02 November 2017

AIDS di Sumedang: Penularan HIV Melalui Hubungan Seksual Bukan Karena Orientasi Seksual

Ilustrasi (Sumber: Shutterstock) 

Oleh: Syaiful W HARAHAP

“13 Anak Usia Sekolah di Sumedang Positif HIV/AIDS, Satu Penyebabnya Di Antaranya Jadi Gay” Ini judul berita di tribunnews.com (31/10-2017). Judul ini berdasarkan pernyataan Project Officer KPA Sumedang, Jabar, Tita Anarita, dengan dasar mereka (13 anak tsb.-pen.) sudah memeriksakan diri. Ada upaya memaksakan sensasi dalam berita ini yang justru mengaburkan fakta.

Jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Kabupaten Sumedang, Jabar, sejak tahun 2004 disebutkan sebanyak 474 dengan 191 kematian.

Namun, kesimpulan Tita yang jadi judul berita ini tidak akurat karena banyak hal yang muncul dari pernyataan itu. Cara-cara membuat kesimpulan yang tidak objektif bisa menyesatkan dan merugikan penanggulangan HIV/AIDS.

Pertama, bisa jadi ada di antara mereka yang justru jadi korban sodomi. Pelaku sodomi (kekerasan seksual melalui seks anal) tidak otomatis seorang laki-laki gay dan bukan pula pedofilia (laki-laki dewasa yang menyalurkan dorongan seksual kepada anak-anak, laki-laki dan perempuan, umur 7-12 tahun). Mereka malu menyebut diri sebagai korban sodomi sehingga memilih menyebut diri ‘jadi gay’.

Kedua, apakah bisa dibuktikan mereka tertular HIV setelah ‘jadi gay’? Lagi-lagi kesimpulan yang ngawur karena secara medis tidak bisa dibuktikan apakah mereka tertular HIV sebelum ‘jadi gay’ atau sesudah ‘jadi gay’.

Ketiga, bisa juga mereka menyebut diri ‘jadi gay’ sebagai penyangkalan pernah jadi korban sodomi atau perilaku seksual mereka yang berisiko tertular HIV.

Keempat, risiko tertular HIV melalui hubungan seksual bukan karena orientasi seksual, tapi karena kondisi ketika terjadi hubungan seksual (seks anal, seks vaginal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, yaitu salah satu satu atau kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak pakai kondom selama terjadi hubungan seksual. Pada pasangan suami-istri yang sah dengan orientasi heteroseksual pun ada risiko penularan kalau suami-istri tsb. melakukan seks anal dengan kondisi salah satu mengidap HIV/AIDS dan suami tidak pakai kondom.

Maka, akan lebih arif kalau tidak semerta membuat pernyataan yangg hanya berdasarkan pengakuan dan disimpulkan degan jalan pikiran sendiri dengan pijakan  moral.

Disebutkan “Kebanyakan anak-anak usia sekolah mengidap virus yang mematikan kekebalan tubuh karena tertular lewat gaya hidup seks bebas menjadi gay.”

(1) HIV sebagai virus tidak mematikan kekebalan tubuh, tapi menurunkan sistem kekebalan tubuh karena sel-sel darah putih yang dijadikan HIV sebagai ‘pabrik’ untuk menggandakan diri rusak.

(2) Seks bebas adalah istilah yang ngawur bin ngaco karena tidak jelas maksudnya. Seks bebas di Indonesia adalah terjemahan dari free sex yang justru tidak dikenal dalam kosa kaya Bahasa Inggris. Kalau seks bebas diartikan hubungan seksual di luar nikah, maka lagi-lagi mengaitkan penularan HIV dengan seks bebas jelas ngawur karena penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (seks bebas), tapi kondisi hubungan seksal (salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak pakai kondom).

(3) Apakah bisa dibuktikan 13 anak usia sekolah itu tertular HIV karena ‘gaya hidup seks bebas menjadi gay’? Tidak bisa. Maka, lagi-lagi pernyataan tsb. ngawur.

Ada lagi pernyataan: .... di usia sekolah itu isu yang hangat tentang HIV itu berasal dari gaya hidup, lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Lagi-lagi ini pernyataan yang tidak akurat karena sampai hari ini belum ada laporan kasus HIV/AIDS dengan faktor risiko lesbian. Data menunjukkan kasus HIV/AIDS justru paling banyak pada kalangan heteroseksual (ketertarikan seks dengan lawan jenis).

Selama informasi HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral dan agama, maka selama itu pula fakta medis tentang HIV/AIDS hilang dan memunculkan mitos (anggapan yang salah tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS), seperti ‘jadi gay’ tadi.

Itu artinya insiden infeksi HIV baru akan terjadi terjadi di Sumedang sebagai ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. * [kompasiana.com/infokespro] *


31 Oktober 2017

Asuransi Mengabaikan Odha

Oleh: Syaiful W. Harahap
[Sumber" Newsletter "WartaAIDS" Nomor 43, 3 Mei 1999]

Sudah jatuh ditimpa tangga pula. Itulah yang (akan) dihadapi Odha di Indonesia dalam dunia perasuransian nasional. Banyak perusahaan asuransi jiwa yang menolak pembayaran klaim tertanggung yang meninggal
karena AIDS. Di samping itu perusahaan asuransi pun tidak bersedia membayar klaim pengobatan penyakit-penyakit menular seksual (PMS).

Pengusaha asuransi menolak klaim AIDS dan PMS karena mereka menilai penyakit itu akibat ulah (perilaku) pemegang polis. Inilah yang dinilai banyak kalangan tidak fair, karena, "Kecelakaan lalu lintas juga terjadi karena perilaku," kata Irwanto, PhD, psikolog di PKPM (Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat) Unika Atma Jaya Jakarta. Irwanto benar, tapi asuransi rupanya sudah terlanjur mengaitkan penularan HIV dan PMS dengan moral,  sedangkan kelalaian mengemudi di jalan raya tidak dikaitkan dengan perilaku yang juga bersifat moral. Selain itu banyak pula penyakit yang juga terjadi karena perilaku, seperti diabetes, penyakit jantung, kanker, dan lain-lain tapi tetap ditanggung asuransi.

