14 Oktober 2017

Cewek Ini Tanya Bahaya Pacaran dengan Dua Cowok


                                          Ilustrasi (Sumber: d.pinterest.com)

Tanya Jawab AIDS No 2/Oktober 2017

Oleh: Syaiful W. HARAHAPAIDS Watch Indonesia

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar semua pembaca bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Tanya-Jawab AIDS ini dimuat di: “AIDS Watch Indonesia” (http://www.aidsindonesia.com) dan kompasiana.com/infokespro. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke Syaiful W. Harahap, melalui: (1) Telepon (021) 8566755, (2) e-mail: aidsindonesia@gmail.com, (3) SMS 08129092017, dan (4) WhatsApp:  0811974977. Redaksi.

*****

Tanya: Saya seorang cewek yang pacaran selama enam tahun dengan Si A. Selama pacaran kami melakukan hubungan seksual. Sekarang saya pacaran dengan Si B dan melakukan hubungan seksual. Si B ini juga pernah pacaran dengan cewek lain dan mereka melakukan hubungan seksual.  A dan B tidak pernah pakai kondom ketika berhubungan seksual dengan saya dan sperma tidak dikeluarkan di dalam vagina. Pertanyaan saya: (1) Apakah berbahaya melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan dua cowok? (2) Apa bedanya mengeluarkan sperma di dalam vagina dan di luar vagina?

Via SMS (15/5-2017)

Jawab: (1) Bukan berbahaya, tapi berisiko tertular IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, virus hepatitis B, klamidia dll.) serta HIV/AIDS atau kedua-duanya sekaligus jika salah satu atau kedua cowok itu mengidap IMS atau HIV/AIDS atau kedua-duanya sekaligus.

Persoalan besar adalah:

(a) Apakah Sdri bisa menjami kedua cowok itu tidak mengidap IMS atau HIV/AIDS?

(b) Apakah Sdri bisa menjamin bahwa kedua cowok itu tidak pernah melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti?

(c) Apakah Sdri bisa menjamin kedua cowok itu tidak pernah melakukan hubungan seksual dengan laki-laki lain?

(d) Apakah Sdri bisa menjamin kedua cowok itu tidak pernah melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK) langsung atau PSK tidak langsung?

-PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

--PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.

Kalau Sdri bisa menjamin empat hal di atas, maka tidak ada risiko penularan IMS atau HIV/AIDS. Tapi, kalau Sdri tidak menjamin perilaku seksual kedua cowok itu maka ada risiko tertular HIV/AIDS karena bisa saja salah satu atau kedua cowok itu mengidap HIV/AIDS.

(2) Dalam jumlah yang bisa ditularkan HIV terdapat dalam semen (cairan yang keluar dari penis ketika penis ereksi) dan air mani. Tidak ada HIV di dalam sperma. Tidak bisa hanya mengeluarkan sperma di dalam atau di luar vagina karena sperma ada di dalam cairan air mani.


Risiko penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi jika perempuan mengidap HIV/AIDS karena di dalam cairan vagina ada virus (HIV) yang bisa ditularkan. Penularan terjadi melalui penis selama hubungan seksual terjadi. Sedangkan risiko penularan HIV melalui hubungan seksual melalui laki-laki bisa terjadi kalau laki-laki mengidap HIV/AIDS sehingga air mani yang keluar di dalam vagina yang mengandung HIV bisa menularkan HIV ke perempuan. * [kompasiana.com/infokespro] *

13 Oktober 2017

Penanggulangan Epidemi HIV/AIDS di Hilir

Oleh: Syaiful W Harahap
[Sumber: Harian ”Swara Kita”, Manado, 12 Mei 2008]

"HIV/AIDS, Sejumlah Rumah Sakit Krisis Ketersediaan Obat." Itulah judul berita di sebuah harian Ibu Kota (12/4-2008). Takta ini menunjukkan ada gelombang baru yang meng-hadang upaya penanggu-langan epidemi HIV di Tanah Air. Sekarang pemerintah pusat dan daerah dengan dukungan dana dana dari donor cen-derung mengutamakan peng-obatan terhadap Odha. Terapi adalah penang-gula-ngan di hilir, sedangkan pence-gahan merupakan penanggulangan di hulu.

Walaupun tidak menyembuhkan tapi kehadiran obat anti-retroviral (ARV) membawa berkah bagi orang-orang yang tertular HIV yang telah mencapai masa AIDS (Odha-Orang dengan HIV/AIDS). Obat ini berguna untuk menekan perkembangan HIV di dalam darah sehingga kerusakan sel-sel darah putih dapat ditekan. Selain dapat meningkatkan kualitas hidup para Odha obat ini pun secara tidak langsung menekan penularan karena jumlah virus kian sedikit.

Pada awalnya harga obat ini Rp 8 juta untuk konsusmi satu bulan. Belakangan berkat regulasi pajak harga turun hingga Rp 800.000. Sekarang obat ini gratis karena ada dana hibah dari donor luar negeri. Masalah yang lebih besar akan muncul ketika tidak ada lagi donor. Jika dana untuk pengadaan ARV dialokasikan dari APBN atau APBD tentulah akan menimbulkan persoalan baru karena anggaran kesehatan yang terbatas. Dana yang besar juga diperlukan untuk menanggulangi epidemi penyakit menular, seperti TB, flu burung, malaria, demam berdarah, dll.

Krisis ketersediaan obat ARV ini meningkatkan resistensi terha-dap ARV karena pemakaian obat terputus dan Odha pun tidak bisa lagi memakai obat sesuai dengan anjuran. Jika terjadi resistensi terhadap ARV maka obat pun harus diganti. Ini berdampak pula pada harga obat.

MENGUSUNG MITOS

Jika pemerintah pusat dan daerah tetap memaksakan anggaran khusus untuk sektor HIV/AIDS maka dikhawatirkan akan menim-bulkan gejolak karena mengesankan pemerintah hanya memper-hatikan HIV/AIDS. Apalagi penyakit ini selalu dibenturkan dengan norma, moral, dan agama sehingga ada anggapan penularan penyakit ini erat kaitannya dengan perilaku (yang tidak baik).

Anggapan di atas memang salah tapi tetap saja berkembang karena tidak ada upaya untuk memupusnya. Belakangan ini ada gejala baru yaitu perlombaan membuat peraturan daerah (perda) tentang penanggulangan AIDS. Perda AIDS sudah ada di beberapa daerah al. provinsi (Bali, Jawa Timur, dan Riau), kabupaten (Merauke, Puncak Jaya, Nabire) dan kota (Jayapura, Sorong, Palembang). Upaya penanggulangan HIV/AIDS yang ditawarkan perda-perda itu tetap saja mengusung mitos.

