28 Desember 2017

AIDS Jawa Barat: Salah Kaprah Sebut Didominasi Perilaku Gay

Ilustrasi (Sumber: www.personalhealthnews.ca)

Oleh: Syaiful W HARAHAP

Dalam KBBI disebutkan dominasi adalah penguasaan oleh pihak yang lebih kuat terhadap yang lebih lemah (dalam bidang politik, militer, ekonomi, perdagangan, olahraga, dan sebagainya). Kalau ini dikaitkan dengan judul berita “Jabar Masuk 5 Besar Pengidap HIV, Perilaku Gay Mendominasi” (detiknews, 20/12-2017) pemakain kata dominasi jelas salah kaprah.

Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, 24 Mei 2017, jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Jawa Barat dari tahun 1987 sd. 31 Maret 2017 adalah 29.939 yang terdiri atas 24.650 HIV dan 5.289 AIDS.

Pertama, gay adalah salah satu bentuk orientasi seksual yang menunjukkan laki-laki yang tertarik kepada laki-laki (sejenis) sehingga adalah hal yang mustahil gay menularkan HIV ke ibu-ibu rumah tangga dan bayi.

Kedua, judul berita tsb. merupakan penafsiran telanjang dari keterangan staf Dinkes  Jabar, Rosi Nurcahyani, pada acara “Pertemuan Peningkatan Kapasitas Jurnalis dalam P2HIV”, Bandung, 20/12-2017, yang mengatakan: .... kasus HIV cenderung diakibatkan oleh perilaku LSL. Perilaku seksual LSL (Lelaki Suka Seks Lelaki) adalah seks anal dan ini tidak mutlak hanya dilakukan oleh LSL dan gay karena pelaku sodomi (kekerasan seksual dengan seks anal) juga ada yang orientasi seksualnya heteroseksual (tertarik secara seksual dengan lawan jenis) dan tidak sedikit suami dan pacar yang memaksa istri dan pacarnya untuk melayani seks anal.

Ketiga, Rosi tidak memberikan gambaran yang utuh yaitu jumlah pengidap HIV/AIDS pada laki-laki dan perempuan. Kalau ditilik keterangan Rosi ada hal yang tidak konsisten dalam pernyataan “ .... kasus HIV cenderung diakibatkan oleh perilaku LSL” karena jumlah laki-laki heteroseksual yang berisiko tinggi tertular HIV yakni melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang berganti-ganti berjumlah 944.000, sedangkan LSL hanya 300. Laki-laki heteroseksual bisa mempunyai istri lebih dari satu, punya pasangan lain dan ngesek pula dengan PSK.

Pelanggan waria disebutkan 44.000. Hasil studi di Surabaya menunjkkan laki-laki heteroseksual yang jadi pelanggan waria jadi ‘perempuan’ (ditempong) ketika terjadi seks anal. Waria menempong yaitu memasukkan penis ke anal laki-laki heteroseksual sehingga risiko tertular HIV/AIDS sangat tinggi yang ditandai dengan penemuan kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga.

Ini pernyataan Rosi tentang temuan kasus HIV/AIDS, "Ini menunjukkan penanganan kasusnya sekarang lebih baik karena bisa terdata. Penemuannya sudah mulai baik." Cuma, Rosi lupa kalau kondisi ini ada di hilir. Artinya, warga Jabar dibiarkan dulu tertular HIV baru jalani tes HIV.

Dalam upaya menanggulangi penyebaran HIV/AIDS yang diperlukan adalah program di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru, khususnya pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK. Hal ini tidak bisa dilakukan di Jawa Barat khususnya dan di Indonesia umumnya karena praktek PSK tidak lagi dilokalisir sehingga tidak bisa dilakukan intervensi yaitu memaksa laki-laki pakai kondom setiap kali ngeseks dengan PSK.

Selain itu perempuan warga Jabar yang pulang kampung pada musim-musim tertentu dari beberapa daerah bisa jadi mata rantai penyebaran HIV jika mereka di rantai sebagai pekerja seks (Baca juga: Wahai Perantau Berperilaku Berisiko, Ketika Mudik Janganlah SebarkanHIV/AIDS di Kampung Halamanmu).

