Oleh: Syaiful W Harahap
BERITA SKH “Swara Kita” (edisi 12 Juni 2009) menyebutkan ranperda HIV/AIDS Sulut ditunda. Penundaan terjadi karena ada pasal yang mengesankan legi-timasi lokalisasi pelacuran. Ini lagi-lagi menunjukkan pema-haman yang tidak akurat terha-dap epidemi HIV dari aspek medis.
Sampai sekarang sudah 28 daerah di Indonesia, mulai dari tingkat provinsi, kabupaten sam-pai kota yang menelurkan Perda AIDS. Salah satu perda yaitu Perda Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, No 5 Tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV/AIDS yang diundangkan tanggal 23/6-2008 merupakan perda yang ke-20 dari 28 perda yang sudah ada. Ini bisa menjadi acuan bagi ranperda AIDS Sulut.
Apakah perda ini bisa menurunkan infeksi HIV baru di Bulukumba? Pertanyaan itulah yang muncul setiap kali kita membaca Perda AIDS.
Di Tanah Papua, misalnya, ada tujuh perda penanggulangan AIDS. Tapi, apa yang terjadi di di sana? Kasus HIV/AIDS menempati peringkat keempat secara nasional. Sampai Desember 2008 sudah dilaporkan 2.382 kasus AIDS dari 16.110 kasus secara nasional. Sedangkan Sulawesi Selatan menempati peringkat ke-16 dengan 143 kasus AIDS. D Bulukumba sampai Desember 2008 sudah dilaporkan 45 kasus HIV/AIDS, 15 di antaranya sudah meninggal. Kabupaten Bulukumba pun tidak masuk dalam daftar 105 kabupaten dan kota yang masuk dalam kategori akselerasi.
Perda ini sendiri merupakan upaya untuk menanggulangi HIV/AIDS di Bulukumba yang diatur pada pasal 4, 5, dan 6. Pada pasal 4 disebutkan “Penanggulangan HIV/AIDS dilakukan melalui: a. promosi; b. pencegahan; c. pelayanan; dan d. pengobatan.”
HUBUNGAN SEKS
Perihal promosi dijelaskan pada pasal 5 “Kegiatan promosi yang meliputi komunikasi, informasi dan edukasi dalam rangka menumbuhkan sikap dan perilaku hidup bersih, sehat dan gaya hidup yang bertanggung jawab dilaksanakan oleh Pemerintah dengan melibatkan peranserta masyarakat, dan sektor swasta.”
Pasal ini menyuburkan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) karena timbul kesan mereka tertular disebabkan oleh perilaku hidup mereka tidak bersih dan tidak bertanggung jawab. Penularan HIV tidak ada kaitannya secara langsung degan perilaku hidup sehat dan bertanggung jawab.
Penularan melalui transfusi darah sama sekali bukan salah orang yang menerima transfusi tapi penyedia layanan transfusi. Di Malaysia seorang ibu rumah tangga guru mengaji tertular HIV melalui transfusi darah di rumah sakit. Perempuan ini menggugat Kerajaan Malaysia 100 juta ringgit (sekitar Rp 250 miliar).
Begitu pula dengan ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suaminya dan anak-anak yang tertular dari ibunya. Tidak ada kaitan langsung antara perilaku hidup sehat pada ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak itu dengan penularan HIV pada mereka.
Stigma terhadap Odha kian kental karena di pasal 13 disebutkan masyarakat bertang-gung jawab dalam pencegahan dan penanggulangan HIV dengan cara: a. berperilaku hidup sehat dan gaya hidup bertang-gung jawab; b. meningkatkan ketahanan keluarga. Ini mengesankan Odha tertular HIV karena gaya hidupnya tidak sehat dan ketahanan keluarganya rendah. Lagi pula tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan hidup sehat dan gaya hidup bertanggung jawab.
Selanjut pada ayat c disebutkan ’mencegah terjadinya diskri-minasi terhadap ODHA, OHIDHA, dan keluarganya’. Pe-nelitian menunjukkan diskrimnasi terhadap Odha justru banyak terjadi sarana-sarana pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit.
Sedangkan upaya pencegahan dalam perda pada pasal 6 disebukan dilakukan secara komprehensif, integratif, partisipatif melalui: a. penyelenggaraan kewaspadaan umum dalam rangka mencegah terjadinya penularan HIV/AIDS dalam kegiatan pelayanan kesehatan; b. pemeriksaan HIV/AIDS terhadap semua darah, produk darah, cairan mani, organ dan jaringan tubuh yang didonorkan; dan c. melaksanakan pemeriksaan tes HIV/AIDS terhadap kelompok rawan dan berisiko tinggi.
Perda ini sama sekali tidak akan bisa meredam laju pertambahan infeks HIV baru di kalangan dewasa karena tidak menyentuh masalah penularan dan penyebaran HIV.
Pertama, penyebaran HIV banyak terjadi melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, dan penggunaan jarum suntik secara bersama dengan bergantian pada penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya). Tapi, dalam perda yang diatur justru risiko penularan di pelayanan kesehatan. Tanpa perda pun pelayanan kesehatan otomatis menerapkan kewaspadaan umum.
MATA RANTAI
Kedua, skrining terhadap darah donor sudah dilakukan sejak tahun 1992 berdasarkan Keputusan Menkes RI No 622/1992 yang mewajibkan pemeriksaan HIV pada darah donor sehingga tidak perlu lagi diatur. Hal yang menarik pada perda ini adalah skrining terhadap air mani. Apakah di Bulukumba sudah ada bank sperma?
Ketiga, ‘melaksanakan pemeriksaan tes HIV/AIDS terhadap kelompok rawan dan berisiko tinggi’ tidak akan menyelesaikan masalah. Jika yang dimaksud kelompok rawan dan berisiko adalah pekerja seks komersial (PSK), maka ada fakta yang luput dari perhatian pembuat perda ini. Yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar, duda atau lajang yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, mahasisa, pelajar, petani, nelayan, dll. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk. Mereka ini lolos dari tes HIV karena tidak ada mekanisme yang ’menjerat’ laki-laki yang perilakunya berisiko.
Terkait dengan Ranperda AIDS Sulut ditunda karena pada pasal 13 ayat 2 disebutkan ’ada kewajiban dari pemilik/pengelola yang terkesan melegitimasi lokalisasi’. Ini sebuah paradoks. Penanggulangan epidemi HIV, khusunya terkait dengan perda-perda AIDS, justru mengekor ke Thailand yang dikabarkan berhasil menekan laju infeksi baru di kalangan laki-laki dewasa melalui program ’wajib kondom 100 pesen’ pada hubungan seks di lokasi dan lokalisasi pelacuran. Jika Perda AIDS Sulut kelak memasukkan program ini maka kalau lokasi dan lokalisasi pelacuran tidak ada maka program itu tidak bisa dijalankan.
Tanpa ada ’lokasi atau lokaliasi pelacuran’ pun praktek pelacuran terus terjadi setiap hari di rumah, losmen, hotel melati, hotel berbintang dan di tempat-tempat lain. Praktek pelacuran yang terselubung inilah salah satu mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Maka, kalua ditilik dari aspek kesehatan masyarakat melokalisir pelacuran merupakan salah satu langkah untuk memutus ’jembatan’ penyebaran HIV ke masyarakat karena kegiatan pekerja seks terpantau dan kewajiban memakai kondom dapat diterapkan.
Malaysia lebih maju karena negeri jiran itu menerapkan skrining rutin terhadap pasien IMS (penyakit-penyakit yang ditularkan melului hubungan seks, seperti sifilis, GO, virus hepatitis B, klamidia, dll.), pengguna narkoba suntikan, perempuan hamil, polisi, narapidana, dan pasien TB. Skrining khusus dilakukan terhadap pekerja seks, homoseksual, pelajar dan mahasiswa. Maka, tidak mengherankan kalau kasus yang sudah terdeteksi di Malaysia mendekat angka ril. Sedangkan di Indonesia kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil karena para ahli memperkirakan kasus HIV/AIDS di Indonesia berkisar antara 90.000-120.000.
Menanggulangi penyebaran HIV adalah dengan memutus mata rantai penyebaran HIV yaitu dengan cara membuat pasal yang berbunyi: “Setiap penduduk Bulukumba wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK, di Bulukumba atau di luar Bulukumba.”
Selanjutnya untuk memutus mata rantai penyebaran HIV ada pula pasal yang berbunyi: “Setiap penduduk Bulukumba yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK, di Bulukumba atau di luar Bulukumba wajib menjalani tes HIV.”
Kalau Pemprov Sulut ingin menekan laku pertambahan kasus HIV baru maka dalam perda kelak harus ada dua pasal itu.(Penulis adalah pemerhati masalah kesehatan, sekalgius kontributor SKH "Swara Kita" di Jakarta)
URL: http://www.swarakita-manado.com/index.php/berita-utama/14076-catatan-buat-ranperda-aids-di-sulut
04 Oktober 2017
Tindakan KPA Merauke, Papua, Menyesatkan
Oleh: Syaiful W. Harahap
Berita “KPA Merauke Akan Pasang Bendera Merah Di Lokalisasi Atau Tempat Hiburan PSKnya Diketahui Terinveksi HIV/AIDS”. Itulah judul berita di Harian “Cenderawasih Pos” (16/6-2008). Cara yang diterapkan KPA Merauke ini menyesatkan karena di lokalisasi atau tempat hiburan yang tidak ada bendera merah tidak ada jaminan bahwa PSK atau pramuria di sana bebas HIV.
Cara yang diterapkan KPA Merauke itu tidak objektif karena pekerja seks komersial (PSK) dan pramuria yang tidak terdeteksi HIV-positif pun tidak ada jaminan mereka HIV-negatif. Soalnya, ketika dilakukan tes di antara mereka yang tertular ada yang masih pada masa jendela yaitu baru tertular di bawah tiga bulan. Pada masa ini tes bisa menghasilkan positif palsu atau negatif palsu. Selain itu setelah tes, dengan hasil negatif, bisa saja mereka tertular HIV.
Negatif palsu berarti di dalam darah mereka sudah ada HIV dan mereka sudah bisa menularkan HIV kepada laki-laki pelanggannya yang tidak memakai kondom saat sanggama. Ketika darah mereka diambil untuk tes HIV pada masa jendela belum ada antibodi HIV dalam darahnya. Tes HIV, baik dengan rapid test atau ELISA, mencari antibodi HIV di dalam darah bukan HIV sehingga hasilnya negatif.
PSK atau pramuria yang HIV-negatif palsu ini jauh lebih ‘berbahaya’ daripada PSK atau pramuria yang sudah terdeteksi HIV-positif. Ketika konseling sebelum tes HIV semua yang akan menjalani tes HIV sudah diajak untuk memutus mata rantai penyebaran HIV mulai dari diri mereka jika kelak hasil tes mereka positif. PSK dan pramuria yang tidak terdeteksi HIV-positif menganggap dirinya HIV-negatif sehingga mereka tidak memaksa laki-laki pelanggannya untuk memakai kondom saat sanggama.
Sedangkan positif palsu adalah seseorang yang terdeteksi HIV-positif tapi sebenarnya dia tidak tertular HIV. Itulah sebabnya setiap tes HIV harus dikonfirmasi atau diuji ulang dengan tes lain, misalnya, dengan tes Westren blot.
Laki-laki Penular
Persoalan lain yang luput dari mata KPA Merauke adalah tentang dua kemungkinan terkait dengan PSK dan pramuria yang terdeteksi HIV-positif.
Pertama, ada kemungkinan PSK dan pramuria yang terdeteksi HIV-positif di Merauke tertular HIV dari laki-laki penduduk lokal atau pendatang. Laki-laki itu bisa sebagai seorang suami, pacar, jejaka, duda, atau remaja yang bekerja sebagai pejabat, pegawai, karyawan, mahasiswa, pelajar, nelayan, perampok, dll. Kalau ini yang terjadi maka tanpa disadari sudah terjadi penularan HIV antar penduduk secara horizontal tanpa mereka sadari.
Hal itu bisa terjadi karena laki-laki yang menularkan HIV juga tidak menyadari dirinya HIV-positif karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tertular).
Kedua, kemungkinan PSK atau pramuria yang terdeteksi HIV-positif di Merauke sudah tertular sebelum ke Merauke. Kalau ini yang terjadi maka laki-laki pelanggan PSK penduduk lokal atau pendatang berisiko tertular HIV. Kalau ada laki-laki penduduk lokal yang tertular HIV maka mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya (horizontal). Kalau istrinya tertular maka ada risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya (vertikal). Bisa juga ditularkannya ke PSK lain. Yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada PSK atau pasangan seksnya.