Perda AIDS Prov. Riau, misalnya, menyebutkan cara mencegah penularan HIV dengan “meningkatkan iman dan taqwa”. Bagai-mana menakar kadar iman dan taqwa yang bisa mencegah penula-ran HIV? Bagaimana pula iman dan taqwa mencegah penularan HIV melalui transfusi darah? Hal ini juga akan menyuburkan stigma dan diskriminasi karena ada anggapan orang-orang yang tertular HIV karena tidak beriman dan tidak bertaqwa. Di perda lain disebutkan untuk mencegah penularan HIV adalah jangan melakukan seks menyimpang, jangan melakukan hubungan seks dengan yang bukan istri.

Dengan 11.141 kasus AIDS, diperkirakan sebagian besar sudah memakai obat ARV, diperlukan banyak obat. Angka ini akan terus bertambah karena ada 6.066 kasus HIV yang kelak akan mencapai masa AIDS. Kalangan ahli memperkirakan kasus HIV/AIDS di Indonesia antara 90.000-130.000. Kalau diambil rata-rata maka ada 110.000 penduduk Indonesia yang akan memerlukan obat ARV dan perawatan serta pengobatan di rumah sakit.

Angka di atas akan terus bertambah karena banyak orang yang tidak menyadari perilakunya berisiko tinggi tertular HIV. Mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk dilakukan oleh laki-laki dan perempuan: (a) yang sering atau pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif, (b) yang sering atau pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, karena ada kemungkinan salah satu dari pekerja seks itu HIV-positif.

PENULARAN DIAM-DIAM

Dengan kasus AIDS yang dilaporkan saja yaitu 11.141 dana untuk membeli ARV setiap bulan mencapai Rp 8.912.800.000 dengan catatan harga Rp 800.000. Jika kasus pada angka 110.000 maka dana yang diperlukan mencapai Rp 88 miliar per bulan. Angka itu belum termasuk biaya pengobatan (obat, dokter, dan rumah sakit) untuk penyakit-penyakit infeksi oportunistik yang muncul pada masa AIDS. Bagi yang mampu tidak ada masalah, namun bagi yang tidak mampu tentulah akan menjadi beban. Kalau kemudian pemerintah mengatasinya dengan asuransi kesehatan untuk rakyat miskin maka dana yang diperkukan untuk mengobati Odha pun akan membengkak pula.

HIV/AIDS merupakan epidemi yang harus ditanggulangi karena terkait dengan kesehatan masyarakat maka semua Odha mem-peroleh ARV gratis. Untuk jangka panjang perlu dipikirkan untuk menerapkan subsidi silang karena jika tidak ada lagi dana hibah dari donor tentulah pemerintah akan kelabakan menyediakan biaya untuk pembelian obat ARV.

Pemberian ARV merupakan upaya penanggulangan di sek-tor hilir. Karena penularan HIV terjadi secara diam-diam tanpa disada-ri maka kasus penularan HIV akan terus bertambah. Ini terjadi karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik. Akibatnya, mereka pun menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari. Antara lain melalui hubungan seks tanpa kodom di dalam dan di luar nikah, serta melalui jarum suntik yang dipakai bergantian pada pe-nyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya). Ada pula yang menularkan HIV kepada pekerja seks. Pekerja seks yang tertular kemudian menularkan HIV kepada laki-laki yang datang mengencaninya tanpa memakai kondom.

Banyak kasus HIV/AIDS di Indonesia terdeteksi sudah pada masa AIDS. Ini menunjukkan sebelum terdeteksi mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain yaitu pada kurun waktu antara 5-10 sejak mereka tertular HIV. Inilah mata rantai penyebaran HIV yang merupakan sektor hilir pada epidemi HIV. Tapi, hal ini tidak menjadi perhatian utama dalam penanggulangan HIV/AIDS saat ini. Penduduk yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV. Kalau di sektor hilir tidak ada upaya yang konkret untuk mencegah penularan HIV maka kasus AIDS akan terus bertambah. Ini artinya beban pemerintah untuk menyediakan obat ARV gratis pun akan melon-jak pula. Pengeluaran masyarakat untuk berobat, khususnya keluarga Odha, pun meningkat pula karena pada masa AIDS Odha akan memerlukan pengobatan dan perawatan di rumah sakit. Kelak kalau dana hibah dari donor asing tidak ada lagi maka APBN dan APBD pun akan digerogoti untuk membeli atau menyubsidi ARV dan memberikan dana bantuan pengobatan bagi pasien Odha yang miskin.

Akankah kita menunggu kondisi itu atau sejak hari ini kita menyingsingkan lengan baju menyebarluaskan informasi yang akurat tentang HIV/AIDS agar masyarakat bisa melindingi diri secara aktif agar tidak tertular HIV. Pilihan ada di tangan kita. (Penulis adalah Pemerhati Masalah HIV/AIDS dan Direktur Eksekutif LSM media watch ”InfoKespro” Jakarta). *

Menyikapi Kasus AIDS pada Pejabat di Papua

Oleh: Syaiful W. Harahap
[Sumber: Newsletter “
infoAIDS” edisi No 6/Oktober 2006]

Berita seputar HIV/AIDS di kalangan pejabat di Papua seakan menyentak banyak kalangan.Tapi, kasus itu hanyalah puncak dari ‘fenomena gunung es’ karena banyak orang di masyarakat yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk.

Dengan kasus kumulatif HIV/AIDS 1.759 di Papua dan Irjabar yang terdiri atas 920 HIV+ dan 839 AIDS serta 192 kamatian menunjukkan epidemi HIV di Papua sudah menjadi masalah besar. Memang, sebelum mencapai masa AIDS (antara 5 – 10 tahun setelah tertular HIV) seseorang yang sudah tertular HIV tidak ada mengalami persoalan terkait dengan kesehatan karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya.

Biar pun tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada diri seseorang yang sudah tertular HIV dia sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain tanpa disadarinya melalui: (a) hubungan seks di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum tattoo, jarum akpunktur, alat-alat kesehatan dan cangkok organ tubuh, (d) dari seorang ibu yang HIV-positif ke anak yang dikandungnya terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu/ASI (HIV bukan penyakit turunan tapi penyakit menular sehingga bisa dicegah).

Suami Penular


Angka kematian 192 merupakan ‘petaka’ karena sebelum meninggal mereka menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari. Yang laki-laki akan menularkan HIV kepada istrinya dan istrinya pun kelak akan menularkan HIV kepada anak yang dikandungnya. Bisa pula laki-laki yang beristri menularkan ke orang lain, seperti pacar atau istri gelap serta pekerja seks. Sedangkan yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada pacarnya atau pekerja seks.

Karena tidak ada tanda, gejala atau ciri yang khas AIDS itulah yang menyebabkan banyak orang yang menularkan HIV tanpa disadarinya. Hal ini terjadi karena selama ini yang tumbuh subur di masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah) yaitu HIV menular melalui pelacuran dan gay. Padahal, banyak laki-laki yang melakukan hubungan seks bukan dengan pelacur, tapi dengan ‘cewek’ di luar lokalisasi baik di Papua maupun di luar Papua atau di luar negeri sehingga mereka tidak menyadari bahwa hal itu juga berisiko tinggi tertular HIV. Soalnya, perilaku ‘cewek’ itu berisiko tinggi tertular HIV karena sering berganti-ganti pasangan. Ada kemungkinan salah satu dari laki-laki yang mengencani ‘cewek’tadi HIV-positif sehingga ‘cewek’ itu tertular HIV.

