16 November 2017

Raperda AIDS di Kota Magelang: Lindungi Odha, Bagaimana dengan Pencegahan Infeksi HIV Baru?

Ilustrasi (Sumber: www.123rf.com)

Oleh: Syaiful W HARHAP

“Upaya untuk penanggulangan penyakit HIV/Aids di Kota Magelang terus dilakukan. Satu di antaranya dengan pembentukan Raperda Penanggulangan HIV/AIDS sebagai upaya perlindungan kepada para penderita penyakit mematikan tersebut, atau kerap disebut orang dengan HIV/Aids (ODHA). Ini ada di berita “Bentuk Raperda Penanggulangan HIV/AIDS, Penderita HIV/AIDS di Kota Magelang Akan Lebih Terlindungi” (tribunjogja.com, 12/11-2017).

Ada beberapa hal yang luput dari perhatian wartawan yang menulis berita ini dan narasumber Ketua DPRD Kota Magelang, Jawa Tengah, Budi Prayitno.

Pertama, orang-orang yang tertular HIV/AIDS tidak otomatis menderita karena sebelum masa AIDS (secara statistik terjadi pada rentang waktu 5-15 tahun setelah tertular HIV) tidak ada gejala-gejala penyakit terkait HIV/AIDS. Jadi, yang tepat adalah pengidap HIV/AIDS atau Odha (Orang dengan HIV/AIDS).

Kedua, di Indonesia sudah ada 98 peraturan daerah (Perda) penanggulangan HIV/AIDS baik tingkat provinsi (21), kabupaten (54) dan kota (23) serta 10 peraturan (pergub 4, perbub 5 dan perwali 1). Tapi, perda-perda itu hanyalah ‘macan kertas’ yang tidak berguna karena pasal-pasal penanggulangan sama sekali tidak menyentuh akar persoalan. Bahkan, banyak perda tsb. yang hanya mengedepankan norma, moral dan agama dalam penanggulangan HIV/AIDS. Tentu saja ini tidak akan bekerja karena HIV/AIDS adalah fakta medis sehingga   penanggulangannya pun bisa dilakukan dengan cara-cara yang konkret.

Ketiga, disebutkan ‘ .... penderita penyakit mematikan ....’. Ini jelas ngawur karena belum ada kasus kematian pengidap HIV/AIDS atau Odha yang meninggal karena HIV atau AIDS. Kematian pada pengidap HIV/AIDS atau Odha terjadi di masa AIDS ketika Odha mudah diserang penyakit-penyakit karena sistem kekebalan tubuh yang lemah yang disebut infeksi oportunistik, seperti TB, diare, dll. Penyakit infeksi oportunistik inilah yang menyebabkan kematian pada Odha.

Keempat, perlindangan terhadap Odha bukan penanggulangan insiden infeksi HIV baru di hulu tapi upaya pemberdayaan Odha di hilir Itu artinya Pemkot Magelang membiarkan warga tertular HIV dulu baru dilindungi.

Bertolak dari perda-perda AIDS yang sudah ada yang terjadi tidak lebih dari copy-paste. Kita tunggu apakah Perda AIDS Kota Megelang ini kelak memuat pasal-pasal penanggulangan yang konkret.

Di Jawa Tengah sudah ada 17 Perda AIDS, tapi karena tidak lebih dari copy-paste dan tidak menyentuh akar persoalan HIV/AIDS maka perda-perda itu tidak bisa diandalkan untuk menanggulangi insiden infeksi HIV baru di hulu [Baca: Perda AIDS Provinsi Jawa Tengah Mengabaikan (Lokalisasi) Pelacuran].

Dari berita tsb. penjelasan yang ditonjolkan oleh Ketua DPRD Kota Magelang hanya seputar perlindungan dan pemberdayaan terhadap Odha. Tidak ada pemaparan tentang langkah-langkah konkret pencegahan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasas melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).

Bisa dimaklumi kalau Ketua DPRD Kota Magelang, Budi Prayitno, menampik bahwa ada risiko penularan melalui PSK dengan alasan di Kota Magelang tidak ada lokalisasi atau lokasi pelacuran. Secara de jure ini benar karena sejak reformasi lokalisasi pelacuran yang dijadikan sebagai tempat rehabilitasi dan resosialisasi PSK ditutup. Bahkan, Mensos Khofifah Indar Parawansa menjadikan penutupan lokasi pelacuran sebagai prioritas tanpa memikirkan dampak buruknya terhadap epidemi HIV/AIDS.

Pertanyaan untuk Ketua DPRD Kota Magelang adalah: Apakah ada jaminan di Kota Magelang tidak ada praktek pelacuran dalam bentuk transaksi seks?

Secara de facto tentulah tidak bisa dibantah karena praktek pelacuran terjadi dalam berbagai bentuk dengan menggunakan telepon genggam dan media sosial. Itu artinya di Kota Megelang ada insiden infeksi HIV baru yang melibatkan laki-laki dewasa dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung.

- PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

-- PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.

