematikan' adalah ngawur bin ngaco.
Kematian pada pengidap HIV/AIDS terjadi karena penyakit-penyakit yang muncul pada masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV), disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TBC, dll. Yang disayangkan adalah sumber berita HIV/AIDS, seperti dinas-dinas kesehatan, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), LSM dan aktivis AIDS selalu tidak menyebutkan penyakit penyebab kematian pengidap HIV/AIDS. Celakanya, wartawan pun tidak bertanya.
Disebutkan pula pada lead tadi: Kasus ini, merupakan fenomena gunung es. Mengingat, sampai saat ini masih banyak warga yang belum terbuka mengenai penyakit tersebut.
Bukan soal terbuka atau tidak terbuka, tapi banyak warga yang tidak menyadari perilakunya berisiko tertular HIV/AIDS. Soalnya, selama ini dan juga disebarluaskan oleh sebagian media bahwa penularan HIV terjadi karena zina, seks pranikah, seks di luar nikah, seks dengan bukan istri, seks dengan PSK, seks dengan waria, dll.
Hal di atas menyesatkan karena tidak ada kaitan langsung antara sifat hubungan seksual (zina, di luar nikah, seks pranikah, seks di luar nikah, seks dengan bukan istri, seks dengan PSK, seks dengan waria, dll.) tapi karena kondisi (saat terjadi) hubunga seksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom.
Nah, yang terkait dengan fenomena gunung es adalah warga yang perilak seksualnya berisiko tertular HIV tapi tidak menjalani tes HIV. Mereka itu adalah: laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), pelaku kawin cerai dan gigolo.
Selama informasi HIV/AIDS dibalut dengan moral, maka informasi tentang HIV/AIDS pun tidak akurat sehingga masyarakat hanya menangkap mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS seperti yang dijelaskan di atas. Itu artinya ada warga yang tidak menyadari perilakunya berisiko tertular HIV/AIDS.
Masalahnya jadi rumit karena warga yang tertular HIV/AIDS tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV/AIDS karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan. Tapi, mereka bisa menularkan HIV kepada orang lain, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Disebutkan oleh Staf Pengelola Program Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA) Kabupatn Karawang, Jawa Barat, Yana Aryana: "Pada 2015 kami juga telah memiliki layanan komprehensif berkelanjutan (LKB)."
Jika yang dimaksud yana LKB adalah tes HIV dan pemberikan obat antiretroviral (ARV), maka itu adalah langka di hilir. Artinya, warga dibiarkan tertular HIV/AIDS melalui perilaku berisiko.
Yang diperlukan adalah langkah di hulu yaitu menurunkan, sekalai hanya bisa menurunkan, jumlah insiden infeksi HIV baru, khususnya pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti dan yang sering berganti-ganti pasangan (PSK).
Misalnya, menggalang kerja sama dengan pemerintah daerah di tempat-tempat industri hiburan malam di luar Karawang untuk memantau warga Karawang yang perilakunya berisiko tertular HIV (Baca juga: Cegah Penyebaran HIV/AIDS melalui Wanita Penghibur yang Mudik).
Tanpa intervensi di hulu, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi pada warga Karawang yang perilaku seksualnya berisiko tertular HIV. Kalau ini terjadi maka penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terus terjadi sebagai 'bom waktu' yang kelak akan berakhir pada 'ledakan AIDS'. * [kompasiana.com/infokespro] *

Cewek Ini Takut Sudah Kena AIDS Setelah Seks dengan 4 Cowok

Ilustrasi (Sumber: ndependent.co.uk)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP


Tanya Jawab AIDS No3/Agustus 2018
Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar semua pembaca bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Tanya-Jawab AIDS ini dimuat di: "AIDS Watch Indonesia" (http://www.aidsindonesia.com) dan kompasiana.com/infokespro. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke Syaiful W. Harahap, melalui: (1) Telepon (021) 8566755, (2) e-mail: aidsindonesia@gmail.com, (3) SMS 08129092017, dan (4) WhatsApp:  0811974977. Redaksi.
*****
Tanya: Jika seorng cewek sudah melakukan hubungan seksual dengan 4 cowok yang berbeda dan akan lakukan lagi dengan  cowok yang ke-5: (1) Apakah itu bisa terkena penyakit HIV? Hubungan seksual dengan 4 cowok saya lakukan 5 tahun yang lalu. (2) Apakah gejala HIV/AIDS sakit kepala, flu, bibir sariawan dan muntah-muntah? Badan saya terasa tidak enak setelah seks dengan cowok yang ke-2. (3) Bagaimana cara mengatasi gejala-gejala tsb.?
Via WA (27/7-2018)
Jawab: Perilaku berganti-ganti pasangan seperti yang Sdri lakukan adalah kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS karena bisa saja salah satu dari 4 cowok itu, bahkan bisa keempatnya, mengidap HIV/AIDS. Jika ini yang terjadi maka Sdri berisiko tertular HIV/AIDS. Hubungan seksual tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti yang berisiko tertular HIV/AIDS bisa terjadi di dalam dan di luar nikah.
(1). Risiko tertular HIV/AIDS tidak harus menunggu hubungan seksual dengan cowok ke-5 karena hubungan seksual dengan 4 cowok terdahulu juga sudah merupakan perilaku yang berisiko tertular HIV/AIDS. Risiko tergantung pada status HIV 4 cowok tsb. Kalau ada di antara mereka yang mengidap HIV/AIDS itu artinya ada risiko Sdri tertular HIV.
(2). Yang perlu diingat adalah tidak bisa diketahui atau dikenali orang-orang yang mengidap HIV/AIDS dari kondisi fisik dan keluhan kesehatan karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluahan kesehatan pengidap HIV/AIDS. Maka, sakit kepala, flu, bibir sariawan dan muntah-muntah seperti yang Sdri alami tidak otomatis terkait dengan HIV/AIDS.
(3). Untuk mengatasi atau mengobati sakit kepala, flu, bibir sariawan dan muntah-muntah silakan segera ke dokter terdekat dari rumah Sdri, * [kompasiana.com/infokespro] *
dokpri
dokpri