Alangkah naifnya kalau perusahaan asuransi mengaitkan HIV/AIDS dan PMS dengan moral. Soalnya, menurut dr Kartono Mohamad, mantan Ketua Umum PB IDI, virus hepatitis B pun menular melalui hubungan seksual persis seperti HIV. Tapi, beberapa perusahaan asuransi tetap membayar klaim pengobatan penyakit yang berkaitan dengan hepatitis B, tapi monolak klaim HIV/AIDS dan PMS. Kalangan manajer puncak dan CEO (chief executive officer) perusahaan dengan suka rela menjalani tes hepatitis B. Dengan senang hati pula mereka menerima hasil tes dan perusahaan pun membayar biaya pengobatannya.

Memang, perusahaan asuransi komersial bebas menetapkan pengecualian dalam polisnya, antara lain karena preexisting conditions yaitu suatu kondisi yang diderita tertanggung sebelum polis berlaku, seperti cacat bawaan sejak lahir dan penyakit-penyakit menahun. Sedangkan HIV dan ARC (AIDS Related Complex) jelas bukan kategori preexisting conditions. Ada pula penolakan HIV/AIDS karena menilai biaya pengobatannya besar. Padahal, biaya pengobatan kanker dan cuci darah juga besar. Maka, bagi calon pemegang polis perlu memperhatikan dan membaca polis agar jelas kondisi yang dikecualikan.

Ada pula asuransi yang menilai obat-obatan yang dipakai Odha tidak tergolong obat karena tidak menyembuhkan. Alasan ini dibantah dr Adi Sasongko dari Yayasan Kusuma Buana (YKB) Jakarta, sebuah LSM yang bergerak di bidang HIV/AIDS, "Parasetamol (penurun panas-red.) juga bukan obat karena hanya menghilangkan gejala (symptom)," katanya. Tapi, asuransi, seperti PT Askes, tetap membayar klaim parasetamol dan menolak klaim HIV/AIDS. Padahal, AZT merupakan obat karena dapat menurunkan risiko penularan dari seorang ibu yang HIV+ kepada janin yang dikandungnya. Kalau tanpa AZT penularan antara 20-40% tapi dengan AZT risiko penularan di bawah 10%.

Begitu pula dengan obat-obat antiretroviral dikategorikan sebagai obat kausal karena dapat menghambat laju HIV.

Soal penyakit kelamin pun, sebenarnya, dapat diperdebatkan karena ada kesan penyakit kelamin merupakan penyakit di alat kelamin yang tertular melalui hubungan seksual. Padahal, AIDS jelas bukan penyakit (pada alat) kelamin dan virus penyebabnya (HIV) pun tidak hanya menular melalui hubungan seksual. Begitu pula dengan herpes yang bisa tertular melalui kontak kulit dengan bagian yang terkena herpes. "Kami tidak membayar klaim AIDS karena itu penyakit kelamin," kata seorang manajer sebuah asuransi terkenal, tapi mereka tetap membayar klaim hepatitis B yang digolongkan sebagai PMS. Kalau asuransi melihat HIV/AIDS sebagai penyakit pada (alat) kelamin tentu salah besar karena AIDS sendiri merupakan kumpulan gejala penyakit yang terjadi karena sistem kekebalan tubuh sudah dirusak HIV.

Jika industri asuransi melihat PMS sebagai akibat perilaku yang amoral tentu sangat tidak fair karena ada infeksi saluran reproduksi yang tidak hanya terjangkit melalui hubungan seksual. Pengalaman dr Ardin Sani, dokter di klinik PKBI Ujungpandang, Sulsel, misalnya, menunjukkan ada wanita yang menderita infeksi saluran reproduksi sejak masih gadis. Infeksi terjadi karena semasa gadis wanita itu tidak membersihkan diri dengan baik. Alangkah gegabahnya perusahaan asuransi kalau menolak klaim pengobatan wanita ini dengan alasan penyakit itu terkait dengan moral. Tentu tidak etis kalau menolak klaim PMS suami atau isteri yang terinfeksi dari isteri atau suaminya dalam ikatan perkawinan yang sah karena hal itu terjadi bukan karena perilaku (amoral) mereka.

Jika asuransi mengecualikan HIV/AIDS dan PMS tentu akan mempengaruhi industri asuransi karena perkiraan WHO setiap tahun ada 340 juta kasus baru PMS dan perkiraan UNAIDS setiap hari 16.000 penduduk dunia terinfeksi HIV. Jadi, sudah saatnya bagi industri asuransi menghitung premi untuk HIV/AIDS dan PMS tanpa harus mengait-ngaitkannya dengan moral karena tidak selamanya HIV dan PMS tertular melalui perilaku yang amoral. Di Thailand pemerintah melarang asuransi menolak klaim HIV/AIDS. Industri asuransi di sana pun ternyata sudah menghitung risiko HIV/AIDS dalam premi asuransi jiwa dan kesehatan. Sedangkan di Indonesia persoalan masih berkutat di seputar moral, pada waktu yang sama penyebaran HIV dan PMS terus terjadi. Sampai Maret 1999 kasus kumulatif HIV/AIDS mencapai 846.

Lagi pula bagaimana jadinya kalau seorang karyawan yang tertular PMS tidak diobati tentu akan sangat membahayakan keselamatan dirinya dan mengganggu aktivitas kerjanya.

