04 Januari 2018

AIDS di Kota Padang, yang Mengancam Bukan AIDS tapi Perilaku Seksual Laki-laki

Ilustrasi (Sumber: mbioblog.asm.org)

Oleh: Syaiful W HARAHAP

“HIV/AIDS Masih Mengancam Kota Padang.” Ini judul berita di republika.co.id (3/12-2017). Judul berita ini menunjukkan pemahaman yang sangat rendah terkait dengan HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Karena HIV/AIDS adalah fakta medis yaitu bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran, maka cara-cara penularan dan pencegahannya pun bisa dilakukan dengan cara-cara yang realistis.

Disebutkan dalam berita “ .... penyakit menular dan mematikan ini ternyata tetap menjadi ancaman bagi warga Padang.”

Pertama, HIV dan AIDS atau HIV/AIDS bukan penyakit. HIV adalah virus dan AIDS adalah kondisi seseorang yang mengidap HIV yang secara statistik terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV.

Kedua, sebagai virus HIV tidak mematikan, sedangkan AIDS bukan pula penyakit. Maka, pernyataan ‘mematikan’ adalah ngawur karena belum ada kasus kematian karena HIV atau AIDS.

Ketiga, kematian pada pengidap HIV/AIDS terjadi karena penyakit-penyakit yang muncul pada masa AIDS, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll.

Keempat, yang menular adalah HIV sebagai virus. Dalam jumlah yang bisa ditularkan HIV hanya terdapat dalam darah, air mani (dalam sperma tidak ada HIV), cairan vagina dan air susu ibu (ASI).

Maka, mencegah agar tidak tertular HIV adalah dengan menghindarkan salah satu atau beberapa cairan di atas yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh. Ini fakta. Cara-cara pencegahan pun bisa dilakukan dengan cara-cara yang masuk akal sehat.

Data di Dinas Kesehatan Kota Padang menunjukkan penemuan kasus HIV baru sampai bulan September 2017 mencapai 294 kasus dan 65 kasus untuk AIDS. Sayang, dalam berita tidak disebutkan jumlah kasus kumulatif sejak pertama ditemukan di Kota Padang.

Penyebaran HIV di Kota Padang al. terjadi melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah yang dilakukan oleh laki-laki yang mengidap HIV/AIDS. Sebagian besar tanpa disadari karena tidak ada tanda-tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang mengidap HIV/AIDS sebelum masa AIDS. Tapi, biar pun tidak ada tanda penularan sudah bisa terjadi, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Laki-laki dewasa yang berisiko tertular HIV adalah yang pernah atau sering melakukan:

(1) hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan perempuan yang berganti-ganti di Kota Padang, di luar Kota Padang atau di luar negeri, dan

(2) hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK). Dalam prakteknya PSK dikenal dua tipe, yaitu:
(a) PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(b) PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekanan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.

Dalam penanggulangan epidemi HIV/AIDS pemerintah tidak bisa melakukan intervensi pada poin (a) karena sekarang transaksi seks yang melibatkan PSK langsung tidak lagi dilokalisir. Transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu. Sedangkan pada poin (b) tentu saja mustahil melakukan intervensi.

Maka, praktis tidak ada yang bisa dilakukan pemerintah secara ril. Maka, imbauan Wali Kota Padang, Mahyeldi Ansharullah relevan dalam kondisi keterbatasan pemerintah: “ .... agar masyarakat yang melakukan perilaku berisiko dengan kesadaran sendiri memeriksakan diri ke Puskesmas untuk konseling dan tes.”

Hanya saja Mahyeldi kurang jeli karena tidak semua orang (masyarakat) pernah atau sering melakukan perilaku berisiko poin (1) dan (2). Maka, yang tepat diajak konseling HIV adalah laki-laki yang pernah atau sering melakukan perilaku berisio (1) dan (2).

Langkah konkret yang bisa dilakukan Pemkot Padang adalah membuat regulasi, seperti peraturan walikota (Perwali) atau peraturan daerah (Perda), yang mewajibkan suami dari ibu hamil menjalani konseling HIV yang dilanjutkan tes HIV jika hasil konseling menunjukkan perilaku seksual suami berisiko tertular HIV.

