* Syaiful W. Harahap, Direktur Eksekutif LSM InfoKespro Jakarta
[Sumber: Harian “Lampung Post”, 2 Desember 2004]
Dalam laporan kasus HIV/AIDS nasional yang dikeluarkan Ditjen PPM & PL, Depkes, 5 Oktober 2004, periode Juli--September 2004 ada lima kasus AIDS yang dilaporkan dari Provinsi Lampung. Sampai 30 September 2004, kasus kumulatif HIV/AIDS di Lampung tercatat 25 kasus HIV/AIDS yang terdiri atas 19 HIV dan 6 AIDS dengan tiga kematian serta lima kasus AIDS di kalangan pengguna narkoba suntikan (IDU). Secara nasional Lampung menduduki peringkat ke-20.
Secara nasional kasus HIV/AIDS sampai 30 September 2004 tercatat 5.701 yang terdiri atas 3.338 HIV dan 2.363 AIDS. Kasus HIV/AIDS global sampai akhir 2001 tercatat 40 juta orang. Angka yang dilaporkan Depkes tidak menggambarkan angka yang sebenarnya.
Epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es (iceberg phenomenon). Artinya, angka yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang tidak terdeteksi (lihat gambar). Kalangan ahli epidemilogi memperkirakan kasus HIV/AIDS di Indonesia antara 80 ribu dan 120 ribu.
Lebih dari separo kasus HIV/AIDS dunia dideteksi di kalangan perempuan. UNAIDS (Badan PBB untuk HIV/AIDS) menetapkan tema Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2004, yaitu Perempuan, Remaja Putri, dan HIV/AIDS. Tema ini terkait posisi perempuan yang rentan tertular HIV karena ulah suami, pacar atau pasangannya. Sebagian perempuan tertular HIV karena kekerasan, seperti pemerkosaan.
Di banyak negara, ledakan kasus HIV/AIDS dipicu pengguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) dengan suntikan. Di Lampung tercatat lima kasus AIDS di kalangan pengguna narkoba suntikan. Angka ini bisa menjadi pemicu HIV/AIDS di Lampung karena seorang pengguna narkoba yang positif HIV akan menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal.
Awalnya penularan terjadi di kalangan sesama pengguna narkoba yang memakai jarum suntik dan semprit dengan bergiliran dan bersama-sama. Selanjutnya, penyebaran masuk masyarakat. Bagi pengguna narkoba yang beristri, dia akan menularkannya pada istrinya. Jika istrinya tertular, dia pun akan menularkan HIV kepada bayi yang dikandung saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).
Lima pengguna narkoba di Lampung yang mencapai masa AIDS tidak menyadari kalau selama bertahun-tahun mereka menyuntikkan narkoba dengan berganti-ganti jarum suntik dan semprit dengan pengguna narkoba lain. Soalnya, sebelum masa AIDS, ada rentang waktu 5--10 tahun. Biar pun pada rentang waktu itu seorang yang positif HIV tidak menunjukkan gejala AIDS, dia sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain.
Bahkan, ada kemungkinan ada di antara mereka yang juga melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK). Jika ada PSK yang tertular maka laki-laki yang menjadi pengguna PSK itu pun berisiko pula tertular HIV. Pada akhirnya laki-laki pengguna PSK pun menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat antara lain kepada istri, pacar, pasangan atau PSK lain.
HIV (human immunodeficiency virus) yang menyebabkan AIDS (acquired immunedeficiency syndrome), yaitu sindrom cacat kekebalan tubuh dapatan hanya menular melalui; (1) hubungan seks, heteroseks (laki-laki dengan perempuan), biseks (laki-laki dengan perempuan atau dengan laki-laki), seks oral dan seks anal tanpa kondom di dalam dan di luar nikah serta homoseks (gay) dengan seseorang yang positif HIV, (2) melalui transfusi darah yang tercemar HIV, (3) melalui jarum suntik, alat-alat kesehatan, jarum tindik atau jarum tato yang tercemar HIV, dan (4) dari seorang wanita yang positif HIV kepada bayi yang dikandung terutama saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).
Persoalan yang dihadapi dalam epidemi HIV/AIDS adalah kita tidak bisa mengenali orang-orang yang positif HIV secara fisik. Hampir 80% ODHA (orang yang hidup dengan HIV/AIDS) tidak menyadari dirinya tertular HIV. Gejala-gejala panas, berat badan turun, diare, dll. tidak otomatis terkait HIV/AIDS karena gejala itu juga terjadi karena penyakit lain.
Kalau ada seseorang yang mengalami panas, berat badan turun, diare, dll. ternyata dia pernah melakukan kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV, gejala tersebut bisa terkait HIV/AIDS. Kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV adalah (1) melakukan hubungan seks penetrasi, heteroseks (laki-laki dengan perempuan), biseks (laki-laki dengan perempuan atau dengan laki-laki), seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah serta seks oral dan seks anal di kalangan homoseks (gay), (2) melakukan hubungan seks, heteroseks, biseks, seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks atau waria di dalam dan di luar nikah, (3) menerima transfusi darah yang tidak di-screening HIV, dan (4) memakai jarum suntik dan semprit bersama dengan bergiliran dan bergantian.
Karena epidemi HIV sudah masuk masyarakat, antara lain ditandai kasus HIV positif di kalangan ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak, upaya memutus mata rantai penyebaran HIV adalah meningkatkan penyuluhan dengan mengedepankan fakta medis tentang HIV/AIDS bukan mitos (anggapan yang salah).
Selama ini HIV/AIDS dikait-kaitkan zina, pelacuran, gay, waria, dll. Padahal tidak ada kaitan langsung antara zina, pelacuran, gay, waria dll. dan penularan HIV/AIDS.
Untuk memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal, antarpenduduk perlu ditingkatkan penyuluhan agar laki-laki dan perempuan yang pernah melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS menjalani tes HIV secara sukarela.
Dengan mengetahui status HIV/AIDS seseorang dapat dibimbing agar tidak menularkannya kepada orang lain. Selain itu dapat pula ditangani secara medis, antara lain dengan memberikan obat antiretroviral (untuk menekan pertumbuhan HIV di dalam darah) sehingga yang bersangkutan tetap hidup produktif sebelum dan sesudah mencapai masa AIDS. ***
20 Oktober 2017
Menekan Laju Penyebaran HIV/AIDS di Banten
Oleh: Syaiful W. Harahap
[Pemerhati HIV/AIDS melalui LSM (media watch) “InfoKespro”, Jakarta dan instruktur pada pelatihan wartawan untuk penulisan berita HIV/AIDS yang komprehensif]
Awal tahun 1990-an Thailand sudah diingatkan oleh kalangan epidemiolog untuk menanggulangi epidemic HIV agar kelak tidak menjadi masalah. Thailand menampik dengan alasan penduduk negeri itu berbudaya dan beragama. Apa yang terjadi sepuluh tahun kemudian? Devisa dari sektor pariwisata hanya bisa menutupui dua pertiga biaya penanggulangan HIV/AIDS. Hal yang sama akan terjadi Indonesia.
Kasus HIV/AIDS di Thailand terus meroket sampai awal tahun 2000-an jumlahnya mencapai 1 juta. Untunglah kalangan agamawan, dalam hal ini vihara, menjadi tulang punggung pemerintah menangani kasus HIV/AIDS. Vihara menampung orang-orang yang sudah mencapai masa AIDS.
Indonesia sebduru menjadi negara ketiga tercepat pertambahan kasus HIV/AIDS di Asia setelah India dan Cina. Tahun 2001 Dr Peter Piot, waktu itu direktur eksekutif UNAIDS, sudah mengingatkan Indonesia di ICAAP VI, Melbourne, Australia, tentang percepatan kasus HIV/AIDS, terutama di kalangan pengguna narkoba.
Peringatan itu tidak ditanggapi pemerintah. Sekarang lebih dari 40 persen kasus AIDS di Indonesia terdeteksi di kalangan pengguna narkoba. Berbagai kalangan mulai panik menghadapi pertambahan kasus HIV/AIDS yang terus meningkat yang dapat disimak dari berita di media massa.
Pada priode Maret-Agustus 2008 ada 13 berita HIV/AIDS di harian ”Radar Banten”. Luar biasa. Ini merupakan tanggung jawab sosial. ”Radar Banten” sudah menempatkan diri sebagai agen perubahan, di sisi lain pernyataan narasumber tidak akurat. Kemampuan wartawan untuk menulis berita HIV/AIDS yang komprehensif pun masih rendah.
Mata Rantai
Pada berita ”Lakukan Tes Darah Secara Intens, Antisipasi Penyabaran HIV/AIDS” (31/3) ada fakta yang luput. Kasus HIV/AIDS pada pekerja seks dan karyawan tempat-tempat hiburan justru merupakan gambaran ril kasus HIV/AIDS di masyarakat lokal.
Pertama, pekerja seks yang terdeteksi HIV-positif di Banten tertular HIV dari laki-laki penduduk lokal atau pendatang. Kalau ini yang terjadi maka konsentrasi HIV di masyarakat, terutama laki-laki dewasa yang sering melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan pekerja seks, sudah tinggi. Laki-laki yang menularkan HIV kepada pekerja seks itulah yang justru menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk. Laki-laki ini dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai suami, pacar, duda, lajang, perjaka, remaja yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, sopir, pedagang, petani, nelayan, mahasiswa, pelajar, perampok, dll.
Kedua, pekerja seks yang terdeteksi HIV-positif di Banten sudah mengidap HIV ketika mulai ’praktek’ di Banten. Kalau ini yang terjadi maka laki-laki penduduk lokal atau pendatang berisiko tinggi tertular HIV jika mereka tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seks dengan pekerja seks. Laki-laki yang tertular HIV dari pekerja seks itulah kelak yang akan menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk.
Penularan HIV bisa terjadi setiap saat ketika terjadi hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks. Biar pun tes HIV dilakukan setiap hari risiko penularan tetap tidak bisa dicegah. Tes yang ada sekarang yaitu rapid test dan ELISA hanya mencari antibody HIV bukan virus HIV. Antibody HIV baru bisa terdeteksi pada darah seseorang yang tertular HIV setelah tiga bulan tertular.
Pada rentang waktu sebelum terdeteksi HIV-positif (disebut masa jendela) sudah terjadi penularan tanpa disadari. Hal ini terjadi karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5-10 tahun).
Jika sudah masa AIDS akan mulai muncul penyakit yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare, pnemonia, sariawan, TB, dll. Karena penyakit yang seharusnya mudah sembuh ini tapi sangat sulit sembuh pada Odha (Orang dengah HIV/AIDS) maka mereka akan berobat ke rumah sakit. Dokter yang jeli akan melihat kaitan gejala itu dengan HIV/AIDS berdasarkan prilaku pasien. Di hari-hari mendatang kasus HIV/AIDS akan terus terdeteksi di rumah sakit. Fakta ini tidak terungkap pada berita ”RSUD Kembali Temukan Penderita HIV/AIDS” (24/7).
Realitas di balik fakta kematian Odha juga sering tidak muncul. Berita ”Sudah 27 Orang Penderita yang Meninggal Dunia, Fenomena Penyebaran Virus AIDS/HIV di Banten” (20/4) tidak muncul realitas terkait kematian Odha. Begitu pula pada berita ”33 Warga Meninggal Terjangkit AIDS, 63 Dinyatakan Positif HIV” (28/6). Sebelum 27 dan 33 Odha itu meninggal tanpa disadari mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain. Ini mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Bagi yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya, pasangan seksnya atau pekerja seks. Kalau istrinya tertular maka ada risiko penularan terhadap anak yang dikandungnya (vertikal) terutama pada saat melahirkan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).