Untunglah masih ada asuransi yang fair. "Kami tidak melihat penyebab kamatiannya," kata Tiwuk Siswadi, SE, Marketing Manager PT Asuransi Jiwa Bumiputera John Hancock. Jadi, biar pun meninggal karena AIDS klaimnya tetap dibayar asalkan sudah melewati batas masa tunggu (grace period) selama dua tahun. Jangankan karena AIDS yang meninggal karena bunuh diri pun klaimnya tetap dibayar John Hancock. Yang tidak dibayar mati karena hukuman mati, terbunuh dalam tindak kriminal dan kejahatan yang disengaja.

Dalam asuransi yang bersifat social insurance scheme dan asuransi kesehatan yang dijalankan pemerintah, menurut Drs Safri Ayat, Direktur Akademi Asuransi Trisakti (Akastri) Jakarta, sebaiknya tidak ada pengecualian. Hal ini bisa dilakukan karena asuransi itu tidak profit oriented, sehingga fungsi sosialnya yang dikedepankan.

Jadi, sudah saatnya dievaluasi kepesertaan otomatis dan wajib masuk asuransi jika ada pengecualian yang tidak objektif, yaitu penolakan klaim PMS dan HIV/AIDS. *

Pijat Refleksi untuk Odha

Oleh: Syaiful W. Harahap
[Sumber: Newsletter "WartaAIDS" Nomor 34, 21 Desember 1998]

Di saat harga obat-obatan, khususnya untuk Odha (Orang dengan HIV/AIDS), kian mahal dan terbatas ada baiknya kalau Odha juga menjalani terapi alternatif agar kondisi kesehatannya tetap terjaga. Penyakit apa pun yang diderita
seseorang jelas akan mempengaruhi metabolisme tubuhnya.

Salah satu masalah yang sering dialami oleh orang sakit adalah peredaran darah yang tidak sempurna. Hal ini terjadi, menurut Djoemali BA, seorang pemijat refleksi di Bekasi, Jabar, karena ada pengapuran
pada pembuluh darah. Untuk membuat peredaran darah kembali normal ujung pembuluh-pembuluh darah, antara lain terdapat di telapak kaki, dirangsang dengan pijatan. Titik-titik yang menjadi ujung pembuluh darah dipijat dengan jari tangan atau dengan alat khusus (bentuknya seperti cerutu, terbuat dari kayu).

Jika peredaran darah terganggu, artinya ada pengapuran pada pembuluh darah, kondisi tubuh pun akan terganggu. Hal ini ditandai dengan rasa sakit pada titik-titik tertentu ketika dipijat. Ini juga, menurut
Djoemali, menandakan ada organ tubuh yang tidak sehat. Maka, kalau pengapuran dibiarkan akan memicu pengapuran yang lebih banyak di pembuluh darah. Salah satu gejala yang sering terjadi karena pengapuran adalah stroke.

Kalau aliran (sirkulasi) darah terganggu maka bagian tubuh yang dialiri darah itu akan terganggu pula karena kandungan hormon dan oksigen dalam darah tidak normal. Selain itu darah pun tidak lagi efektif dalam
membawa kotoran dari organ tubuh yang akan dibuang melalui metabolisme tubuh.

Jadi, dengan memijat bagian-bagian kaki yang merupakan ujung dari pembuluh darah, menurut Djoemali, akan membuat aliran darah lancar sehingga tidak mengganggu metabolisme tubuh. Pemijatan pada ujung
pembuluh darah itu merupakan suatu usaha untuk menghancurkan pengapuran sehingga darah kembali mengalir ke ujung pembuluh darah itu.

Sejalan dengan kondisi di atas Odha pun perlu memikirkan terapi alternatif ini agar aliran darahnya tetap normal. Paling tidak dengan merangsang ujung pembuluh darah dengan pijatan akan membuat aliran
darah tetap normal. Pengalaman Djoemali, yang sudah menekuni pijat refleksi belasan tahun ini, jika pemijatan dilakukan secara teratur
akan memperbaiki aliran darah. Kalau aliran darah normal kondisi tubuh akan tetap terjaga.

Dengan menyentuh ujung pembuluh darah, Djoemali dapat mengetahui kondisi organ tubuh seseorang. Dan biasanya pada pijatan pertama dan kedua tidak akan terasa sakit, tapi setelah tiga atau empat kali
dipijat barulah bagian yang dipijit itu, yang berkaitan dengan organ
tubuh, terasa sakit. Tingkat rasa sakit yang dialami seseorang menandakan kondisi organ tertentu di tubuhnya.

Jika ada rasa sakit ketika dipijat menandakan sudah ada reaksi ke organ tubuh. Seiring dengan penyembuhan organ tubuh tersebut rasa sakit ketika dipijit pun akan berkurang pula. Jika organ tubuh tidak sakit
maka biar pun ujung pembuluh darahnya dipijat tidak akan terasa sakit.

Beberapa orang yang pernah dipijat Djoemali merasakan manfaat yang besar terhadap kondisi kesehatannya. "Saya jarang sakit kepala setelah dipijat," kata Ny. Mariah, seorang perawat di sebuah rumah sakit di Jakarta Pusat. Hal yang sama juga diakui yang lain. Ada yang selalu muntah kalau naik bus kota dari rumah ke tempat kerjanya, tapi setelah dipijat beberapa kali kebiasaan itu pun hilang.

Memang, agak sulit menjabarkan kaitan antara pijatan refleksi dengan sirkulasi darah secara ilmiah, tapi dari pengalaman orang yang pernah dan terus dipijat dapat dilihat manfaatnya. Bahkan, seorang Odha
merasakan manfaat selama ia menjalani terapi alternatif dengan pijat
refleksi. Pemijatnya tidak mengetahui penyakit yang diderita Odha tadi, tapi pemijat itu mengatakan bahwa penyakitnya parah.


Tapi, biar pun sudah tidak sakit kalau dipijat, "Sebaiknya terus dipijat agar tidak terjadi lagi pengapuran," kata Djoemali mengingatkan. Salah satu cara untuk menjaga kondisi tubuh agar tidak
terjadi pengapuran, menurut Djoemali, adalah dengan menjaga pola makan
sehari-hari.