Fakta-fakta di ataslah yang luput dari perhatian KPA Merauke sehingga mereka membuat langkah yang menyesatkan. Tempat yang ditandai dengan bendera biru (menurut KPA Merauke tidak ada PSK atau premuria yang HIV-positif) terkesan aman. Padahal, bisa saja di sana ada PSK atau pramuria yang sudah tertular HIV tapi belum terdeteksi. atau ‘barang baru’.
Bias Gender
Seseorang bisa saja tertular HIV setiap saat ketika dia melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV maka untuk memastikan semua PSK dan pramuria di Merauke HIV-negatif maka harus dilakukan tes HIV setiap saat. PSK dan pramuria merupakan orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi karena melakukan hubungan seks dengan pasangan (laki-laki pelanggan) yang berganti-ganti. Ada kemungkinan salah satu dari laki-laki pelanggan mereka HIV-positif sehingga PSK dan pramuria berisiko tertular HIV jika laki-laki pelanggannya tidak memakai kondom. Pelanggan PSK dan pramuria, penduduk lokal atau pendatang, berisiko tertular HIV.
Pemasangan bendera merah dikatakan oleh Kadis Kesehatan Kab. Merauke, drg. Josef Rinta, sebagai shock therapy. Ini tidak efektif karena biar pun semua PSK dan pramuria yang terdeteksi HIV-positif ‘dikandangkan’, masih banyak PSK atau pramuria yang tidak terdeteksi HIV-positif. Selain itu laki-laki yang menjadi pelanggan PSK dan pramuria di sana tidak ada jaminan semuanya HIV-negatif.
Kunci penanggulangan epidemi HIV bukan pada PSK atau pramuria, tapi pada laki-laki penduduk lokal atau pendatang karena merekalah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV. Cara yang diterapkan KPA Merauke ini bias gender karena hanya melihat perempuan (PSK dan pramuria) sebagai biang keladi penyebaran HIV.
Buktinya, dalam berita disebutkan bahwa cara baru yang diterapkan KPA Merauke itu karena “ …. Pekerja Sex Komersial (PSK) atau Pramuria yang diketahui terinveksi HIV/AIDS namun tetap melakukan aktivitasnya tanpa menggunakan kondom.”
Mengapa bukan laki-laki yang diwajibkan memakai kondom? Ini terjadi karena sudut pandang instansi terkait di Merauke dari posisi moralitas laki-laki.
[Sumber: Newsletter ”infoAIDS” No 2/Desember 2008]
Berita “KPA Merauke Akan Pasang Bendera Merah Di Lokalisasi Atau Tempat Hiburan PSKnya Diketahui Terinveksi HIV/AIDS”. Itulah judul berita di Harian “Cenderawasih Pos” (16/6-2008). Cara yang diterapkan KPA Merauke ini menyesatkan karena di lokalisasi atau tempat hiburan yang tidak ada bendera merah tidak ada jaminan bahwa PSK atau pramuria di sana bebas HIV.
Cara yang diterapkan KPA Merauke itu tidak objektif karena pekerja seks komersial (PSK) dan pramuria yang tidak terdeteksi HIV-positif pun tidak ada jaminan mereka HIV-negatif. Soalnya, ketika dilakukan tes di antara mereka yang tertular ada yang masih pada masa jendela yaitu baru tertular di bawah tiga bulan. Pada masa ini tes bisa menghasilkan positif palsu atau negatif palsu. Selain itu setelah tes, dengan hasil negatif, bisa saja mereka tertular HIV.
Negatif palsu berarti di dalam darah mereka sudah ada HIV dan mereka sudah bisa menularkan HIV kepada laki-laki pelanggannya yang tidak memakai kondom saat sanggama. Ketika darah mereka diambil untuk tes HIV pada masa jendela belum ada antibodi HIV dalam darahnya. Tes HIV, baik dengan rapid test atau ELISA, mencari antibodi HIV di dalam darah bukan HIV sehingga hasilnya negatif.
PSK atau pramuria yang HIV-negatif palsu ini jauh lebih ‘berbahaya’ daripada PSK atau pramuria yang sudah terdeteksi HIV-positif. Ketika konseling sebelum tes HIV semua yang akan menjalani tes HIV sudah diajak untuk memutus mata rantai penyebaran HIV mulai dari diri mereka jika kelak hasil tes mereka positif. PSK dan pramuria yang tidak terdeteksi HIV-positif menganggap dirinya HIV-negatif sehingga mereka tidak memaksa laki-laki pelanggannya untuk memakai kondom saat sanggama.
Sedangkan positif palsu adalah seseorang yang terdeteksi HIV-positif tapi sebenarnya dia tidak tertular HIV. Itulah sebabnya setiap tes HIV harus dikonfirmasi atau diuji ulang dengan tes lain, misalnya, dengan tes Westren blot.
Laki-laki Penular
Persoalan lain yang luput dari mata KPA Merauke adalah tentang dua kemungkinan terkait dengan PSK dan pramuria yang terdeteksi HIV-positif.
Pertama, ada kemungkinan PSK dan pramuria yang terdeteksi HIV-positif di Merauke tertular HIV dari laki-laki penduduk lokal atau pendatang. Laki-laki itu bisa sebagai seorang suami, pacar, jejaka, duda, atau remaja yang bekerja sebagai pejabat, pegawai, karyawan, mahasiswa, pelajar, nelayan, perampok, dll. Kalau ini yang terjadi maka tanpa disadari sudah terjadi penularan HIV antar penduduk secara horizontal tanpa mereka sadari.
Hal itu bisa terjadi karena laki-laki yang menularkan HIV juga tidak menyadari dirinya HIV-positif karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tertular).
Kedua, kemungkinan PSK atau pramuria yang terdeteksi HIV-positif di Merauke sudah tertular sebelum ke Merauke. Kalau ini yang terjadi maka laki-laki pelanggan PSK penduduk lokal atau pendatang berisiko tertular HIV. Kalau ada laki-laki penduduk lokal yang tertular HIV maka mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya (horizontal). Kalau istrinya tertular maka ada risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya (vertikal). Bisa juga ditularkannya ke PSK lain. Yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada PSK atau pasangan seksnya.
Fakta-fakta di ataslah yang luput dari perhatian KPA Merauke sehingga mereka membuat langkah yang menyesatkan. Tempat yang ditandai dengan bendera biru (menurut KPA Merauke tidak ada PSK atau premuria yang HIV-positif) terkesan aman. Padahal, bisa saja di sana ada PSK atau pramuria yang sudah tertular HIV tapi belum terdeteksi. atau ‘barang baru’.
Bias Gender
Seseorang bisa saja tertular HIV setiap saat ketika dia melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV maka untuk memastikan semua PSK dan pramuria di Merauke HIV-negatif maka harus dilakukan tes HIV setiap saat. PSK dan pramuria merupakan orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi karena melakukan hubungan seks dengan pasangan (laki-laki pelanggan) yang berganti-ganti. Ada kemungkinan salah satu dari laki-laki pelanggan mereka HIV-positif sehingga PSK dan pramuria berisiko tertular HIV jika laki-laki pelanggannya tidak memakai kondom. Pelanggan PSK dan pramuria, penduduk lokal atau pendatang, berisiko tertular HIV.
Pemasangan bendera merah dikatakan oleh Kadis Kesehatan Kab. Merauke, drg. Josef Rinta, sebagai shock therapy. Ini tidak efektif karena biar pun semua PSK dan pramuria yang terdeteksi HIV-positif ‘dikandangkan’, masih banyak PSK atau pramuria yang tidak terdeteksi HIV-positif. Selain itu laki-laki yang menjadi pelanggan PSK dan pramuria di sana tidak ada jaminan semuanya HIV-negatif.
Kunci penanggulangan epidemi HIV bukan pada PSK atau pramuria, tapi pada laki-laki penduduk lokal atau pendatang karena merekalah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV. Cara yang diterapkan KPA Merauke ini bias gender karena hanya melihat perempuan (PSK dan pramuria) sebagai biang keladi penyebaran HIV.
Buktinya, dalam berita disebutkan bahwa cara baru yang diterapkan KPA Merauke itu karena “ …. Pekerja Sex Komersial (PSK) atau Pramuria yang diketahui terinveksi HIV/AIDS namun tetap melakukan aktivitasnya tanpa menggunakan kondom.”
Mengapa bukan laki-laki yang diwajibkan memakai kondom? Ini terjadi karena sudut pandang instansi terkait di Merauke dari posisi moralitas laki-laki.
[Sumber: Newsletter ”infoAIDS” No 2/Desember 2008]
Debat Publik dan Politik Abaikan Epidemi HIV/AIDS
Oleh: Syaiful W. Harahap
Sejak angin reformasi bertiup di negeri ini tidak ada lagi batasan untuk membicara politik secara terbuka. Apalagi menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pemilihan umum (pemilu) legislatif semua stasiun televisi nasional berlomba-lomba menyelenggarakan debat publik dan politik.
Debat calon pasangan gubernur, bupati, dan walikota di dua stasiun televisi nasional (MetroTV dan TVOne) dengan pendudukung yang ’fanatik’ berapi-api membicarakan soal politik dan ekonomi. Begitu pula dengan debat antar kandidiat anggota legislatif dan partai terus digelar di stasiun-stasiun televisi nasional.
Tapi, ada satu persoalan besar yang mengancam kelangsungan hidup bangsa dan negara ini yang luput dari debat calon pemimpin dan partai-partai itu. Fakta yang luput dari materi perdebatan adalah epidemi HIV/AIDS sebagai realias sosial yang sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Peringatan Dini
Data yang dipublikasikan oleh Ditjen PPM&PL, Depkes RI, sampai 31 Desember 2008, misalnya, kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia sudah mencapai 22.664 yang terdiri atas 6.554 HIV dan 16.110 AIDS dengan 3.362 kematian. Angka ini merupakan puncak dari ‘fenomena gunung es’ sehingga tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat. Kalangan ahli memperkirakan kasus HIV/AIDS di Indonesia antara 90.000-130.000.
Pada April 2008 tercatat 8.145 Odha (Orang dengan HIV/AIDS) yang sudah memakai obat antiretroviral (ARV). Angka ini juga tidak nyata karena banyak orang yang tidak menyadari penyakit yang dideritanya terkait dengan HIV/AIDS. Celakanya, ada pula kemungkinan diagnosis medis tidak mendeteksi HIV sebagai pemicu penyakit yang diderita pasien. Yang lain memilih pengobatan alternatif.
Jika kelak penduduk di daerah calon gubernur, bupati atau walikota yang berdebat itu sudah banyak tertular HIV, yang pada gilirannya akan mencapai masa AIDS dan kemudian meninggal, lalu siapa yang akan mereka pimpin? Atau, mereka akan memimpin daerah yang sebagian besar penduduknya tidak berdaya lagi karena harus dirawat di rumah sakit akibat infeksi-infeksi oportunistik.
Jika hal itu terjadi maka roda perekonomian pun akan lumpuh. Bahkan, akan ada desa yang hilang karena penduduknya meninggal karena penyakit terkait HIV/AIDS. Ini sudah terjadi di Afrika. Tahun 2001 Dr Peter Piot, waktu itu Direktur Eksekutif UNAIDS (badan PBB yang khusus menangani HIV/AIDS), sudah mengingatkan Indonesia agar serius menangani epidemi HIV, terutama di kalangan penyalahguna narkoba dengan suntikan (Syaiful W. Harahap: AIDS di Indonesia Menjadi Sorotan, Suara Pembaruan, 6 Oktober 2001).
Tapi, peringatan itu bak ‘anjing menggonggong kafilah berlalu’. Tidak ada upaya nyata menanggapi peringatan Peter Piot itu. Akibatnya, kasus HIV/AIDS di kalangan penyalahguna narkoba dengan suntikan meroket. Kalau di tahun 2001 dilaporkan 415 kasus HIV/AIDS di kalangan penyalahguna narkoba, pada 31 Desember 2008 kasus AIDS dilaporkan sudah mencapai 6.811.
Jauh sebelum peringatan Dr Peter Piot seorang psikolog, David Gordon, konsultan penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) di Yakita, Bogor, mengatakan “Penyalahguna zat dengan memakai jarum suntik akan menjadi bom waktu (ledakan kasus HIV/AIDS-pen.) bagi Indonesia.” (Syaiful W. Harahap: IDU Bom Waktu bagi Indoensia, Newsletter “HindarAIDS”, Nomor 8/ 2 November 1998).
Selama ini pemeritah pusat dan pemerintah daerah bisa bernapas lega karena dana penanggulangan HIV/AIDS didukung oleh donor asing. Sekitar 70 persen dana itu berasal dari donor. Tahun 2007 dana yang tersedia hanya 50 juta dolar AS. Jumlah ini sangat rendah sehingga penanggulangan HIV/AIDS di negeri pun hanya bisa ‘jalan di tempat’, bahkan mundur.