Realitas sosial terkait epidemi HIV juga tidak muncul pada berita ”76 Kantung Positif HIV/AIDS” (26/4). Celakanya, pernyataan Arif Mulyawan, Program Officer KPAP Banten, juga tidak akurat. Dalam berita dia mengatakan tidak mengetahui indentitas pendonor yang darahnya HIV-positif karena dia tidak tahu asal donor. Ini ngawur. Di Unit-unit Transfusi Darah (UTD) PMI berlaku unliked anonymous karena yang diskrining bukan donor tapi darah donor. Tidak ada identitas pada darah donor yang diskrining HIV.
Tes Konfirmasi
Fakta ini menujukkan di masyarakat umum, di luar kalangan pekerja seks, waria, dan karyawan tempat hiburan, sudah ada kasus HIV/AIDS. Mereka tidak terdeteksi. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV karena mereka tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV.
Persoalan lain yang sering tidak akurat adalah tentang angka HIV/AIDS. Ada kasus HIV yang terdeteksi dari survailans tes untuk mencari prevalensi (angka perbandingan antara yang HIV-positif dan HIV-negatif pada kalangan tertentu dan pada kurun waktu yang tertentu pula). Ada kasus HIV yang terdeteksi pada skrining darah donor di UTD PMI. Kasus-kasus ini belum positif sebagai HIV karena ada ketentuan setiap tes HIV harus dikonfirmasi dengan tes lain. Hasil tes ini tidak perlu dikonfirmasi karena data itu hanya untuk keperluan epidemiologi, seperti merancang kegiatan penanggulangan, penyediaan obat, dll. Tes di PMI pun tidak dikonfirmasi karena hanya untuk keperluan transfusi.
Angka kasus HIV dan AIDS yang valid adalah tes HIV yang sudah dikonfirmasi. Misalnya, tes pertama dengan rapid test atau ELISAdikonfiramsi dengan tes Western blot. Bisa juga tes dilakukan tiga kali dengan ELISA tapi dengan cara dan reagen yang berbeda. Ini dilakukan jika sudah ada gejala terkait AIDS atau riwayat perilaku yang bersangkutan berisiko tertular HIV. Wartawan sering tidak jeli tentang angka ini. Narasumber pun tidak pula semuanya paham.
Ketika di banyak negara kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa mulai menunjukkan grafik yang mendatar di Indonesia justru sebaliknya. Kasus HIV/AIDS terus muncul. Komentar pun muncul. Ada berita ”Penyebaran HIV/AIDS Harus Ditekan” (5/8). Tapi, Hezi F Zebua, Ketua Komisi B DPRD Lebak, sebagai narasumber justru menyampiakan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Hezi mengatakan: ”.... peningkatan jumlah penyakit ini, sebagian besar akibat seks bebas ....” Ini tidak akurat karna tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan seks bebas dan narkoba. Penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, bisa terjadi kalau salah satu dari pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap sanggama.
Salah satu faktor yang membuat epidemi HIV/AIDS menjadi persoalan besar adalah karena selama ini materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV selalu dibalut dengan norma, moral, dan agama. Akibatnya, yang muncul hanya mitos. Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis sehingga pencegahannya pun dapat dilakukan dengan teknologi kedokteran.
Upaya menekan laju penyebaran HIV melalui hubungan seks adalah dengan menganjurkan agar laki-laki yang melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan selalu memakai kondom. Sedangkan melalui jaum suntik pada pengguna narkoba dilakukan dengan program metadhon yaitu mengganti narkoba suntikan dengan narkoba cair sintetis yang ditelan.
Laki-laki dan perempuan yang pernah melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan agar menjalani tes HIV. Semakin banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus. ***
[Pemerhati HIV/AIDS melalui LSM (media watch) “InfoKespro”, Jakarta dan instruktur pada pelatihan wartawan untuk penulisan berita HIV/AIDS yang komprehensif]
Awal tahun 1990-an Thailand sudah diingatkan oleh kalangan epidemiolog untuk menanggulangi epidemic HIV agar kelak tidak menjadi masalah. Thailand menampik dengan alasan penduduk negeri itu berbudaya dan beragama. Apa yang terjadi sepuluh tahun kemudian? Devisa dari sektor pariwisata hanya bisa menutupui dua pertiga biaya penanggulangan HIV/AIDS. Hal yang sama akan terjadi Indonesia.
Kasus HIV/AIDS di Thailand terus meroket sampai awal tahun 2000-an jumlahnya mencapai 1 juta. Untunglah kalangan agamawan, dalam hal ini vihara, menjadi tulang punggung pemerintah menangani kasus HIV/AIDS. Vihara menampung orang-orang yang sudah mencapai masa AIDS.
Indonesia sebduru menjadi negara ketiga tercepat pertambahan kasus HIV/AIDS di Asia setelah India dan Cina. Tahun 2001 Dr Peter Piot, waktu itu direktur eksekutif UNAIDS, sudah mengingatkan Indonesia di ICAAP VI, Melbourne, Australia, tentang percepatan kasus HIV/AIDS, terutama di kalangan pengguna narkoba.
Peringatan itu tidak ditanggapi pemerintah. Sekarang lebih dari 40 persen kasus AIDS di Indonesia terdeteksi di kalangan pengguna narkoba. Berbagai kalangan mulai panik menghadapi pertambahan kasus HIV/AIDS yang terus meningkat yang dapat disimak dari berita di media massa.
Pada priode Maret-Agustus 2008 ada 13 berita HIV/AIDS di harian ”Radar Banten”. Luar biasa. Ini merupakan tanggung jawab sosial. ”Radar Banten” sudah menempatkan diri sebagai agen perubahan, di sisi lain pernyataan narasumber tidak akurat. Kemampuan wartawan untuk menulis berita HIV/AIDS yang komprehensif pun masih rendah.
Mata Rantai
Pada berita ”Lakukan Tes Darah Secara Intens, Antisipasi Penyabaran HIV/AIDS” (31/3) ada fakta yang luput. Kasus HIV/AIDS pada pekerja seks dan karyawan tempat-tempat hiburan justru merupakan gambaran ril kasus HIV/AIDS di masyarakat lokal.
Pertama, pekerja seks yang terdeteksi HIV-positif di Banten tertular HIV dari laki-laki penduduk lokal atau pendatang. Kalau ini yang terjadi maka konsentrasi HIV di masyarakat, terutama laki-laki dewasa yang sering melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan pekerja seks, sudah tinggi. Laki-laki yang menularkan HIV kepada pekerja seks itulah yang justru menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk. Laki-laki ini dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai suami, pacar, duda, lajang, perjaka, remaja yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, sopir, pedagang, petani, nelayan, mahasiswa, pelajar, perampok, dll.
Kedua, pekerja seks yang terdeteksi HIV-positif di Banten sudah mengidap HIV ketika mulai ’praktek’ di Banten. Kalau ini yang terjadi maka laki-laki penduduk lokal atau pendatang berisiko tinggi tertular HIV jika mereka tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seks dengan pekerja seks. Laki-laki yang tertular HIV dari pekerja seks itulah kelak yang akan menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk.
Penularan HIV bisa terjadi setiap saat ketika terjadi hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks. Biar pun tes HIV dilakukan setiap hari risiko penularan tetap tidak bisa dicegah. Tes yang ada sekarang yaitu rapid test dan ELISA hanya mencari antibody HIV bukan virus HIV. Antibody HIV baru bisa terdeteksi pada darah seseorang yang tertular HIV setelah tiga bulan tertular.
Pada rentang waktu sebelum terdeteksi HIV-positif (disebut masa jendela) sudah terjadi penularan tanpa disadari. Hal ini terjadi karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5-10 tahun).
Jika sudah masa AIDS akan mulai muncul penyakit yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare, pnemonia, sariawan, TB, dll. Karena penyakit yang seharusnya mudah sembuh ini tapi sangat sulit sembuh pada Odha (Orang dengah HIV/AIDS) maka mereka akan berobat ke rumah sakit. Dokter yang jeli akan melihat kaitan gejala itu dengan HIV/AIDS berdasarkan prilaku pasien. Di hari-hari mendatang kasus HIV/AIDS akan terus terdeteksi di rumah sakit. Fakta ini tidak terungkap pada berita ”RSUD Kembali Temukan Penderita HIV/AIDS” (24/7).
Realitas di balik fakta kematian Odha juga sering tidak muncul. Berita ”Sudah 27 Orang Penderita yang Meninggal Dunia, Fenomena Penyebaran Virus AIDS/HIV di Banten” (20/4) tidak muncul realitas terkait kematian Odha. Begitu pula pada berita ”33 Warga Meninggal Terjangkit AIDS, 63 Dinyatakan Positif HIV” (28/6). Sebelum 27 dan 33 Odha itu meninggal tanpa disadari mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain. Ini mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Bagi yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya, pasangan seksnya atau pekerja seks. Kalau istrinya tertular maka ada risiko penularan terhadap anak yang dikandungnya (vertikal) terutama pada saat melahirkan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).
Realitas sosial terkait epidemi HIV juga tidak muncul pada berita ”76 Kantung Positif HIV/AIDS” (26/4). Celakanya, pernyataan Arif Mulyawan, Program Officer KPAP Banten, juga tidak akurat. Dalam berita dia mengatakan tidak mengetahui indentitas pendonor yang darahnya HIV-positif karena dia tidak tahu asal donor. Ini ngawur. Di Unit-unit Transfusi Darah (UTD) PMI berlaku unliked anonymous karena yang diskrining bukan donor tapi darah donor. Tidak ada identitas pada darah donor yang diskrining HIV.
Tes Konfirmasi
Fakta ini menujukkan di masyarakat umum, di luar kalangan pekerja seks, waria, dan karyawan tempat hiburan, sudah ada kasus HIV/AIDS. Mereka tidak terdeteksi. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV karena mereka tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV.
Persoalan lain yang sering tidak akurat adalah tentang angka HIV/AIDS. Ada kasus HIV yang terdeteksi dari survailans tes untuk mencari prevalensi (angka perbandingan antara yang HIV-positif dan HIV-negatif pada kalangan tertentu dan pada kurun waktu yang tertentu pula). Ada kasus HIV yang terdeteksi pada skrining darah donor di UTD PMI. Kasus-kasus ini belum positif sebagai HIV karena ada ketentuan setiap tes HIV harus dikonfirmasi dengan tes lain. Hasil tes ini tidak perlu dikonfirmasi karena data itu hanya untuk keperluan epidemiologi, seperti merancang kegiatan penanggulangan, penyediaan obat, dll. Tes di PMI pun tidak dikonfirmasi karena hanya untuk keperluan transfusi.
Angka kasus HIV dan AIDS yang valid adalah tes HIV yang sudah dikonfirmasi. Misalnya, tes pertama dengan rapid test atau ELISAdikonfiramsi dengan tes Western blot. Bisa juga tes dilakukan tiga kali dengan ELISA tapi dengan cara dan reagen yang berbeda. Ini dilakukan jika sudah ada gejala terkait AIDS atau riwayat perilaku yang bersangkutan berisiko tertular HIV. Wartawan sering tidak jeli tentang angka ini. Narasumber pun tidak pula semuanya paham.
Ketika di banyak negara kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa mulai menunjukkan grafik yang mendatar di Indonesia justru sebaliknya. Kasus HIV/AIDS terus muncul. Komentar pun muncul. Ada berita ”Penyebaran HIV/AIDS Harus Ditekan” (5/8). Tapi, Hezi F Zebua, Ketua Komisi B DPRD Lebak, sebagai narasumber justru menyampiakan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Hezi mengatakan: ”.... peningkatan jumlah penyakit ini, sebagian besar akibat seks bebas ....” Ini tidak akurat karna tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan seks bebas dan narkoba. Penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, bisa terjadi kalau salah satu dari pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap sanggama.
Salah satu faktor yang membuat epidemi HIV/AIDS menjadi persoalan besar adalah karena selama ini materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV selalu dibalut dengan norma, moral, dan agama. Akibatnya, yang muncul hanya mitos. Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis sehingga pencegahannya pun dapat dilakukan dengan teknologi kedokteran.