Halangan Berpuasa Bagi Odha

Oleh: Syaiful W. Harahap
[Sumber News.etter "WartaAIDS" Nomor 33, 7 Desember 1998]

Kewajiban menunaikan puasa pada bulan Ramadhan menjadi masalah yang penting dalam kaitan perawatan pasien HIV/AIDS karena Odha (Orang dengan HIV/AIDS) harus memakan obat-obatan yang sangat ketat waktunya. Data yang dikeluarkan
UNAIDS (1998) menunjukkan angka Odha, khususnya yang sudah mencapai stadium AIDS yang dilaporkan ke WHO, di negara Islam dan negara yang penduduknya mayoritas Islam. Di balik angka itu tentu saja ada yang belum mencapai masa AIDS (tahap HIV+).

Kewajiban berpuasa bagi Muslim yang sudah akil-baligh (dewasa), berakal dan sanggup menjalankannya berdasarkan perintah Tuhan dalam Al Qur-an pada ayat 182 surat Al Baqarah: "Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa." Namun, dalam ayat berikutnya (183) disebutkan: "Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain."

Memang, menurut dr. Zubairi Djoerban DSPD, dokter yang banyak menangani Odha di Yayasan Pelita Ilmu Jakarta, Odha dapat mengganti waktu memakan obat dari siang ke malam hari. Jadi, bagi Odha yang harus memakan obat tiga kali sehari, misalnya, dapat memakannya pada waktu sahur, berbuka dan menjelang tidur malam. Begitu seterusnya. Sedangkan bagi Odha yang harus memakan obat empat kali sehari dapat memakannya pada waktu berbuka, sebelum tidur, menjelang sahur dan ketika sahur. Penelitian di Bagian Penyakit Dalam FKUI/RSCM Jakarta menunjukkan beberapa pasien geriatri, pasien yang sudah berumur lanjut dengan beberapa penyakit, yang berpuasa tidak menunjukkan efek yang negatif. Pada sebagian pasien ada sedikit pengaruh ke ginjal tapi tidak membahayakan. Bertolak dari hasil penelitian ini Zubairi melihat bisa saja Odha berpuasa.

Namun, bagi Odha yang memakan obat-obat antiretroviral yang sangat ketat dengan waktu akan sulit menjalankan puasa. Misalnya, Odha yang harus meminum obat dalam siklus waktu delapan jam. Artinya, dalam
delapan jam ia harus memakan obat beberapa kali. Dan harus dilanjutkan delapan jam kemudian seperti semula. Selain itu ada obat yang harus dimakan dengan perut kosong, sebelum makan, sesudah makan atau sekaligus dengan makanan. Di samping itu Odha yang memakai obat antiretroviral harus banyak minum untuk menghindari gangguan ginjal.

Dari salah satu contoh dosis yang harus ditaati Odha ini, misalnya, jelas terlihat tidak ada waktu yang luang selama 12 jam (waktu berpuasa). Obat pertama diminum pukul 06.00, dilanjutkan beberapa kali
lagi dalam jangka waktu yang sudah ditentukan sampai pukul 22.00. Satu kali putaran membutuhkan waktu 16 jam. Kalau pun putaran ini dirubah mulai pukul 18.00 (saat berbuka) tentu obat terakhir harus diminum pukul 10.00 esoknya. Padahal, ketatan memakan obat sesuai dengan dosis sangat diperlukan bagi pengobatan penyakit yang diakibatkan virus.

Misalnya, tiga jam setelah obat diminum aktivitas obat mencapai puncak tapi jam-jam berikutnya turun dan pada waktu yang bersamaan justru aktivitas virus yang naik. Tapi, kalau obat kembali diminum sesuai
ketentuan di saat aktivitas virus naik maka obat itu bisa meredam aktivitas virus. Begitu seterusnya. Jadi, kalau obat tidak diminum sesuai dengan aturan maka akan terjadi resistansi sehingga perkembangan virus akan tinggi. Biar pun bisa ditinggalkan, dan wajib diganti di hari lain tentu tetap menjadi masalah yang sulit bagi Odha karena sampai sekarang belum ada obat yang bisa membuat mereka lepas dari cengkeraman penyakit yang mereka derita.


Tapi, dalam buku Ilmu Fiqih (HM Arsyad Thalib Lubis, Firma Islamiyah Medan, 1976) disebutkan "Orang tua yang tidak kuat puasa dan orang sakit yang tidak diharap sembuh penyakitnya dan tidak kuat puasa, tidak
wajib mengkada (mengganti-pen.) puasanya tetapi wajib membayar fidyah" (hal 77). Fidyah adalah sedekah kepada beberapa orang miskin setiap hari selama Ramadhan sesuai dengan yang dimakan ketika berbuka puasa. "Saya yakin mereka (maksudnya Odha yang mampu-pen.) akan tetap menjalankan puasa," kata Zubairi. Dalam kaitan ini puasa sendiri merupakan salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan untuk beroleh kesembuhan. Amin.

30 Oktober 2017

Pintu Vihara Terbuka bagi Odha

Oleh: Syaiful W. Harahap

Melihat stigma yang melekat pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) tidak tertutup kemungkinan kelak akan ada Odha yang luntang-lantung. Baik karena tidak mampu membayar biaya pengobatan dan perawatan di rumah sakit atau pun karena
dikucilkan keluarga serta masyarakat.

Jika hal itu tidak diantisipasi tentulah bisa menimbulkan masalah besar.

Agaknya, kita perlu melihat Thailand dalam menangani Odha. Berbagai pihak, termasuk vihara, membuka pintu bagi Odha. Vihara Phrabat Namphu, sekitar 175 km ke arah utara Bangkok, misalnya, merupakan salah satu
vihara yang membuka pintu bagi Odha.