Kalau ada ‘cewek’ di lokalisasi atau di luar lokalisasi yang HIV-positif maka laki-laki yang mengencaninya pun akan tertular HIV. Penularan terjadi tanpa disadari dan laki-laki yang tertular pun tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Laki-laki inilah yang kemudian menjadi mata rantai penyebaran HIV. Bagi yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya. Hal ini terbukti seperti yang disampaikan oleh Ketua KPAD Prov. Papua, drh Constant Karma (
Cenderwasih Pos, 9/6-2006) “ …. ibu rumah tangga lebih banyak yang terinfeksi HIV/AIDS ketimbang pekerja seks.”

Dari mana ibu-ibu rumah tangga itu tertular HIV? Kemungkinan besar tentulah dari suami mereka. Hal ini terjadi karena suami mereka tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya.

Seseorang berisiko tinggi tertular HIV kalau dia pernah (1) melakukan hubungan seks penetrasi yakni penis masuk ke vagina (heteroseks), seks oral dan seks anal di dalam atau di luar nikah serta homoseks tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti, (2) melakukan hubungan seks penetrasi, seks oral dan seks anal di dalam atau di luar nikah serta homoseks tanpa kondom dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan (seperti dengan pekerja seks perempuan atau waria), (3) menerima transfusi darah yang tidak diskrining, dan (4) memakai jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo dan alat-alat kesehatan secara bersama-sama dengan bergiliran.

Tes Sukarela

Setelah mencapai masa AIDS mulailah muncul persoalan (besar). Jika yang tertular suami maka dia tidak bisa bekerja lagi. Kalau dia dirawat di rumah sakit maka istri dan anak-anak akan bergantian mengurusnya. Akibatnya, istri tidak bisa bekerja dan sekolah anak-anak pun terganggu.

Tapi, selama ini kasus HIV/AIDS di Indonesia selalu ditampik. Bahkan, di awal epidemi HIV (1980-an) banyak pejabat dan tokoh masyarakat yang sesumbar bahwa Indonesia tidak akan ‘diserang AIDS’ karena bangsa Indonesia berbudaya dan beragama. Ada anggapan (yang keliru) bahwa moral dan agama bisa melindungi diri dari risiko tertular HIV. Ini mitos (anggapan yang salah) karena sama sekali tidak ada kaitan antara agama dan moral dengan penularan HIV.

Kalau moral dan agama (dalam hal ini agama yang diakui) bisa membendung HIV tentulah orang-orang yang tidak beragama akan tertular HIV. Apakah ini benar? Ternyata tidak. Di masyarakat yang kita sebut ‘tidak beragama’ hanya karena mereka tidak menganut agama yang resmi ternyata tidak semua penduduknya tertular HIV. Sebaliknya, di negara-negara yang menjadikan agama sebagai dasar negara pun, seperti Arab Saudi, tetap saja banyak kasus HIV/AIDS. Di Arab Saudi, misalnya, sampai awal tahun ini dilaporkan 9.000-an kasus HIV/AIDS. Bahkan, 85 anak-anak dirawat di rumah sakit karena penyakit yang terkait dengan HIV/AIDS.

Pengaitan moral dan agama ke masalah HIV/AIDS akhirnya menyesatkan banyak orang. Untuk itulah sudah saatnya meningkatkan penyuluhan dengan materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) yang akurat dengan mengedepankan fakta medis bukan moral dan agama.

Sasarannya adalah penduduk (laki-laki dan perempuan) yang pernah melakukan perilaku berisiko agar mau menjalani tes HIV secara sukarela. Kian banyak penduduk yang terdeteksi HIV-positif maka semakin banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus. Inilah salah satu upaya untuk menekan laju penyebaran HIV. *

Menyikapi Berita Kematian Penderita AIDS di Sukabumi

Oleh: Syaiful W. Harahap
[Sumber: Newsletter “infoAIDS” edisi No 7/November 2006]

Berita “Di Kota Sukabumi 21 Orang Penderita AIDS Meninggal” (Harian “GALAMEDIA”, Bandung, 15 Juni 2006) membuktikan bahwa pandemi HIV sudah ada di masyarakat Sukabumi. Sayang, wartawan hanya menyampiakan data tidak ‘membawa’ fakta itu ke realitas sosial.

Satu hal yang perlu dicermati adalah kasus yang dilaporkan tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es (iceberg phenomenon). Kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya ada di masyarakat (Sukabumi). Hal ini terjadi karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik sebelum mencapai masa AIDS (antara 5 – 10 tahun setelah tertular HIV). Namun, ybs. sudah bisa menularkan HIV secara diam-diam tanpa disadarinya melalui (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat keseahtan dan cangkok organ tubuh, (d) dari seorang ibu yang HIV-positif kepada anak yang dikandungnya teruatama pada saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu/ASI (HIV bukan penyakit turunan tapi penyakit menular sehingga bisa dicegah).

Kondisi di ataslah yang membuat epidemi HIV kian runyam karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Sebaliknya, orang-orang yang sudah terdeteksi HIV-positif justru mengurangi penyebaran HIV karena mulai dari mereka mata rantai penyebaran HIV diputuskan. Bagi Odha (Orang yang Hidup dengan HIV/AIDS) yang beristri maka dia dibujuk agar selalu memakai kondom kalau sanggama dengan istrinya. Yang tidak beristri juga dibujuk agar tidak melakukan hubungan seks dengan orang lain tanpa kondom.

Bercermin Thailand

Semakin banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang dapat diputuskan. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Banyak kalangan yang ‘bak kebakaran jenggot’ kalau di daerahnya terdeteksi kasus HIV/AIDS.

Banyak yang memilih ‘menyembunyikan’ kasus HIV/AIDS agar daerahnya dinilai ‘bersih’. Padahal, langkah ini jelas mencelakakan karena epidemi HIV akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS.

Kalau sudah terjadi ledakan AIDS maka malapetaka yang akan datang karena penduduk yang sudah mencapai masa AIDS membutuhkan biaya yang besar untuk pengobatan penyakit yang muncul, disebut infeksi oportunistik. Mereka pun sudah ada yang harus dirawat di rumah sakit sehingga mereka tidak bisa bekerja. Kalau dirawat di rumah sakit maka istri dan anak-anaknya akan bergantian mengurusnya. Selain biaya rumah sakit diperlukan pula biaya transport. Sekolah anak-anak juga akan terganggu.

