Ilustrasi (Sumber: Shutterstock)
Oleh: Syaiful W HARAHAP
“13 Anak Usia Sekolah di Sumedang Positif HIV/AIDS,
Satu Penyebabnya Di Antaranya Jadi Gay” Ini judul berita di tribunnews.com (31/10-2017). Judul ini
berdasarkan pernyataan Project
Officer KPA Sumedang, Jabar, Tita Anarita, dengan dasar mereka (13 anak
tsb.-pen.) sudah memeriksakan diri. Ada upaya memaksakan sensasi dalam berita
ini yang justru mengaburkan fakta.
Jumlah
kasus kumulatif HIV/AIDS di Kabupaten Sumedang, Jabar, sejak tahun 2004 disebutkan
sebanyak 474 dengan 191 kematian.
Namun,
kesimpulan Tita yang jadi judul berita ini tidak akurat karena banyak hal yang
muncul dari pernyataan itu. Cara-cara membuat kesimpulan yang tidak objektif
bisa menyesatkan dan merugikan penanggulangan HIV/AIDS.
Pertama, bisa jadi ada
di antara mereka yang justru jadi korban sodomi. Pelaku sodomi (kekerasan
seksual melalui seks anal) tidak otomatis seorang laki-laki gay dan bukan pula
pedofilia (laki-laki dewasa yang menyalurkan dorongan seksual kepada anak-anak,
laki-laki dan perempuan, umur 7-12 tahun). Mereka malu menyebut diri sebagai
korban sodomi sehingga memilih menyebut diri ‘jadi gay’.
Kedua, apakah bisa dibuktikan mereka
tertular HIV setelah ‘jadi gay’? Lagi-lagi kesimpulan yang ngawur karena secara
medis tidak bisa dibuktikan apakah mereka tertular HIV sebelum ‘jadi gay’ atau
sesudah ‘jadi gay’.
Ketiga, bisa juga mereka menyebut diri
‘jadi gay’ sebagai penyangkalan pernah jadi korban sodomi atau perilaku seksual
mereka yang berisiko tertular HIV.
Keempat, risiko
tertular HIV melalui hubungan seksual bukan karena orientasi seksual, tapi
karena kondisi ketika terjadi hubungan seksual (seks anal, seks vaginal dan
seks oral), di dalam dan di luar nikah, yaitu salah satu satu atau kedua-duanya
mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak pakai kondom selama terjadi hubungan
seksual. Pada pasangan suami-istri yang sah dengan orientasi heteroseksual pun
ada risiko penularan kalau suami-istri tsb. melakukan seks anal dengan kondisi
salah satu mengidap HIV/AIDS dan suami tidak pakai kondom.
Maka,
akan lebih arif kalau tidak semerta membuat pernyataan yangg hanya berdasarkan pengakuan
dan disimpulkan degan jalan pikiran sendiri dengan pijakan moral.
Disebutkan
“Kebanyakan anak-anak usia sekolah mengidap virus yang mematikan kekebalan
tubuh karena tertular lewat gaya hidup seks bebas menjadi gay.”
(1)
HIV sebagai virus tidak mematikan kekebalan tubuh, tapi menurunkan sistem
kekebalan tubuh karena sel-sel darah putih yang dijadikan HIV sebagai ‘pabrik’
untuk menggandakan diri rusak.
(2)
Seks bebas adalah istilah yang ngawur bin ngaco karena tidak jelas maksudnya.
Seks bebas di Indonesia adalah terjemahan dari free sex yang justru tidak
dikenal dalam kosa kaya Bahasa Inggris. Kalau seks bebas diartikan hubungan
seksual di luar nikah, maka lagi-lagi mengaitkan penularan HIV dengan seks
bebas jelas ngawur karena penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena
sifat hubungan seksual (seks bebas), tapi kondisi hubungan seksal (salah satu
mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak pakai kondom).
(3) Apakah bisa dibuktikan 13 anak usia sekolah itu
tertular HIV karena ‘gaya
hidup seks bebas menjadi gay’? Tidak bisa. Maka, lagi-lagi pernyataan tsb.
ngawur.
Ada
lagi pernyataan: .... di usia sekolah itu isu yang hangat tentang HIV itu
berasal dari gaya hidup, lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Lagi-lagi ini pernyataan yang tidak akurat karena sampai hari ini belum ada
laporan kasus HIV/AIDS dengan faktor risiko lesbian. Data menunjukkan kasus
HIV/AIDS justru paling banyak pada kalangan heteroseksual (ketertarikan seks
dengan lawan jenis).
Selama
informasi HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral dan agama, maka selama itu pula
fakta medis tentang HIV/AIDS hilang dan memunculkan mitos (anggapan yang salah
tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS), seperti ‘jadi gay’ tadi.
Itu
artinya insiden infeksi HIV baru akan terjadi terjadi di Sumedang sebagai ‘bom
waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. * [kompasiana.com/infokespro] *