Menurut bhikkhu Vannyavaro, vihara Mendut, Jawa Tengah, kesediaan vihara membuka diri bertolak dari filosofis Buddha tentang kepedulian sosial yang diwujudkan Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia
(Magabudhi) dalam bentuk program nyata yaitu menangani orang yang sudah divonis mati, Odha dan korban narkotik.

Untuk itulah diharapkan vihara dapat membantu Odha dan orang yang sudah 'ditolak' dokter (hopeless). Di vihara sendiri mereka bukan mengikuti program pengobatan atau penyembuhan, tapi untuk membantu kondisi
psikologis mereka menghadapi deritanya.

Vihara sudah merintisnya dengan mendirikan 'Pondok Damai'. Di sinilah mereka yang sudah hopeless itu meninggal dengan tenang. Selain mengurangi beban keluarga, penderita sendiri dapat menjalani kehidupan dengan damai di vihara. Bagaimana pun, bagi Vannyavaro tidak akan menyelesaikan masalah kalau hanya dengan menyingkirkan penderita. Bahkan, hal itu akan berdampak negatif bagi penderita.

Odha, pencandu narkotik dan orang yang sudah hopeless hendaknya tidak dikucilkan. Dalam kaitan inilah ummat Buddha diharapkan dapat merawat mereka dengan penuh kasih sayang (metta-karuna). Buddha melihat semua kejadian yang dialami manusia merupakan konsekuensi dari perilakunya.

Jadi, setiap perbuatan akan ada risikonya. Maka, ummat Buddha pun tidak akan melihat penyebab suatu penyakit tapi mereka justru ingin mengulurkan tangan untuk membantu dan meringankan derita karena suatu
penyakit. Artinya, uluran tangan itu merupakan suatu kesempatan bagi setiap orang untuk meringankan penderitaannya. Kehidupan dunia
merupakan kehidupan tahap pertama untuk menuju ke kehidupan berikutnya sehingga diharapkan kelanjutan hidup setelah kematian bisa dijalani dengan tenang.

Untuk mencapai tahap itu seseorang harus dalam keadaan tenang dan tenteram ketika menghembuskan nafasnya yang terakhir, sehingga mereka tidak mempunyai pikiran yang melihat dirinya hidup di alam penderitaan.
Dari sisi psikologis buddhis berharap agar di akhir hayat seseorang pikirannya harus tenang yang merupakan kunci ke kehidupan berikutnya
yang juga diharapkan tenang.

Kesediaan vihara itu bertolak dari ajaran Kitab Suci Tripitaka Pali yaitu keharusan melayani bukan dilayani. Kesediaan itu pun tidak hanya terbatas bagi umat Buddha saja, tapi juga untuk semua ummat. Keharusan
melayani itu akan menjadi kenyataan dengan mewujudkan Desa Punna Kiriya (Sepuluh Macam Kebajikan) dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat.

Walaupun semua baru pada tahap tekad, tapi dengan melihat kenyataan yang ada, khususnya yang dialami Odha, kesediaan vihara ini tentu saja sangat positif. Kesiapan ini, sebenarnya dapat disebut sebagai upaya
menyongsong malapetaka. Jadi, untuk mengantisipasinya diperlukan berbagai cara yang tepat. Mulai dari tata cara penyampaian informasi, penyuluhan dan kegiatan yang terkait dengan cara merawat Odha.

Harapan Vannyavaro itu sangat beralasan karena vihara di Thailand sudah terbukti dapat melakukannya. Dengan menerapkan ajaran Buddha para bhikkhu di Thailand bisa mengatasi pencandu narkotik. Kerja keras
bhikkhu itu menghasilkan 'Magsaysay Award', sebuah penghargaan internasional.

Apalagi kalau diingat Odha dan narkotik sangat dekat dengan remaja, jajaran pembina umat Buddha pun diharapkan dapat dengan aktif memberikan penyuluhan kepada ummat di vihara, sekolah dan tempat lain.
Vannyavaro sendiri berharap upaya mereka itu dapat membantu masyarakat, terutama bagi yang memerlukannya. *


[Sumber: Newsletter “WartaAIDS” Nomor 41, 5 April 1999]

Niat Bunuh Diri Odha pada Masa AIDS

Oleh: Syaiful W. Harahap

Berbagai persoalan yang terjadi di seputar Odha (Orang dengan HIV/AIDS), seperti stigmatisasi (cap negatif) dan kenyataan bahwa penyakit ini tidak dapat disembuhkan, memang (dapat) membuat mereka berpikir pendek berupa keinginan untuk bunuh diri. Jangankan Odha, yang merasa dirinya pernah melakukan hubungan seksual tidak aman dengan orang yang tidak diketahui status HIV-nya pun panik kalau menderita gejala yang mirip dengan gejala-gejala mayor dan minor AIDS hingga mencoba bunuh diri.

Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian banyak Odha putus asa dan ingin mengakhiri hidupnya. Hal itulah yang sering dialami Agus Sulaiman, 23, relawan di Yayasan Pelita Ilmu (YPI) Jakarta. Ketika dua tahun lalu Agus mendampingi seorang Odha pria berumur 47 tahun yang sudah memasuki masa AIDS, Odha tadi sering meminta agar Agus mau membunuhnya. "Saya bayar Rp 5 juta asal kau mau menusuk saya dengan pisau," kata Odha itu sambil memperagakan cara yang diinginkannya.

Tapi, Agus tahu persis kalau permintaan itu hanya merupakan perwujudan keputusasaan Odha. Buktinya, kalau Agus memegang pisau, eh, malah Odha itu ketakutan setengah mati. Padahal, Agus ingin mengupas buah apel. "Hampir setiap hari dia mengutarakan permintaannya itu," kata Agus yang sudah menjadi relawan YPI sejak tahun 1993 mengenang pengalamannya menemani Odha tadi sampai meninggal dunia.

Sedangkan Odha yang belum memasuki masa AIDS keputusasaan mereka sering diwujudkan dengan decakan kekecewaan atau gumaman. Ada pula yang mencoba melupakan penyakitnya dengan membesar-besarkan hati.

