Oleh: Syaiful W. Harahap
"58 Pasien Baru HIV/AIDS Dirawat di RS Adam Malik: (Harian ANALISA, Medan, 17 Maret 2009). Berita ini tidak ada istimewanya karena hanya fakta belaka tanpa ada analisis sebagai realitas sosial. Pembaca (masyarakat) tidak melihat kepentingan mereka (signifikansi) terhadap fakta yang diberitakan.
Tapi, akan lain kalau fakta tentang 58 pasien baru HIV/AIDS itu dibawa ke realitas sosial. Misalnya, menggambarkan mata rantai penyebaran HIV dari fakta itu. Dari kasus itu ada 48 laki-laki. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk tanpa mereka sadari. Yang beristri menularkan HIV kepada istrinya atau pasangan seks lain atau pekerja seks. Yang tidak beristri menularkan HIV kepada pasangan seksnya atau pekerja seks. mereka ini dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, duda, lajang atau remaja yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, pedagang, pelajar, mahasiswa, rampok, dll.
Jika 48 laki-laki tadi mempunyai pasangan seks lebih dari satu maka ada risiko tertular di kalangan masyarakat melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, transfusi darah, jarum suntik dan alat-alat kesehatan. Semua terjadi tanpa disadari karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik mereka sebelum mencarai pada AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).
Realitas sosial terkait epidemi HIV inilah yang sering tidak muncul sehingga masyarakat tidak memahami penyebaran HIV dengan akurat. Selama ini yang berkembang adalah mitos (anggapan yang salah) yaitu menyebutkan pekerja seks sebagai penyebar HIV. Padahal, yang menularkan HIV kepada pekerja seks adalah laki-laki. Bisa saja terjadi ada di antara 48 kasus yang ditangani RS Adam Malik itu.
Dalam berita tidak disebutkan bagaimana kasus baru itu terdeteksi. Apakah mereka terdeteksi ketika berobat karena sudah mencapai masa AIDS atau terdeteksi melalui VCT (tes sukarela). Kalau kasus-kasus itu terdeteksi pada masa AIDS maka antara 5-15 tahun sebelum terdeteksi mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari.
Disebutkan “ .... seks bebas/tidak aman ....” Ini menyesatkan karena penularan HIV melalui hubungan seks bukan terjadi karena sifat hubungan seks (di luar nikah, melacur, dll.), tapi karena kondisi hubungan seks (salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan sanggama).
[Sumber: Newsletter ”InfoAIDS” edisi No. 5/Maret 2009]
28 September 2017
Sejak Reformasi Prostitusi Terselubung
Oleh: Syaiful W. Harahap
"Kawasan Prostitusi Terselubung di Kota Serang" (Harian “Radar Banten”, 13 April 2009). Judul berita ini ‘provokatif’ karena mengesankan ada ‘pembiaran’ dari Pemkot Serang terhadap pelacuran. Semula peserta “Pelatihan bagi Jurnalis dalam Peliputan HIV/AIDS” yang digelar oleh KPA Prov. Banten, Forum Diskusi Wartawan Harian (FDWH) Banten, dan MRO KPAP DKI Jakarta/HCPI di Serang (10-11 April 2009) diminta untuk mendeskripsikan perilaku berisiko, dalam hal ini terkait dengan hubungan seks.
Tapi, ketika mereka ‘diterjunkan’ di tempat-tempat yang sering dijadikan ajang ‘transaksi seks’ yang terjadi justru ‘kekagetan’ melihat realitas di depan mereka. Bahkan, ada yang terpaksa merokok untuk menghadapi pekerja seks yang mereka jumpai.
Laporan yang disampaikan pada acara diskusi esok harinya sama sekali jauh dari deskripsi realitas tapi menggunakan kata-kata normatif serta sensasional. Misalnya, menor, agresif, dll. Ini mengesankan hanya pekerja seks yang menor atau agresif. Lagi pula mereka tidak mendeskripsikan seperti apa pekerja seks yang mereka sebut menor dan agresif itu.
Penggunaan kata kawasan terhadap tempat pekerja seks itu mangkal tidak tepat karena kata ini mengesankan suatu daerah yang luas, seperti lokaliasi. Kawasan adalah bagian-bagian yang satu sama lain saling berhubungan, seperti kawasan industri.
Secara de jure tidak ada negara yang mengizinkan pelacuran, tapi kegiatannya dilokalisir. Cara ini akan mencegah penyebaran penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks, disebut infeksi menular seksual/IMS, seperti sifilis, GO, herpes, virus hepatitis B, dan HIV ke masyarakat karena kesehatan pekerja seks dan pemakaian kondom dapat dikontrol.