Langkah ini menyelamatkan dua nyawa yaitu si istri dan janin yang dikandung si istri serta memutus mata rantai penyebaran HIV melalui suami jika hasil tes HIV menunjukkan suami tertular HIV.

Istri yang hamil ditangani dokter untuk pemberikan obat antriretroviral (ARV) sehingga risiko penularan HIV vertikal dari-ibu-ke-bayi yang dikandung bisa ditekan sampai nol persen. Si ibu pun akan hidup sehat jika teratur minum obat ARV. Suami dikonseling agar menerapkan seks aman untuk mencegah penularan HIV. * [kompasiana.com/infokespro] *

02 Januari 2018

AIDS di Kota Bogor, yang Berkeliaran Sebarkan AIDS bukan Gay tapi Laki-laki Heteroseksual

Ilustrasi (Sumber: www.nationnews.com)


Oleh: Syaiful W HARAHAP

“1.330 Gay Berkeliaran di Bogor.” Ini judul berita di Harian “Radar Bogor” (18/12-2017). Judul berita ini sensasional, tapi tidak akurat karena tidak sesuai dengan fakta.


Dari mana wartawan dapat jumlah 1.330 gay tsb.? Jika disimak ilustrasi dalam berita itu ternyata penjumlahan itu ngawur bin ngaco karena jumlah gay (1.279) ditambahkan dengan jumlah waria (51) disebutkan sebagai jumlah gay (1.330).

Mata Rantai Penyebar HIV

Kesalahan fatal yang dilakukan “Radar Bogor” adalah menyamakan gay dengan waria. Ini jelas ngawur karena gay adalah laki-laki yang tertarik secara seksual dengan laki-laki (homoseksual), sedangkan waria adalah secara fisik laki-laki yang berpenampilan sebagai perempuan disebut transgender. Padahal, dalam berita Pengelola Program HIV Dinkes Kota Bogor, Nia Yuniawati, menjelaskan, ada 1.330 pria yang homoseksual. Tidak semua homoseksual adalah gay.

Nia juga tidak objektif karena tidak memberikan perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan heteroseksual yang menjalani konseling. Selain itu dalam konteks penyebaran HIV/AIDS kasus HIV pada gay ada di terminal terakhir karena gay tidak mempunyai istri sehingga HIV/AIDS tidak menyebar ke keluarga.

Cara-cara sebagian aktivis AIDS, Dinkes dan KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) yang selalu mengedepankan aspek homoseksual dalam konteks HIV/AIDS menunjukkan mereka juga memaka paradigma berpikir yang sama dengan media yang mengutamakan sensasi bukan fakta. Ini merupakan kegiatan yang kontra produktif dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS secara nasional.

Kalau “Radar Bogor” menyamakan gay dengan waria karena cara melakukan hubungan seksual juga tidak tepat karena waria menyalurkan libido seks tidak otomatis dengan laki-laki tapi dengan perempuan.

Pemakaian kata ‘berkeliaran’ juga tidak pas karena kata itu dipakai untuk binatang. Itu artinya media cetak ini sudah merendahkan harkat dan martabat manusia. Lagi pula tidak ada gay yang ‘berkeliaran’ karena gay mencari pasangan seperti layaknya heteroseksual.

Yang ‘berkeliaran’ justru laki-laki heteroseksual, bahkan yang beristri, mencari perempuan dan waria untuk berzina. Pada epidemi HIV/AIDS laki-laki ini, disebut laki-laki hidung belang, adalah mata rantai penularan HIV/AIDS di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Laki-laki heteroseksual, ada yang beristri bahkan ada yang lebih dari satu, yang mengidap HIV/AIDS tularkan HIV ke perempuan lain dan PSK. Lalu, ada lagi laki-laki heteroseksual, ada yang beristri juga ada yang lebih dari satu, ngeseks dengan PSK dan tertular HIV. Maka, laki-laki yang menularkan HIV ke PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Selain HIV/AIDS ‘laki-laki hidung belang’ juga jadi penyebar penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual disebut IMS (infeksi menular seksual, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, virus kanker serviks, herpes genitalis, jengger ayam, klamidia, dll.).

Di lead berita disebutkan: Tak dapat dimungkiri, di era yang semakin modern banyak pria maupun wanita mengalami penyimpangan seksual. Bahkan, tak sedikit yang sudah menikah akhirnya memutuskan bercerai.