Dalam berita ada penyebutan “ .... wanita penjaja seksual (WPS) ....” Ini jelas ngawur karena dalam KBBI disebutkan jaja adalah jual (dengan berkeliling). Nah, kapan pekerja seks komersial (PSK) menjajakan, maaf, vaginanya? Justru laki-laki, bahkan yang beristri, yang membawa, maaf, penisnya ke sana ke mari mencari ‘cinta kilat’ dengan PSK (Baca juga: Pemakaian Kata dalam Materi KIE AIDS yang Merendahkan Harkat dan MartabatManusia).

Ternyata sampai ‘hari gini’ masih saja ada upaya penyangkalan dan mencari-cari kambing hitam dalam penyebaran HIV/AIDS di masyarakat. * [kompasiana.com/infokespro] *

24 Desember 2017

Orientasi Seksual Ada di Alam Pikiran

Ilustrasi (Sumber: www.drelist.com/sexual-orientation)

Oleh: Syaiful W HARAHAP

Belakangan ini banyak kalangan yang terus-menerus menyuarakan agar LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) masuk ranah pidana. Ada persoalan yang sangat mendasar adalah bahwa sesungguhnya orientasi seksual, dalam hal ini LGBT, ada di dalam pikiran.

Lalu, bagaimana memidanakan (alam) pikiran seseorang yang disebut-sebut sebagai (seorang) LGBT?

Di ranah realitas sosial wujud LGBT hanya tampak jelas pada kalangan transgender yaitu waria (laki-laki yang berpenampilan perempuan, sedangkan perempuan yang berpenampilan laki-laki tidak pernah jadi masalah). Sedangkan lesbian, gay dan biseksual tidak bisa dilihat dengan mata kepala karena tidak kasat mata. Artinya, lesbian, gay dan biseksual tidak mempunyai ciri khas yang berwujud pada penampilan diri yang bisa dilihat dengan dengan mata (kasat mata).

Kejahatan Seksual

Kalau LGBT masuk ranah pidana, maka alangkah malangnya nasib saudara-saudara kita yang terlahir dengan kecenderungan waria. Karena mereka tidak bisa menyembunyikan identitas gender mereka pun akan diciduk polisi karena masuk kategori pidana umum.

Jika dikaitkan dengan pidana yang jadi persoalan bukan orientasi seksual, tapi perbuatan seseorang terkait dengan kejahatan seksual dan kekerasan seksual tanpa membedakan orientasi seksual. Seorang heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) pun akan menghadapi dakwaan pidana jika melakukan kekerasan atau kejahatan seksual, seperti pelecehan seksual, zina dan perkosaan.

Setengah orang yang memakai ‘baju moral’ melihat gejala LGBT sebagai kejahatan dan langsung membawanya ke ranah pidana. Celakanya, yang kasat mata hanya waria (transgender), sedangkan lesbian, gay dan biseksual tidak kasat mata.

Apakah ada hak seseorang, bahkan negara dengan dalih pidana, untuk menangkap seorang waria yang tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum terkait dengan seks dalam konteks LGBT?

Tentu saja tidak karena orientasi seksual ada di alam pikiran. Sedangkan waria sebagai perwujudan orientasi seksual bukan perbuatan yang melawan hukum positif. Kalau pun ada penolakan dari sebagian orang di masyarakat itu bukan alasan untuk memidankan waria selama tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum.

Upaya-upaya untuk memasukkan LGBT sebagai perbuatan pidana terus bergulir bahkan sampai ke Mahkamah Konstitusi (MK). Apa sebenarnya yang ada di benak orang-orang yang hendak memidanakan LGBT sebagai orientasi seksual?

Agaknya, ada yang salah kaprah dengan mengaitkan LGBT, dalam hal ini gay, dengan kejahatan seksual berupa sodomi yang melibatkan anak-anak. Sodomi sendiri adalah istilah dalam dunia hukum positif terkait dengan tindakan seksual yang tidak pada tempatnya, seperti seks oral dan seks anal, serta tidakan yang memakai alat kelamin ke organ-organ tubuh manusia yang bukan alat kelamin yang dilakukan oleh heteroseksual dan homoseksual, juga termasuk tindakan seks terhadap binatang.

Maka, sodomi tidak otomatis terkait dengan LGBT, dalam hal ini gay, biar pun gay melakukan hubungan seksual dengan cara seks anal.