Seorang aktivis LSM di Bali yang mendampingi pekerja seks ‘dihajar’ seorang wartawan di harian yang terbit di Jakarta. “Mr X (pimpinan LSM tadi) melindungi pelacur.” Itulah kesimpulan berita di media cetak itu.
Apa pasal? Rupanya, LSM tadi setiap hari Jumat membawa pekerja seks ke kliniknya di Denpasar untuk pemeriksaan kesehatan rutin, tertutama yang terkait dengan IMS. Rupanya, inilah yang dilihat wartawan tadi sebagai kegiatan yang melindungi pelacur.
Padahal, yang dilakukan LSM tadi justru melindungi masyarakat, khusunya perempuan, agar tidak tertular IMS. Soalnya, laki-laki yang menjadi pelanggan pekerja seks akan menjadi jembatan penyebaran IMS dan HIV dari pekerja seks ke istri atau pasangan seks mereka. Pemeriksaan rutin akan menurunkan insiden IMS dan HIV di kalangan pekerja seks.
Terkait dengan perlindungan terhadap masyarakat itu pulalah yang diharapkan bisa diperoleh peserta pelatihan. Tapi, mereka rupanya lebih tertarik mengorek keterangan yang sudah merupakan streotip yaitu konsepsi normatif tentang sifat suatu kalangan tertentu berdasarkan prasangka yang subjektif.
Coba simak pernyataan dalam berita itu “Janda beranak dua ini beralasan, memilih menggeluti kehidupan malam demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Selain tak memiliki keterampilan lain, ia juga tak bisa berganti pekerjaan karena sulitnya mendapatkan penghasilan dari pekerjaan lain. Apalagi dengan usianya yang hampir berkepala empat dan berpendidikan setingkat SLTP.” Di mana pun, kapan pun, dan siapa pun pekerja seks yang ditanya, maka jawaban yang muncul akan sama seperti itu.
Yang diharapkan dari kunjungan lapangan itu justru wartawan bisa ‘memotret’ perilaku berisiko dengan panca indera mereka dalam bentuk diskripsi. Sebelum mereka ke lapangan sudah ada diskusi, tapi sebagian besar justu memotretnya dengan ‘kamera moral’.
Sama sekali tidak ada realitas tentang laki-laki yang menjadi pelanggan pekerja seks itu. Ini terkait dengan risiko penularan IMS dan HIV di masyarakat, terutama kaum ibu, dari suami-suami mereka. Dengan menggambarkan, tentu saja berdasarkan fakta empiris, siapa saja pelanggan pekerja seks itu akan muncul fakta terkait dengan risiko tertular IMS dan HIV di kalangan perempuan, khususnya ibu rumah tangga (istri).
Dukungan data yang diharapkan adalah upaya atau cara pekerja seks untuk melindungi diri mereka agar tidak tertular IMS dan HIV. Ini dapat dilihat dari penjualan kondom di sekitar lokasi atau wawancara dengan pekerja seks dan pelanggannya.
Di kalangan laki-laki ‘hidung belang’ selama ini ada anggapan bahwa pil antibiotik dosis tinggi dapat mencegah penularan IMS dan HIV. Untuk itu perlu dilihat tingkat penjualan antibiotik di sekitar lokasi
Untuk melihat fakta terkait dengan tingkat penggunana kondom maka digambarkan pemeriksaan IMS di praktek dokter, klinik, rumah sakit atau sarana kesehatan lain di sekitar lokasi. Selain itu ada pula data di klinik VCT untuk kasus HIV.
Penggambaran yang merupakan fakta empiris di realitas sosial akan meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap upaya melindungi diri. Dengan berita yang sensasional tidak ada harapan menggugah kepedulian masyarakat untuk melindungi diri agar tidak tertular IMS dan HIV atau dua-daunya sekaligus.
[Sumber: Newsletter ”InfoAIDS” edisi No. 7/Mei 2009]
"Kawasan Prostitusi Terselubung di Kota Serang" (Harian “Radar Banten”, 13 April 2009). Judul berita ini ‘provokatif’ karena mengesankan ada ‘pembiaran’ dari Pemkot Serang terhadap pelacuran. Semula peserta “Pelatihan bagi Jurnalis dalam Peliputan HIV/AIDS” yang digelar oleh KPA Prov. Banten, Forum Diskusi Wartawan Harian (FDWH) Banten, dan MRO KPAP DKI Jakarta/HCPI di Serang (10-11 April 2009) diminta untuk mendeskripsikan perilaku berisiko, dalam hal ini terkait dengan hubungan seks.