Laki-laki dewasa yang tertular HIV/AIDS dalam kehidupan  sehari-hari bisa sebagai suami sehingga ada risiko penularan terhadap istri (horizontal) yang berakhir kelak pada bayi yang dikandung istri (penularan vertikal). Kalau laki-laki itu punya istri lebih dari satu, maka kian banyak perempuan dan bayi yang berisiko tertular HIV.

Yang perlu di atur dalam Perda AIDS adalah program konkret untuk mencegah agar insiden infeksi HIV baru di hulu bisa diturukan atau dikurangi jumlahnya yaitu pada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan PSK.* [kompasiana.com/infokespro] *

14 November 2017

AIDS di Waropen Papua: (Masih) Menyalahkan PSK dari Daerah Lain

Ilustrasi (Sumber: endhivaids.org) 


Oleh: Syaiful W HARAHAP

“Sebanyak 20 orang dari 57 penderita HIV/AIDS di Kabupaten Waropen, Provinsi Papua, meninggal akibat penyakit menular mematikan tersebut.” Ini lead pada berita “Gawat, 20 Penderita HIV yang Meninggal di Papua Umumnya Pelajar” (liputan6.com yang bersumber dari Antara, 5/11-2017).

Lead berita ini menunjukkan pengetahuan wartawan tentang HIV/AIDS ada di titik nadir karena tidak menggambarkan fakta (medis) HIV/AIDS.

Pertama, orang-orang yang tertular HIV tidak otomatis menderita karena gejala-gejala penyakit terkait HIV/AIDS baru muncul pada masa AIDS (secara statistik terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV). Maka, istilah yang tepat adalah pengidap HIV/AIDS atau Odha (Orang dengan HIV/AIDS).

Kedua, HIV/AIDS bukan penyakit tapi sekumpulan gejala penyakit yang terjadi pada seseorang yang tertular HIV pada masa AIDS.

Ketiga, yang menular bukan penyakit tapi virus penyebab kondisi AIDS yaitu HIV (human immonodeficiency virus) yang dalam jumlah yang bisa ditularkan ada di darah, air mani, cairan vagina dan air susu ibu (ASI).

Keempat, kematian pada pengidap HIV/AIDS atau Odha bukan karha HIV atau AIDS tapi karena penyakit-penyakit pada masa AIDS, seperti diare, TB, dll. Sampai detik ini belum ada kasus kematian pengidap HIV/AIDS karena HIV atau AIDS.

Judul dan lead berita ini merupakan bentuk penyampaian yang sensasional sehingga mengaburkan fakta tentang HIV/AIDS.

Terkait dengan pelajar SMA/SMK yang meninggal karena penyakit terkait AIDS menunjukkan pelajar-pelajar itu tidak mendapat informasi yang akurat tentang cara-cara melindungi diri agar tidak tertular HIV, terutama melalui hubungan seksual. Itu artinya yang gawat adalah pelajar-pelajar di Kabupaten Waropen tidak mengetahui cara-cara mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual yang konkret. 

Di bagian lain disebutkan: Selain edukasi yang lemah, ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi tingginya angka penderita HIV/AIDS, seperti banyaknya pekerja seks komersial (PSK) asal daerah lain yang berdomisili di Papua.

Menyalahkan orang lain, dalam hal ini PSK asal daerah lain, merupakan bentuk penyangkalan yang dijadikan ‘kambing hitam’ yang menutupi perilaku berisiko sebagian warga. Ada beberapa hal yang terkait dengan penyangkalan ini, al.:

(a) PSK adalah orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV/AIDS karena sering melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom

(b) PSK yang yang disebut dari daerah lain yang berdomisili di Waropen jelas orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV, tapi mengapa ada laki-laki dewasa warga Waropen yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa kondom.

(c) Apakah tidak ada laki-laki dewasa warga Waropen yang melakukan perilaku berisko tinggi tertular HIV, antara lain melakukan hubungan seksual dengan PSK di luar Waropen?

Penyangkalan dan menyalahkan orang lain justru menyesatkan sehingga mengabaikan perilaku seksual sebagian warga yang berisiko tertular HIV.

Ada lagi pernyataan dari Executive Director Indonesian Business Coalition on AIDS (IBCA), Ramdani Sirait: "Selain edukasi yang lemah tentang seks yang aman, banyak orang non-Papua yang ketahuan dan tes darah dan positif mereka ternyata bukan warga Papua. Salah satunya adalah PSK yang berasal dari daerah lain seperti Jawa Barat, Jawa Timur dan sebagainya." 

Pernyataan Sirait ini juga mendorong penyangkalan dan mencari-cari kambing hitam. Biar pun banyak PSK yang mengidap HIV/AIDS tidak akan pernah terjadi penularan HIV kalau tidak ada laki-laki dewasa warga Waropen yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK tsb.

Maka, kuncinya ada pada laki-laki dewasa warga Waropen: melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK dengan risiko tertular HIV atau sebeliknya tidak melakukan hubungan seksual dengan PSK agar tidak ada warga yang tertular HIV. Keputusan dan pilihan ada pada warga Waropen bukan pada PSK. * [kompasiana.com/infokespro] *