Kita (sudah) terlambat menangani epidemi HIV. Tahun 2001 Direktur Eksekutif UNAIDS, Dr. Peter Piot, sudah mengingatkan Indonesia tentang percepatan peningkatan kasus HIV/AIDS. Pemerintah hanya berpangku tangan. Hal yang sama terjadi di Thailand. Dua dekade yang lalu kalangan ahli sudah mengingatkan Negeri Gajah Putih itu tentang HIV/AIDS. Tapi, petinggi negeri itu menampik dengan mengatakan bahwa mereka adalah bangsa yang beragama dan berbudaya. Tapi, apa yang terjadi kemudian? Tahun 2000 dana yang dibutuhkan untuk menanggulangi HIV/AIDS hampir dua kali lipat dari devisa yang diperoleh negara itu dari pariwisata. Diperkirakan hampir 1 juta penduduk Thailand tertular HIV.

Apakah mengikuti jejak Thailand?

Kita bisa berhitung sekarang. Seandainya 21 penderita yang meninggal itu semua laki-laki dan sudah beristri maka mereka sudah menulari 21 perempuan. Kalau 21 perempuan ini hamil maka ada risiko 15-30 persen dari bayi yang mereka lahirkan tertular HIV. Kalau ada di antara mereka yang juga melakukan hubungan seks dengan perempuan lain, seperti selingkuhan, simpanan atau pekerja seks maka perempuan lain itu pun berisiko pula tertular HIV. Kegiatan ini berlangsung antara 5 – 10 tahun.

Memutus Mata Rantai

Kalau ada di antara 21 penduduk yang meninggal itu pengguna narkoba suntikan maka selama 5 - 10 tahun dia menyuntikkan narkoba secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian dengan teman-temannya. Andaikan mereka menyuntik setiap hari dengan kelompok 5 orang maka ada kemungkinan 4 temannya terular karena tingkat kemungkinan (probabilitas) penularan HIV melalui jarum suntik sangat tinggi yaitu sekitar 90 persen setiap kali suntikan. Jika empat temannya tadi juga menyuntik dengan temannya di kelompok lain maka teman-temannya pun berisiko pula tertular HIV. Mereka inilah yang akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal baik di kalangan sesama pengguna narkoba maupun kepada pekerja seks, istri atau pacar mereka.

Sudah saatnya digencarkan penyuluhan tentang HIV/AIDS melalui materi KIE (komunikasi, informasi, edukasi) yang akurat dengan mengedepankan HIV/AIDS sebagai fakta medis (dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran). Karena HIV/AIDS merupakan fakta medis maka pencegahannya pun dapat dilakukan dengan cara-cara yang realistis yaitu menghindari perilaku berisiko tinggi.

Untuk mencegah penyebaran HIV secara horizontal perlu diputus mata rantainya dengan menganjurkan kepada orang-orang yang pernah melakukan perilaku berisiko agar menjalani tes HIV sukarela. Tes dengan standar prosedur operasi yang baku: konseling (bimbangan) sebelum dan sesudah tes, pernyataan kesediaan serta kerahasiaan (yang berhak mengetahui hasil tes hanya ybs., konselor dan dokter yang menanganinya).

Bagi yang terdeteksi HIV-positif dianjurkan agar tidak menulari orang lain. Kalau sudah beristri maka dianjurkan agar selalu memakai kondom jika berhubungan seks. Selain itu orang-orang yang terdeteksi HIV-positif pun dapat ditangani secara medis dengan memberikan obat antiretroviral (obat untuk menghambat perkembangan HIV di dalam darah) sehingga mereka tetap bisa hidup produktif. *

Menanggulangi AIDS dengan Mitos

Oleh: Syaiful W. Harahap
[Sumber: Newsletter “infoAIDS” edisi No. 8/Desember 2006]

Kasus HIV/AIDS secara nasional terus meroket menuju puncak epidemi. Ketika banyak negara ‘kalang-kabut’ menghadapi kasus AIDS pemimpin kita justru menampik kemungkinan AIDS ‘masuk’ ke Indonesia. Tapi, apa yang terjadi dua dekade kemudian? Kasus HIV/AIDS terus bertambah dengan pasti. Secara nasional sampai 30 September 2006 dilaporkan 11.604 kasus HIV/AIDS. Kalangan ahli memperkirakan kasus HIV/AIDS di Indonesia berkisar dari 90.000 sampai 130.000. Daerah pun berlomba-lomba meneluarkan peraturan daerah (perda) penanggulangan AIDS, tapi, lagi-lagi dengan moral.

Kalau saja peringatan Dr. Peter Piot, Direktur Eksekutif UNAIDS (badan PBB yang khusus menangani AIDS), pada Kongres Internasional AIDS Asia Pasifik VI (Melbourne, Australia, Oktober 2001) yang menyebutkan bahwa kasus HIV/AIDS di Indonesia, terutama penularan melalui jarum suntik pada penyalahguna narkoba (injecting drug user/IDU) sudah mengkhawatirkan ditanggapi dengan ikhlas mungkin penyebaran HIV melalui IDU dapat ditekan. Faktor risiko (modus penularan) HIV melalui IDU di Indonesia mencapai 50,31 persen. Bandingkan dengan penularan melalui hubungan seks (heteroseksual) yang mencapai 40,30 persen.

Tapi, lagi-lagi pemerintah tidak bergeming. Bahkan, pernyataan pejabat dan pakar tentang HIV/AIDS di media massa nasional pun tetap mengumbar mitos (anggapan yang salah). Bahkan, banyak pejabat daerah yang membusungkan dada karena tidak ada laporan kasus HIV/AIDS di daerahnya atau karena daerahnya tidak tercantum dalam ‘daftar kasus AIDS berdasarkan provinsi’.

Kasus HIV/AIDS tidak seperti demam berdarah, diare, atau flu burung karena seseorang yang tertular HIV tidak menunjukkan gejala, tanda, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum mencapai masa AIDS (secara statistic antara 5 – 10 tahun setelah tertular). Namun, pada rentang waktu itu penularan bisa terjadi tanpa disadari. Penularan terjadi melalui cara-cara yang sangat khas yaitu (a) hubungan seks di dalam dan di luar nikah serta homoseks tanpa kondom, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik, dan (d) air susu ibu (ASI).

Kasus Bertambah

Akibatnya, banyak kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi. Kasus HIV/AIDS tidak pula bisa dideteksi dengan kasat mata. Kasus HIV/AIDS hanya bisa dideteksi melalui tes HIV dengan menggunakan darah. Itulah sebabnya epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Artinya, kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang ada. Tapi, tidak ada perbandingan yang ril antara kasus yang terdeteksi dengan kasus yang tidak terdeteksi.

Belakangan ini pertambahan kasus HIV/AIDS di semua daerah meningkat dengan tajam. Inilah yang membuat banyak daerah kelabakan bak kebakaran jenggot. Padahal, penemuan kasus yang besar itu terjadi karena ada kegiatan tes HIV yang gencar melalui klinik-klinik VCT (voluntary counseling and testing) yaitu klinik yang menyediakan sarana untuk tes HIV sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang didanai oleh Global Fund.