Tapi, ketika mereka ‘diterjunkan’ di tempat-tempat yang sering dijadikan ajang ‘transaksi seks’ yang terjadi justru ‘kekagetan’ melihat realitas di depan mereka. Bahkan, ada yang terpaksa merokok untuk menghadapi pekerja seks yang mereka jumpai.
Laporan yang disampaikan pada acara diskusi esok harinya sama sekali jauh dari deskripsi realitas tapi menggunakan kata-kata normatif serta sensasional. Misalnya, menor, agresif, dll. Ini mengesankan hanya pekerja seks yang menor atau agresif. Lagi pula mereka tidak mendeskripsikan seperti apa pekerja seks yang mereka sebut menor dan agresif itu.
Penggunaan kata kawasan terhadap tempat pekerja seks itu mangkal tidak tepat karena kata ini mengesankan suatu daerah yang luas, seperti lokaliasi. Kawasan adalah bagian-bagian yang satu sama lain saling berhubungan, seperti kawasan industri.
Secara de jure tidak ada negara yang mengizinkan pelacuran, tapi kegiatannya dilokalisir. Cara ini akan mencegah penyebaran penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks, disebut infeksi menular seksual/IMS, seperti sifilis, GO, herpes, virus hepatitis B, dan HIV ke masyarakat karena kesehatan pekerja seks dan pemakaian kondom dapat dikontrol.
Seorang aktivis LSM di Bali yang mendampingi pekerja seks ‘dihajar’ seorang wartawan di harian yang terbit di Jakarta. “Mr X (pimpinan LSM tadi) melindungi pelacur.” Itulah kesimpulan berita di media cetak itu.
Apa pasal? Rupanya, LSM tadi setiap hari Jumat membawa pekerja seks ke kliniknya di Denpasar untuk pemeriksaan kesehatan rutin, tertutama yang terkait dengan IMS. Rupanya, inilah yang dilihat wartawan tadi sebagai kegiatan yang melindungi pelacur.
Padahal, yang dilakukan LSM tadi justru melindungi masyarakat, khusunya perempuan, agar tidak tertular IMS. Soalnya, laki-laki yang menjadi pelanggan pekerja seks akan menjadi jembatan penyebaran IMS dan HIV dari pekerja seks ke istri atau pasangan seks mereka. Pemeriksaan rutin akan menurunkan insiden IMS dan HIV di kalangan pekerja seks.
Terkait dengan perlindungan terhadap masyarakat itu pulalah yang diharapkan bisa diperoleh peserta pelatihan. Tapi, mereka rupanya lebih tertarik mengorek keterangan yang sudah merupakan streotip yaitu konsepsi normatif tentang sifat suatu kalangan tertentu berdasarkan prasangka yang subjektif.
Coba simak pernyataan dalam berita itu “Janda beranak dua ini beralasan, memilih menggeluti kehidupan malam demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Selain tak memiliki keterampilan lain, ia juga tak bisa berganti pekerjaan karena sulitnya mendapatkan penghasilan dari pekerjaan lain. Apalagi dengan usianya yang hampir berkepala empat dan berpendidikan setingkat SLTP.” Di mana pun, kapan pun, dan siapa pun pekerja seks yang ditanya, maka jawaban yang muncul akan sama seperti itu.
Yang diharapkan dari kunjungan lapangan itu justru wartawan bisa ‘memotret’ perilaku berisiko dengan panca indera mereka dalam bentuk diskripsi. Sebelum mereka ke lapangan sudah ada diskusi, tapi sebagian besar justu memotretnya dengan ‘kamera moral’.
Sama sekali tidak ada realitas tentang laki-laki yang menjadi pelanggan pekerja seks itu. Ini terkait dengan risiko penularan IMS dan HIV di masyarakat, terutama kaum ibu, dari suami-suami mereka. Dengan menggambarkan, tentu saja berdasarkan fakta empiris, siapa saja pelanggan pekerja seks itu akan muncul fakta terkait dengan risiko tertular IMS dan HIV di kalangan perempuan, khususnya ibu rumah tangga (istri).
Dukungan data yang diharapkan adalah upaya atau cara pekerja seks untuk melindungi diri mereka agar tidak tertular IMS dan HIV. Ini dapat dilihat dari penjualan kondom di sekitar lokasi atau wawancara dengan pekerja seks dan pelanggannya.