Yang lain menyebutkan sodomi terhadap anak-anak dilakukan oleh pedofilia, yaitu laki-laki dewasa yang menyalurkan dorongan seksual dengan anak-anak umur 7-12 tahun, sedangkan perempuan dewasa yang menyalurkan dorongan seksual dengan remaja disebut cougar (Baca juga: Cougar, Fantasi Romantis Seks Remaja BagiPerempuan Dewasa).

Parafilia

Paedofilia tidak melakukan sodomi dan pelacuran anak. Mereka ini menyalurkan dorongan seksual dengan anak-anak melalui cara-cara yang diterima secara sosial, seperti menjadikan korban sebagai anak angka, keponakan angkat, anak asuh bahkan sebagai pasangan hidup.

Selanjutnya tidak sedikit pula orang, termasuk dokter dan aktivis AIDS, yang mengait-ngaitkan penyakit-penyakit kelamin (istilah yang tepat adalah infeksi menular seksual, yaitu penyakit-penyakit yang ditularakan melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, klamidia, virus hepatitis B, virus kanker serviks, dll.) dan HIV/AIDS dengan LGBT.

Tentu saja hal itu salah kaprah karen risiko tertular IMS dan HIV/AIDS atau kedua-duanya sekaligus bukan karena orientasi seksual dan sifat hubungan seksual (di alam atau di luar nikah), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual (salah satu mengidap IMS atau HIV/AIDS atau kedua-duanya dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali terjadi hubungan seksual). (Baca juga: RisikoPenularan HIV/AIDS Bukan karena Sifat Hubungan Seksual).

Yang berisiko tinggi tertular IMS dan HIV/AIDS bukan LGBT sebagai orientasi seksual, tapi tindakan seksual orang-orang yang berorientasi seksual sebagai LGBT yang berisiko (kecuali lesbian karena belum ada laporan kasus penularan HIV/AIDS dengan faktor risiko lesbian).

Sedangkan dari aspek penyebaran HIV/AIDS yang lebih serius adalah biseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis dan dengan yang sejenis disebut LSL yaitu Lelaki Seks dengan Lelaki) karena biseksual mempunyai pasangan tetap yaitu istri. (Baca juga: Perkosaan dalam Perkawinan dan Biseksual Jauh Lebih Seriusdaripada Zina dan Homoseks).

Bagi yang tetap memakai ‘kacamata kuda’ dalam memandang LGBT yang perlu digiring ke ranah pidana adalah tindakan seksual sodomi dan pedofilia terlepas dari orientasi seksual. Bahkan, orientasi seksual sebagai parafilia (menyalurkan dorongan seksual dengan cara lain) jauh lebih merusak daripada sekedar LGBT (Baca juga: Parafilia, Memuaskan Dorongan Hasrat Seksual ’di atau dari SisiLain’).

Deviasi seksual terkait dengan parafilia ada yang disebut sebagai infantofilia yaitu laki-laki dewasa yang menyalurkan dorongan seksual kepada bayi dan anak-anak berumur 0-7 tahun (Baca juga: Infantofilia Mengintai Bayi dan Anak-anak SebagaiPelampiasan Seks). Catatan penulis sudah lebih 50 kasus infantofilia yang ditangani polisi (Baca juga: Perppu Kejahatan Seksual: Infantofilia dan KorbanDewasa, Harus Bedakan Pelaku Sodomi dengan Paedofilia dan Cougar).

Selain itu ada pedofilia, eksebisionis (memamerkan bagian-bagian alat vital terkait seks), nekrofilia (seks dengan mayat), bestialis (seks dengan binatang, ini ada kasus di Tasikmalaya, Jabar, pemuda yang menyalurkan seks dengan sapi dan ayam), fetihisme (memakai benda-benda lawan jenis agar terangsang secara seksual), dll.

Kasus-kasus kejahatan seksual mulai dari pelecehan seksual, perkosaan, sodomi dan parafilia banyak yang tidak dilaporkan (dark number) karena berbagai alasan, seperti malu, diancam, dll. Maka, daripada sekedar medorong-dorong lembaga penegak hukum memidankan orientasi seksual yang mustahil dilakukan, maka akan jauh lebih arif kalau kita mendorong hukuman berat bagi pelaku kejahatan seksual karena derita korban seumur hidup. * [kompasiana.com/infokespro] *

AIDS di Kota Sukabumi: Penanggulangan di Hilir dengan Tes HIV

Ilustrasi (Sumber: www.istockphoto.com)

Oleh: Syaiful W HARAHAP

Jargon-jargon penanggulangan HIV/AIDS terus berkumandang. Hanya saja jargon-jargon itu hanya sebatas retorika moral karena tidak menukik ke akar persoalan yaitu penanggulangan di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual berisiko.