Tapi, banyak daerah yang tidak memahami hal itu dan melihatnya sebagai persoalan besar. Maka, ramai-ramailah daerah merancang peraturan daerah (perda) penanggulangan AIDS. Sampai sekarang sudah ada tujuh daerah (kota, kabupaten, dan provinsi) yang menelurkan Perda yaitu 1 Kabupaten Nabire (2003), 2 Kabupaten Merauke (2003), 3 Provinsi Jawa Timur (2004), 4 Kabupaten Puncak Jaya (2005), 5 Provinsi Bali (2006), 6 Provinsi Riau (2006), dan 7 Kota Sorong (2006).

Hasilnya? Nol besar. Buktinya, kasus HIV/AIDS di daerah-daerah yang sudah menelurkan Perda itu tetap meroket. Bahkan, di Papua yang menelurkan empat Perda kasus HIV/AIDS di kalangan ibu rumah tangga lebih banyak daripada di kalangan pekerja seks.

Mengapa hal itu terjadi? Ya, karena penularan HIV secara horizontal antara penduduk terjadi tanpa disadari. Hal ini terjadi karena banyak orang yang tidak (mau) menyadari dirinya sudah tertular HIV. Selama ini materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) tentang HIV/AIDS dibalut dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos. Misalnya, penularan HIV dikait-kaitkan dengan zina, pelacuran, ‘seks bebas’, selingkuh, jajan, waria, dan homoseks.

Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah serta homoseks bisa terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali hubungan seks. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak akan terjadi penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan dengan zina, melacur, ‘seks bebas’, jajan, selingkuh atau homoseks.

Perda Mitos

Ternyata dalam Perda pun yang ditonjolkan sebagai upaya penanggulangan dan pencegahan justru mitos. Tidak ada cara-cara yang realistis ditawarkan sebagai upaya pencegahan dalam Perda. Dalam Perda Kab Puncak Jaya No 14/2005, misalnya, disebutkan pada Pasal 5 ayat 1 “Pencegahan HIV/AIDS dan IMS dilakukan melalui cara (a) Tidak melakukan hubungan seksual secara menyimpang dan berganti-ganti pasangan seks.” Ini jelas moral karena tidak ada kaitan langsung antara seks yang menyimpang dengan penularan HIV.

Pada Perda Prov Jawa Timur No. 5/2004 disebutkan pada pasal 3 ayat 3 c “Melaksanakan penanggulangan penyakit menular seksual (PMS) secara terpadu dan berkala di tempat-tempat perilaku beresiko tinggi, termasuk didalamnya keharusan penggunaan kondom 100%”. Nah, ini juga mitos. Tidak ada kaitan langsung penularan HIV dengan “tempat-tempat perilaku beresiko tinggi”. Lagi pula ini eufemisme. Sebut saja tempat pelacuran, lokasi atau lokalisasi pelacuran!

Perda Prov Bali No 3/2006 juga sarat moral. Pasal 9 disebutkan “Setiap orang yang melakukan hubungan seksual berisiko wajib melakukan upaya pencegahan”. Mengapa tidak memakai kalimat yang denotative? Pasal ini akan lebih bermakna kalau berbunyi “Setiap orang, laki-laki atau perempuan, yang melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan wajib memakai kondom.”

Perda Prov Riau No. 4/2006 juga mengedepankan moral dalam mencegah HIV/AIDS. Pasal 5 disebutkan cara-cara mencegah HIV yaitu (a) Meningkatkan Iman dan Taqwa, (b) Tidak melakukan hubungan seksual diluar perkawinan yang sah. (c) Setia pada pasangan tetap dan atau tidak melakukan seks bebas. Tiga cara ini jelas salah nalar karena tidak ada kaitannya secara langsung dengan penularan HIV. Bahkan, Perda ini menyuburkan stigma (cap buruk) kepada orang yang tertular HIV karena dikategorikan sebagai orang yang ‘tidak beriman dan tidak bertaqwa’.

Kalau penanggulangan HIV/AIDS tetap mengusung mitos maka epidemi HIV akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang. Maka, apakah kita akan tetap mengedepankan moral dan agama dalam penanggulangan AIDS di negari yang agamis ini dan berbudaya tinggi ini? *

Menanggulangi AIDS dengan Perda

Oleh: Syaiful W. Harahap
[Sumber: Newsletter “infoAIDS” edisi No 12/Januari 2007]

"Perda Penanggulangan AIDS Dibentuk. " Itulah judul berita di sebuah harian di Bogor, Jawa Barat (Pakuan Raya, 24/5-06). Berita ini menggelitik karena ada kesan dengan undang-undang atau peraturan daerah (Perda) epidemi HIV/AIDS dapat ditanggulangi. Beberapa provinsi, kabupaten dan kota juga sedang menggodog Perda AIDS. Jika persoalan yang mendasar terkait epidemi HIV/AIDS tidak disentuh maka UU atau Perda akan sia-sia. Bak menggantang asap.

Di saat epidemi HIV/AIDS (mulai) menjadi persoalan baru kita kalang-kabut. Padahal, tahun 2001 Dr. Peter Piot, Direktur Eksekutif UNAIDS (Badan PBB yang khusus menangani AIDS), sudah mengingatkan Indonesia tentang peningkatan kasus HIV/AIDS di Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik (ICAAP) VI di Melbourne, Australia. Tapi, sama sekali tidak ada tanggapan positif dari Indonesia.

Akibatnya, kasus demi kasus mulai terdeteksi sampai melewati angka 10.000. Perlu diingat angka ini pun hanya ‘angka semu’ karena tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya. Epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es yaitu kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya di masyarakat.

Menularkan HIV

Hal itu terjadi karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV sebelum mencapai masa AIDS (antara 5 – 10 tahun setelah tertular HIV). Tapi, yang bersangkutan sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain tanpa disadari melalui: (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo dan alat-alat kesehatan, (d) cangkok organ tubuh, (e) dari ibu yang HIV-positif ke anak yang dikandungnya pada saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu/ASI (HIV/AIDS bukan penyakit turunan tapi penyakit menular sehingga bisa dicegah).

Kondisi di ataslah yang membuat epidemi HIV/AIDS kian pelik karena penularan secara horizontal antar penduduk terjadi secara diam-diam karena tidak disadari. Banyak penduduk yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV akhirnya menjadi mata rantai penyebaran HIV.

Bertolak dari fakta ini maka UU atau Perda tidak akan bisa mencegah penularan HIV yang terjadi secara diam-diam antar penduduk karena orang-orang yang sudah tertular HIV tidak bisa dilihat dengan mata telanjang.

Salah satu tujuan UU atau Perda adalah ingin menjerat orang yang menularkan HIV. Tentu saja ini sangat naïf karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV sehingga dia pun tidak menyadari dirinya menjadi mata rantai penularan HIV.

Maka, yang dibidik UU dan Perda AIDS adalah pekerja seks komersial (PSK). Ini pun, maaf, lagi-lagi naïf karena PSK justru tertular HIV dari laki-laki. Lalu, kalau ada PSK yang tertular maka laki-laki yang datang mengencaninya pun berisiko pula tertular HIV. Nah, dalam kaitan ini kalau UU atau Perda hanya menjerat PSK maka hal itu tidak ada manfaatnya karena laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK tetap bebas menularkan HIV ke orang lain sebagai mata rantai.