Bahasa Dewa
Apakah calon gubernur, bupati dan walikota serta caleg DPR, DPRD, dan DPD melihat epidemi HIV dengan nalar? Ternyata tidak! Buktinya, dalam berbagai debat dan diskusi publik masalah HIV/AIDS tidak pernah disinggung.
Rupanya, mereka tidak membayangkan kalau kelak dana APBN atau APBD akan terkuras habis untuk mengobati penduduk yang mengidap infeksi-infeksi oportunistik ketika infeksi HIV sudah mencapai masa AIDS. Penduduk yang anggota keluarganya Odha (orang dengan HIV/AIDS) pun tidak lagi produktif bekerja. Sawah dan ladang ditinggalkan karena mengurus anggota keluarga yang sakit. Tabungan terkuras habis. Jumlah penerima BLT membengkak karena kian banyak penduduk yang miskin.
Sedangkan pendapatan, terutama dari pajak, akan merosot tajam karena banyak penduduk sebagai subjek pajak tidak bekerja lagi sehingga penghasilannya tidak memenuhi objek pajak. Begitu pula dengan pajak perusahaan juga akan menurun karena (akan) banyak perusahaan yang tutup. Zakat harta pun tentu akan berkurang karena pemilihan harga kian menciut sehingga tidak memenuhi nisab (jumlah yang diwajibkan untuk membayar zakat).
Akankah kondisi seperti itu, yang sekarang sudah terjadi di Afrika, terjadi dulu di Indonesia baru debat politik dan publik membicarakan soal cara dan langkah konkret yang akan diambil calon menanggulangi HIV/AIDS jika mereka menang? Ya, kalau ini yang terjadi terlambat sudah, Tuan-tuan!
Calon Presiden dan Wakil Presiden, caleg DPRD, DPR dan DPD pun perlu diuji wawasannya tentang cara-cara konkret yang realistif untuk menanggulangi HIV/AIDS. Soalnya, selama ini langkah yang ditempuh lebih banyak bersifat moral sehingga tidak menyentuh akar persoalan penyebaran HIV yang merupakan fakta medis.
Hal itu tampak jelas dalam peraturan daerah (perda) penanggulangan HIV/AIDS yang sudah ditelurkan 18 derah mulai dari provinsi, kabupaten dan kota. Perda ini hasil kerja eksekutif (pemerintah daerah) dan legislatif (DPRD). Tak satu pun pasal dalam perda-perda itu yang mengatur upaya konkret pencegahan HIV. Semua bahasa pada pasal-pasal pencegahan merupakan ‘bahasa dewa’ dengan baluatan moral.
Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis sehingga upaya penanggulangannya dapat dilakukan dengan teknologi kedokteran yang realistis.
[Sumber: Newsletter ”infoAIDS” edisi No. 4/Februari 2009]
Sejak angin reformasi bertiup di negeri ini tidak ada lagi batasan untuk membicara politik secara terbuka. Apalagi menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pemilihan umum (pemilu) legislatif semua stasiun televisi nasional berlomba-lomba menyelenggarakan debat publik dan politik.
Debat calon pasangan gubernur, bupati, dan walikota di dua stasiun televisi nasional (MetroTV dan TVOne) dengan pendudukung yang ’fanatik’ berapi-api membicarakan soal politik dan ekonomi. Begitu pula dengan debat antar kandidiat anggota legislatif dan partai terus digelar di stasiun-stasiun televisi nasional.
Tapi, ada satu persoalan besar yang mengancam kelangsungan hidup bangsa dan negara ini yang luput dari debat calon pemimpin dan partai-partai itu. Fakta yang luput dari materi perdebatan adalah epidemi HIV/AIDS sebagai realias sosial yang sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Peringatan Dini
Data yang dipublikasikan oleh Ditjen PPM&PL, Depkes RI, sampai 31 Desember 2008, misalnya, kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia sudah mencapai 22.664 yang terdiri atas 6.554 HIV dan 16.110 AIDS dengan 3.362 kematian. Angka ini merupakan puncak dari ‘fenomena gunung es’ sehingga tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat. Kalangan ahli memperkirakan kasus HIV/AIDS di Indonesia antara 90.000-130.000.
Pada April 2008 tercatat 8.145 Odha (Orang dengan HIV/AIDS) yang sudah memakai obat antiretroviral (ARV). Angka ini juga tidak nyata karena banyak orang yang tidak menyadari penyakit yang dideritanya terkait dengan HIV/AIDS. Celakanya, ada pula kemungkinan diagnosis medis tidak mendeteksi HIV sebagai pemicu penyakit yang diderita pasien. Yang lain memilih pengobatan alternatif.
Jika kelak penduduk di daerah calon gubernur, bupati atau walikota yang berdebat itu sudah banyak tertular HIV, yang pada gilirannya akan mencapai masa AIDS dan kemudian meninggal, lalu siapa yang akan mereka pimpin? Atau, mereka akan memimpin daerah yang sebagian besar penduduknya tidak berdaya lagi karena harus dirawat di rumah sakit akibat infeksi-infeksi oportunistik.
Jika hal itu terjadi maka roda perekonomian pun akan lumpuh. Bahkan, akan ada desa yang hilang karena penduduknya meninggal karena penyakit terkait HIV/AIDS. Ini sudah terjadi di Afrika. Tahun 2001 Dr Peter Piot, waktu itu Direktur Eksekutif UNAIDS (badan PBB yang khusus menangani HIV/AIDS), sudah mengingatkan Indonesia agar serius menangani epidemi HIV, terutama di kalangan penyalahguna narkoba dengan suntikan (Syaiful W. Harahap: AIDS di Indonesia Menjadi Sorotan, Suara Pembaruan, 6 Oktober 2001).
Tapi, peringatan itu bak ‘anjing menggonggong kafilah berlalu’. Tidak ada upaya nyata menanggapi peringatan Peter Piot itu. Akibatnya, kasus HIV/AIDS di kalangan penyalahguna narkoba dengan suntikan meroket. Kalau di tahun 2001 dilaporkan 415 kasus HIV/AIDS di kalangan penyalahguna narkoba, pada 31 Desember 2008 kasus AIDS dilaporkan sudah mencapai 6.811.
Jauh sebelum peringatan Dr Peter Piot seorang psikolog, David Gordon, konsultan penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) di Yakita, Bogor, mengatakan “Penyalahguna zat dengan memakai jarum suntik akan menjadi bom waktu (ledakan kasus HIV/AIDS-pen.) bagi Indonesia.” (Syaiful W. Harahap: IDU Bom Waktu bagi Indoensia, Newsletter “HindarAIDS”, Nomor 8/ 2 November 1998).
Selama ini pemeritah pusat dan pemerintah daerah bisa bernapas lega karena dana penanggulangan HIV/AIDS didukung oleh donor asing. Sekitar 70 persen dana itu berasal dari donor. Tahun 2007 dana yang tersedia hanya 50 juta dolar AS. Jumlah ini sangat rendah sehingga penanggulangan HIV/AIDS di negeri pun hanya bisa ‘jalan di tempat’, bahkan mundur.
Bahasa Dewa
Apakah calon gubernur, bupati dan walikota serta caleg DPR, DPRD, dan DPD melihat epidemi HIV dengan nalar? Ternyata tidak! Buktinya, dalam berbagai debat dan diskusi publik masalah HIV/AIDS tidak pernah disinggung.
Rupanya, mereka tidak membayangkan kalau kelak dana APBN atau APBD akan terkuras habis untuk mengobati penduduk yang mengidap infeksi-infeksi oportunistik ketika infeksi HIV sudah mencapai masa AIDS. Penduduk yang anggota keluarganya Odha (orang dengan HIV/AIDS) pun tidak lagi produktif bekerja. Sawah dan ladang ditinggalkan karena mengurus anggota keluarga yang sakit. Tabungan terkuras habis. Jumlah penerima BLT membengkak karena kian banyak penduduk yang miskin.
Sedangkan pendapatan, terutama dari pajak, akan merosot tajam karena banyak penduduk sebagai subjek pajak tidak bekerja lagi sehingga penghasilannya tidak memenuhi objek pajak. Begitu pula dengan pajak perusahaan juga akan menurun karena (akan) banyak perusahaan yang tutup. Zakat harta pun tentu akan berkurang karena pemilihan harga kian menciut sehingga tidak memenuhi nisab (jumlah yang diwajibkan untuk membayar zakat).
Akankah kondisi seperti itu, yang sekarang sudah terjadi di Afrika, terjadi dulu di Indonesia baru debat politik dan publik membicarakan soal cara dan langkah konkret yang akan diambil calon menanggulangi HIV/AIDS jika mereka menang? Ya, kalau ini yang terjadi terlambat sudah, Tuan-tuan!
Calon Presiden dan Wakil Presiden, caleg DPRD, DPR dan DPD pun perlu diuji wawasannya tentang cara-cara konkret yang realistif untuk menanggulangi HIV/AIDS. Soalnya, selama ini langkah yang ditempuh lebih banyak bersifat moral sehingga tidak menyentuh akar persoalan penyebaran HIV yang merupakan fakta medis.
Hal itu tampak jelas dalam peraturan daerah (perda) penanggulangan HIV/AIDS yang sudah ditelurkan 18 derah mulai dari provinsi, kabupaten dan kota. Perda ini hasil kerja eksekutif (pemerintah daerah) dan legislatif (DPRD). Tak satu pun pasal dalam perda-perda itu yang mengatur upaya konkret pencegahan HIV. Semua bahasa pada pasal-pasal pencegahan merupakan ‘bahasa dewa’ dengan baluatan moral.
Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis sehingga upaya penanggulangannya dapat dilakukan dengan teknologi kedokteran yang realistis.
[Sumber: Newsletter ”infoAIDS” edisi No. 4/Februari 2009]
Mengendalikan Penyebaran HIV di Sumbar
Oleh: Syaiful W. Harahap
“MUI Desak BNK Serius Tangani HIV/AIDS” Ini berita di Harian “Padang Ekspres” (13/6-2008). Berita ini menunjukkan pemahaman terhadap (epidemi) HIV/AIDS masih diselimuti dengan mitos (anggapan yang salah). Selama materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) tentang HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral, dan agama maka yang muncul hanya mitos. Sampai 31/12-2008 kasus AIDS di Sumbar, termasuk Bukittinggi, yang dilaporkan mencapai 204. Angka ini menempatkan Sumbar pada peringkat 12 secara nasional.
Dalam berita itu muncul kesan bahwa di Bukittinggi tidak akan ada kasus HIV/AIDS karena “ …. Bukittinggi yang telah dicanangkan sebagai kota pendidikan berbasis aqidah.” Inilah salah satu mitos karena tidak ada kaitan langsung antara norma, moral, dan agama dengan epidemi HIV.
Pemahaman yang keliru ini terjadi karena selama ini materi KIE selalu dibalut dengan norma, moral, dan agama sehingga yang muncul hanya mitos. Misalnya, penularan HIV dikait-kaitkan dengan zina, pelacuran, ‘jajan’, selingkuh, ‘seks bebas’, waria, dan homoseksual (gay). Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu dari pasangan itu HIV-positif (mengidap HIV) dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif (tidak mengidap HIV) maka tidak ada risiko tertular HIV biar pun hubungan seks dilakukan dengan zina, pelacuran, ‘jajan’, selingkuh, ‘seks bebas’, waria, dan homoseksual.
Tanpa Gejala
HIV adalah virus. Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam cairan darah (laki-laki dan perempuan), air mani (laki-laki, di dalam sperma tidak ada HIV), cairan vagina (perempuan), dan air susu ibu/ASI (perempuan).
Penularan HIV melalui darah bisa terjadi kalau darah yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui transfusi darah dan pemakaian jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan dan cangkok organ tubuh. Penularan HIV melalui air mani dan cairan vagina bisa terjadi pada saat hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang HIV-positif. Penularan HIV melalui ASI bisa terjadi pada proses menyusui antara seorang ibu yang HIV-positif dengan bayinya.
Bertolak dari fakta cara-cara penularan HIV maka tidak ada kaitannya secara langsung dengan norma, moral, dan agama. Pencegahannya pun dapat dilakukan dengan cara-cara yang masuk akal yaitu melindungi diri agar tidak kemasukan cairan darah, air mani, cairan vagina, dan ASI yang mengandung HIV.