Upaya menekan laju penyebaran HIV melalui hubungan seks adalah dengan menganjurkan agar laki-laki yang melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan selalu memakai kondom. Sedangkan melalui jaum suntik pada pengguna narkoba dilakukan dengan program metadhon yaitu mengganti narkoba suntikan dengan narkoba cair sintetis yang ditelan.
Laki-laki dan perempuan yang pernah melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan agar menjalani tes HIV. Semakin banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus. ***
Menelrkan Perda AIDS yang Efektif
Oleh: Syaiful W. Harahap
[Pemerhati berita HIV/AIDS di media massa melalui LSM (media watch) “InfoKespro”, Jakarta]
Bulan Agustus 2008 ada tiga berita tentang HIV/AIDS di harian ”Pontianak Post”, yaitu (1) Laju AIDS Diatur Perda (12/8), (2) HIV/AIDS, Kalbar Urutan Tiga Nasional (14/8), dan (3) HIV/AIDS, Kalbar Bisa No. 1 (15/8). Pernyataan yang muncul di tiga berita ini menunjukkan pemahaman yang tidak komprehensif terhadap HIV/AIDS di banyak kalangan sehingga upaya penanggulangan pun tidak menyentuh akar persoalan. DPRD Kalbar menggagas Perda Penanggulangan HIV/AIDS. Sudah banyak kabupaten, kota, dan provinsi yang menelurkan Perda Penanggulangan HIV/AIDS tapi hasilnya nol besar.
Mengapa Perda-perda AIDS tidak bisa bekerja? Ide pembuatan perda bertolak dari cerita sukses Thailand menekan laju infeksi HIV baru di kalangan dewasa melalui ’Program Wajib Kondom 100 Persen’. Perda pertama dihasilkan Pemkab Merauke, Papua (2003) yang disusul beberapa kabupaten, kota dan provinsi di seluruh Indonesia. Program ini jelas tidak bisa diterapkan di Indonesia karena: (a) di Indonesia tidak ada lokaliasi pelacuran dan rumah bordir yang ’resmi’, dan (b) sosialisasi kondom sebagai alat untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seks tidak diterima banyak kalangan.
Selain itu perda-perda yang dihasilkan di Indonesia tidak melihat program penanggulangan AIDS di Thailand secara utuh. ’Program Wajib Kondom 100 Persen’ itu bagian terakhir dari serangkaian program yang dijalankan Thailand dalam menanggulangi HIV/AIDS.
Fakta Medis
Akibanya, perda-perda penanggulangan AIDS yang diterbitkan di Indonesia tidak menyentuh akar persoalan utama dalam epidemi HIV. Semua perda mengedepankan norma, moral, dan agama sebagai ’alat’ untuk menanggulangi epidemi HIV. Perda AIDS Prov Riau, misalnya, menyebutkan cara mencegah penularan HIV adalah dengan meningkatkan iman dan taqwa. Bagaimana mengukur iman dan taqwa yang bisa mencegah HIV? Cara ini tidak akan berhasil karena tidak ada kaitan langsung antara norma, moral, dan agama dengan penularan HIV.
HIV/AIDS adalah fakta medis yaitu bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga pencegahannya pun dapat dilakukan secara medis. HIV adalah virus yang tergolong retrovirus yaitu virus yang bisa menggandakan diri di dalam sel-sel darah putih manusia. Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam (a) cairan darah (laki-laki dan perempuan), (b) air mani (laki-laki, dalam sperma tidak ada HIV), (c) cairan vagina (perempuan), dan (d) air susu ibu/ASI (perempuan).
Penularan HIV melalui darah bisa terjadi kalau darah yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan dan cangkok organ tubuh.
Penularan HIV melalui air mani dan cairan vagina bisa terjadi jika air mani dan cairan vagina yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah. Maka, tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan ’hubungan bebas di luar nikah’ dan ’seks bebas’. Penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi karena kondisi hubungan seks (salah satu atau kedua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom) bukan karena sifat hubungan seks (sebelum menikah, di luar nikah, jajan, seks bebas, dll.).
Penularan HIV melalui ASI bisa terjadi kalau ASI yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui proses menyusui.
Jika perda dibuat untuk menanggulangi penyebaran HIV maka yang diatur adalah pencegahan melalui cara-cara di atas. Tapi, yang diatur dalam perda-perda AIDS yang sudah ada justru sama sekali tidak menyentuh cara-cara penularan. Tentu saja perda itu tidak bisa bekerja dan laju penyebaran HIV terus terjadi.
Salah satu yang diatur dalam perda adalah larangan menularkan HIV kepada orang lain. Ini naif karena fakta menunjukkan penularan HIV justru terjadi tanpa disadari karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum mencapai masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tertular HIV).
Ada salah kaprah tentang epidemi terkonsentrasi. Karena survailans tes HIV hanya dilakukan di kalangan pekerja seks tentu saja hasilnya tinggi karena tidak ada pembanding, misalnya, laki-laki pelanggan pekerja seks. Celakanya, konsentrasi HIV yang tinggi di kalangan pekerja seks tidak disikapi dengan arif.
Fakta itu dapat disimak dari dua aspek.
Pertama, pekerja seks yang terdeteksi HIV-positif di Kalbar tertular HIV dari laki-laki sebagai penduduk lokal atau pendatang. Kalau ini yang terjadi maka konsentrasi HIV di masyarakat, terutama laki-laki dewasa yang sering melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan pekerja seks dan istrinya, juga tinggi. Laki-laki yang menularkan HIV kepada pekerja seks itulah yang justru menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk. Laki-laki ini dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai suami, pacar, duda, lajang, perjaka, remaja yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, sopir, pedagang, petani, nelayan, mahasiswa, pelajar, perampok, dll.
Perilaku Berisiko
Kedua, pekerja seks yang terdeteksi HIV-positif sudah mengidap HIV ketika mulai ’praktek’ di Kalbar. Kalau ini yang terjadi maka laki-laki penduduk lokal atau pendatang berisiko tinggi tertular HIV jika mereka tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seks dengan pekerja seks. Laki-laki yang kelak tertular HIV dari pekerja seks akan menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk.
Jika perda dibuat untuk menahan laju penyebaran HIV maka yang perlu diatur adalah perilaku yang berisiko tinggi tertular HIV dan menyebarakan HIV antar penduduk. Sayang, pada semua perda yang sudah ada tidak ada pasal yang mengatur hal ini.
Perilaku berisiko tertular HIV adalah (a) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, dan (b) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.
Perilaku inilah yang perlu diatur agar penyebaran HIV bisa ditekan. Dalam perda harus ada pasal yang mengatur hal ini yang berbunyi: “Setiap orang yang melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering bergangi-ganti pasangan diwajibkan memakai kondom.” Selanjutnya disebutkan pula: “Setiap orang yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering bergangi-ganti pasangan diwajibkan melakukan tes HIV.”
Sedangkan menekan laju penyebaran HIV melalui jarum suntik pada pemakai narkoba dapat dilakukan dengan program pertukaran jarum suntik dan penggantian narkoba suntik dengan narkoba sintetis, dikenal sebagai metadhon. Perda melarang pengguna narkoba dengan jarum suntik memakai jarum secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian. Mereka diwajibkan memakai jarum yang steril. Bisa pula mereka diarahkan untuk mengganti narkoba suntikan dengan metadhon sehingga mereka tidak lagi memakai jarum suntik.
Menekan penularan HIV secara vertikal dari seorang ibu yang HIV-positif kepada bayi yang dikandungnya dapat dilakukan dengan survailans tes HIV terhadap perempuan hamil. Untuk itu perda mengatur agar perempuan yang hamil menjalani tes HIV secara sukarela. Jika mereka terdeteksi HIV-positif maka dapat ditangani secara medis sehingga risiko penularan diturukan dari 30 persen menjadi 8 persen. Cara ini sudah lama dilakukan oleh Malaysia sehingga menurukan angka bayi yang tertular HIV.
Kepanikan di banyak kalangan juga terjadi karena kasus HIV/AIDS kian banyak. Kalau saja fakta ini disikapi dengan arif maka penemuan kasus terjadi karena kegiatan survailans dan tes. Selain itu kasus pun kian banyak terdeteksi pada penduduk yang sudah mencapai masa AIDS ketika berobat karena mereka sudah menderita berbagai penyakit.
Semakin banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus. ***
[Pemerhati berita HIV/AIDS di media massa melalui LSM (media watch) “InfoKespro”, Jakarta]
Bulan Agustus 2008 ada tiga berita tentang HIV/AIDS di harian ”Pontianak Post”, yaitu (1) Laju AIDS Diatur Perda (12/8), (2) HIV/AIDS, Kalbar Urutan Tiga Nasional (14/8), dan (3) HIV/AIDS, Kalbar Bisa No. 1 (15/8). Pernyataan yang muncul di tiga berita ini menunjukkan pemahaman yang tidak komprehensif terhadap HIV/AIDS di banyak kalangan sehingga upaya penanggulangan pun tidak menyentuh akar persoalan. DPRD Kalbar menggagas Perda Penanggulangan HIV/AIDS. Sudah banyak kabupaten, kota, dan provinsi yang menelurkan Perda Penanggulangan HIV/AIDS tapi hasilnya nol besar.
Mengapa Perda-perda AIDS tidak bisa bekerja? Ide pembuatan perda bertolak dari cerita sukses Thailand menekan laju infeksi HIV baru di kalangan dewasa melalui ’Program Wajib Kondom 100 Persen’. Perda pertama dihasilkan Pemkab Merauke, Papua (2003) yang disusul beberapa kabupaten, kota dan provinsi di seluruh Indonesia. Program ini jelas tidak bisa diterapkan di Indonesia karena: (a) di Indonesia tidak ada lokaliasi pelacuran dan rumah bordir yang ’resmi’, dan (b) sosialisasi kondom sebagai alat untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seks tidak diterima banyak kalangan.
Selain itu perda-perda yang dihasilkan di Indonesia tidak melihat program penanggulangan AIDS di Thailand secara utuh. ’Program Wajib Kondom 100 Persen’ itu bagian terakhir dari serangkaian program yang dijalankan Thailand dalam menanggulangi HIV/AIDS.
Fakta Medis
Akibanya, perda-perda penanggulangan AIDS yang diterbitkan di Indonesia tidak menyentuh akar persoalan utama dalam epidemi HIV. Semua perda mengedepankan norma, moral, dan agama sebagai ’alat’ untuk menanggulangi epidemi HIV. Perda AIDS Prov Riau, misalnya, menyebutkan cara mencegah penularan HIV adalah dengan meningkatkan iman dan taqwa. Bagaimana mengukur iman dan taqwa yang bisa mencegah HIV? Cara ini tidak akan berhasil karena tidak ada kaitan langsung antara norma, moral, dan agama dengan penularan HIV.
HIV/AIDS adalah fakta medis yaitu bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga pencegahannya pun dapat dilakukan secara medis. HIV adalah virus yang tergolong retrovirus yaitu virus yang bisa menggandakan diri di dalam sel-sel darah putih manusia. Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam (a) cairan darah (laki-laki dan perempuan), (b) air mani (laki-laki, dalam sperma tidak ada HIV), (c) cairan vagina (perempuan), dan (d) air susu ibu/ASI (perempuan).
Penularan HIV melalui darah bisa terjadi kalau darah yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan dan cangkok organ tubuh.
Penularan HIV melalui air mani dan cairan vagina bisa terjadi jika air mani dan cairan vagina yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah. Maka, tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan ’hubungan bebas di luar nikah’ dan ’seks bebas’. Penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi karena kondisi hubungan seks (salah satu atau kedua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom) bukan karena sifat hubungan seks (sebelum menikah, di luar nikah, jajan, seks bebas, dll.).
Penularan HIV melalui ASI bisa terjadi kalau ASI yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui proses menyusui.