Keinginan untuk mengakhiri hidup itu rupanya juga sudah pernah dilakukan Odha yang didampingi Agus tadi. Bahkan, sebelum memasuki masa AIDS pun Odha tadi sudah beberapa kali mencoba bunuh diri. Misalnya, menggantung diri dengan tali yang rapuh atau memotong urat nadi sambil berteriak meminta tolong. Dalam keadaan putus asa, baik karena stigmatisasi dan dikucilkan keluarga atau karena tidak ada harapan untuk sembuh, tentulah mereka membutuhkan pendamping yang dapat mengerti dan menyelami perasaan mereka.

Dalam kaitan inilah kehadiran relawan, yang dalam hal ini berfungsi sebagai buddies (sahabat pendamping), sangat diharapkan karena perawat di rumah sakit tidak selamanya mengerti penderitaan Odha. Soalnya, tidak sedikit tenaga medis yang belum berempati terhadap Odha. Bahkan, beberapa kali terjadi rumah sakit menolak pasien Odha. Ada pula rumah sakit yang membakar peralatan yang dipakai pasien yang kemudian diketahui sebagai Odha.

Namun, sangat disayangkan ada keluarga Odha yang memandang relawan dengan sebelah mata. Bahkan, mereka mengganggap relawan sebagai "malaikat" sehingga tidak perlu dipikirkan risiko yang dihadapi relawan dalam menemani anggota keluarga mereka yang Odha tadi. Agus, misalnya, sering dipanggil secara kasar oleh Odha yang ditemaninya. Untunglah Agus menyadari hal itu terjadi karena kondisi psikologis Odha yang
tidak stabil.

Kalau relawan mau mengerti, keluarga Odha justru sebaliknya. Ada yang tidak mau memahami ongkos yang dikeluarkan seorang relawan. Mereka harus berhadapan dengan orang yang sudah putus asa dengan tingkah yang bermacam-macam pula.

Bahkan, ada keluarga Odha yang hanya sekadar membesuk seperti melihat famili atau tetangga yang sedang sakit. Datang, lalu duduk sebentar kemudian pergi. Padahal, dalam masa AIDS kondisi seorang Odha membutuhkan kedekatan emosional, terutama dengan orang-orang yang dicintainya. Dalam kaitan ini tentu saja anggota keluarga yang paling
dekat.

Karena berbagai alasan yang tidak rasional, seperti malu diketahui tetangga kalau anggota keluarganya dirawat sebagai Odha dan lain-lain, diperkirakan akan kian banyak diperlukan relawan.

Persoalannya, sudah saatnya kita perlu memikirkan pengertian relawan secara objektif karena ada kesan relawan yang mendampingi Odha tidak memerlukan imbalan yang layak, baik dalam bentuk materi maupun penghargaan. Soalnya, ada relawan yang sudah susah payah mengurus Odha, eh, keluarganya malah menganggapnya seperti sampah. Bahkan, ada relawan yang dituduh senang setelah Odha yang didampinginya meninggal dunia.
"Kamu senang, ya, dia sudah mati," kata anggota keluarga seorang Odha
kepada relawan yang mendampingi Odha itu sampai menghembuskan nafas
terakhirnya.

Ada baiknya pengertian relawan, terutama buddies, diluruskan sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda di masyarakat. Selama ini relawan berarti orang-orang yang mau menyisakan waktunya untuk mendampingi Odha sebagai teman berbincang dan berbagi rasa. Tapi, kalau mendampingi Odha yang sudah mencapai masa AIDS siang malam tentu tidak dapat lagi diartikan sebatas relawan.

Bertolak dari pengalaman Agus ini perlu ada satu wadah yang dapat menampung keluhan-keluhan buddies. Para buddies saling mengutarakan masalah yang mereka hadapi selama mendampingi Odha. Wadah ini bisa sebagai tempat curhat (curahan hati) atau sebagai media untuk saling tukar pengalaman. Paling tidak melalui wadah itu semua persoalan yang
dihadapi selama mendampingi Odha dibahas bersama untuk menemukan jalan ke luarnya.

Bisa juga pembicaraan antara buddies itu dihadiri keluarga Odha, tapi bukan Odha yang sedang mereka dampingi. Hal ini diperlukan untuk memberikan gambaran kepada keluarga Odha tentang situasi psikologis yang dihadapi seorang Odha dan kondisi yang dialami para buddies. Di Australia ada Ankali Project yang merupakan wadah para buddies mencurahkan isi hatinya.

Bagaimana pun, masalah yang dihadapi buddies ketika mendampingi Odha bisa mempengaruhi kondisi psikologis mereka. "Saya hampir meninggalkannya," kata seorang buddies tentang Odha yang didampinginya karena dinilai perlakuan Odha itu terhadap dirinya sudah melewati batas. Misalnya, kalau meminta sesuatu dengan berteriak sambil
memaki-maki. Kadang-kadang melemparkan barang-barang yang ada di dekatnya tanpa sebab yang jelas.

Jadi, melalui forum itulah para buddies dapat mencurahkan isi hatinya. Agar persoalan dapat diatasi, tentulah kehadiran psikolog sangat diperlukan. Psikolog akan memberikan masukan yang berarti bagi buddies dalam menghadapi Odha karena yang mereka hadapi jelas kondisi psikologis semata.