Aspek lain yang dibidik UU dan Perda adalah kewajiban memakai kondom di lokasi atau lokalisasi pelacuran. Ini mengacu ke Thailand yang dikabarkan berhasil menekan kasus baru HIV. Tapi, belakangan ada persoalan baru di Thailand. Para ‘hidung belang’ membawa PSK ke luar dari lokasi atau lokalisasi pelacuran sehingga mereka tidak wajib lagi memakai kondom. Tentu saja hal ini bisa menambah kasus baru HIV.

Nah, kalau aturan Thailand itu dipakai sebagai acuran untuk UU dan Perda di Indonesia maka lagi-lagi pekerjaan itu ‘bak menggantang asap’ karena secara de jure tidak ada lokasi atau lokalisasi pelacuran di Indonesia. Sedangkan dalam perda pemakaian kondom diwajibkan bagi ‘hidung belang’. Maka, di mana atau kepada siapa kewajiban memakai kondom itu mengikat secara hukum?

Mitos AIDS

Lagi pula di daerah yang sudah ada Perda AIDS, seperti Papua, Jawa Timur, Bali, dan Riau tidak menunjukkan kemajuan yang nyata dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS. Lagi pula, biar pun di daerah-daerah itu kegiatan ‘seks bebas’ (istilah ini ngawur tapi selalu dipakai) tidak ada secara de facto dan de jure, tapi bisa saja penduduk daerah atau kota tersebut tertular di daerah atau kota lain bahkan di luar negeri. Ketika dia kembali ke daerah atau kotanya maka dia akan menjadi mata rantai penyebaran HIV. Ini semua terjadi tanpa disadari.

Di negara yang menetapkan agama dan kitab suci sebagai dasar negara pun tetap saja ada kasus HIV/AIDS biar pun secara de facto dan de jure tidak ada lokalisasi pelacuran. Di Arab Saudi, misalnya, sampai Maret 2006 dilaporkan lebih dari 9.000 kasus HIV/AIDS. Bahkan, 84 bayi dirawat di rumah sakit di sana karena penyakit terkait AIDS. Begitu pula dengan di Nangro Aceh Darussalam (NAD) yang sudah menerapkan syariat Islam sebagai hukum tetap saja ada kasus HIV/AIDS yang dilaporkan.

Maka, yang penting adalah upaya meningkatkan pemahaman penduduk tentang cara-cara pencegahan HIV yang bernalar (logis, realistis) bukan dengan balutan moral dan agama.

Di kawasan Eropa Barat, Amerika Utara, Australia dan Afrika kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa mulai menunjukkan grafik yang mendatar. Mengapa hal ini bisa terjadi? Tentu saja bukan karena obat atau vaksin tapi masyarakat di sana memahami cara-cara pencegahan HIV yang realistis yang mengedepankan aspek medis.

Sebaliknya, di kawasan Asia Pasifik kasus infeksi baru di kalangan dewasa justru meningkat tajam. Indonesia sendiri merupakan salah satu dari tiga negara yang percepatan kasus HIV-nya paling cepat setelah India dan Cina. Mengapa hal ini terjadi? Ya, karena materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Misalnya, mengaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, waria dan gay.

Padahal, tidak ada kaitan langsung penularan HIV dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, waria dan gay. Penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, (bisa) terjadi kalau salah satu atau dua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seks. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV melalui hubungan seks biar pun dilakukan dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, waria dan gay.

Untuk memutus mata rantai penyebaran HIV antar penduduk perlu ditingkatkan penyuluhan yaitu mengajak penduduk (laki-laki dan perempuan) yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang bergani-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK, untuk menjalani tes HIV secara sukarela. Semakin banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang dapat diputuskan.

Nah, mengapa kita tetap ngotot (tidak mau mengalah) merancang perda yang menghabiskan jutaan rupiah uang rakyat tanpa hasil yang nyata bagi kesehatan masyarakat? *

Kebanggaan Semu

Oleh: Syaiful W. Harahap
[Sumber: Newsletter “infoAIDS” edisi No. 13/Februari 2007]

Kalau dahulu penguasa daerah membusungkan dada kalau daerahnya tidak masuk dalam laporan kasus kumulatif HIV/AIDS, tapi sekarang daerah justru melaporkan kasus HIV/AIDS. Angka kasus kumulatif yang kecil merupakan ‘kebanggaan semu’.

Belakangan ini banyak pula daerah yang kelabakan ketika angka kasus HIV/AIDS di daerahnya tiba-tiba melonjak. Reaksi yang muncul pun sering tidak nalar. Mulai dari usulan karantina, isolasi, pelacakan, merancang peraturan yang menghabiskan ratusan juta rupiah uang rakyat, studi banding, seminar, pelatihan, dll. Kalau nalar dipakai maka penemuan kasus (baru) HIV/AIDS merupakan titik awal dari upaya memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS.

Kasus yang terdeteksi hanyalah sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya di masyarakat. Dalam epidemi HIV/AIDS dikenal istilah fenomena gunung es. Puncak gunung es yang dapat dilihat di permukaan laut sangat kecil (ini menggambarkan angka yang terdeteksi) tapi bagian yang tidak muncul ke permukaan jauh lebih besar (ini menggambarkan kasus yang tidak terdeteksi). Tidak ada rumus yang bisa menentukan jumlah kasus yang tidak terdeteksi.

Mata Rantai

Kasus AIDS di kalangan pengguna narkoba suntikan merupakan mata rantai penyebaran HIV antar penduduk secara horizontal melalui hubungan seks (dengan pacar, istri, suami, selingkuhan, dan pekerja seks). Pengguna narkoba yang terdeteksi pada tahap AIDS berarti mereka sudah tertular HIV antara 5 – 10 tahun sebelumnya. Nah, tanpa mereka sadari pada rentang waktu antara 5 – 10 tahun sebelum mereka terdeteksi HIV-positif mereka sudah menjadi mata rantai penyebaran HIV ke masyarakat.

Yang beristri akan menulari istrinya melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam nikah. Kalau istrinya tertular maka ada risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya kelak terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI). 

Selain itu mereka pun akan menjadi mata rantai penularan HIV kepada pengguna narkoba lain. Andaikan seorang pengguna narkoba yang HIV-positif memakai narkoba dengan jarum suntik secara bergantian dengan lima temannya maka ada risiko penularan kepada lima temannya itu. Tingkat risiko penularan melalui penggunaan jarum suntik secara bergantian pada pengguna narkoba mendekati 100 persen.

Kalau ada di antara lima temannya tadi yang tertular maka mereka pun menjadi mata rantai penyebaran HIV pula. Kepada istri, pacar, PSK atau pengguna narkoba lain. Angka ini terus bertambah bagaikan deret ukur.

Penularan HIV terjadi secara diam-diam tanpa disadari karena seseorang yang sudah tertular HIV tidak menunjukkan tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum mencapai masa AIDS (antara 5 – 10 tahun setelah tertular HIV). Tapi, mereka sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain melalui: (a) melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) cangkok organ tubuh, (d) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo dan alat-alat kesehatan, (e) menyusui dengan ASI, dan (f) homoseksual tanpa kondom.