Jika perda dibuat untuk menanggulangi penyebaran HIV maka yang diatur adalah pencegahan melalui cara-cara di atas. Tapi, yang diatur dalam perda-perda AIDS yang sudah ada justru sama sekali tidak menyentuh cara-cara penularan. Tentu saja perda itu tidak bisa bekerja dan laju penyebaran HIV terus terjadi.
Salah satu yang diatur dalam perda adalah larangan menularkan HIV kepada orang lain. Ini naif karena fakta menunjukkan penularan HIV justru terjadi tanpa disadari karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum mencapai masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tertular HIV).
Ada salah kaprah tentang epidemi terkonsentrasi. Karena survailans tes HIV hanya dilakukan di kalangan pekerja seks tentu saja hasilnya tinggi karena tidak ada pembanding, misalnya, laki-laki pelanggan pekerja seks. Celakanya, konsentrasi HIV yang tinggi di kalangan pekerja seks tidak disikapi dengan arif.
Fakta itu dapat disimak dari dua aspek.
Pertama, pekerja seks yang terdeteksi HIV-positif di Kalbar tertular HIV dari laki-laki sebagai penduduk lokal atau pendatang. Kalau ini yang terjadi maka konsentrasi HIV di masyarakat, terutama laki-laki dewasa yang sering melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan pekerja seks dan istrinya, juga tinggi. Laki-laki yang menularkan HIV kepada pekerja seks itulah yang justru menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk. Laki-laki ini dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai suami, pacar, duda, lajang, perjaka, remaja yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, sopir, pedagang, petani, nelayan, mahasiswa, pelajar, perampok, dll.
Perilaku Berisiko
Kedua, pekerja seks yang terdeteksi HIV-positif sudah mengidap HIV ketika mulai ’praktek’ di Kalbar. Kalau ini yang terjadi maka laki-laki penduduk lokal atau pendatang berisiko tinggi tertular HIV jika mereka tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seks dengan pekerja seks. Laki-laki yang kelak tertular HIV dari pekerja seks akan menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk.
Jika perda dibuat untuk menahan laju penyebaran HIV maka yang perlu diatur adalah perilaku yang berisiko tinggi tertular HIV dan menyebarakan HIV antar penduduk. Sayang, pada semua perda yang sudah ada tidak ada pasal yang mengatur hal ini.
Perilaku berisiko tertular HIV adalah (a) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, dan (b) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.
Perilaku inilah yang perlu diatur agar penyebaran HIV bisa ditekan. Dalam perda harus ada pasal yang mengatur hal ini yang berbunyi: “Setiap orang yang melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering bergangi-ganti pasangan diwajibkan memakai kondom.” Selanjutnya disebutkan pula: “Setiap orang yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering bergangi-ganti pasangan diwajibkan melakukan tes HIV.”
Sedangkan menekan laju penyebaran HIV melalui jarum suntik pada pemakai narkoba dapat dilakukan dengan program pertukaran jarum suntik dan penggantian narkoba suntik dengan narkoba sintetis, dikenal sebagai metadhon. Perda melarang pengguna narkoba dengan jarum suntik memakai jarum secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian. Mereka diwajibkan memakai jarum yang steril. Bisa pula mereka diarahkan untuk mengganti narkoba suntikan dengan metadhon sehingga mereka tidak lagi memakai jarum suntik.
Menekan penularan HIV secara vertikal dari seorang ibu yang HIV-positif kepada bayi yang dikandungnya dapat dilakukan dengan survailans tes HIV terhadap perempuan hamil. Untuk itu perda mengatur agar perempuan yang hamil menjalani tes HIV secara sukarela. Jika mereka terdeteksi HIV-positif maka dapat ditangani secara medis sehingga risiko penularan diturukan dari 30 persen menjadi 8 persen. Cara ini sudah lama dilakukan oleh Malaysia sehingga menurukan angka bayi yang tertular HIV.
Kepanikan di banyak kalangan juga terjadi karena kasus HIV/AIDS kian banyak. Kalau saja fakta ini disikapi dengan arif maka penemuan kasus terjadi karena kegiatan survailans dan tes. Selain itu kasus pun kian banyak terdeteksi pada penduduk yang sudah mencapai masa AIDS ketika berobat karena mereka sudah menderita berbagai penyakit.
Semakin banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus. ***
Mengukur Peran Perda Penanggulangan HIV/AIDS
Oleh: Syaiful W Harahap*
[Sumber: Harian “Pos Kupang”, 21 Agustus 2008]
SAMPAI Juni 2008 kasus HIV/AIDS di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dilaporkan 378 kasus, 103 orang di antaranya telah meninggal dunia. Angka ini hanya bagian kecil dari kasus yang sebenarnya di masyarakat. Pemprop NTT menelurkan Perda No. 3/2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS. Apakah perda ini efektif menanggulangi epidemi HIV di NTT?
Kasus AIDS yang terdeteksi pada seorang wisatawan Belanda yang meninggal di Bali (1987) dijadikan pemerintah sebagai kasus pertama di Indonesia. Padahal, jauh sebelumnya ada kasus AIDS di Jakarta tapi pemerintah menyebutnya sebagai ARC (AIDS related complex). Selain itu tahun 1988 ada seorang penduduk Indonesia asli yang juga meninggal di Bali dengan indikasi terkait AIDS.
Penetapan kasus pertama ini mengadung mitos (anggapan yang salah) terhadap HIV/AIDS. Soalnya, sejak kasus AIDS dipublikasikan, bahkan sampai sekarang, ada anggapan bahwa HIV/AIDS penyakit orang bule. Kemudian AIDS terjadi pada kalangan homoseksual. Dua mitos inilah antara lain yang membuat banyak orang terlena sehingga kasus HIV/AIDS terus bertambah di negeri ini.
Aturan Normatif
Soalnya, banyak orang merasa dirinya bukan bule dan tidak pula gay. Akibatnya, banyak orang yang merasa aman melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK). Perilaku berisiko inilah yang memicu penyebaran HIV di Indonesia. Maka, tidak mengherankan kalau laju epidemi kasus HIV/AIDS di Indoensia tercepat di Asia.
Dalam perda di pasal 4 ayat 1 memang disebutkan salah satu upaya pencegahan melalui kegiatan promosi yang meliputi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi). Persoalannya, adalah: Apakah materi KIE itu benar-benar berisi fakta medis tentang HIV/AIDS? Soalnya, selama ini materi KIE banyak yang hanya mengandung mitos karena dibalut dengan norma, moral, dan agama.
Pada pasal 4 ayat 1 disebutkan "... dalam rangka menumbuhkan sikap dan perilaku hidup bersih dan sehat." Ini sangat normatif. Apa ukuran 'sikap dan perilaku hidup bersih dan sehat' yang bisa mencegah HIV? Selain itu hal ini pun mendorong stigmatisasi (pemberian cap buruk) dan diskriminasi terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) karena ada kesan Odha tertular HIV karena tidak bersikap dan berperilaku hidup bersih dan sehat.
Dari aspek medis tidak ada kaitan langsung antara 'sikap dan perilaku hidup bersih dan sehat' dengan penularan HIV. Sebagai virus dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam cairan darah (laki-laki dan perempuan), air mani (laki-laki, dalam sperma tidak ada HIV), cairan vagina (perempuan), dan air susu ibu/ASI (perempuan).
Maka, penularan HIV melalui darah bisa terjadi kalau darah yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tato, alat-alat kesehatan, dan cangkok organ tubuh.
Penularan HIV melalui air mani dan cairan vagina bisa terjadi kalau air mani dan cairan vagina yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh pada saat terjadi hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah. Sedangkan penularan melalui ASI bisa terjadi kalau ASI yang mengandung HVI masuk ke dalam tubuh pada proses menyusui.
Yang menjadi persoalan besar pada epidemi HIV adalah penularan justru terjadi tanpa disadari. Hal ini terjadi karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Orang-orang yang sudah tertular HIV tidak otomatis menunjukkan tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-10 tahun setelah tertular). Pada rentang waktu inilah terjadi penularan melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, transfusi darah yang tidak diskrining, jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan, dan cangkok organ tubuh.
Mata Rantai
Maka, kewajiban pada pasal 8 ayat 6 dan 7 serta larangan pada pasal 9 ayat 2 yang ditujukan kepada orang yang mengetahui dirinya sudah tertular HIV tidak efektif. Fakta menunjukkan orang-orang yang terdeteksi HIV-positif melalui prosedur tes HIV yang baku menyatakan sikap bahwa mereka akan memutus mata rantai penyebaran HIV mulai dari dirinya.
Yang menjadi persoalan besar justru orang-orang yang sudah tertular HIV tapi belum atau tidak terdeteksi sehingga tanpa sadar mereka menularkan HIV kepada orang lain. Inilah mata rantai penyebaran HIV antar penduduk.
Lalu, bagaimana memutus mata rantai penyebaran HIV antar penduduk? Pada pasal 4 ayat f sudah ada 'pintu', tapi tidak jelas siapa saja yang dianjurkan melakukan tes HIV secara sukarela (VCT).
Selama ini yang menjadi 'sasaran tembak' untuk survailans tes HIV adalah PSK. Padahal, yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar, lajang, remaja, duda yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, pelajar, mahasiswa, pengangguran, tani, nelayan, pedagang, perampok, dll. Fakta inilah yang tidak pernah muncul sehingga PSK dicaci-maki sebagai penyebar HIV. Yang menjadi mata rantai bukan PSK tapi laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang kemudian tertular HIV dari PSK.
Nah, yang dianjurkan ke VCT adalah laki-laki dan perempuan yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau yang pernah melakukan melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK.
Tapi, perda ini lagi-lagi mengedepankan moral untuk mengajak masyarakat dalam menanggulangi HIV/AIDS. Di pasal 11, misalnya, pada ayat 1 disebutkan peran serta masyarakat dalam menanggulangi HIV/AIDS dengan (a) berperilaku hidup sehat, dan (b) meningkatkan ketahanan keluarga. Ini norma dan moral. Apa yang dimaksud dengan perilaku hidup sehat dan ketahanan keluarga? Di Malaysia ada seorang ibu rumah tangga guru mengaji yang tertular HIV melalui transfusi darah di rumah sakit pemerintah. Ibu ini menggugat pemerintah 1 juta ringgit (Rp 2,5 miliar).
HIV/AIDS adalah fakta medis sehingga upaya penanggulangannya pun dapat dilakukan dengan cara-cara yang sangat rasional tanpa harus dibumbui dengan norma, moral, dan agama.
Mencegah penularan HIV melalui hubungan seks di dalam dan di luar nikah adalah dengan cara jangan melakukan hubungan seks dengan orang yang HIV-positif. Ini fakta. Karena kita tidak bisa mengenali orang yang sudah tertular HIV dari fisiknya maka jika melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan orang yang tidak diketahui status HIV-nya hindarkan pergesekan langsung antara penis dan vagina.
Semakin banyak kasus HIV yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus. *
* Pemerhati HIV/AIDS melalui LSM (media watch) 'InfoKespro', Jakarta.
[Sumber: Harian “Pos Kupang”, 21 Agustus 2008]
SAMPAI Juni 2008 kasus HIV/AIDS di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dilaporkan 378 kasus, 103 orang di antaranya telah meninggal dunia. Angka ini hanya bagian kecil dari kasus yang sebenarnya di masyarakat. Pemprop NTT menelurkan Perda No. 3/2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS. Apakah perda ini efektif menanggulangi epidemi HIV di NTT?
Kasus AIDS yang terdeteksi pada seorang wisatawan Belanda yang meninggal di Bali (1987) dijadikan pemerintah sebagai kasus pertama di Indonesia. Padahal, jauh sebelumnya ada kasus AIDS di Jakarta tapi pemerintah menyebutnya sebagai ARC (AIDS related complex). Selain itu tahun 1988 ada seorang penduduk Indonesia asli yang juga meninggal di Bali dengan indikasi terkait AIDS.