Dalam berita juga disebutkan “Agar penyakit berbahaya tersebut tidak menular kepada warga lain ….” Pernyataan ini muncul karena pemahaman yang tidak komprehensif terhadap HIV/AIDS. Sebagai virus, HIV tidak menular melalui udara, air, dan pergaulan sosial, seperti berpelukan, berjabat tangan, makan minum bersama, dan berenang bersama. HIV hanya menular melalui cara-cara yang sangat khas seperti yang disebutkan di atas.
Persoalan besar pada epidemi HIV adalah kita tidak bisa mengenali orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tertular HIV) karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya. Akibatnya, banyak orang yang tidak menyadari kalau dirinya sudah tertular HIV. Tapi, pada kurun waktu itu seseorang yang sudah tertular HIV sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain tanpa disadarinya melalui (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah yang tidak diskrining HIV, (c) jarum suntik, (d) cangkok organ tubuh, dan (e) ASI.
Perilaku yang bisa menyebabkan seseorang tertular HIV, adalah: (a) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari mereka HIV-positif, (b) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan mereka HIV-positif, (c) memakai jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran, seperti yang dilakukan oleh penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya).
Tes HIV
Biar pun identitas orang-orang yang terdeteksi HIV-positif diungkapkan sama sekali tidak ada manfaatnya karena di masyarakat jauh lebih banyak orang yang tidak terdeteksi sebagai pengidap HIV. Semua jenis penyakit adalah bersifat rahasia sebagai catatan medis yang hanya boleh diungkapkan dengan izin ybs. atau diperintahkah oleh pengadilan.
Yang menjadi persoalan besar adalah orang-orang yang sudah tertular HIV tapi belum terdeteksi. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Jika dia seorang suami maka dia akan menularkan HIV kepada istrinya. Kalau istrinya tertular maka ada risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya (HIV bukan penyakit turunan tapi penyakit menular).
Disebutkan pula “ …. sumber utama penularan HIV/AIDS lebih banyak berasal dari jarum suntik yang dipakai untuk narkoba.” Ini tidak akurat karena ada fakta yang sering luput.
Kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi di kalangan pengguna narkoba terjadi karena mereka diwajibkan tes HIV ketika hendak menjalani rehabilitasi atau pengobatan. Ini pulalah yang menyebabkan kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi di kalangan usia muda.
Sebaliknya, orang-orang dewasa yang melakukan perilaku berisiko tertular HIV tidak ada mekanisme yang menjerat mereka untuk menjalani tes HIV. Kasus HIV/AIDS di kalangan dewasa yang tertular melalui hubungan seks pada perilaku berisiko kelak akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS.
Sudah saatnya digencarkan penyuluhan dengan materi KIE HIV/AIDS yang akurat. Kepada orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV, baik dilakukan di Sumbar atau di luar Sumbar, agar menjalani tes HIV.
Makin banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang dapat diputus.
[Sumber: Newsletter ”infoAIDS” edisi No. 5/Maret 2009]
“MUI Desak BNK Serius Tangani HIV/AIDS” Ini berita di Harian “Padang Ekspres” (13/6-2008). Berita ini menunjukkan pemahaman terhadap (epidemi) HIV/AIDS masih diselimuti dengan mitos (anggapan yang salah). Selama materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) tentang HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral, dan agama maka yang muncul hanya mitos. Sampai 31/12-2008 kasus AIDS di Sumbar, termasuk Bukittinggi, yang dilaporkan mencapai 204. Angka ini menempatkan Sumbar pada peringkat 12 secara nasional.
Dalam berita itu muncul kesan bahwa di Bukittinggi tidak akan ada kasus HIV/AIDS karena “ …. Bukittinggi yang telah dicanangkan sebagai kota pendidikan berbasis aqidah.” Inilah salah satu mitos karena tidak ada kaitan langsung antara norma, moral, dan agama dengan epidemi HIV.
Pemahaman yang keliru ini terjadi karena selama ini materi KIE selalu dibalut dengan norma, moral, dan agama sehingga yang muncul hanya mitos. Misalnya, penularan HIV dikait-kaitkan dengan zina, pelacuran, ‘jajan’, selingkuh, ‘seks bebas’, waria, dan homoseksual (gay). Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu dari pasangan itu HIV-positif (mengidap HIV) dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif (tidak mengidap HIV) maka tidak ada risiko tertular HIV biar pun hubungan seks dilakukan dengan zina, pelacuran, ‘jajan’, selingkuh, ‘seks bebas’, waria, dan homoseksual.
Tanpa Gejala
HIV adalah virus. Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam cairan darah (laki-laki dan perempuan), air mani (laki-laki, di dalam sperma tidak ada HIV), cairan vagina (perempuan), dan air susu ibu/ASI (perempuan).
Penularan HIV melalui darah bisa terjadi kalau darah yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui transfusi darah dan pemakaian jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan dan cangkok organ tubuh. Penularan HIV melalui air mani dan cairan vagina bisa terjadi pada saat hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang HIV-positif. Penularan HIV melalui ASI bisa terjadi pada proses menyusui antara seorang ibu yang HIV-positif dengan bayinya.
Bertolak dari fakta cara-cara penularan HIV maka tidak ada kaitannya secara langsung dengan norma, moral, dan agama. Pencegahannya pun dapat dilakukan dengan cara-cara yang masuk akal yaitu melindungi diri agar tidak kemasukan cairan darah, air mani, cairan vagina, dan ASI yang mengandung HIV.
Dalam berita juga disebutkan “Agar penyakit berbahaya tersebut tidak menular kepada warga lain ….” Pernyataan ini muncul karena pemahaman yang tidak komprehensif terhadap HIV/AIDS. Sebagai virus, HIV tidak menular melalui udara, air, dan pergaulan sosial, seperti berpelukan, berjabat tangan, makan minum bersama, dan berenang bersama. HIV hanya menular melalui cara-cara yang sangat khas seperti yang disebutkan di atas.
Persoalan besar pada epidemi HIV adalah kita tidak bisa mengenali orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tertular HIV) karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya. Akibatnya, banyak orang yang tidak menyadari kalau dirinya sudah tertular HIV. Tapi, pada kurun waktu itu seseorang yang sudah tertular HIV sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain tanpa disadarinya melalui (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah yang tidak diskrining HIV, (c) jarum suntik, (d) cangkok organ tubuh, dan (e) ASI.
Perilaku yang bisa menyebabkan seseorang tertular HIV, adalah: (a) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari mereka HIV-positif, (b) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan mereka HIV-positif, (c) memakai jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran, seperti yang dilakukan oleh penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya).
Tes HIV
Biar pun identitas orang-orang yang terdeteksi HIV-positif diungkapkan sama sekali tidak ada manfaatnya karena di masyarakat jauh lebih banyak orang yang tidak terdeteksi sebagai pengidap HIV. Semua jenis penyakit adalah bersifat rahasia sebagai catatan medis yang hanya boleh diungkapkan dengan izin ybs. atau diperintahkah oleh pengadilan.
Yang menjadi persoalan besar adalah orang-orang yang sudah tertular HIV tapi belum terdeteksi. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Jika dia seorang suami maka dia akan menularkan HIV kepada istrinya. Kalau istrinya tertular maka ada risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya (HIV bukan penyakit turunan tapi penyakit menular).
Disebutkan pula “ …. sumber utama penularan HIV/AIDS lebih banyak berasal dari jarum suntik yang dipakai untuk narkoba.” Ini tidak akurat karena ada fakta yang sering luput.
Kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi di kalangan pengguna narkoba terjadi karena mereka diwajibkan tes HIV ketika hendak menjalani rehabilitasi atau pengobatan. Ini pulalah yang menyebabkan kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi di kalangan usia muda.
Sebaliknya, orang-orang dewasa yang melakukan perilaku berisiko tertular HIV tidak ada mekanisme yang menjerat mereka untuk menjalani tes HIV. Kasus HIV/AIDS di kalangan dewasa yang tertular melalui hubungan seks pada perilaku berisiko kelak akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS.
Sudah saatnya digencarkan penyuluhan dengan materi KIE HIV/AIDS yang akurat. Kepada orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV, baik dilakukan di Sumbar atau di luar Sumbar, agar menjalani tes HIV.
Makin banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang dapat diputus.
[Sumber: Newsletter ”infoAIDS” edisi No. 5/Maret 2009]
Gelombang Epidemi HIV Vs. Moral
Oleh: Syaiful W. Harahap
Sebuah harian di Denpasar, Bali, mem-blow up berita seputar pelacuran terkait dengan epidemic HIV/AIDS di Pulau Dewata. Ada usul agar pelacuran dilokalisir. Muncul pro dan kontra. Diperkirakan akan ada ‘gelombang epidemi HIV yang mengancam Bali’ terkait peningkatkan penularan HIV melalui hubungan seks. Yang menjadi persoalan bukan lokalisasi dan PSK, tapi perilaku (seks) penduduk lokal yang menjadi pelanggan PSK di Bali atau di luar Bali.
Menurut Koordinator Kelompok Kerja Perencanaan, Monitoring, dan Evaluasi KPAD Prov. Bali, Dewa N. Wirawan, terjadi peningkatan kasus penularan HIV melalui hubungan seksual (KOMPAS, 12/10/07). Yang dikhawatirkan ada asusmi hal itu terjadi karena pelacuran di Bali.
Selama informasi HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral, dan agama maka selama itu pula penularan akan terus terjadi karena masyarakat tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat.
Selama ini penularan HIV dikait-kaitkan dengan zina, pelacuran, ‘seks bebas’, ‘jajan’, selingkuh, seks pranikah, waria, seks menyimpang, dan homoseksual. Penularan HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah (bisa) terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan dengan zina, pelacuran, ‘seks bebas’, ‘jajan’, selingkuh, seks pranikah, waria, seks menyimpang, dan homoseksual.
Orang-orang yang sudah tertular HIV tidak bisa dikenal dari fisiknya. Maka, sanggama yang aman dengan orang yang tidak diketahui status HIV-nya adalah dengan menghindarkan pergesekan langsung antara penis dan vagina pada hubungan seks di dalam atau di luar nikah.
Praktek Pelacuran
Ada kemungkinan PSK yang beroperasi di Bali justru tertular HIV di Bali. Mereka bisa saja ditulari penduduk asli (lokal) atau wisatawan. Kalau ini yang terjadi maka di masyarakat lokal sudah ada penduduk yang tertular HIV tapi tidak terdeteksi. Bisa juga terjadi PSK yang beroperasi di Bali sudah tertular HIV sebelum ke Bali. Kalau ini yang terjadi maka penduduk Bali yang melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan PSK berisiko tinggi tertular HIV.
Dalam kehidupan sehari-hari mereka itu bisa sebagai seorang suami, pacar, lajang, remaja, atau duda yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, pelajar, mahasiswa, sopir, petani, nelayan, pencopet, perampok, dll.
Tidak ada kaitan langsung antara (lokalisasi) pelacuran dengan penularan HIV. Yang menjadi persoalan adalah ‘praktek pelacuran’ yaitu hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti di semua tempat karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif.
Di Arab Saudi tidak ada industri hiburan malam dan tidak pula ada lokalisasi pelacuran tetap saja ada kasus HIV/AIDS. Sampai awal tahun ini sudah dilaporkan lebih dari 10.000 kasus HIV/AIDS. Hal itu bisa terjadi karena penduduk Arab Saudi melakukan hubungan seks berisiko, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti di luar negaranya. Sebaliknya, di negara-negara yang ada lokalisasi pelacuran kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa justru mulai menunjukkan grafik yang mendatar karena penduduknya sudah menerapkan cara-cara pencegahan yang realistis yaitu menghindari hubungan seks berisiko.
Melokalisir PSK (membuat lokalisasi pelacuran) erat kaitannya dengan (kesehatan) masyarakat. Kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa ada laki-laki penduduk lokal yang pernah atau sering melakukan hubungan seks dengan PSK. Dengan mengontrol (kesehatan) PSK maka masyarakat dapat diselamatkan dari kemungkinan tertular penyakit. Secara rutin kesehatan PSK diperiksa dan mereka dididik agar bisa menolak laki-laki yang tidak mau memakai kondom.
Memupus Mitos
Yang menjadi persoalan bukan PSK tapi penduduk (lokal) karena pelanggan PSK tentulah kebanyakan penduduk lokal. PSK yang terdeteksi HIV-positif minimal mereka sudah tertular tiga bulan sebelum tes. Sedangkan yang sudah terdeteksi pada masa AIDS mereka sudah tertular antara 5 sampai 15 tahun sebelumnya. Pada rentang waktu itu sudah berapa laki-laki yang melakukan hubungan seks dengan mereka. Dalam tiga bulan mereka ‘praktek’ 75 hari. Jika satu malam ada dua tamu maka sebelum mereka terdeteksi sudah 4.500 (90 x 25 x 2) laki-laki yang berisiko tertular HIV. Laki-laki yang 4.500 inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk. Yang beristri akan menulari istirnya atau perempuan lain atau PSK lain. Yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada pacarnya, pasangannya, atau PSK.