Inilah yang membuat kasus HIV/AIDS terus bertambah dengan cepat tanpa bisa dikendalikan karena orang-orang yang sudah tertular HIV tidak bisa dikenali melalui fisiknya. Banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV.

Anjuran Tes HIV

HIV adalah virus yang tergolong retrovirus yaitu virus yang bisa menggandakan diri di dalam sel-sel darah putih manusia. Sel-sel darah putih yang dijadikan HIV sebagai ‘pabrik’ untuk menggandakan diri rusak. HIV yang baru diproduksi dalam jumlah yang banyak akan mencari sel darah putih lain untuk menggandakan diri. Begitu seterusnya tanpa menimbulkan gejala pada kesehatan.

Jika sel-sel darah putih sudah banyak yang rusak maka sampai pada tahap AIDS. Seseorang yang tertular HIV yang sudah sampai pada masa AIDS akan mudah sakit karena berbagai penyakit, baik karena kuman, bakteri atau virus mudah masuk. Hal ini terjadi karena sel-sel darah putih yang menjadi ‘bala tentara’ perlindungan tubuh tidak berdaya lagi menghadapi serangan penyakit. Maka, yang membuat Odha (Orang dengan HIV/AIDS) meninggal adalah penyakit-penyakit yang menyerang pada masa AIDS.

Penularan HIV dapat dicegah dengan cara-cara yang sangat masuk akal yaitu menghindari agar darah, air mani, cairan vagina atau ASI yang mengandung HIV tidak masuk ke dalam tubuh. Persoalannya adalah kita tidak bisa mengenali orang-orang yang sudah tertular HIV dari penampilan fisiknya. Lalu, bagaimana caranya melindungi diri agar tertularHIV/AIDS?

Cara yang masuk akal adalah menghindari perilaku berisiko tinggi tertular HIV yaitu: (a) tidak melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, di mana saja dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari mereka HIV-poistif, (b) tidak melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, di mana saja dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, karena ada kemungkinan salah satu dari pelanggan mereka HIV-poistif, (c) tidak menerima transfusi darah dan cangkok organ tubuh yang tidak diskrining HIV, (d) tidak memakai jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, pisau cukur dan alat-alat kesehatan yang tidak steril.

Nah, kalau ada seseorang, laki-laki atau perempuan, yang pernah melakukan perilaku berisiko, di daerah sendiri, di luar daerah, atau di luar negeri, maka dia sudah berisiko tertular HIV. Biar pun di daerah sendiri tidak ada lokalisasi atau lokasi pelacuran, tapi bisa saja melakukan perilaku berisiko di luar daerah. Soalnya, tidak ada satu negara pun di dunia ini bebas HIV/AIDS. Maka, kalau ada penduduk di satu daerah yang tertular HIV maka merekalah yang akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal, terutama melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah, antar penduduk tanpa mereka sadari.

Langkah yang tepat bagi orang-orang yang pernah melakukan perilaku berisiko tinggi adalah menjalani tes HIV secara sukarela untuk mengetahui status HIV: sudah atau belum tertular.

Bagi orang-orang yang terdeteksi sudah tertular melalui tes HIV maka mereka diminta untuk memutus mata rantai penyebaran HIV yaitu tidak melakukan hubungan seks tanpa kondom, tidak mendonorkan darah, tidak memakai jarum suntik bergantian. Mereka pun dapat pula ditangani secara medis sehingga tetap bisa produktif. Misalnya, pemberian obat antiretroviral (ARV) yaitu obat untuk menekan penggandaan HIV di dalam darah. Sedangkan bagi yang tidak tertular dianjurkan agar menjauhi perilaku berisiko tinggi. *

Risiko di Balik Kematian Odha

Oleh: Syaiful W. Harahap
[Sumber: Newsletter ”infoAIDS” No 1/November 2008]

Berita “Sepuluh Tahun 172 Orang Meninggal, Kasus HIV AIDS Memprihatinkan” di Harian “Pontianak Post” (28/6-2008) menjadi bukti terkait dengan epidemi HIV di Kalbar khususnya dan di Indonesia umumnya. Namun, yang menjadi persoalan bukan kematian Odha (Orang dengan HIV/AIDS), tapi penularan HIV antar penduduk secara horizontal yang terjadi tanpa disadari banyak orang.

Laporan Ditjen PPM & PL Depkes RI sampai 31 Maret 2008 kasus AIDS di Kalbar mencapai 765 dengan kematian 112. Jumlah ini hanya kasus AIDS yaitu Odha yang sudah mencapai masa AIDS. Pada masa AIDS (secara statistik antara 5-10 tahun setelah tertular HIV) mulai muncul penyakit-penyakit yang disebut sebagai infeksi oportunistik, seperti diare, ruam, TB, dll. Penyakit-penyakit ini mudah menyerang Odha karena sistem kekebalan Odha yang sudah rapuh akibat kerusakan pada sel-sel darah putih (sistem pertahanan tubuh) yang dijadikan HIV sebagai ‘pabrik’ untuk menggandakan diri.

Biar pun ada perbedaan angka antara laporan Ditjen PPM & PL dengan data instansi terkait di Kalbar yang jelas angka ini menempatkan Kalbar pada peringkat keenam secara nasional. Selain dua kota dan empat kabupaten merupakan daerah yang menjadi sasaran program akselerasi dalam penanggulangan epidemi HIV yaitu Kota: Pontianak dengan kasus 232, dan Singkawang 350, serta Kabupaten: Sambas 7, Pontianak 51, Ketapang 11, dan Sintang 6.

Mata Rantai

Kalau dipakai angka 172 sebagai kematian Odha di Kalbar maka angka ini merupakan mata rantai penyabaran HIV karena sebelum terdeteksi tanpa disadari mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain. Hal ini terjadi karena sebelum terdeteksi atau sebelum masa AIDS tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik mereka. Tapi, pada kurun waktu itu mereka sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain melalui: (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah yang tidak diskrining HIV, (c) jarum suntik dan alat-alat kesehatan yang dipakai bersama-sama denga bergiliran, dan (d) air susu ibu (ASI).

Jika separuh dari angka kematian itu laki-laki yang beristri maka ada 86 perempuan yang berisiko tertular HIV. Kalau 86 perempuan ini tertular maka ada pula risiko penularan kepada bayi yang mereka kandung kelak. Kalau di antara mereka ada juga yang mempunyai pasangan seks selain istri, seperti selingkuhan atau pekerja seks, maka ada pula risiko penularan ke perempuan lain.