Penetapan kasus pertama ini mengadung mitos (anggapan yang salah) terhadap HIV/AIDS. Soalnya, sejak kasus AIDS dipublikasikan, bahkan sampai sekarang, ada anggapan bahwa HIV/AIDS penyakit orang bule. Kemudian AIDS terjadi pada kalangan homoseksual. Dua mitos inilah antara lain yang membuat banyak orang terlena sehingga kasus HIV/AIDS terus bertambah di negeri ini.
Aturan Normatif
Soalnya, banyak orang merasa dirinya bukan bule dan tidak pula gay. Akibatnya, banyak orang yang merasa aman melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK). Perilaku berisiko inilah yang memicu penyebaran HIV di Indonesia. Maka, tidak mengherankan kalau laju epidemi kasus HIV/AIDS di Indoensia tercepat di Asia.
Dalam perda di pasal 4 ayat 1 memang disebutkan salah satu upaya pencegahan melalui kegiatan promosi yang meliputi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi). Persoalannya, adalah: Apakah materi KIE itu benar-benar berisi fakta medis tentang HIV/AIDS? Soalnya, selama ini materi KIE banyak yang hanya mengandung mitos karena dibalut dengan norma, moral, dan agama.
Pada pasal 4 ayat 1 disebutkan "... dalam rangka menumbuhkan sikap dan perilaku hidup bersih dan sehat." Ini sangat normatif. Apa ukuran 'sikap dan perilaku hidup bersih dan sehat' yang bisa mencegah HIV? Selain itu hal ini pun mendorong stigmatisasi (pemberian cap buruk) dan diskriminasi terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) karena ada kesan Odha tertular HIV karena tidak bersikap dan berperilaku hidup bersih dan sehat.
Dari aspek medis tidak ada kaitan langsung antara 'sikap dan perilaku hidup bersih dan sehat' dengan penularan HIV. Sebagai virus dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam cairan darah (laki-laki dan perempuan), air mani (laki-laki, dalam sperma tidak ada HIV), cairan vagina (perempuan), dan air susu ibu/ASI (perempuan).
Maka, penularan HIV melalui darah bisa terjadi kalau darah yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tato, alat-alat kesehatan, dan cangkok organ tubuh.
Penularan HIV melalui air mani dan cairan vagina bisa terjadi kalau air mani dan cairan vagina yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh pada saat terjadi hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah. Sedangkan penularan melalui ASI bisa terjadi kalau ASI yang mengandung HVI masuk ke dalam tubuh pada proses menyusui.
Yang menjadi persoalan besar pada epidemi HIV adalah penularan justru terjadi tanpa disadari. Hal ini terjadi karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Orang-orang yang sudah tertular HIV tidak otomatis menunjukkan tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-10 tahun setelah tertular). Pada rentang waktu inilah terjadi penularan melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, transfusi darah yang tidak diskrining, jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan, dan cangkok organ tubuh.
Mata Rantai
Maka, kewajiban pada pasal 8 ayat 6 dan 7 serta larangan pada pasal 9 ayat 2 yang ditujukan kepada orang yang mengetahui dirinya sudah tertular HIV tidak efektif. Fakta menunjukkan orang-orang yang terdeteksi HIV-positif melalui prosedur tes HIV yang baku menyatakan sikap bahwa mereka akan memutus mata rantai penyebaran HIV mulai dari dirinya.
Yang menjadi persoalan besar justru orang-orang yang sudah tertular HIV tapi belum atau tidak terdeteksi sehingga tanpa sadar mereka menularkan HIV kepada orang lain. Inilah mata rantai penyebaran HIV antar penduduk.
Lalu, bagaimana memutus mata rantai penyebaran HIV antar penduduk? Pada pasal 4 ayat f sudah ada 'pintu', tapi tidak jelas siapa saja yang dianjurkan melakukan tes HIV secara sukarela (VCT).
Selama ini yang menjadi 'sasaran tembak' untuk survailans tes HIV adalah PSK. Padahal, yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar, lajang, remaja, duda yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, pelajar, mahasiswa, pengangguran, tani, nelayan, pedagang, perampok, dll. Fakta inilah yang tidak pernah muncul sehingga PSK dicaci-maki sebagai penyebar HIV. Yang menjadi mata rantai bukan PSK tapi laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang kemudian tertular HIV dari PSK.
Nah, yang dianjurkan ke VCT adalah laki-laki dan perempuan yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau yang pernah melakukan melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK.
Tapi, perda ini lagi-lagi mengedepankan moral untuk mengajak masyarakat dalam menanggulangi HIV/AIDS. Di pasal 11, misalnya, pada ayat 1 disebutkan peran serta masyarakat dalam menanggulangi HIV/AIDS dengan (a) berperilaku hidup sehat, dan (b) meningkatkan ketahanan keluarga. Ini norma dan moral. Apa yang dimaksud dengan perilaku hidup sehat dan ketahanan keluarga? Di Malaysia ada seorang ibu rumah tangga guru mengaji yang tertular HIV melalui transfusi darah di rumah sakit pemerintah. Ibu ini menggugat pemerintah 1 juta ringgit (Rp 2,5 miliar).
HIV/AIDS adalah fakta medis sehingga upaya penanggulangannya pun dapat dilakukan dengan cara-cara yang sangat rasional tanpa harus dibumbui dengan norma, moral, dan agama.
Mencegah penularan HIV melalui hubungan seks di dalam dan di luar nikah adalah dengan cara jangan melakukan hubungan seks dengan orang yang HIV-positif. Ini fakta. Karena kita tidak bisa mengenali orang yang sudah tertular HIV dari fisiknya maka jika melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan orang yang tidak diketahui status HIV-nya hindarkan pergesekan langsung antara penis dan vagina.
Semakin banyak kasus HIV yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus. *
* Pemerhati HIV/AIDS melalui LSM (media watch) 'InfoKespro', Jakarta.
"Seks Bebas" Terminologi yang Ngawur
Oleh: Syaiful W. Harahap
[Sumber: Kabar PNHR2 Makassar 15-18 Juni 2008, Nomor 2/17 Juni 2008]
Beberapa brosur terkait materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) terkait HIV/AIDS yang ada di pameran PNHR 2 Makassar, Sulawesi Selatan, 15-18 Juni 2008, selalu menyebut-nyebut SEKS BEBAS.
Istilah ini rancu karena tidak ada batasan yang jelas apa yang dimaksud dengan seks bebas.Istilah ini berkembang tahun 1970-an yang dikaitkan dengan perilaku remaja saat itu yang mengacu kepada gaya hidup yang `bebas'. Tapi, itu hanya terjadi pada kalangan atau komunitas tertentu bukan merupakan gaya hidup masyarakat.
Ketika itu muncul gaya hidup yang mengesankan kehidupan kalangan itu serba bebas, termasuk dalam hal seks. Maka, muncullah istilah free sex yang kemudian diartikan sebagai seks bebas. Padahal, dalam kamus Bahasa Inggris tidak ada entry free sex. Yang ada adalah free love yaitu hubungan seks tanpa ikatan pernikahan.
Belakangan ketika kasus HIV/AIDS merebak seks bebas dijadikan sebagai `kambing hitam'. Tapi, tidak ada defenisi yang jelas tentang seks bebas. Kalau seks bebas diartikan sebagai hubungan seks di luar nikah maka tidak ada kaitan langsung antara seks bebas dengan penularan HIV.
Penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu dari pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan di luar nikah dan laki-laki tidak memakai kondom.
Seorang penjaga booth di arena pameran PNHR 2 tidak bisa memberikan defenisi tentang seks bebas yang tertera di materi KIE mereka. Dia malah kebingunan ketika ditanya.
Hal ini menunjukkan hal yang faktual, yaitu penularan HIV, yang merupakan fakta medis dikaburkan dengan norma, moral, dan agama. Akibatya, masyarakat hanya menangkap mitos (anggapan yang salah) dari KIE sehingga banyak yang tidak menyadari perilakunya berisiko tertular HIV.
Hubungan seks yang berisiko tertular HIV bukan karena sifat hubungan seks (di luar nikah, seks bebas, melacur, dll.), tapi karena kondisi hubungan seks (salah satu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama).
Biarpun seks bebas merupakanterminologi yang ngawur tapi tetap saja menjadi jargon dalam materi KIE HIV/AIDS.
Begitu pula dengan istilah seks menyimpang yang dikait-kaitkan dengan penularan HIV. Seks menyimpang adalah jargon moral karena secara harfiah (hubungan) seks tidak mungkin bisa terjadi kalau menyimpang.
Selain penggunaan istilah seks bebas dalam kaitan penularan HIV ada pula penggunaan pernyataan yang tidak akurat.
Pada brosur Petunjuk Pencegahan HIV/AIDS Uuntuk Remaja(Yayasan AIDS Indonesia) disebutkan cara mencegah HIV/AIDS adalah dengan perilaku yang sehat dan bertanggung jawab, seperti `tidak melakukan hubungan seks sebelum atau di luar nikah.' Ini jelas jargon moral. Apaah sesudah menikah atau di dalam nikah tidak ada risiko tertular atau menularkan HIV?
Di stiker yang dikeluarkan oleh KPA, Depkes, USAID, ASA, FHI disebutkan cara jitu mencegah penularan HIV adalah Anda tidak melakukan seks. Ini `kan pengingkaran terhadap pemberian Tuhan. Begitu pula di brosur `Mengapa HIV/AIDS Penting untuk Kita Ketahui?' (KPA Prov Sulsel-Kemitraan Australia Indonesia) disebutkan pencegahan HIV/AIDS al. tidak melakukan hubungan seks sama sekali. Ini pun pengingkaran terhadap kodrat.
Lain lagi dengan di brosur `Beri ODHA Dukungan dan Harapan Layani Mereka Dengan Semangat Tanpa Diskriminasi' (KPA-The Global Fund) disebutkan HIV menular melalui: Menggunakan jarum suntik secara bergantian, bekas pakai, tidak steril. Kalau yang memakai bergantian jarum HIV-negatif tentu tidak ada risiko. Begitu pula jarum bekas pakai dan yang tidak steril kalau tidak tercemar HIV tentu tidak berisiko tertular HIV biar pun dipakai. Disebutkan pula HIV menular melalui hubungan seks berganti-ganti pasangan. Kalau pasangan yang berganti-ganti HIV-negatif, di mana ada risiko penularan HIV? Yang disebutkan itu `kan perilaku berisiko tertular HIV.
Di brosur `AIDS dan Pengguna Suntikan pada Pecandu Narkoba' (KPA Prov DKI Jakarta, 2007) disebutkan `Agar terhindar dari resiko terkena terkena HIV dan AIDS, hindari menggunakan NARKOBA dan jangan melakukan SEKS BEBAS.' AIDS tidak menular. Seks bebas tidak terkait dengan penularan HIV.
[Sumber: Kabar PNHR2 Makassar 15-18 Juni 2008, Nomor 2/17 Juni 2008]
Beberapa brosur terkait materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) terkait HIV/AIDS yang ada di pameran PNHR 2 Makassar, Sulawesi Selatan, 15-18 Juni 2008, selalu menyebut-nyebut SEKS BEBAS.
Istilah ini rancu karena tidak ada batasan yang jelas apa yang dimaksud dengan seks bebas.Istilah ini berkembang tahun 1970-an yang dikaitkan dengan perilaku remaja saat itu yang mengacu kepada gaya hidup yang `bebas'. Tapi, itu hanya terjadi pada kalangan atau komunitas tertentu bukan merupakan gaya hidup masyarakat.
Ketika itu muncul gaya hidup yang mengesankan kehidupan kalangan itu serba bebas, termasuk dalam hal seks. Maka, muncullah istilah free sex yang kemudian diartikan sebagai seks bebas. Padahal, dalam kamus Bahasa Inggris tidak ada entry free sex. Yang ada adalah free love yaitu hubungan seks tanpa ikatan pernikahan.
Belakangan ketika kasus HIV/AIDS merebak seks bebas dijadikan sebagai `kambing hitam'. Tapi, tidak ada defenisi yang jelas tentang seks bebas. Kalau seks bebas diartikan sebagai hubungan seks di luar nikah maka tidak ada kaitan langsung antara seks bebas dengan penularan HIV.
Penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu dari pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan di luar nikah dan laki-laki tidak memakai kondom.
Seorang penjaga booth di arena pameran PNHR 2 tidak bisa memberikan defenisi tentang seks bebas yang tertera di materi KIE mereka. Dia malah kebingunan ketika ditanya.
Hal ini menunjukkan hal yang faktual, yaitu penularan HIV, yang merupakan fakta medis dikaburkan dengan norma, moral, dan agama. Akibatya, masyarakat hanya menangkap mitos (anggapan yang salah) dari KIE sehingga banyak yang tidak menyadari perilakunya berisiko tertular HIV.
Hubungan seks yang berisiko tertular HIV bukan karena sifat hubungan seks (di luar nikah, seks bebas, melacur, dll.), tapi karena kondisi hubungan seks (salah satu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama).
Biarpun seks bebas merupakanterminologi yang ngawur tapi tetap saja menjadi jargon dalam materi KIE HIV/AIDS.
Begitu pula dengan istilah seks menyimpang yang dikait-kaitkan dengan penularan HIV. Seks menyimpang adalah jargon moral karena secara harfiah (hubungan) seks tidak mungkin bisa terjadi kalau menyimpang.
Selain penggunaan istilah seks bebas dalam kaitan penularan HIV ada pula penggunaan pernyataan yang tidak akurat.
Pada brosur Petunjuk Pencegahan HIV/AIDS Uuntuk Remaja(Yayasan AIDS Indonesia) disebutkan cara mencegah HIV/AIDS adalah dengan perilaku yang sehat dan bertanggung jawab, seperti `tidak melakukan hubungan seks sebelum atau di luar nikah.' Ini jelas jargon moral. Apaah sesudah menikah atau di dalam nikah tidak ada risiko tertular atau menularkan HIV?
Di stiker yang dikeluarkan oleh KPA, Depkes, USAID, ASA, FHI disebutkan cara jitu mencegah penularan HIV adalah Anda tidak melakukan seks. Ini `kan pengingkaran terhadap pemberian Tuhan. Begitu pula di brosur `Mengapa HIV/AIDS Penting untuk Kita Ketahui?' (KPA Prov Sulsel-Kemitraan Australia Indonesia) disebutkan pencegahan HIV/AIDS al. tidak melakukan hubungan seks sama sekali. Ini pun pengingkaran terhadap kodrat.
Lain lagi dengan di brosur `Beri ODHA Dukungan dan Harapan Layani Mereka Dengan Semangat Tanpa Diskriminasi' (KPA-The Global Fund) disebutkan HIV menular melalui: Menggunakan jarum suntik secara bergantian, bekas pakai, tidak steril. Kalau yang memakai bergantian jarum HIV-negatif tentu tidak ada risiko. Begitu pula jarum bekas pakai dan yang tidak steril kalau tidak tercemar HIV tentu tidak berisiko tertular HIV biar pun dipakai. Disebutkan pula HIV menular melalui hubungan seks berganti-ganti pasangan. Kalau pasangan yang berganti-ganti HIV-negatif, di mana ada risiko penularan HIV? Yang disebutkan itu `kan perilaku berisiko tertular HIV.
Di brosur `AIDS dan Pengguna Suntikan pada Pecandu Narkoba' (KPA Prov DKI Jakarta, 2007) disebutkan `Agar terhindar dari resiko terkena terkena HIV dan AIDS, hindari menggunakan NARKOBA dan jangan melakukan SEKS BEBAS.' AIDS tidak menular. Seks bebas tidak terkait dengan penularan HIV.
'Gelombang Epidmei HIV' vs Perda AIDS Bali
Oleh: Syaiful W. Harahap
[Pemerhati berita HIV/AIDS di media massa melalui LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta]
Sebuah harian di Denpasar mem-blow up berita seputar pelacuran terkait dengan epidemi HIV/AIDS di Pulau Dewata. Wagub Prov. Bali mengusulkan agar pelacuran dilokalisir. Muncul pro dan kontra. Diperkirakan akan ada ‘gelombang epidemi HIV/AIDS yang mengancam Pulau Bali’ terkait peningkatkan penularan HIV melalui hubungan seks. Yang menjadi persoalan bukan lokalisasi dan PSK, tapi penduduk (lokal) yang menjadi pelanggan PSK di Bali atau di luar Bali.
Selama HIV/AIDS dibenturkan dengan aspek norma, moral, dan agama maka selama itu pula penularan akan terjadi karena masyarakat tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat. HIV/AIDS adalah fakta medis (dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran) sehingga pencegahannya pun dapat dilakukan dengan teknologi kedokteran.
Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam darah, air mani, cairan vagina, dan air susu ibu (ASI). Mencegah penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, adalah dengan cara tidak melakukan hubungan seks (sanggama), di dalam atau di luar nikah, dengan orang yang sudah tertular HIV. Persoalannya adalah orang yang sudah tertular HIV tidak bisa dikenal dari fisiknya. Maka, sanggama yang aman dengan orang yang tidak diketahui status HIV-nya adalah dengan menghindarkan pergesekan langsung antara penis dan vagina. Penularan HIV terjadi melalui luka-luka mikroskopis di penis dan vagina pada saat sanggama dengan seseorang yang HIV-positif.
Karena selama ini materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral, dan agama maka yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Akibatnya, masyarakat tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat. Penularan HIV dikait-kaitkan dengan zina, pelacuran, ‘seks bebas’, ‘jajan’, selingkuh, seks pranikah, waria, seks menyimpang, dan homoseksual. Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah (bisa) terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan dengan zina, pelacuran, ‘seks bebas’, ‘jajan’, selingkuh, seks pranikah, waria, seks menyimpang, dan homoseksual.
Menurut Koordinator Kelompok Kerja Perencanaan, Monitoring, dan Evaluasi KPAD Prov. Bali, Dewa N. Wirawan, terjadi peningkatan kasus penularan HIV melalui hubungan seksual (KOMPAS, 12/10-2007). Yang dikhawatirkan ada asusmi hal itu terjadi karena pelacuran di Bali yang akhirnya memicu ‘debat kusir’ pro dan kontra lokalisasi pelacuran.
Praktek Pelacuran
Boleh-boleh saja ada asumsi seperti itu. Tapi, ingat ada kemungkinan PSK yang beroperasi di Bali justru tertular HIV di Bali. Mereka bisa saja ditulari penduduk asli (lokal) atau wisatawan. Kalau ini yang terjadi maka di masyarakat lokal sudah ada penduduk yang tertular HIV tapi tidak terdeteksi. Bisa juga terjadi PSK yang beroperasi di Bali sudah tertular HIV sebelum ke Bali. Kalau ini yang terjadi maka penduduk Bali yang melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan PSK berisiko tinggi tertular HIV.
Hal di atas bisa terjadi karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV. Penularan HIV pun terjadi tanpa disadari. Yang menjadi mata rantai penularan HIV bukan PSK tapi laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK. Dalam kehidupan sehari-hari mereka itu bisa sebagai seorang suami, pacar, lajang, remaja, atau duda yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, pelajar, mahasiswa, sopir, petani, nelayan, pencopet, perampok, dll.
Tidak ada kaitan langsung antara (lokalisasi) pelacuran dengan penularan HIV. Yang menjadi persoalan adalah ‘praktek pelacuran’ yaitu hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti di semua tempat karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif.
Di Arab Saudi tidak ada industri hiburan malam dan tidak pula ada lokalisasi pelacuran tetap saja ada kasus HIV/AIDS. Sampai awal tahun ini sudah dilaporkan lebih dari 10.000 kasus HIV/AIDS. Hal itu bisa terjadi karena penduduk Arab Saudi melakukan hubungan seks berisiko, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti di luar negaranya. Sebaliknya, di negara-negara yang ada lokalisasi pelacuran kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa justru mulai menunjukkan grafik yang mendatar karena penduduknya sudah menerapkan cara-cara pencegahan yang realistis yaitu menghindari hubungan seks berisiko.
Membuat lokalisasi di tengah kota, seperti dianjurkan anggota DPRD Bali, agar pelanggan malu tidak relevan karena bisa saja orang Bali melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, yang berisiko (tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK) di luar Bali atau di luar negeri. Jika dia tertular HIV (ini terjadi tanpa disadarinya) maka dia akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk (juga tanpa disadari).
Melokalisir PSK (membuat lokalisasi pelacuran) erat kaitannya dengan (kesehatan) masyarakat. Kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa ada laki-laki penduduk lokal yang pernah atau sering melakukan hubungan seks dengan PSK. Ini fakta. Dengan mengontrol (kesehatan) PSK maka masyarakat dapat diselamatkan dari kemungkinan tertular penyakit. Secara rutin kesehatan PSK diperiksa dan mereka dididik agar bisa menolak laki-laki yang tidak mau memakai kondom.
Sebuah yayasan di Denpasar yang menjalankan VCT (tes sukarela dengan konseling) terhadap PSK menemukan fakta yang mencengangkan. Sejak Januari sampai bulan ini dari sekitar 700 PSK yang sudah dites terdeteksi 90 PSK yang HIV+. Tujuh PSK sedang hamil ketika dites. Sekitar 30 sudah ada indikasi untuk mulai memakai ARV (ini menunjukkan 30 PSK sudah mencapai masa AIDS). Dari 90 PSK yang HIV-positif itu tentulah ada yang ditulari oleh penduduk lokal atau mereka sudah HIV-positif ketika tiba di Bali.
Memupus Mitos
Berdasarkan fakta di atas yang menjadi persoalan bukan PSK tapi penduduk (lokal) karena pelanggan PSK tentulah kebanyakan penduduk lokal. PSK yang terdeteksi HIV-positif minimal mereka sudah tertular tiga bulan sebelum tes. Sedangkan yang sudah terdeteksi pada masa AIDS mereka sudah tertular antara 5 sampai 10 tahun sebelumnya. Bayangkan pada rentang waktu itu sudah berapa laki-laki yang melakukan hubungan seks dengan mereka. Katakanlah dalam tiba bulan mereka ‘praktek’ 75 hari. Jika satu malam ada 2 tamu maka sebelum mereka terdeteksi sudah 4.500 (90 x 25 x 2) laki-laki yang berisiko tertular HIV. Nah, laki-laki yang 4.500 inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk. Yang beristri akan menulari istirnya atau perempuan lain atau PSK lain. Yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada pacarnya, pasangannya, atau PSK.
Ketika di banyak negara kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa mulai menunjukkan grafik yang mendatar (hal ini terjadi karena penduduk sudah menerapkan cara-cara pencegahan yang akurat, al. dengan memakai kondom pada sanggama dengan pasangan yang berganti-ganti) kita malah bertengkar soal pelacuran dan kondom. Pertambahan kasus baru infeksi HIV di Indonesia merupakan yang tercepat ketiga di Asia setelah Cina dan India.
Salah satu berita di sebuah harian di Depasar menyebutkan ‘PSK perlu surat bebas HIV/AIDS’. Ini lagi-lagi menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS. Misalnya, tanggal 15 Oktober 2007 pukul 08.00 semua PSK di Bali menjalani tes HIV. Andaikan 100 persen negatif. Tapi, tunggu dulu. Ada kemungkinan di antara PSK pada masa jendela (tertular HIV di bawah tiga bulan) ketika dites sehingga hasilnya negative palsu karena mereka sebenarnya sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi.
Baiklah. Tes HIV dilakukan dengan PCR yang sangat akurat. Diperoleh angka 100 persen negatif. Tapi, lagi-lagi ingat. Tes bukan vaksin. Sesaat setelah dites bisa saja mereka melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan pelanggan. Kalau pelanggan HIV-positif maka mereka pun berisiko tertular HIV. Maka, surat bebas HIV/AIDS tidak ada manfaatnya karena setiap saat setiap orang yang perilaku seksnya berisiko bisa tertular HIV. Lalau, apakah Pemprov Bali akan mengetes setiap PSK setiap saat?