Seorang pemerhati masalah HIV/AIDS yang tidak mau disebut namanya merasa sangat kecewa karena wadah curhat khusus untuk buddies tidak dikembangkan di Indonesia. Kalau wadah untuk curhat itu tidak ada, "Persoalan yang dihadapi buddies akan bisa mempengaruhi sikap dan perilaku mereka," katanya. Maka, dia pun mengharapkan agar wadah curhat dapat dikembangkan oleh LSM yang mempunyai buddies. *

[Sumber: Newsletter "WartaAIDS" Nomor 51, 6 September 1999]


Perlindungan Hukum dan HAM bagi Odha

Dari: Syaiful W. Harahap
Katogori: Advokasi
Date: 14 Feb 1999
Time: 04:25:07
Remote Name: 202.158.28.59

Artikel

Mitos (anggapan yang keliru) seputar HIV/AIDS menyuburkan stigmatitasi terhadap Odha. Akibatnya, Odha sering mengalami pelanggaran etika, hukum dan hak asasi manusia (HAM). Perlakuan yang diskriminatif dan pelanggaran HAM yang sering dialami Odha antara lain pengucilan, PHK, penolakan klaim asuransi, pemulangan pekerja seks ke daerah asalnya, pelacakan pekerja seks yang positif HIV, dan pemaksaan tes HIV tanpa prosedur standar operasi, serta skrining terhadap calon karyawan dan karyawati secara terselubung. Puncak pelanggaran HAM terjadi ketika RS Medistra menolak seorang pasien dr. Sjamsurizal Djauzi, DSPD, yang positif HIV (Agustus 1996).

Cici (bukan nama sebenarnya), 25, seorang Odha di Kab. Karawang, Jabar, yang dipulangkan dari Riau (1993), misalnya. Dia digiring oleh aparat keamanan ke puskesmas karena sebelumnya ia menolak diambil darahnya untuk tes HIV. Rupanya, Cici hanya mau dites di RSCM, tapi tim dari dinas kesehatan setempat tetap memaksanya agar darahnya diambil di puskesmas itu.

Begitu pula dengan Cece, juga bukan nama sebenarnya, 23. Dia juga penduduk Kab. Karawang yang dipulangkan bersama Cici. Status HIVnya diketahui penduduk karena dibeberkan aparat desa dan wartawan pun datang bersama aparat ke rumahnya. Akibatnya, penduduk mengucilkan keluarga Cece. Keluarga ini pun terpaksa pindah dari satu desa ke desa lain.

Aparat di sebuah desa di Kab. Sumedang, Jabar, juga tidak lagi melihat perkawinan sebagai hak asasi Onah (bukan nama sebenarnya), 24, seorang Odha di sana. Mereka mau memberikan izin hanya karena menganggap Onah tinggal menunggu ajal. Onah pun dikucilkan. Ada petugas puskesmas yang mengatakan ‘penyakit’ Onah bisa menular melalui udara. Bahkan, status HIV Onah pun belum dikonfirmasi dengan Western Blot karena tes yang dilakukan dalam sebuah serosurvei baru tes Elisa. Tapi, jajaran pemda dan instansi terkait di sana sudah memvonis Onah sebagai Odha. Akibatnya, semua gejala (penyakit) yang dialaminya langsung dikaitkan penduduk dengan AIDS dan kematian.
Pasangan Odha di Ujungpandang, Sulsel, juga harus berpindah-pindah karena diusir pemilik rumah ketika mereka dikenali sebagai ‘pasangan Odha’. Anik, bukan nama sebenarnya, 22, salah satu dari pasangan itu sudah tiga kali pindah rumah karena pemilik rumah yang dikontraknya mengenalinya sebagai Odha. Rupanya, pemilik rumah mengingat-ingat wajah Anik sebagai pasangan Odha. Soalnya, ketika Anik menikah media massa memberitakannya lengkap dengan foto pernikahannya. Sekarang pun Anik was-was karena ia takut ada yang mengenalinya, sehingga ia pun tidak bisa lagi mencari nafkah sebagai penata rambut.

Ironis, memang. Yang melecehkan HAM Odha justru yang melek hukum, tapi di sisi lain banyak pula Odha, seperti Cici, Cece, Onah, Anik, dan lain-lain yang tidak memahami hak-hak mereka sebagai warga negara. Seharusnya, jajaran pemda dan instansi-instansi pemerintah lebih memahami terhadap hak dan perlindungan hukum bagi Odha karena mereka ikut serta dalam KPAD (Komisi Penanggulangan AIDS Daerah). Dalam Strategi Nasional Penanggulangan AIDS di Indonesia (Keputusan Menko Kesra No. KEP/MENKO/KESRA/VI/1994) disebutkan: Setiap kebijakan, program, pelayanan dan kegiatan harus tetap menghormati harkat dan martabat dari pada pengidap HIV/penderita AIDS dan keluarganya. Selain itu disebutkan pula: Setiap pemeriksaan untuk mendiagnosa HIV/AIDS harus didahului dengan penjelasan yang benar dan mendapat persetujuan yang bersangkutan (informed consent). Sebelum dan sesudahnya harus diberikan konseling yang memadai dan hasil pemeriksaan wajib dirahasiakan.

Berkaitan dengan pelanggaran hukum dan HAM ini praktisi hukum peduli HIV/AIDS di Bali mengeluarkan Pernyataan Sanur (8/5-1998--lihat HindarAIDS No. 13) yang antara lain menyebutkan: Diperlukan perlindungan hukum atas hak privasi, perlindungan terhadap Odha dan keluarganya sampai Odha meninggal dunia, perlindungan terhadap pemaksaan untuk menjalani tes HIV, perlindungan atas kebebasan dan keamanan Odha, perlindungan atas kebebasan dari perlakuan atau hukum yang tidak manusiawi, serta perlindungan atas hak untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan.
Pembaharuan Data: 14 February, 1999 © Copyright YAYASAN PAKTA communications
[Sumber: http://pakta.tripod.com/_paktadisc1/00000019.htm#]

84 Persen Kasus Ada di Asia Afrika, KAA Tak Bahas HIV/AIDS

Khudori    •    Minggu, 19 Apr 2015 09:54 WIB

Metrotvnews.com, Jakarta: Jumlah penderita HIV/AIDS di kawasan Asia dan Afrika sangat mengkhawatirkan, dari 35 juta kasus di dunia, 84,29 persen atau 29,5 juta kasus terjadi di Asia dan Afrika. Namun masalah besar itu luput dari perhatian Konferensi Asia Afrika (KAA) yang berlangsung dari tanggal 19-24 April 2055 di Jakarta dan Bandung.
 