Ada yang menyebutkan ‘PSK perlu surat bebas HIV/AIDS’. Ini menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS. Misalnya, hari ini pukul 08.00 semua PSK di Bali menjalani tes HIV. Andaikan 100 persen negatif. Tapi, ada kemungkinan di antara PSK pada masa jendela (tertular HIV di bawah tiga bulan) ketika dites sehingga hasilnya negatif palsu (mereka sebenarnya sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi).
Tes HIV bukan vaksin. Setelah dites bisa saja ada di antara mereka yang tertular HIV. Maka, surat bebas HIV/AIDS tidak ada manfaatnya karena setiap saat setiap orang yang perilaku seksnya berisiko bisa tertular HIV. Apakah Pemprov Bali akan mengetes setiap PSK setiap saat?
Yang perlu dilakukan adalah memupus mitos AIDS dengan cara mengedepankan fakta (medis) tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIVserta menganjurkan penduduk yang perilakunya berisiko untuk menjalani tes HIV secara sukarela. Mata rantai penyebaran HIV akan diputus mulai dari penduduk yang terdeteksi HIV-positif.
[Sumber: Newsleter “infoAIDS” edisi No. 8/Juni 2009].
Sebuah harian di Denpasar, Bali, mem-blow up berita seputar pelacuran terkait dengan epidemic HIV/AIDS di Pulau Dewata. Ada usul agar pelacuran dilokalisir. Muncul pro dan kontra. Diperkirakan akan ada ‘gelombang epidemi HIV yang mengancam Bali’ terkait peningkatkan penularan HIV melalui hubungan seks. Yang menjadi persoalan bukan lokalisasi dan PSK, tapi perilaku (seks) penduduk lokal yang menjadi pelanggan PSK di Bali atau di luar Bali.
Menurut Koordinator Kelompok Kerja Perencanaan, Monitoring, dan Evaluasi KPAD Prov. Bali, Dewa N. Wirawan, terjadi peningkatan kasus penularan HIV melalui hubungan seksual (KOMPAS, 12/10/07). Yang dikhawatirkan ada asusmi hal itu terjadi karena pelacuran di Bali.
Selama informasi HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral, dan agama maka selama itu pula penularan akan terus terjadi karena masyarakat tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat.
Selama ini penularan HIV dikait-kaitkan dengan zina, pelacuran, ‘seks bebas’, ‘jajan’, selingkuh, seks pranikah, waria, seks menyimpang, dan homoseksual. Penularan HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah (bisa) terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan dengan zina, pelacuran, ‘seks bebas’, ‘jajan’, selingkuh, seks pranikah, waria, seks menyimpang, dan homoseksual.
Orang-orang yang sudah tertular HIV tidak bisa dikenal dari fisiknya. Maka, sanggama yang aman dengan orang yang tidak diketahui status HIV-nya adalah dengan menghindarkan pergesekan langsung antara penis dan vagina pada hubungan seks di dalam atau di luar nikah.
Praktek Pelacuran
Ada kemungkinan PSK yang beroperasi di Bali justru tertular HIV di Bali. Mereka bisa saja ditulari penduduk asli (lokal) atau wisatawan. Kalau ini yang terjadi maka di masyarakat lokal sudah ada penduduk yang tertular HIV tapi tidak terdeteksi. Bisa juga terjadi PSK yang beroperasi di Bali sudah tertular HIV sebelum ke Bali. Kalau ini yang terjadi maka penduduk Bali yang melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan PSK berisiko tinggi tertular HIV.
Dalam kehidupan sehari-hari mereka itu bisa sebagai seorang suami, pacar, lajang, remaja, atau duda yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, pelajar, mahasiswa, sopir, petani, nelayan, pencopet, perampok, dll.
Tidak ada kaitan langsung antara (lokalisasi) pelacuran dengan penularan HIV. Yang menjadi persoalan adalah ‘praktek pelacuran’ yaitu hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti di semua tempat karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif.
Di Arab Saudi tidak ada industri hiburan malam dan tidak pula ada lokalisasi pelacuran tetap saja ada kasus HIV/AIDS. Sampai awal tahun ini sudah dilaporkan lebih dari 10.000 kasus HIV/AIDS. Hal itu bisa terjadi karena penduduk Arab Saudi melakukan hubungan seks berisiko, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti di luar negaranya. Sebaliknya, di negara-negara yang ada lokalisasi pelacuran kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa justru mulai menunjukkan grafik yang mendatar karena penduduknya sudah menerapkan cara-cara pencegahan yang realistis yaitu menghindari hubungan seks berisiko.
Melokalisir PSK (membuat lokalisasi pelacuran) erat kaitannya dengan (kesehatan) masyarakat. Kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa ada laki-laki penduduk lokal yang pernah atau sering melakukan hubungan seks dengan PSK. Dengan mengontrol (kesehatan) PSK maka masyarakat dapat diselamatkan dari kemungkinan tertular penyakit. Secara rutin kesehatan PSK diperiksa dan mereka dididik agar bisa menolak laki-laki yang tidak mau memakai kondom.
Memupus Mitos
Yang menjadi persoalan bukan PSK tapi penduduk (lokal) karena pelanggan PSK tentulah kebanyakan penduduk lokal. PSK yang terdeteksi HIV-positif minimal mereka sudah tertular tiga bulan sebelum tes. Sedangkan yang sudah terdeteksi pada masa AIDS mereka sudah tertular antara 5 sampai 15 tahun sebelumnya. Pada rentang waktu itu sudah berapa laki-laki yang melakukan hubungan seks dengan mereka. Dalam tiga bulan mereka ‘praktek’ 75 hari. Jika satu malam ada dua tamu maka sebelum mereka terdeteksi sudah 4.500 (90 x 25 x 2) laki-laki yang berisiko tertular HIV. Laki-laki yang 4.500 inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk. Yang beristri akan menulari istirnya atau perempuan lain atau PSK lain. Yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada pacarnya, pasangannya, atau PSK.
Ada yang menyebutkan ‘PSK perlu surat bebas HIV/AIDS’. Ini menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS. Misalnya, hari ini pukul 08.00 semua PSK di Bali menjalani tes HIV. Andaikan 100 persen negatif. Tapi, ada kemungkinan di antara PSK pada masa jendela (tertular HIV di bawah tiga bulan) ketika dites sehingga hasilnya negatif palsu (mereka sebenarnya sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi).
Tes HIV bukan vaksin. Setelah dites bisa saja ada di antara mereka yang tertular HIV. Maka, surat bebas HIV/AIDS tidak ada manfaatnya karena setiap saat setiap orang yang perilaku seksnya berisiko bisa tertular HIV. Apakah Pemprov Bali akan mengetes setiap PSK setiap saat?
Yang perlu dilakukan adalah memupus mitos AIDS dengan cara mengedepankan fakta (medis) tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIVserta menganjurkan penduduk yang perilakunya berisiko untuk menjalani tes HIV secara sukarela. Mata rantai penyebaran HIV akan diputus mulai dari penduduk yang terdeteksi HIV-positif.
[Sumber: Newsleter “infoAIDS” edisi No. 8/Juni 2009].
Tanggapan terhadap Perda AIDS Kab Merauke, Papua
Pemkab Merauke, Papua, menelurkan Perda No. 5 Tahun 2003 tanggal 27/9/2003 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficency Syndrome (HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS). Ini perda kedua dari 28 Perda AIDS yang ada di Nusantara.
Oleh: Syaiful W. Harahap
Agaknya, Perda ini merupakan ‘turunan’ dari ‘Program 100 Persen Kondom’ di Thailand karena hanya mengatur penggunaan kondom. Dikabarkan program ini berhasil menekan infeksi baru di kalangan pelanggan pekerja seks komersial (PSK).
Padahal, di Thailand program itu juga menimbulkan masalah (baru) karena kalangan ‘hidung belang’ putar otak. Mereka membawa PSK ke luar lokalisasi atau rumah bordir sehingga tidak ada lagi kewajiban memakai kondom. Akibatnya, kasus infeksi baru pun tetap terjadi.
Dalam Perda ini PSK disebut sebagai ‘penjaja seks komersial’. Penggunaan kata ‘penjaja’ kepada pekerja seks pada kata ‘penjaja seks komersial’ tidak objektif karena pekerja seks tidak menjajakan seks (diri). Menjajakan berarti berkeliling untuk menjual barang dagangan dengan cara menawar-nawarkan. Yang sudah ‘baku’ adalah pekerja seks komersial (PSK) yang merupakan terjemahan dari commercial sex worker yang dikenal secara internasional.
Apakah pekerja seks berkeliling menawar-nawarkan ‘barang dagangan’-nya? Tentu saja tidak. Lagi pula yang ‘dijual’ PSK bukan barang tapi pelayanan (jasa). Pelanggan tidak membawa pulang ‘barang’ PSK biar pun pelanggan sudah membayarnya. Yang mendatangi PSK adalah laki-laki sehingga kata penjaja tidak tepat diberikan kepada PSK.
Penggunaan kata ‘penjaja seks’ merupakan salah satu bentuk pemberian cap buruk (stigmatisasi) terhadap pekerja seks dan merendahkan harkat martabat sebagai manusia. Kata ‘penjaja seks komersial’ mengesankan PSK berkeliling menggoda laki-laki dengan menawar-nawarkan ‘barang’nya. Hal ini menyudutkan dan memojokkan PSK (baca: perempuan) dan bias gender. Yang terjadi justru laki-laki yang mendatangi PSK.
Pada pasal 1 ayat l disebutkan ‘Penjaja seks adalah seorang laki-laki, perempuan atau waria yang menyediakan dirinya untuk melakukan hubungan seks dengan mendapat imbalan’. Rumusan ini pun merendahkan martabat pekerja seks. Apakah semudah itu mendapatkan (seks) dari mereka?
Pada pasal 4 ayat a disebutkan “Setiap penjaja seks komersial wajib menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual.” Kalau penjaja seksnya laki-laki tentu saja masuk akal. Nah, kalau penjaja seksnya perempuan: Apakah di Merauke sudah tersedia kondom (untuk) perempuan? Kalau ada ya tidak masalah. Tapi, kalau tidak ada tentulah persoalan besar bagi PSK perempuan.
Pada ayat b disebutkan “Memeriksakan diri sekurang-kurangnya satu kali dalam 1 (satu) bulan terhadap penyakit Human Imunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) dan Infeksi Menular Seksual (IMS) pada klinik reproduksi Merauke, Puskesmas, RSUD atau tempat lain yang ditetapkan oleh Pemerintah.” Ada beberapa hal yang terkait dengan pernyataan ini.
Pertama, kapan seorang PSK (harus) memeriksakan diri terhadap infeksi HIV? Pertanyaan ini erat kaitannya dengan pemahaman yang komprehensif terhadap HIV/AIDS. Seseorang berisiko tinggi tertular dan menularkan HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah adalah jika ybs. melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti. Kalau PSK hanya melakukan hubungan seks dengan laki-laki yang memakai kondom tentu tidak perlu tes HIV atau IMS.
Kedua, dalam kurun waktu satu bulan seorang PSK yang sudah tertular HIV tentulah sudah menularkannya kepada banyak laki-laki yang mengencaninya tanpa kondom. Andaikan satu bulan seorang PSK bekerja 20 hari dan setiap malam melayani 3 (tiga) laki-laki maka ada 60 laki-laki yang berisiko tertular HIV.
Selain itu pada masa jendela (pada kurun waktu tiga bulan setelah tertular) tes bisa menghasilkan positif palsu atau negatif palsu. Hal ini bisa terjadi kalau tes HIV hanya dilakukan dengan rapid test atau ELISA yang tidak dikonfirmasi dengan tes lain.
Positif palsu menimbulkan dampak buruk bagi PSK. Mereka dilarang bekerja dan akan mendapat perlakuan yang tidak adil, stigmatitasi dan diskriminasi. Padahal, bisa jadi mereka tidak tertular. Bahkan, bisa jadi mereka dikucilkan atau dibuang mucikari.
Sedangkan negatif palsu menimbulkan bencana bagi pelanggan laki-laki yang tidak mau memakai kondom karena ada kemungkinan yang terdeteksi negatif palsu justru sudah tertular HIV. Laki-laki pun enggan memakai kondom karena PSK dinyatakan HIV-negatif (palsu).