Maka, yang perlu dilakukan adalah memupus mitos AIDS dengan cara mengedepankan fakta (medis) tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS dan menganjurkan penduduk yang perilakunya berisiko untuk menjalani tes HIV secara sukarela. Mata rantai penyebaran HIV akan diputus mulai dari penduduk yang terdeteksi HIV-positif. ***
[Pemerhati berita HIV/AIDS di media massa melalui LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta]
Sebuah harian di Denpasar mem-blow up berita seputar pelacuran terkait dengan epidemi HIV/AIDS di Pulau Dewata. Wagub Prov. Bali mengusulkan agar pelacuran dilokalisir. Muncul pro dan kontra. Diperkirakan akan ada ‘gelombang epidemi HIV/AIDS yang mengancam Pulau Bali’ terkait peningkatkan penularan HIV melalui hubungan seks. Yang menjadi persoalan bukan lokalisasi dan PSK, tapi penduduk (lokal) yang menjadi pelanggan PSK di Bali atau di luar Bali.
Selama HIV/AIDS dibenturkan dengan aspek norma, moral, dan agama maka selama itu pula penularan akan terjadi karena masyarakat tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat. HIV/AIDS adalah fakta medis (dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran) sehingga pencegahannya pun dapat dilakukan dengan teknologi kedokteran.
Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam darah, air mani, cairan vagina, dan air susu ibu (ASI). Mencegah penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, adalah dengan cara tidak melakukan hubungan seks (sanggama), di dalam atau di luar nikah, dengan orang yang sudah tertular HIV. Persoalannya adalah orang yang sudah tertular HIV tidak bisa dikenal dari fisiknya. Maka, sanggama yang aman dengan orang yang tidak diketahui status HIV-nya adalah dengan menghindarkan pergesekan langsung antara penis dan vagina. Penularan HIV terjadi melalui luka-luka mikroskopis di penis dan vagina pada saat sanggama dengan seseorang yang HIV-positif.
Karena selama ini materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral, dan agama maka yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Akibatnya, masyarakat tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat. Penularan HIV dikait-kaitkan dengan zina, pelacuran, ‘seks bebas’, ‘jajan’, selingkuh, seks pranikah, waria, seks menyimpang, dan homoseksual. Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah (bisa) terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan dengan zina, pelacuran, ‘seks bebas’, ‘jajan’, selingkuh, seks pranikah, waria, seks menyimpang, dan homoseksual.
Menurut Koordinator Kelompok Kerja Perencanaan, Monitoring, dan Evaluasi KPAD Prov. Bali, Dewa N. Wirawan, terjadi peningkatan kasus penularan HIV melalui hubungan seksual (KOMPAS, 12/10-2007). Yang dikhawatirkan ada asusmi hal itu terjadi karena pelacuran di Bali yang akhirnya memicu ‘debat kusir’ pro dan kontra lokalisasi pelacuran.
Praktek Pelacuran
Boleh-boleh saja ada asumsi seperti itu. Tapi, ingat ada kemungkinan PSK yang beroperasi di Bali justru tertular HIV di Bali. Mereka bisa saja ditulari penduduk asli (lokal) atau wisatawan. Kalau ini yang terjadi maka di masyarakat lokal sudah ada penduduk yang tertular HIV tapi tidak terdeteksi. Bisa juga terjadi PSK yang beroperasi di Bali sudah tertular HIV sebelum ke Bali. Kalau ini yang terjadi maka penduduk Bali yang melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan PSK berisiko tinggi tertular HIV.
Hal di atas bisa terjadi karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV. Penularan HIV pun terjadi tanpa disadari. Yang menjadi mata rantai penularan HIV bukan PSK tapi laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK. Dalam kehidupan sehari-hari mereka itu bisa sebagai seorang suami, pacar, lajang, remaja, atau duda yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, pelajar, mahasiswa, sopir, petani, nelayan, pencopet, perampok, dll.
Tidak ada kaitan langsung antara (lokalisasi) pelacuran dengan penularan HIV. Yang menjadi persoalan adalah ‘praktek pelacuran’ yaitu hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti di semua tempat karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif.
Di Arab Saudi tidak ada industri hiburan malam dan tidak pula ada lokalisasi pelacuran tetap saja ada kasus HIV/AIDS. Sampai awal tahun ini sudah dilaporkan lebih dari 10.000 kasus HIV/AIDS. Hal itu bisa terjadi karena penduduk Arab Saudi melakukan hubungan seks berisiko, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti di luar negaranya. Sebaliknya, di negara-negara yang ada lokalisasi pelacuran kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa justru mulai menunjukkan grafik yang mendatar karena penduduknya sudah menerapkan cara-cara pencegahan yang realistis yaitu menghindari hubungan seks berisiko.
Membuat lokalisasi di tengah kota, seperti dianjurkan anggota DPRD Bali, agar pelanggan malu tidak relevan karena bisa saja orang Bali melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, yang berisiko (tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK) di luar Bali atau di luar negeri. Jika dia tertular HIV (ini terjadi tanpa disadarinya) maka dia akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk (juga tanpa disadari).
Melokalisir PSK (membuat lokalisasi pelacuran) erat kaitannya dengan (kesehatan) masyarakat. Kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa ada laki-laki penduduk lokal yang pernah atau sering melakukan hubungan seks dengan PSK. Ini fakta. Dengan mengontrol (kesehatan) PSK maka masyarakat dapat diselamatkan dari kemungkinan tertular penyakit. Secara rutin kesehatan PSK diperiksa dan mereka dididik agar bisa menolak laki-laki yang tidak mau memakai kondom.
Sebuah yayasan di Denpasar yang menjalankan VCT (tes sukarela dengan konseling) terhadap PSK menemukan fakta yang mencengangkan. Sejak Januari sampai bulan ini dari sekitar 700 PSK yang sudah dites terdeteksi 90 PSK yang HIV+. Tujuh PSK sedang hamil ketika dites. Sekitar 30 sudah ada indikasi untuk mulai memakai ARV (ini menunjukkan 30 PSK sudah mencapai masa AIDS). Dari 90 PSK yang HIV-positif itu tentulah ada yang ditulari oleh penduduk lokal atau mereka sudah HIV-positif ketika tiba di Bali.
Memupus Mitos
Berdasarkan fakta di atas yang menjadi persoalan bukan PSK tapi penduduk (lokal) karena pelanggan PSK tentulah kebanyakan penduduk lokal. PSK yang terdeteksi HIV-positif minimal mereka sudah tertular tiga bulan sebelum tes. Sedangkan yang sudah terdeteksi pada masa AIDS mereka sudah tertular antara 5 sampai 10 tahun sebelumnya. Bayangkan pada rentang waktu itu sudah berapa laki-laki yang melakukan hubungan seks dengan mereka. Katakanlah dalam tiba bulan mereka ‘praktek’ 75 hari. Jika satu malam ada 2 tamu maka sebelum mereka terdeteksi sudah 4.500 (90 x 25 x 2) laki-laki yang berisiko tertular HIV. Nah, laki-laki yang 4.500 inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk. Yang beristri akan menulari istirnya atau perempuan lain atau PSK lain. Yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada pacarnya, pasangannya, atau PSK.
Ketika di banyak negara kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa mulai menunjukkan grafik yang mendatar (hal ini terjadi karena penduduk sudah menerapkan cara-cara pencegahan yang akurat, al. dengan memakai kondom pada sanggama dengan pasangan yang berganti-ganti) kita malah bertengkar soal pelacuran dan kondom. Pertambahan kasus baru infeksi HIV di Indonesia merupakan yang tercepat ketiga di Asia setelah Cina dan India.
Salah satu berita di sebuah harian di Depasar menyebutkan ‘PSK perlu surat bebas HIV/AIDS’. Ini lagi-lagi menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS. Misalnya, tanggal 15 Oktober 2007 pukul 08.00 semua PSK di Bali menjalani tes HIV. Andaikan 100 persen negatif. Tapi, tunggu dulu. Ada kemungkinan di antara PSK pada masa jendela (tertular HIV di bawah tiga bulan) ketika dites sehingga hasilnya negative palsu karena mereka sebenarnya sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi.
Baiklah. Tes HIV dilakukan dengan PCR yang sangat akurat. Diperoleh angka 100 persen negatif. Tapi, lagi-lagi ingat. Tes bukan vaksin. Sesaat setelah dites bisa saja mereka melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan pelanggan. Kalau pelanggan HIV-positif maka mereka pun berisiko tertular HIV. Maka, surat bebas HIV/AIDS tidak ada manfaatnya karena setiap saat setiap orang yang perilaku seksnya berisiko bisa tertular HIV. Lalau, apakah Pemprov Bali akan mengetes setiap PSK setiap saat?
Maka, yang perlu dilakukan adalah memupus mitos AIDS dengan cara mengedepankan fakta (medis) tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS dan menganjurkan penduduk yang perilakunya berisiko untuk menjalani tes HIV secara sukarela. Mata rantai penyebaran HIV akan diputus mulai dari penduduk yang terdeteksi HIV-positif. ***
Menyikapi Kasus HIV/AIDS di Kalangan Ibu Rumah Tangga
Oleh: Syaiful W. Harahap
[Pemerhati berita HIV/AIDS di media massa melalui LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta]
Berita “Sembilan Ibu Rumah Tangga Positif HIV” di Harian “Suara Merdeka” edisi 3 Oktober 2007 menunjukkan pemahaman terhadap epidemi HIV/AIDS di banyak kalangan, termasuk aparat pemerintah, yang tidak komprehensif. Hal inilah salah satu faktor yang membuat penanggulangan HIV/AIDS ‘jalan di tempat’, bahkan bisa dikatakan mudur.
Dalam lead berita disebutkan “Memprihatinkan, virus HIV/AIDS kini tidak saja menyerang mereka yang rawan terkena virus mematikan itu, namun juga telah mengenai ibu rumah tangga.” Pernyataan ini tidak akurat.
Pertama, sebagai virus HIV tidak menyerang tapi menular seperti penyakit menular lain. Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam cairan darah (laki-laki dan perempuan), air mani (laki-laki, dalam sperma tidak ada HIV), cairan vagina (perempuan), dan air susu ibu/ASI (perempuan). Penularan melalui darah bisa terjadi kalau darah yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan dan cangkok organ tubuh. Penularan melalui air mani dan cairan vagina bisa terjadi kalau air mani dan cairan vagina yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui luka-luka di alat kelamin ketika melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah. Sedangkan penularan melalui ASI bisa terjadi melalui proses menyusui.
Kedua, penularan HIV tidak mengenal kelompok, kalangan, grup, dll., tapi terkait dengan perilaku orang per orang. Seseorang (laki-laki dan perempuan) berisiko tinggi tertular HIV kalau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.
Ketiga, HIV sebagai virus tidak mematikan tapi merusak sel-sel darah putih. Seseorang yang sudah tertular HIV akan mencapai masa AIDS, secara statistik antara 5 – 10 tahun setelah tertular HIV. Pada masa AIDS inilah bisa terjadi kamatian karena penyakit akan mudah menyerang. Ini terjadi karena sistem kekebalan (pertahanan) tubuh sudah rapuh. Penyakit yang menyerang pada masa AIDS, disebut sebagai infeksi oportunistik, inilah yang mematikan.
Dalam berita itu tidak jelas faktor risiko (cara penularan) HIV kepada sembilan ibu rumah tangga tsb. Kalau mereka adalah istri maka kemungkinan besar mereka tertular dari suaminya selama mereka tidak berganti-ganti pasangan (misalnya, poliandri atau mempunyai laki-laki lain sebagai pasangan seks/PIL), tidak pernah menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan tidak memakai narkoba dengan jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran.