Aktivis AIDS Watch Indonesia (AWI) Jakarta, Syaiful W. Harahap mengatakan, dalam satu tahun jumlah kasus HIV yang terjadi di kawasan Asia Afrika mencapai 1.564.000 - 2.151.000.
 
“Angka-angka itu sangat nyata, tapi banyak pemimipin di Asia dan Afrika menutup mata karena mereka memakai pijakan moral dalam memandang HIV/AIDS sebagai fakta medis. Sayang, satu masalah besar yaitu AIDS luput dari perhatian,” kata Syaiful dalam siaran pernya yang diterima Metrotvnews.com, Minggu (19/4/2015).
 
Menurutnya, banyak negara di Asia dan Afrika menampik HIV/AIDS sebagai ancaman kesehatan masyarakat terhadap negaranya, karena mereka berbudaya dan beragama. “Seperti Indonesia di awal epidemi tahun 1980 selalu mengatakan AIDS tidak akan masuk ke Indonesia karena masyarakat Indonesia berbudaya timur dan beragama.
 
Ganjalan terbesar dalam penanggulangan HIV/AIDS di kawasan Asia dan Afrika adalah, banyak negara yang mengaitkan HIV/AIDS dengan norma, moral dan agama, sehingga program pencegahan yang realistis tidak dijalankan. “Ini yang perlu diperangi dan bisa menjadi bagian dari pembicaraan pada konferensi,” kata Syaiful.
 
Ia menilai, muara dari pengaitan norma, moral dan agama kepada HIV/AIDS adalah penolakan besar-besaran terhadap kondom karena dikesankan sosialisasi kondom akan melegalkan perzinaan dan pelacuran. “Tanpa ada kondom pun zina dan pelacuran terus berlangsung,” ujarnya.
 
Dengan jumlah kasus HIV/AIDS yang besar di Asia dan Afrika tentulah kelak akan menjadi beban karena akan banyak anak yang lahir dengan HIV/AIDS. “Ini titik lemah yang akan membuat Asia Afrika terpuruk di tengah persaingan global,” kata Syaiful. (FZN)

[Sumber: http://jatim.metrotvnews.com/read/2015/04/19/388110/84-persen-kasus-ada-di-asia-afrika-kaa-tak-bahas-hiv-aids

Edukasi Tentang HIV/AIDS



Entah baru dengar dari teman, tak sengaja nonton TV atau baca di media online maupun cetak, anak yang Anda anggap masih polos dan lugu, tiba-tiba melontarkan pertanyaan tentang apa itu HIV/AIDS. Mama pasti sudah sering mendengar tentang istilah HIV/AIDS ini. Namun, mungkin karena merasa ‘jauh’ dari kemungkinan terinfeksi, Mama tidak merasa perlu untuk mencari tahu. Padahal, sejak dimulainya epidemi HIV, sekitar tahun 1981, AIDS telah merenggut nyawa lebih dari 25 juta orang, dan lebih dari 14 juta anak kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya akibat AIDS. 

Dan, kenyataan yang mengerikan, selain dari penularan antara lain melalui hubungan seksual tanpa pengaman (kondom), transfusi darah yang sudah terkontaminasi virus HIV, akhir-akhir ini kasus HIV/AIDS di Indonesia banyak terdeteksi pada penyalah guna narkoba dengan jarum suntik, terutama di kalangan remaja. Memiliki anak usia praremaja memang sebaiknya orang tua memahami secara benar HIV/AIDS. Sehingga, Anda bisa menjelaskan kepada buah hati tercinta secara tepat.  Mencegah jauh lebih baik dilakukan sejak usia dini. Nah, kini saatnya ‘menimba ilmu’ tentang HIV/AIDS dari ahlinya.  Syaiful W. Harahap dari dari AIDS Watch Indonesia, yang sangat aktif menulis tentang HIV/AIDS di media cetak maupun online, membantu Anda menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang HIV/AIDS yang mungkin dilontarkan anak kepada Anda.

Singkatan dari apa sih HIV itu?
H dari Human atau manusia I dari Immunodefiency yang artinya sistem kekebalan tubuh tidak bekerja 
secara benar. Sistem kekebalan tubuh adalah sekelompok sel di dalam tubuh kita yang bekerja untuk menjaga dari kuman yang bisa membuat kamu jadi sakit. V dari virus. Virus adalah kuman yang sangat kecil yang tidak bisa kita lihat dengan mata. Virus bisa menyebabkan kita sakit. Virus mengubah sel yang sehat menjadi sel yang sakit dan kemudian membuat kekebalan tubuh kita tidak bisa bekerja dengan baik.

Terus, bagaimana dengan AIDS?
AIDS kependekan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome atau kumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh seseorang.

Lalu, apa beda HIV dan AIDS?
Jadi, HIV itu adalah virus, sedangkan AIDS adalah 
kondisi ketika seseorang yang tertular HIV sudah mencapai masa AIDS yang terjadi antara 5 sampai 15 tahun sesudah tertular.

Kenapa orang bisa kena?
Ada 5 kemungkinan seseorang tertular HIV/AIDS yaitu:
1. Dari transfusi darah yang mengandung HIV.
2. Melalui jarum suntik yang terkontaminasi HIV, misalnya pecandu narkoba yang menggunakan jarum suntik secara bergantian.
3. Dari seorang ibu dengan HIV/AIDS ke anak yang dikandungnya.
4. Dari seorang ibu dengan HIV/AIDS melalui proses menyusui.
5. Melalui hubungan seksual (catatan: jawaban disesuaikan dengan usia anak)

Foto : Fotosearch


[Sumber: http://www.parenting.co.id/keluarga/edukasi-tentang-hiv-aids]