Penekanan terhadap PSK yang terdeteksi HIV-positif dan mengidap IMS merupakan salah satu bentuk diskriminasi karena mereka ditulari oleh laki-laki.
Maka, kalau ada PSK yang terdeteksi HIV-positif atau mengidap IMS atau dua-duanya sekaligus maka yang perlu diperhatikan adalah laki-laki lokal karena merekalah pelanggan utama PSK. Ada dua kemungkinan.
Pertama, kemungkinan laki-laki lokal menularkan HIV dan IMS kepada PSK.
Kedua, ada kemung-kinan PSK baru (tapi stok lama) yang sudah tertular HIV ketika tiba di Merauke. Kedua ke-mungkinan ini sama-sama berdampak buruk terhadap kesehatan ma-syarakat lokal, ter-utama ibu-ibu rumah tangga, yang tertular dari su-aminya dalam ikatan pernikahan yang sah.
Memakai kondom untuk melindungi diri merupakan suatu sikap yang bertolak dari pemahaman yang kom-prehensif terhadap ri-siko tertular HIV. Pema-kaian kondom dipak-sakan melalui peraturan. Tentu saja akan terjadi pelanggaran karena cara pengawasan yang tidak mudah.
Dalam Perda pengawasan dilakukan melalui ‘ .... sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan sekali mengawasi program penggunaan kondom melalui kotak monitor penggunaan kondom dan pemasaran kondom.” Apakah cara ini efektif? Tentu saja tidak. Soalnya, bisa saja bungkus kondom berserakan tapi kondomnya tidak dipakai oleh laki-laki ketika melakukan hubungan seks.
Ada asumsi (moral) yang salah yaitu anggapan bahwa kondom akan mendorong orang untuk berzina. Ini ngawur karena pezina enggan memakai kondom karena repot, tidak nyaman dan tidak nikmat. Maka, upaya untuk memaksa laki-laki memakai kondom bukanlah pekerjaan yang mudah.
Biar pun ada ancaman hukuman jika tidak memakai kondom, tapi laki-laki akan mencari cara untuk menghindar dari peraturan karena berkencan dengan PSK adalah untuk bersenang-senang. Memakai kondom mengurangi kenikmatan. Maka, mereka pun tidak memakai kondom agar bisa bersenang-senang. Ini terjadi karena pemahanan terhadap HIV/AIDS tidak komprehensif sehingga mereka mengababaikan keselamatan.
Selama ini banyak mitos (anggapan yang salah) tentang kondom yang terlanjur berkembang di masyarakat yaitu kondom berpori sehingga bisa ditembus HIV.
Celakanya, media massa pun ikut menyuburkan mitos ini dengan menggiring masyarakat melalui pernyataan yang dikutip wartawan dari pakar yang membalut lidahnya dengan norma, moral dan agama. Padahal, HIV/AIDS dan kondom adalah fakta medis artinya dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran.
Tapi, karena mitos kondom berpori sudah subur di masyarakat maka semua upaya untuk memberikan fakta tentang kondom pun buyar.
Kondom berpori memang ada tapi yang terbuat dari usus binatang. Kondom jenis ini tidak ada di Indonesia. Harga kondom ini di Amerika Serikat, misalnya, sekitar 3 dolar atau Rp 27.000. Harga ini tentu saja mahal bagi sebagian besar pelanggan PSK.
Kondom yang ada di Indonesia adalah kondom yang terbuat dari lateks sehingga tidak berpori-pori. Pembuktiannya sangat mudah. Kondom ditiup,. Biar kan berapa hari. Ternyata kondom tidak kempes. Tapi, karena sudah ada mitos kon-dom berpori maka sa-ngat sulit untuk mem-berikan fakta tentang kondom lateks yang tidak berpori.
Menjadikan kondom sebagai salah satu alat untuk melindungi ma-syarakat pun lagi-lagi buyar karena kondom dibenturkan ke norma, moral dan agama dengan mengatakan bahwa kondom mendorong orang untuk berzina atau melacur.
Ada anggapan di segelintir orang bahwa kegiatan yang ‘merangkul’ PSK sebagai kegiatan untuk melindungi mereka. Ini salah karena dalam kaitan penyebaran IMS dan HIV yang dapat ‘dipegang’ adalah PSK. Sedangkan para ‘hidung belang’ sulit ditangani.
Apakah asumsi yang mengatakan kondom mendorong orang untuk berzina atau melacur terbukti secara empiris? Tentu saja tidak karena para pezina justru enggan memakai kondom karena mengurangi kenikmatan. Sayang, fakta ini tidak pernah muncul sehingga tidak ada perimbangan informasi.
Karena mitos kondom sudah memasyarakat maka orang pun enggan untuk berurusan dengan kondom. Coba lihat wajah karyawan apotek kalau kita membeli kondom. Mereka langsung senyum-senyum. Padahal, orang yang membeli kondom tidak otomatis dipakai untuk berzina atau melacur. Entah apa yang ada di benak mereka. Akibatnya, banyak orang yang enggan membeli kondom.
Ada upaya untuk mendekatkan kondom kepada orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV dan IMS dengan memasang mesin kondom (di masyarakat dikenal sebagai ‘ATM Kondom’). Tapi, lagi-lagi protes atas nama moral dan agama menentang ‘ATM Kondom’ datang bertubi-tubi.
Memasyarakatkan kondom bagi orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus merupakan upaya untuk memutus mata rantai penyebaran IMS dan HIV ke masyarakat. Laki-laki pelanggan PSK, yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai suami, pacar, PIL (pria idaman lain), remaja atau duda bisa menjadi mata rantai penyebaran HIV.
Kalau ‘hidung belang’ enggan memakai kondom ketika kencan dengan PSK dianjurkan agar memakai kondom jika melakukan hubungan seks dengan istri, pacar atau WIL (wanita idaman lain). Ini untuk memutus mata rantai penyebaran IMS dan HIV.
[Sumber: Newsletter ”infoAIDS” edisi No. 6/Oktober 2006]
Oleh: Syaiful W. Harahap
Agaknya, Perda ini merupakan ‘turunan’ dari ‘Program 100 Persen Kondom’ di Thailand karena hanya mengatur penggunaan kondom. Dikabarkan program ini berhasil menekan infeksi baru di kalangan pelanggan pekerja seks komersial (PSK).
Padahal, di Thailand program itu juga menimbulkan masalah (baru) karena kalangan ‘hidung belang’ putar otak. Mereka membawa PSK ke luar lokalisasi atau rumah bordir sehingga tidak ada lagi kewajiban memakai kondom. Akibatnya, kasus infeksi baru pun tetap terjadi.
Dalam Perda ini PSK disebut sebagai ‘penjaja seks komersial’. Penggunaan kata ‘penjaja’ kepada pekerja seks pada kata ‘penjaja seks komersial’ tidak objektif karena pekerja seks tidak menjajakan seks (diri). Menjajakan berarti berkeliling untuk menjual barang dagangan dengan cara menawar-nawarkan. Yang sudah ‘baku’ adalah pekerja seks komersial (PSK) yang merupakan terjemahan dari commercial sex worker yang dikenal secara internasional.
Apakah pekerja seks berkeliling menawar-nawarkan ‘barang dagangan’-nya? Tentu saja tidak. Lagi pula yang ‘dijual’ PSK bukan barang tapi pelayanan (jasa). Pelanggan tidak membawa pulang ‘barang’ PSK biar pun pelanggan sudah membayarnya. Yang mendatangi PSK adalah laki-laki sehingga kata penjaja tidak tepat diberikan kepada PSK.
Penggunaan kata ‘penjaja seks’ merupakan salah satu bentuk pemberian cap buruk (stigmatisasi) terhadap pekerja seks dan merendahkan harkat martabat sebagai manusia. Kata ‘penjaja seks komersial’ mengesankan PSK berkeliling menggoda laki-laki dengan menawar-nawarkan ‘barang’nya. Hal ini menyudutkan dan memojokkan PSK (baca: perempuan) dan bias gender. Yang terjadi justru laki-laki yang mendatangi PSK.
Pada pasal 1 ayat l disebutkan ‘Penjaja seks adalah seorang laki-laki, perempuan atau waria yang menyediakan dirinya untuk melakukan hubungan seks dengan mendapat imbalan’. Rumusan ini pun merendahkan martabat pekerja seks. Apakah semudah itu mendapatkan (seks) dari mereka?
Pada pasal 4 ayat a disebutkan “Setiap penjaja seks komersial wajib menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual.” Kalau penjaja seksnya laki-laki tentu saja masuk akal. Nah, kalau penjaja seksnya perempuan: Apakah di Merauke sudah tersedia kondom (untuk) perempuan? Kalau ada ya tidak masalah. Tapi, kalau tidak ada tentulah persoalan besar bagi PSK perempuan.
Pada ayat b disebutkan “Memeriksakan diri sekurang-kurangnya satu kali dalam 1 (satu) bulan terhadap penyakit Human Imunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) dan Infeksi Menular Seksual (IMS) pada klinik reproduksi Merauke, Puskesmas, RSUD atau tempat lain yang ditetapkan oleh Pemerintah.” Ada beberapa hal yang terkait dengan pernyataan ini.
Pertama, kapan seorang PSK (harus) memeriksakan diri terhadap infeksi HIV? Pertanyaan ini erat kaitannya dengan pemahaman yang komprehensif terhadap HIV/AIDS. Seseorang berisiko tinggi tertular dan menularkan HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah adalah jika ybs. melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti. Kalau PSK hanya melakukan hubungan seks dengan laki-laki yang memakai kondom tentu tidak perlu tes HIV atau IMS.
Kedua, dalam kurun waktu satu bulan seorang PSK yang sudah tertular HIV tentulah sudah menularkannya kepada banyak laki-laki yang mengencaninya tanpa kondom. Andaikan satu bulan seorang PSK bekerja 20 hari dan setiap malam melayani 3 (tiga) laki-laki maka ada 60 laki-laki yang berisiko tertular HIV.
Selain itu pada masa jendela (pada kurun waktu tiga bulan setelah tertular) tes bisa menghasilkan positif palsu atau negatif palsu. Hal ini bisa terjadi kalau tes HIV hanya dilakukan dengan rapid test atau ELISA yang tidak dikonfirmasi dengan tes lain.
Positif palsu menimbulkan dampak buruk bagi PSK. Mereka dilarang bekerja dan akan mendapat perlakuan yang tidak adil, stigmatitasi dan diskriminasi. Padahal, bisa jadi mereka tidak tertular. Bahkan, bisa jadi mereka dikucilkan atau dibuang mucikari.
Sedangkan negatif palsu menimbulkan bencana bagi pelanggan laki-laki yang tidak mau memakai kondom karena ada kemungkinan yang terdeteksi negatif palsu justru sudah tertular HIV. Laki-laki pun enggan memakai kondom karena PSK dinyatakan HIV-negatif (palsu).
Penekanan terhadap PSK yang terdeteksi HIV-positif dan mengidap IMS merupakan salah satu bentuk diskriminasi karena mereka ditulari oleh laki-laki.
Maka, kalau ada PSK yang terdeteksi HIV-positif atau mengidap IMS atau dua-duanya sekaligus maka yang perlu diperhatikan adalah laki-laki lokal karena merekalah pelanggan utama PSK. Ada dua kemungkinan.
Pertama, kemungkinan laki-laki lokal menularkan HIV dan IMS kepada PSK.
Kedua, ada kemung-kinan PSK baru (tapi stok lama) yang sudah tertular HIV ketika tiba di Merauke. Kedua ke-mungkinan ini sama-sama berdampak buruk terhadap kesehatan ma-syarakat lokal, ter-utama ibu-ibu rumah tangga, yang tertular dari su-aminya dalam ikatan pernikahan yang sah.
Memakai kondom untuk melindungi diri merupakan suatu sikap yang bertolak dari pemahaman yang kom-prehensif terhadap ri-siko tertular HIV. Pema-kaian kondom dipak-sakan melalui peraturan. Tentu saja akan terjadi pelanggaran karena cara pengawasan yang tidak mudah.
Dalam Perda pengawasan dilakukan melalui ‘ .... sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan sekali mengawasi program penggunaan kondom melalui kotak monitor penggunaan kondom dan pemasaran kondom.” Apakah cara ini efektif? Tentu saja tidak. Soalnya, bisa saja bungkus kondom berserakan tapi kondomnya tidak dipakai oleh laki-laki ketika melakukan hubungan seks.
Ada asumsi (moral) yang salah yaitu anggapan bahwa kondom akan mendorong orang untuk berzina. Ini ngawur karena pezina enggan memakai kondom karena repot, tidak nyaman dan tidak nikmat. Maka, upaya untuk memaksa laki-laki memakai kondom bukanlah pekerjaan yang mudah.