Kalau mereka tertular dari suaminya dan suami-suami mereka tidak menjalani tes HIV maka para suami itu akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Ibu-ibu rumah tangga itu tanpa dipantai atau ditangani pun kecil kemungkinan mereka menularkan kepada orang lain selain kepada bayi yang dikandungnya. Berbeda dengan suami mereka. Para suami itu mempunyai kesempatan yang besar untuk melakukan hubungan seks dengan orang lain selain dengan istrinya. Dalam kaitan ini sudah terjadi bias gender karena persoalan HIV hanya dikaitkan dengan ibu rumah tangga (baca: perempuan) tanpa mengutik-utik suami (baca: laki-laki).
Disebutkan dalam berita “Namun ada hal yang menjadi catatan, ibu-ibu tersebut ada yang tinggal berdekatan dengan kompleks lokalisasi.” Pernyataan ini menyesatkan karena tidak dijelaskan apa kaitan tinggal dekat lokalisasi dengan ibu-ibu yang tertular HIV itu. HIV tidak menular melalui udara, air, dan pergaulan sehari-hari. Maka, tidak ada kaitan lansung antara tinggal di dekat kompleks lokalisasi dengan tertular HIV sepanjang tidak melakukan hubungan seks yang berisiko. Di Arab Saudi tidak ada lokalisasi pelacuran, tapi sampai akhir tahun lalu sudah dilaporkan lebih dari 10.000 kasus HIV/AIDS.
Ada lagi pernyataan “Untuk menjaga etika, dan melindungi ibu rumah tangga yang terkena HIV tersebut, Hendri tidak menyebutkan alamat dan identitas jelas.” Ini juga tidak akurat karena identitas dan jenis penyakit adalah medical record yang merupakan rahasia jabatan dokter. Pembeberan medical record hanya bisa dengan izin pasien atau atas perintah hakim melalui sidang pengadilan. Identitas juga merupakan fakta privat yang tidak bisa dipublikasikan tanpa izin yang bersangkutan atau atas perintah hakim melalui sidang pengadilan.
Selama ada kesan bahwa pekerja seks komersial (PSK) sebagai biang keladi penularan HIV. Ini tidak benar karena yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, remaja, duda atau lajang sebagai mahasiswa, pelajar, karyawan, pegawai, sopir, nelayan, petani, perampok, dll. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV.
Penularan HIV terjadi tanpa disadari karena orang-orang yang sudah tertular HIV tidak menunjukkan gejala, tanda, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum masa AIDS. Orang-orang yang tertular pun tidak pula merasakannya. Inilah yang membuat epidemi HIV/AIDS menjadi persoalan besar.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Selama ini materi KIE (komuniksi, informasi, dan edukasi) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma, moral, dan agama. Akibatnya, fakta medis tentang HIV/AIDS hilang sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, jajan, selingkuh, seks pranikah, dan homoseksual. Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam dan di luar nikah (bisa) terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan dengan zina, pelacuran, jajan, selingkuh, seks pranikah, dan homoseksual.
Ada lagi pernyataan “Umumnya, mereka yang terkena HIV tersebut, kurang memperhatikan kebersihan dan kesehatannya”. Ini juga tidak akurat karena tidak kaitan langsung antara kebersihan dan kesehatan dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui transfusi darah, jarum suntik dan alat-alat kesehatan sama sekali tidak terkait dengan kebersihan. Pernyataan ini justru menyuburkan stigma (capa buruk) dan diskriminasi (membeda-bedakan) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS).
Dikatakan langkah pencegahan al. ‘aktif melakukan penyuluhan di sejumlah lokalisasi’. Pertanyaannya adalah: Siapa yang disuluh? Kalau yang disuluh adalah PSK maka itu namanya langkah mundur karena yang menularkan HIV kepada PSK adalah pelanggan (baca: laki-laki). Fakta menunjukkan PSK tidak mempunyai posisi tawar yang kuat untuk memaksa laki-laki yang mengencani mereka agar memakai kondom jika sanggama.
Kalau laki-laki yang datang ke lokalisasi HIV-positif maka dia akan menularkan HIV kepada PSK selain kepada istrinya atau pasangan seksnya. Sedangkan laki-laki yang HIV-negatif akan berisiko tertular HIV jika sanggama dengan PSK tanpa kondom karena di lokalisasi itu ada PSK yang tertular HIV. Laki-laki inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal.
Untuk memutus mata rantai penyebaran HIV adalah dengan meningkatan penyuluhan agar laki-laki yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan PSK mau menjalani tes HIV secara sukarela. Laki-laki yang terdeteksi sudah tertular HIV maka penyebaran HIV sudah bisa dihentikan mulai dari diri mereka. Tentus aja materi KIE yang disampaikan pada penyuluhan harus yang akurat dengan mengedepankan fakta medis tentang HIV/AIDS. ***
[Pemerhati berita HIV/AIDS di media massa melalui LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta]
Berita “Sembilan Ibu Rumah Tangga Positif HIV” di Harian “Suara Merdeka” edisi 3 Oktober 2007 menunjukkan pemahaman terhadap epidemi HIV/AIDS di banyak kalangan, termasuk aparat pemerintah, yang tidak komprehensif. Hal inilah salah satu faktor yang membuat penanggulangan HIV/AIDS ‘jalan di tempat’, bahkan bisa dikatakan mudur.
Dalam lead berita disebutkan “Memprihatinkan, virus HIV/AIDS kini tidak saja menyerang mereka yang rawan terkena virus mematikan itu, namun juga telah mengenai ibu rumah tangga.” Pernyataan ini tidak akurat.
Pertama, sebagai virus HIV tidak menyerang tapi menular seperti penyakit menular lain. Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam cairan darah (laki-laki dan perempuan), air mani (laki-laki, dalam sperma tidak ada HIV), cairan vagina (perempuan), dan air susu ibu/ASI (perempuan). Penularan melalui darah bisa terjadi kalau darah yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan dan cangkok organ tubuh. Penularan melalui air mani dan cairan vagina bisa terjadi kalau air mani dan cairan vagina yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui luka-luka di alat kelamin ketika melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah. Sedangkan penularan melalui ASI bisa terjadi melalui proses menyusui.
Kedua, penularan HIV tidak mengenal kelompok, kalangan, grup, dll., tapi terkait dengan perilaku orang per orang. Seseorang (laki-laki dan perempuan) berisiko tinggi tertular HIV kalau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.
Ketiga, HIV sebagai virus tidak mematikan tapi merusak sel-sel darah putih. Seseorang yang sudah tertular HIV akan mencapai masa AIDS, secara statistik antara 5 – 10 tahun setelah tertular HIV. Pada masa AIDS inilah bisa terjadi kamatian karena penyakit akan mudah menyerang. Ini terjadi karena sistem kekebalan (pertahanan) tubuh sudah rapuh. Penyakit yang menyerang pada masa AIDS, disebut sebagai infeksi oportunistik, inilah yang mematikan.
Dalam berita itu tidak jelas faktor risiko (cara penularan) HIV kepada sembilan ibu rumah tangga tsb. Kalau mereka adalah istri maka kemungkinan besar mereka tertular dari suaminya selama mereka tidak berganti-ganti pasangan (misalnya, poliandri atau mempunyai laki-laki lain sebagai pasangan seks/PIL), tidak pernah menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan tidak memakai narkoba dengan jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran.
Kalau mereka tertular dari suaminya dan suami-suami mereka tidak menjalani tes HIV maka para suami itu akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Ibu-ibu rumah tangga itu tanpa dipantai atau ditangani pun kecil kemungkinan mereka menularkan kepada orang lain selain kepada bayi yang dikandungnya. Berbeda dengan suami mereka. Para suami itu mempunyai kesempatan yang besar untuk melakukan hubungan seks dengan orang lain selain dengan istrinya. Dalam kaitan ini sudah terjadi bias gender karena persoalan HIV hanya dikaitkan dengan ibu rumah tangga (baca: perempuan) tanpa mengutik-utik suami (baca: laki-laki).
Disebutkan dalam berita “Namun ada hal yang menjadi catatan, ibu-ibu tersebut ada yang tinggal berdekatan dengan kompleks lokalisasi.” Pernyataan ini menyesatkan karena tidak dijelaskan apa kaitan tinggal dekat lokalisasi dengan ibu-ibu yang tertular HIV itu. HIV tidak menular melalui udara, air, dan pergaulan sehari-hari. Maka, tidak ada kaitan lansung antara tinggal di dekat kompleks lokalisasi dengan tertular HIV sepanjang tidak melakukan hubungan seks yang berisiko. Di Arab Saudi tidak ada lokalisasi pelacuran, tapi sampai akhir tahun lalu sudah dilaporkan lebih dari 10.000 kasus HIV/AIDS.
Ada lagi pernyataan “Untuk menjaga etika, dan melindungi ibu rumah tangga yang terkena HIV tersebut, Hendri tidak menyebutkan alamat dan identitas jelas.” Ini juga tidak akurat karena identitas dan jenis penyakit adalah medical record yang merupakan rahasia jabatan dokter. Pembeberan medical record hanya bisa dengan izin pasien atau atas perintah hakim melalui sidang pengadilan. Identitas juga merupakan fakta privat yang tidak bisa dipublikasikan tanpa izin yang bersangkutan atau atas perintah hakim melalui sidang pengadilan.
Selama ada kesan bahwa pekerja seks komersial (PSK) sebagai biang keladi penularan HIV. Ini tidak benar karena yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, remaja, duda atau lajang sebagai mahasiswa, pelajar, karyawan, pegawai, sopir, nelayan, petani, perampok, dll. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV.
Penularan HIV terjadi tanpa disadari karena orang-orang yang sudah tertular HIV tidak menunjukkan gejala, tanda, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum masa AIDS. Orang-orang yang tertular pun tidak pula merasakannya. Inilah yang membuat epidemi HIV/AIDS menjadi persoalan besar.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Selama ini materi KIE (komuniksi, informasi, dan edukasi) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma, moral, dan agama. Akibatnya, fakta medis tentang HIV/AIDS hilang sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, jajan, selingkuh, seks pranikah, dan homoseksual. Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam dan di luar nikah (bisa) terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan dengan zina, pelacuran, jajan, selingkuh, seks pranikah, dan homoseksual.
Ada lagi pernyataan “Umumnya, mereka yang terkena HIV tersebut, kurang memperhatikan kebersihan dan kesehatannya”. Ini juga tidak akurat karena tidak kaitan langsung antara kebersihan dan kesehatan dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui transfusi darah, jarum suntik dan alat-alat kesehatan sama sekali tidak terkait dengan kebersihan. Pernyataan ini justru menyuburkan stigma (capa buruk) dan diskriminasi (membeda-bedakan) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS).
Dikatakan langkah pencegahan al. ‘aktif melakukan penyuluhan di sejumlah lokalisasi’. Pertanyaannya adalah: Siapa yang disuluh? Kalau yang disuluh adalah PSK maka itu namanya langkah mundur karena yang menularkan HIV kepada PSK adalah pelanggan (baca: laki-laki). Fakta menunjukkan PSK tidak mempunyai posisi tawar yang kuat untuk memaksa laki-laki yang mengencani mereka agar memakai kondom jika sanggama.
Kalau laki-laki yang datang ke lokalisasi HIV-positif maka dia akan menularkan HIV kepada PSK selain kepada istrinya atau pasangan seksnya. Sedangkan laki-laki yang HIV-negatif akan berisiko tertular HIV jika sanggama dengan PSK tanpa kondom karena di lokalisasi itu ada PSK yang tertular HIV. Laki-laki inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal.
Untuk memutus mata rantai penyebaran HIV adalah dengan meningkatan penyuluhan agar laki-laki yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan PSK mau menjalani tes HIV secara sukarela. Laki-laki yang terdeteksi sudah tertular HIV maka penyebaran HIV sudah bisa dihentikan mulai dari diri mereka. Tentus aja materi KIE yang disampaikan pada penyuluhan harus yang akurat dengan mengedepankan fakta medis tentang HIV/AIDS. ***
Langganan:
Postingan (Atom)