Seperti yang dikumandangkan di Kota Sukabumi, Jawa Barat, ini. Seperti yang disebutkan oleh Ketua KPA Kota Sukabumi Achmad Fahmi : .... memberikan pengertian tentang pentingnya melakukan tes HIV dan melanjutkan dengan pengobatan ARV jika terdiagnosa HIV sedini mungkin (republika.co.id, 20/12-2017).

Sisebutkan pada tahun 2015 ditemukan 136 kasus HIV/AIDS baru, sedangkan pada tahun 2016 ditemukan 129 kasus HIV/AIDS baru,  dan pada kurun waktu Januari-November 2017 ditemukan 133 kasus HIV/AIDS baru.

Dalam epidemi HIV tes HIV adalah kegiatan di hilir. Kalau ada hasil tes HIV yang reaktif (positif) itu ybs. sudah tertular HIV. Jika seseorang yang melakukan tes HIV secara sukarela terdeteksi reaktif, maka ybs. minimal sudah tertular lebih dari tiga bulan. Nah, pada rentang waktu sejak tertular sampai tes HIV sudah terjadi penularan terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah tanpa disadari oleh pengidap HIV/AIDS.

Tes HIV penting bukan bagi semua warga Kota Sukabumi, tapi penting bagi, al.:

(1) warga Kota Sukabumi, laki-laki dan perempuan dewasa, yang pernah atau sering melalukan perilaku berisko yaitu hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom.

(2) warga Kota Sukabumi, laki-laki dewasa, yang pernah atau sering melalukan perilaku berisko yaitu hubungan seksual dengan perempuan yang sering berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, seperti pekerja seks komersial (PSK). Perlu diingat ada dua jenis PSK yaitu:

(a) PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(b) PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.

Disebutkan dalam berita KPA Kota Sukabumi menjalankan program untuk mencapai tiga zero yaitu: tidak ada infeksi baru HIV, tidak ada kematian akibat AIDS  dan tidak ada stigama dan diskriminasi.

Persoalannya adalah kalau yang dilalukan untuk mencapai “tidak ada infeksi baru HIV” adalah tes HIV itu tentulah tidak masuk akal karena tes HIV ada di hilir. Langkah ini membiarkan warga Kota Sukabumi tertular HIV dahulu baru diminta melakukan tes HIV.

Jika mau mencapai tahap “zero kasus infeksi HIV baru”, maka tes HIV bukan jawaban karena warga sudah tertular HIV (di hulu). Laki-laki dewasa tertular HIV melalui hubungan seksual pada perilaku berisiko. Sedangkan ibu-ibu rumah tangga tertular dari suami, dan pada bayi yang baru lahir tertular secara vertikal dari ibu yang mengandungnya, terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).

Menghentikan insiden infeksi HIV baru adalah hal yang mustahil karena tidak mungkin mengawasi perilaku seksual semua laki-laki dewasa warga Kota Sukabumi. Dalam epidemi HIV yang bisa dilakukan adalah menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK langsung.

Program yang dikenal dengan sebutan ‘wajib kondom 100 persen’ bisa dilakukan melalui intervensi kepada laki-laki yang melalukan hubungan seksual dengan PSK langsung dengan persyaratan praktek transaksi seks dilokalisir.

Celakanya, sejak reformasi terjadi euforia yang menutup semua tempat pelacuran sehingga praktek jual-beli seks yang melibatkan PSK langsung dan PSK tidak langsung pun terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu sehingga tidak bisa dilakukan intervensi ‘wajib kondom 100 persen’.

Maka, insiden infeksi HIV bar pada laki-laki dewasa akan terus terjadi kepada laki-laki dewasa warga Kota Sukabumi yang melakukan perilaku berisiko yang selanjutnya ditularkan ke pasangan, terutama istri. Pada terminal terakhir ibu-ibu yang tertular HIV dari suami menularkan HIV pula ke bayi yang dikandungnya. Maka, penularan HIV yang tidak bisa dikontrol ini bagaikan ‘bom waktu’ yang kelak sampai pada kondisi ‘ledakan AIDS’. * [kompasiana.com/infokespro] *