Biar pun ada ancaman hukuman jika tidak memakai kondom, tapi laki-laki akan mencari cara untuk menghindar dari peraturan karena berkencan dengan PSK adalah untuk bersenang-senang. Memakai kondom mengurangi kenikmatan. Maka, mereka pun tidak memakai kondom agar bisa bersenang-senang. Ini terjadi karena pemahanan terhadap HIV/AIDS tidak komprehensif sehingga mereka mengababaikan keselamatan.
Selama ini banyak mitos (anggapan yang salah) tentang kondom yang terlanjur berkembang di masyarakat yaitu kondom berpori sehingga bisa ditembus HIV.
Celakanya, media massa pun ikut menyuburkan mitos ini dengan menggiring masyarakat melalui pernyataan yang dikutip wartawan dari pakar yang membalut lidahnya dengan norma, moral dan agama. Padahal, HIV/AIDS dan kondom adalah fakta medis artinya dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran.
Tapi, karena mitos kondom berpori sudah subur di masyarakat maka semua upaya untuk memberikan fakta tentang kondom pun buyar.
Kondom berpori memang ada tapi yang terbuat dari usus binatang. Kondom jenis ini tidak ada di Indonesia. Harga kondom ini di Amerika Serikat, misalnya, sekitar 3 dolar atau Rp 27.000. Harga ini tentu saja mahal bagi sebagian besar pelanggan PSK.
Kondom yang ada di Indonesia adalah kondom yang terbuat dari lateks sehingga tidak berpori-pori. Pembuktiannya sangat mudah. Kondom ditiup,. Biar kan berapa hari. Ternyata kondom tidak kempes. Tapi, karena sudah ada mitos kon-dom berpori maka sa-ngat sulit untuk mem-berikan fakta tentang kondom lateks yang tidak berpori.
Menjadikan kondom sebagai salah satu alat untuk melindungi ma-syarakat pun lagi-lagi buyar karena kondom dibenturkan ke norma, moral dan agama dengan mengatakan bahwa kondom mendorong orang untuk berzina atau melacur.
Ada anggapan di segelintir orang bahwa kegiatan yang ‘merangkul’ PSK sebagai kegiatan untuk melindungi mereka. Ini salah karena dalam kaitan penyebaran IMS dan HIV yang dapat ‘dipegang’ adalah PSK. Sedangkan para ‘hidung belang’ sulit ditangani.
Apakah asumsi yang mengatakan kondom mendorong orang untuk berzina atau melacur terbukti secara empiris? Tentu saja tidak karena para pezina justru enggan memakai kondom karena mengurangi kenikmatan. Sayang, fakta ini tidak pernah muncul sehingga tidak ada perimbangan informasi.
Karena mitos kondom sudah memasyarakat maka orang pun enggan untuk berurusan dengan kondom. Coba lihat wajah karyawan apotek kalau kita membeli kondom. Mereka langsung senyum-senyum. Padahal, orang yang membeli kondom tidak otomatis dipakai untuk berzina atau melacur. Entah apa yang ada di benak mereka. Akibatnya, banyak orang yang enggan membeli kondom.
Ada upaya untuk mendekatkan kondom kepada orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV dan IMS dengan memasang mesin kondom (di masyarakat dikenal sebagai ‘ATM Kondom’). Tapi, lagi-lagi protes atas nama moral dan agama menentang ‘ATM Kondom’ datang bertubi-tubi.
Memasyarakatkan kondom bagi orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus merupakan upaya untuk memutus mata rantai penyebaran IMS dan HIV ke masyarakat. Laki-laki pelanggan PSK, yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai suami, pacar, PIL (pria idaman lain), remaja atau duda bisa menjadi mata rantai penyebaran HIV.
Kalau ‘hidung belang’ enggan memakai kondom ketika kencan dengan PSK dianjurkan agar memakai kondom jika melakukan hubungan seks dengan istri, pacar atau WIL (wanita idaman lain). Ini untuk memutus mata rantai penyebaran IMS dan HIV.
[Sumber: Newsletter ”infoAIDS” edisi No. 6/Oktober 2006]
Tanggapan Terhadap Perda AIDS Puncak Jaya, Papua
Pemkab Puncak Jaya, Papua, menelurkan Perda No. 14 Tahun 2005 tanggal 22 Juni 2005 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS. Ini perda kelima dari 28 Perda AIDS yang ada di Nusantara.
Oleh: Syaiful W. Harahap
Di saat kasus HIV/AIDS ‘merebak’ di banyak negara kita seakan terlena karena dari tahun ke tahun sejak kasus AIDS ‘pertama’ dipublikasikan tahun 1987 kasus AIDS yang dilaporkan hanya hitungan jari. Inilah yang selalu dijadikan pemerintah sebagai pembenaran terhadap ketidakmungkinan kasus HIV/AIDS ‘merebak’ di Indonesia.
Publikasi kasus AIDS pertama ini pun bernuansa moral karena kasus kematian terkait AIDS terjadi pada orang bule (WN Belanda) di RS Sanglah, Denpasar, Bali, sehingga anggapan AIDS ‘hanya’ di luar negeri menjadi kuat. Setahun kemudian, 1988, kasus kematian terkait AIDS juga terjadi di RS Sanglah, Denpasar, yang menimpa seorang penduduk asli Indonesia. Kalau diamati penduduk tadi sudah tertular HIV antara tahun 1978 dan 1983 jauh sebelum WN Belanda tadi datang ke Bali.
Ada beberapa kejadian lain yang menyuburkan mitos bahwa ‘AIDS penyakit orang luar’. Misalnya, salah satu pertanyaan bagi calon donor di UTD-PMI adalah “Kapan Anda terakhir ke luar negeri?” Pertanyaan ini menunjukkan bahwa (risiko) AIDS hanya ada di luar negeri.
Pada Konferensi AIDS Internasional Asia Pasifik (ICAAP) VI tahun 2001 di Melbourne, Australia, Dr. Peter Piot, Direktur Eksekutif UNAIDS, sudah mengingatkan Indonesia terkait dengan peningkatan kasus HIV/AIDS. Tapi, lagi-lagi pemerintah berpangku tangan.
Namun, apa yang terjadi lima tahun kemudian? Kita melihat kasus HIV/AIDS mulai bermunculan dari berbagai daerah.
Celakanya, pandemi bukan ditanggapi dengan ‘kepala dingin’ yaitu bertolak dari penanggulangan yang realistis, tapi dengan reaksi yang berlebihan dan tidak realistis bahkan irrasional.
Moral dan agama digenjot sehingga HIV/AIDS sebagai fakta medis pun tenggelam dan HIV/AIDS menjadi bagian dari mitos (anggapan yang salah). Berbagai jargon moral dan agama dimasukkan ke materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) HIV/AIDS.
Bahkan, di peraturan daerah (Perda) terkait AIDS juga sarat dengan atuaran moral dan agama yang sama sekali tidak terkait langsung dengan pandemi HIV. Penekanan aspek norma, moral, dan agama pada HIV/AIDS akan menimbulkan dampak yang merugikan, menyudutkan, menyuburkan stigma dan diskriminasi terhadap orang-orang yang tertular HIV.
Perda AIDS Prov. Riau, misalnya, menyebutkan cara mencegah HIV adalah dengan meningkatkan ‘iman dan taqwa’. Ini jargon agama Islam. Bagaimana dengan penduduk yang beragama lain?
Lalu, kalau ada orang yang tertular HIV, apakah karena mereka tidak beriman dan tidak bertaqwa? Akibatnya, orang pun akan menuding orang-orang yang tertular HIV sebagai orang yang tidak beriman dan tidak bertaqwa. Padahal, banyak orang yang tertular HIV karena tidak mengetahui cara-cara pencegahan yang akurat yang juga terjadi karena KIE tentang HIV/AIDS dibalut moral dan agama. Apakah ini yang kita harapkan dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS?
Di saat kita terlena dan mengedepankan norma, moral, dan agama dalam penanggulangan HIV/AIDS, apa yang terjadi? Kasus demi kasus terdeteksi karena masyarakat tidak memahami cara-cara pencegahan yang masuk akal karena penularan HIV dikaitkan dengan moral dan agama. Misalnya, penularan HIV disebutkan karena zina, pelacuran, jajan, selingkuh, waria, dan homoseksual.
Seorang wartawan di Denpasar, Bali, misalnya, tetap pada pendiriannya bahwa dua laki-laki yang HIV-negatif akan ‘kena AIDS’ kalau mereka melakukan anal seks (terjadi pada pelatihan wartawan untuk penulisan AIDS oleh PPPKMI Jakarta dengan dukungan Global Fund, Oktober 2005). Di beberapa pelatihan serupa juga selalu terungkap bahwa tetap ada wartawan yang yakin bahwa laki-laki dan perempuan yang dua-duanya HIV-negatif akan ‘kena AIDS’ kalau mereka berzina, selingkuh, seks pranikah, jajan, dan melacur.
Fakta ini menggambarkan pemahaman masyarakat terhadap HIV/AIDS hanya berdasarkan mitos. Ini semua terjadi karena selama ini materi KIE tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan moral dan agama.
Hal yang sama terdapat pada Perda Puncak Jaya ini. Pada pasal 5 ayat 1 disebutkan “Pencegahan HIV/AIDS dan IMS dilakukan melalu cara (a) Tidak melakukan hubungan seksual secara menyimpang dan berganti-ganti pasangan seks.” Ini jelas ‘cara moral’ yang sama sekali tidak terkait dengan pencegahan penularan HIV yang akurat.
Penularan HIV dan IMS melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, bisa terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif atau mengidap IMS dan laki-laki atau perempuan tidak memakai kondom setiap melakukan hubungan seks. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif dan tidak mengidap IMS maka tidak ada penularan HIV dan IMS biar pun mereka berzina, melacur, selingkuh, jajan, menyimpang, homoseksual, dll.
Maka, penularan HIV dan IMS melalui hubungan seks tergantung kepada KONDISI HUBUNGAN SEKS bukan SIFAT HUBUNGAN SEKS. Artinya, biar pun di dalam ikatan pernikahan yang sah (sifat) ada risiko penularan HIV kalau salah satu atau dua-duanya HIV-positif (kondisi). Sebaliknya, biar pun di luar nikah, jajan, selingkuh, me-lacur, waria, atau homo-seksual (sifaf) kalau dua-duanya HIV-negatif (kondisi) maka tidak ada penularan HIV.
Pada pasal 5 ayat 1 disebutkan “Pencegahan HIV/AIDS dan IMS dilakukan melalui cara (b) Setia pada satu pasangan tetap.” Ini juga moralistik karena bisa saja terjadi kesetiaan kepada satu pasangan yang berganti-ganti. Pada kurun waktu tertentu seorang laki-laki setiap pada seorang perempuan. Tapi, bisa saja terjadi sebelum mereka saling setia mereka juga pernah saling setia dengan pasangan lain. Begitu seterusnya.
Pada pasal 4 disebutkan “HIV dapat menular kepada orang lain melalui: (a) Hubungan seksual yang tak terlindung.” Ini tidak akurat karena penularan HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah (bisa) terjadi kalau salah satu atau dua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks. Kalau dua-duanya HIV-negatif terlindung atau tidak, sah atau tidak, maka tidak ada penularan HIV.
Pada pasal 4 ayat b disebutkan “HIV dapat menular kepada orang lain melalui: Jarum/alat suntik yang sekali pakai dibuang.” Ini tidak jelas maksudnya.
Cara-cara pencegahan yang ‘ditawarkan’ selalu bersifat moralistik padahal pencegahan HIV dapat dilakukan dengan teknologi kedokteran yang realistis.
Pada pasal 5 ayat 1 disebutkan “Pencegahan HIV/AIDS dan IMS dilakukan melalui cara (c) Menggunakan kondom pada setiap kontak seksual yang beresiko tertular virus HIV dan IMS.” Lho, bagaimana kontak seksual yang beresiko? Pada padal 1 ayat 11 disebutkan “Perilaku seksual beresiko adalah perilaku berganti-ganti pasangan seksual tanpa menggunakan kondom.”
Yang terjadi adalah banyak laki-laki merasa tidak berganti-ganti pasangan karena dia selalu ‘memakai’ PSK yang sama setiap kali melepas hasrat seksual. Bahkan, ada yang menjadikan hubungan mereka pada taraf ‘pacar’ dan ‘suami’. Lagi-lagi penegasan tidak akurat karena dibalut dengan moral.
Perilaku berisiko (ejaan sesuai dengan KBBI-pen.) melalui hubungan seks bisa terjadi kalau melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah serta homoseksual tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK.