Penanggulangan di Hilir

Pernyataan ini tidak relevan karena kalau yang dimaksud media ini penyimpangan seksual adalah gay, maka perilaku homoseksual sudah dikenal sejak zaman Nabi Luth. Lagi pula tidak ada kaitan langsung antara era modern dengan penyimpangan seksual.

Pertanyaan yang sangat mendasar untuk “Radar Bogor” adalah: Apakah laki-laki beristri yang berzina, dengan pekerja seks komersial (PSK), dengan sesama laki-laki (disebut LSL-Lelaki Suka Seks Lelaki) dan dengan waria, tidak termasuk penyimpangan seksual?

Karena berita itu dikemas dengan balutan moral dan wartawan menemapatkan diri sebagai ‘polisi moral’, maka sudut pandang pun hanya pada gay sehingga laki-laki heteroseksual, terutama yang beristri, yang berzina tidak dikategorikan sebagai penyimpangan seksual.

Terminologi penyimpangan seksual adalah dari sudut norma, moral, agama dan hukum, sedangkan dari sisi seksualitas tidak ada yang menyimpang karena semua dilakukan sebagai penyaluran libido seksual.

Orientasi seksual tidak muncul tiba-tiba. Belum ada penjelasan yang komprehensif secara ilmiah penyebab homoseksual (lesbian, gay, biseksual, waria disingkat LGBT). Terjadi silang pendapat.

Sejak epidemi HIV/AIDS merebak yang diusung adalah upaya untuk mencegah penularan HIV/AIDS melalui semua orientasi seksual (heteroseksual, biseksual dan homoseksual). Celakanya, di Indonesia program penanggulangan yang konkret hanya anjuran tes HIV dan tes HIV bagi ibu hamil.

Program tes HIV itu ada di hilir sehingga insiden infeksi HIV baru di hulu, terutama pada laki-laki dewasas melalui hubungan seksual dengan PSK terus terjadi yang pada gilirannya ditulakan secara horizontal di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Penyebaran HIV yang tidak terdeteksi merupakan ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. Inikah yang kita tunggu? Soalnya, tidak ada program yang konkret di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK. (Catatan: yang ditularkan adalah HIV bukan AIDS, pemakaian kata AIDS pada judul berita untuk memudahkan pembaca menangkap makna judul tuisan). * [kompasiana.com/infokespro] *

31 Desember 2017

Menyoal Ketergantungan Biaya Penanggulangan HIV/AIDS pada Donor Asing

Ilustrasi (Sumber: www.avert.org)

Oleh: Syaiful W HARAHAP

Perjalanan epidemi HIV/AIDS di Indonesia sudah berjalan tiga dekade atau 30 tahun sejak kasus HIV/AIDS pertama terdeteksi di RS Sanglah, Denpasar, Bali, pada tahun 1987. Celakanya, pembiayaan penanggulangan HIV/AIDS tergantung pada donor asing. Kondisinya kian runyam karena persentase Odha (Orang dengan HIV/AIDS) yang menjalani pengobatan dengan obat antiretroviral (ART) hanya 13 persen.

Pada tahun 2012 penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia menghabiskan dana 87 juta dolar AS dengan dana donor asing 50,15 juta dolar AS dan dana nasional 36,85 juta dolar AS. Dengan jumlah ini bantuan donor asing mencapai 57,64 persen. Kasus kumulatif mencapai 620.000. Infeksi HIV baru 48.000 dengan kematian 38.000.

Bandingkan dengan Thailand yang melaporkan 450.000 kasus dengan 6.400 kasus baru dan 16.000 kamatian menghabiskan dana penanggulangan 287,20 juta dolar AS yang terdiri atas 30,52 juta dolar AS bantuan asing dan 256,69 dana nasional (2013). Itu artinya bantuan asing hanya 10,63 persen. Dengan bantuan donor yang kecil itu Thailand mampu memberikan obat ARV kepada 69 persen pengidap HIV/AIDS. India dengan 2.100.000 kasus menanggulangi AIDS dengan persentase bantuan donor 28,37 persen dan memberikan ART kepada 49 persen pengidap HIV/AIDS.