Dalam laporan Ditjen PPM & PL disebutkan 132 kasus AIDS terdeteksi di kalangan pengguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya). Ini pun merupakan mata rantai penyebaran HIV karena pengguna narkoba dengan suntikan biasanya menyuntik bersama teman-temannya. Andaikan seorang pengguna narkoba menyuntik dengan empat temannya, maka keempat temannya berisiko tertular HIV. Ini berarti ada 528 (132 x 4) pengguna narkoba di Kalbar yang berisiko tertular HIV. Kalau yang 528 ini juga menyuntik dengan teman-temannya maka pengguna narkoba yang berisiko tertular HIV bagaikan deret ukur.

Dalam kaitan inilah yang menjadi persoalan besar adalah mata rantai penyebaran HIV yang sering luput dari perhatian. Selain pengguna narkoba yang menjadi jembatan penyebaran HIV dari komunitas pengguna narkoba ke masyarakat yang perlu diperhatikan adalah laki-laki pelanggan pekerja seks.

Jika di Kalbar terdeteksi pekerja seks yang HIV-positif maka ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, pekerja seks itu tertular dari laki-laki pelanggannya yang bisa merupakan penduduk lokal atau pendatang. Kalau ini yang terjadi maka di masyarakat sudah ada laki-laki yang HIV-positif. Kemungkinan kedua, bisa jadi pekerja seks yang terdeteksi HIV-positif di Kalbar sudah mengidap HIV ketika mulai ‘beroperasi’ di Kalbar. Jika ini yang terjadi maka laki-laki pelanggan mereka berisiko tertular HIV.

Informasi Akurat

Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki yang menularkan HIV keapda pekerja seks atau yang tertular dari pekerja seks bisa sebagai seorang suami, lajang, duda, atau remaja yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, mahasiswa, pelajar, nelayan, perampok, dll. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV. Penularan terjadi tanpa disadari karena tidak ada keluhan yang khas AIDS pada diri orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS.

Hal di atas terjadi karena selama ini informasi tentang HIV/AIDS yang sampai ke masyarakat tidak komprehensif. Informasi tidak utuh dan sering pula dibalut dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Misalnya, selama ini penularan HIV selalu dikait-kaitkan dengan zina dan pelacuran. Banyak orang yang tidak merasa berisiko karena mereka tidak melalukan hubungan seks dengan pelacur, tapi dengan ‘cewek’ atau ‘perempuan baik-baik’ di luar lokalisasi. Padahal, perilaku mereka itu berisiko tinggi tertular HIV.

Orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang berisiko tinggi tertular HIV adalah: (a) yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti karena da kemungkian salah satu dari pasangan itu HIV-positif, dan (b) yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, karena ada kemungkian salah satu dari pasangan mereka HIV-positif.

Untuk itulah informasi yang akurat tentang HIV/AIDS harus digencarkan melalui penyuluhan dengan mengedepankan HIV/AIDS sebagai fakta medis. Penyuluhan ini diharapkan akan membuka mata orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi agar mau menjalani tes HIV secara sukarela. Semakin banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai yang diputus.*

12 Oktober 2017

Pelanggan Panti Pijat Plus-plus di Surabaya Berisiko Tertular HIV/AIDS

                                          Ilustrasi (Sumber: solopos.com)

Oleh: Syaiful W HARAHAP

“Panti Pijat Dirazia Satpol PP, Satu Terapis Positif HIV/AIDS” Ini judul berita tentang razia panti pijat di sebuah permukiman di Surabaya oleh Satpol PP Surabaya (detiknews, 12/10-2017), Berita ini sama sekali tidak menukik ke realitas sosial terkait dengan epidemi HIV/AIDS.

Jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Kota Surabaya, Jawa Timur, dilaporkan 8.300 per September 2016 (surabaya.tribunnews.com, 9/2-2017). Sedangkan laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI tanggal 24 Mei 2017 menunjukkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Jatim 33.043 yang terdiri atas 17.014 HIV dan 50.057 AIDS.

Pertama, dalam berita tidak dijelaskan tes HIV yang dilakukan terhadap terapis yang dirazia dari panti pijat tsb. Soalnya, yang biasa dilakukan jika ada razia adalah survailans tes HIV yaitu melakukan tes HIV kepada kelompok atau kalangan tertentu untuk mengetahui prevalasi yaitu perbandingan antara yang positif HIV dan negatif HIV. Tes HIV ini tidak akurat karena panduan WHO menyebutkan tes HIV selalu harus dikonfirmasi dengan reagent dan teknik yang berbeda dengan tes pertama.

Kedua, orang-orang yang terdeteksi positif pada tes survailans dianjurkan tes HIV lagi dengan prosedur baku, al. konseling sebelum dan sesudah tes, anonim, dll. Tapi, hasil survailans bisa jadi patokan risiko penyebaran HIV karena perilaku terapis itu sangat berisiko tinggi tertular HIV yaitu mereka melalukan hubungan seksual tanpa kondom dengan laki-laki yang berganti-ganti. Bisa saja terjadi salah satu dari laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga terapis pun berisiko tertular HIV.

Ketiga, bisa saja terjadi 11 terapis yang disebut negatif melalui pemeriksaan kesehatan pada razia Satpol PP tsb. berada pada masa jendela yaitu mereka sudah tertular HIV tapi belum mencapai tiga bulan sehingga hasil tes bisa negatif palsu (HIV sudah ada di darah tapi tidak terdeteksi karena belum ada antibody HIV) atau positif palsu (HIV tidak ada di darah tapi tes reaktif karena reagent mendeteksi virus lain).

Keempat, yang jadi masalah besar bukan terapis yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS itu, tapi ada laki-laki dewasa yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang sumai, yang menularkan HIV kepada terapis yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS di panti pijat yang dirazia itu. Bisa saja penularan ke terapis terjadi sebelum terapis bekerja di panti pijat tadi, atau penularan terjadi di panti pijat tsb. jika di panti pijat itu ada transaksi seks. Itu artinya laki-laki tadi jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, al. kepada istrinya, pasangan lain, terapis lain atau pekerja seks komersial (PSK).

Kelima, jika ada laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan terapis yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS pun kemudian berisiko tertular HIV/AIDS. Laki-laki yang ngeseks dengan terapis pengidap HIV/AIDS tadi pun berisiko tertular HIV. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki tsb. bisa jadi seorang suami yang pada gilirannya menularkan HIV ke istrinya. Bisa juga ke pasangan seks lain, terapis lain atau PSK.

Terkait dengan penyebaran HIV/AIDS persoalan bukan pada terapis pengidap HIV/AIDS tsb., persoalan besar justru ada pada laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan terapis itu. Inilah yang tidak muncul dalam berita.

Jika mengacu ke epidemi HIV/AIDS berita yang komprehensif adalah menjelaskan mata rantai di atas sehingga laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan terapis di panti pijat yang dirazia ada pada posisi berisiko tinggi tertular HIV.

Maka, bagi laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan terapis di panjit pijat yang dirazia Satpol PP Surabaya itu dianjurkan segara melakukan tes HIV di klinik-klinik VCT yang disediakan pemerintah, seperti di puskesmas atau rumah sakit daerah.


Hanya dengan mengetahui status HIV seseorang bisa menghentikan penyebaran HIV/AIDS di masyarakat. * [kompasiana.com/infokespro] *