Selama materi KIE tetap dibalut dengan moral dan agama maka selama itu pula yang ditangkap masyarakat hanya mitos. Inilah yang mencelakakan masyarakat.
Di beberapa negara kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa mulai menunjukkan grafik yang mendatar. Tapi, mengapa di kawasan Asia Pasifik justru sebaliknya?
Ya, lagi-lagi terjadi karena mitos. Di banyak negara masyarakat sudah memahami cara-cara pencegahan yang realistis melalui hubungan seks yang memakai kondom pada hubungan seks yang berisiko. Sebaliknya, di kawasan Asia Pasifik yang terjadi justru ‘debat kusir’ soal kondom dengan mempertentangkan aspek kesehatan masyarakat dengan moral dan agama.
Perda ini lagi-lagi merendahkan harkat dan martabat PSK sebagai manusia dengan menyebut mereka sebagai penjaja seks komersial. Penjaja berarti orang yang menjajakan atau menawarkan sesuatu dengan berkeliling.
Pertanyaannya adalah: apakah PSK menjajakan diri dengan berkeliling? Fakta menunjukkan PSK menunggu di tempat. Yang datang ‘membeli’ justru laki-laki. Dan, perlu diingat laki-laki pulalah yang menularkan HIV atau IMS atau dua-duanya sekaligus kepada PSK. Fakta ini selalu ditutup-tutupi sehingga mengesankan PSK-lah yang menjadi biang keladi penyebaran HIV dan IMS. Penggelapan fakta ini selain bias gender juga menyesatkan masyarakat.
Celakanya, ketika ada PSK yang terdeteksi HIV-positif atau mengidap IMS yang dipersoalkan hanya PSK itu. Padahal, ada fakta lain yang merupakan realitas sosial yang digelapkan yaitu ada laki-laki yang menularkan dan tertular. Laki-laki inilah yang merupakan mata rantai penyebaran HIV dan IMS. Mereka menjadi jembatan dari PSK ke populasi.
Lagi-lagi fakta ini luput atau memang sengaja diluputkan agar PSK dikesankan tidak bermoral, sedangkan laki-laki pelanggan lebih bermoral.
[Sumber: Newsletter ”InfoAIDS” edisi No. 7/November 2006]
Oleh: Syaiful W. Harahap
Di saat kasus HIV/AIDS ‘merebak’ di banyak negara kita seakan terlena karena dari tahun ke tahun sejak kasus AIDS ‘pertama’ dipublikasikan tahun 1987 kasus AIDS yang dilaporkan hanya hitungan jari. Inilah yang selalu dijadikan pemerintah sebagai pembenaran terhadap ketidakmungkinan kasus HIV/AIDS ‘merebak’ di Indonesia.
Publikasi kasus AIDS pertama ini pun bernuansa moral karena kasus kematian terkait AIDS terjadi pada orang bule (WN Belanda) di RS Sanglah, Denpasar, Bali, sehingga anggapan AIDS ‘hanya’ di luar negeri menjadi kuat. Setahun kemudian, 1988, kasus kematian terkait AIDS juga terjadi di RS Sanglah, Denpasar, yang menimpa seorang penduduk asli Indonesia. Kalau diamati penduduk tadi sudah tertular HIV antara tahun 1978 dan 1983 jauh sebelum WN Belanda tadi datang ke Bali.
Ada beberapa kejadian lain yang menyuburkan mitos bahwa ‘AIDS penyakit orang luar’. Misalnya, salah satu pertanyaan bagi calon donor di UTD-PMI adalah “Kapan Anda terakhir ke luar negeri?” Pertanyaan ini menunjukkan bahwa (risiko) AIDS hanya ada di luar negeri.
Pada Konferensi AIDS Internasional Asia Pasifik (ICAAP) VI tahun 2001 di Melbourne, Australia, Dr. Peter Piot, Direktur Eksekutif UNAIDS, sudah mengingatkan Indonesia terkait dengan peningkatan kasus HIV/AIDS. Tapi, lagi-lagi pemerintah berpangku tangan.
Namun, apa yang terjadi lima tahun kemudian? Kita melihat kasus HIV/AIDS mulai bermunculan dari berbagai daerah.
Celakanya, pandemi bukan ditanggapi dengan ‘kepala dingin’ yaitu bertolak dari penanggulangan yang realistis, tapi dengan reaksi yang berlebihan dan tidak realistis bahkan irrasional.
Moral dan agama digenjot sehingga HIV/AIDS sebagai fakta medis pun tenggelam dan HIV/AIDS menjadi bagian dari mitos (anggapan yang salah). Berbagai jargon moral dan agama dimasukkan ke materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) HIV/AIDS.
Bahkan, di peraturan daerah (Perda) terkait AIDS juga sarat dengan atuaran moral dan agama yang sama sekali tidak terkait langsung dengan pandemi HIV. Penekanan aspek norma, moral, dan agama pada HIV/AIDS akan menimbulkan dampak yang merugikan, menyudutkan, menyuburkan stigma dan diskriminasi terhadap orang-orang yang tertular HIV.
Perda AIDS Prov. Riau, misalnya, menyebutkan cara mencegah HIV adalah dengan meningkatkan ‘iman dan taqwa’. Ini jargon agama Islam. Bagaimana dengan penduduk yang beragama lain?
Lalu, kalau ada orang yang tertular HIV, apakah karena mereka tidak beriman dan tidak bertaqwa? Akibatnya, orang pun akan menuding orang-orang yang tertular HIV sebagai orang yang tidak beriman dan tidak bertaqwa. Padahal, banyak orang yang tertular HIV karena tidak mengetahui cara-cara pencegahan yang akurat yang juga terjadi karena KIE tentang HIV/AIDS dibalut moral dan agama. Apakah ini yang kita harapkan dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS?
Di saat kita terlena dan mengedepankan norma, moral, dan agama dalam penanggulangan HIV/AIDS, apa yang terjadi? Kasus demi kasus terdeteksi karena masyarakat tidak memahami cara-cara pencegahan yang masuk akal karena penularan HIV dikaitkan dengan moral dan agama. Misalnya, penularan HIV disebutkan karena zina, pelacuran, jajan, selingkuh, waria, dan homoseksual.
Seorang wartawan di Denpasar, Bali, misalnya, tetap pada pendiriannya bahwa dua laki-laki yang HIV-negatif akan ‘kena AIDS’ kalau mereka melakukan anal seks (terjadi pada pelatihan wartawan untuk penulisan AIDS oleh PPPKMI Jakarta dengan dukungan Global Fund, Oktober 2005). Di beberapa pelatihan serupa juga selalu terungkap bahwa tetap ada wartawan yang yakin bahwa laki-laki dan perempuan yang dua-duanya HIV-negatif akan ‘kena AIDS’ kalau mereka berzina, selingkuh, seks pranikah, jajan, dan melacur.
Fakta ini menggambarkan pemahaman masyarakat terhadap HIV/AIDS hanya berdasarkan mitos. Ini semua terjadi karena selama ini materi KIE tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan moral dan agama.
Hal yang sama terdapat pada Perda Puncak Jaya ini. Pada pasal 5 ayat 1 disebutkan “Pencegahan HIV/AIDS dan IMS dilakukan melalu cara (a) Tidak melakukan hubungan seksual secara menyimpang dan berganti-ganti pasangan seks.” Ini jelas ‘cara moral’ yang sama sekali tidak terkait dengan pencegahan penularan HIV yang akurat.
Penularan HIV dan IMS melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, bisa terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif atau mengidap IMS dan laki-laki atau perempuan tidak memakai kondom setiap melakukan hubungan seks. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif dan tidak mengidap IMS maka tidak ada penularan HIV dan IMS biar pun mereka berzina, melacur, selingkuh, jajan, menyimpang, homoseksual, dll.
Maka, penularan HIV dan IMS melalui hubungan seks tergantung kepada KONDISI HUBUNGAN SEKS bukan SIFAT HUBUNGAN SEKS. Artinya, biar pun di dalam ikatan pernikahan yang sah (sifat) ada risiko penularan HIV kalau salah satu atau dua-duanya HIV-positif (kondisi). Sebaliknya, biar pun di luar nikah, jajan, selingkuh, me-lacur, waria, atau homo-seksual (sifaf) kalau dua-duanya HIV-negatif (kondisi) maka tidak ada penularan HIV.
Pada pasal 5 ayat 1 disebutkan “Pencegahan HIV/AIDS dan IMS dilakukan melalui cara (b) Setia pada satu pasangan tetap.” Ini juga moralistik karena bisa saja terjadi kesetiaan kepada satu pasangan yang berganti-ganti. Pada kurun waktu tertentu seorang laki-laki setiap pada seorang perempuan. Tapi, bisa saja terjadi sebelum mereka saling setia mereka juga pernah saling setia dengan pasangan lain. Begitu seterusnya.
Pada pasal 4 disebutkan “HIV dapat menular kepada orang lain melalui: (a) Hubungan seksual yang tak terlindung.” Ini tidak akurat karena penularan HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah (bisa) terjadi kalau salah satu atau dua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks. Kalau dua-duanya HIV-negatif terlindung atau tidak, sah atau tidak, maka tidak ada penularan HIV.
Pada pasal 4 ayat b disebutkan “HIV dapat menular kepada orang lain melalui: Jarum/alat suntik yang sekali pakai dibuang.” Ini tidak jelas maksudnya.
Cara-cara pencegahan yang ‘ditawarkan’ selalu bersifat moralistik padahal pencegahan HIV dapat dilakukan dengan teknologi kedokteran yang realistis.
Pada pasal 5 ayat 1 disebutkan “Pencegahan HIV/AIDS dan IMS dilakukan melalui cara (c) Menggunakan kondom pada setiap kontak seksual yang beresiko tertular virus HIV dan IMS.” Lho, bagaimana kontak seksual yang beresiko? Pada padal 1 ayat 11 disebutkan “Perilaku seksual beresiko adalah perilaku berganti-ganti pasangan seksual tanpa menggunakan kondom.”
Yang terjadi adalah banyak laki-laki merasa tidak berganti-ganti pasangan karena dia selalu ‘memakai’ PSK yang sama setiap kali melepas hasrat seksual. Bahkan, ada yang menjadikan hubungan mereka pada taraf ‘pacar’ dan ‘suami’. Lagi-lagi penegasan tidak akurat karena dibalut dengan moral.
Perilaku berisiko (ejaan sesuai dengan KBBI-pen.) melalui hubungan seks bisa terjadi kalau melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah serta homoseksual tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK.
Selama materi KIE tetap dibalut dengan moral dan agama maka selama itu pula yang ditangkap masyarakat hanya mitos. Inilah yang mencelakakan masyarakat.
Di beberapa negara kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa mulai menunjukkan grafik yang mendatar. Tapi, mengapa di kawasan Asia Pasifik justru sebaliknya?
Ya, lagi-lagi terjadi karena mitos. Di banyak negara masyarakat sudah memahami cara-cara pencegahan yang realistis melalui hubungan seks yang memakai kondom pada hubungan seks yang berisiko. Sebaliknya, di kawasan Asia Pasifik yang terjadi justru ‘debat kusir’ soal kondom dengan mempertentangkan aspek kesehatan masyarakat dengan moral dan agama.
Perda ini lagi-lagi merendahkan harkat dan martabat PSK sebagai manusia dengan menyebut mereka sebagai penjaja seks komersial. Penjaja berarti orang yang menjajakan atau menawarkan sesuatu dengan berkeliling.
Pertanyaannya adalah: apakah PSK menjajakan diri dengan berkeliling? Fakta menunjukkan PSK menunggu di tempat. Yang datang ‘membeli’ justru laki-laki. Dan, perlu diingat laki-laki pulalah yang menularkan HIV atau IMS atau dua-duanya sekaligus kepada PSK. Fakta ini selalu ditutup-tutupi sehingga mengesankan PSK-lah yang menjadi biang keladi penyebaran HIV dan IMS. Penggelapan fakta ini selain bias gender juga menyesatkan masyarakat.
Celakanya, ketika ada PSK yang terdeteksi HIV-positif atau mengidap IMS yang dipersoalkan hanya PSK itu. Padahal, ada fakta lain yang merupakan realitas sosial yang digelapkan yaitu ada laki-laki yang menularkan dan tertular. Laki-laki inilah yang merupakan mata rantai penyebaran HIV dan IMS. Mereka menjadi jembatan dari PSK ke populasi.
Lagi-lagi fakta ini luput atau memang sengaja diluputkan agar PSK dikesankan tidak bermoral, sedangkan laki-laki pelanggan lebih bermoral.
[Sumber: Newsletter ”InfoAIDS” edisi No. 7/November 2006]
Langganan:
Postingan (Atom)