Dari tabel di atas dapat disimak posisi Indonesia yang berada pada jenjang penerima donor besar, tapi penanggulangan yang rendah al. dengan cakupan program ART yang sangat rendah.

Jika tahun ini bantuan donor terhenti 100 persen, maka pemerintah harus merogoh dana dari APBN berkisar 90 juta dolar AS atau setara dengan Rp 1,17 triliun. Dana ini sebagian besar untuk pembelian obat antiretroviral. Obat ARV jadi penting bagi pengidap HIV/AIDS karena terkait dengan upaya pencegahan dan kematian.

Dengan meminun obat ARV secara teratur seorang pengidap HIV/AIDS akan memutus mata rantai penularan HIV karena konsentrasi HIV pada cairan-cairan tubuh yang bisa jadi media penularan (darah, air mani, cairan vagina dan air susu ibu/ASI) tidak cukup untuk ditularkan. Dengan ART pula tingkat kematian pengidap HIV/AIDS bisa dikurangi. Selain itu dengan ART pengidap HIV/AIDS akan tetap bisa aktif menjalankan kegiatan keseharian sehingga tidak jadi beban keluarga dan pemerintah.

Dengan kasus yang tercatat di  Ditjen P2P, Kemenkes RI, per 31 Maret 2017 sebanyak 330.152 diperlukan dana yang besar untuk membeli obat ARV. Harga obat ARV lini 1 Rp 360.000/bulan/Odha.

Kalau selama ini obat ARV ditangani oleh pemerintah pusat melalui Kemenkes RI, sudah saatnya pemerintah-pemerintah kabupaten dan kota memikirkan alokasi dana untuk program pengobatan Odha dengan obat ARV.

Jika pemerintah kabupaten dan kota merasa berat mengalokasikan dana untuk pembelian obat ART, maka hal ini akan jadi cambuk bagi mereka untuk menanggulangi HIV/AIDS dengan cara-cara yang realistis. Langkah konkret diperlukan agar insiden infeksi HIV baru bisa ditekan atau diturunkan sehingga penyebaran HIV rendah yang akhirnya mengurangi jumlah Odha yang memerlukan obat ARV.

Selama ini pemerintah kabupaten dan kota lebih banyak ‘berpangku tangan’ menunggu program pusat. Bahkan, tidak jarang program pusat dibendung dengan alasan tidak sesuai dengan kearifan lokal.

Maka, muncullah program-program penanggulangan HIV/AIDS dengan pijakan moral dan agama al. dituangkan dalam bentuk peraturan daerah (Perda) yang justru tidak menyentuh akar persoalan. Misalnya, mengedepankan ‘iman dan taqwa’, perilaku sehat, setia dengan pasangan, dll. dalam program penanggulangan yang justru tidak terukur dan tidak menukik ke pencegahan yang realistis.

Program-program unggulan di daerah saat ini adalah anjuran tes HIV bagi masyarakat (ini salah kaprah karena tidak semua orang berperilaku yang berisiko tertular HIV) dan tes HIV bagi ibu-ibu hamil. Ini adalah program di hilir yang justru perbuatan melawan hukum karena membiarkan warga tertular HIV karena tidak ada program penanggulangan di hulu.

Salah satu pintu masuk HIV/AIDS adalah melalui laki-laki dewasa yang perilaku seksualnya berisiko tinggi tertular HIV, yaitu:

(1) Sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di daerah sendiri atau di luar daerah bahkan di luar negeri,

(2) Sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK). Yang perlu diingat ada dua tipe PSK, yakni:

(a) PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan, dan

(b) PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.

Dengan kondisi sekarang ketika transaksi seks yang melibatkan PSK langsung tidak dilokalisir, maka tidak ada program yang bisa dilakukan untuk memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung.

Sekarang transaksi seks yang melibatkan PSK langsung dan PSK tidak langsung terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu. Kondisi ini sama sekali tidak bisa diintervensi untuk program penanggulangan sehingga insiden kasus infeksi HIV baru terus terjadi.

Pada gilirannya orang-orang yang tertular jadi mata rantai penyebaran HIV tanpa mereka sadari. Ini kelak akan bermuara pada ‘ledakan AIDS’ yang justru menambah jumlah Odha yang harus minum obat ARV sehingga memperbesar dana untuk AIDS. * [kompasiana.com/infokespro] *