Di kalangan laki-laki ‘hidung belang’ selama ini ada anggapan bahwa pil antibiotik dosis tinggi dapat mencegah penularan IMS dan HIV. Untuk itu perlu dilihat tingkat penjualan antibiotik di sekitar lokasi
Untuk melihat fakta terkait dengan tingkat penggunana kondom maka digambarkan pemeriksaan IMS di praktek dokter, klinik, rumah sakit atau sarana kesehatan lain di sekitar lokasi. Selain itu ada pula data di klinik VCT untuk kasus HIV.
Penggambaran yang merupakan fakta empiris di realitas sosial akan meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap upaya melindungi diri. Dengan berita yang sensasional tidak ada harapan menggugah kepedulian masyarakat untuk melindungi diri agar tidak tertular IMS dan HIV atau dua-daunya sekaligus.
[Sumber: Newsletter ”InfoAIDS” edisi No. 7/Mei 2009]
Sia-sia, Tes HIV sebelum Menikah
Oleh: Syaiful W. Harahap
Berita "Calon Pengantin Perlu Tes Uji HIV/AIDS” di Harian “Suara Merdeka” (16/4-2009) menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis. Dengan pengesahan Perda AIDS Jateng ini maka sampai saat ini sudah ada 22 Perda Penanggulangan AIDS di tingkat kabupaten, kota, dan provinsi di seluruh Indonesia. Tapi, semua perda itu hanya mengedepankan moral sebagai cara menanggulangi epidemi HIV sehingga tidak menawarkan upaya penanggulangan yang realistis.
Walaupun HIV/AIDS sudah dikenal sejak 28 tahun yang lalu, tapi pemahaman terhadap HIV/AIDS tetap saja tidak akurat. Ini tampak jelas dalam perda-perda penanggulangan AIDS yang tidak menyentuh akar persoalan pandemi HIV. Pembuatan perda AIDS di Indonesia ’diilhami’ oleh keberhasilan Thailand dalam menurunkan insiden infeksi HIV baru di kalangan dewasa melalui program ’wajib kondom 100 persen’.
Namun, perda hanya mengekor karena program ’wajib kondom 100 persen’ di Thailand merupakan urutan terakhir dari serangkaian program terpadu yang berkeseinambungan. Dimulai dari pendidikan masyarakat tentang cara-cara pencegahan HIV melalui media massa, pendidikan sebaya, sampai ke program tadi. Tapi, penanggulangan yang diterapkan di Indonesia hanya ekor dari program terpadu di Thailand.
Berita "Calon Pengantin Perlu Tes Uji HIV/AIDS” di Harian “Suara Merdeka” (16/4-2009) menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis. Dengan pengesahan Perda AIDS Jateng ini maka sampai saat ini sudah ada 22 Perda Penanggulangan AIDS di tingkat kabupaten, kota, dan provinsi di seluruh Indonesia. Tapi, semua perda itu hanya mengedepankan moral sebagai cara menanggulangi epidemi HIV sehingga tidak menawarkan upaya penanggulangan yang realistis.
Walaupun HIV/AIDS sudah dikenal sejak 28 tahun yang lalu, tapi pemahaman terhadap HIV/AIDS tetap saja tidak akurat. Ini tampak jelas dalam perda-perda penanggulangan AIDS yang tidak menyentuh akar persoalan pandemi HIV. Pembuatan perda AIDS di Indonesia ’diilhami’ oleh keberhasilan Thailand dalam menurunkan insiden infeksi HIV baru di kalangan dewasa melalui program ’wajib kondom 100 persen’.
Namun, perda hanya mengekor karena program ’wajib kondom 100 persen’ di Thailand merupakan urutan terakhir dari serangkaian program terpadu yang berkeseinambungan. Dimulai dari pendidikan masyarakat tentang cara-cara pencegahan HIV melalui media massa, pendidikan sebaya, sampai ke program tadi. Tapi, penanggulangan yang diterapkan di Indonesia hanya ekor dari program terpadu di Thailand.
Perilaku Berisiko
Maka, tidak mengherankan kalau kemudian perda-perda AIDS yang ada di negeri ini pun tidak jalan. Lihat saja Perda AIDS Prov. Riau yang menyebutkan HIV dapat dicegah melalui peningkatan ’iman dan taqwa’. Siapa dan bagaimana mengukur iman dan taqwa yang bisa mencegah penularan HIV? Lagi pula tidak ada kaitan langsung antara iman dan taqwa dengan penularan HIV. Selain itu hal ini pun akan menyuburkan stigma (cap buruk) dan diksriminasi (perlakukan berbeda) terhadap orang-orang yang tertular HIV karena menggiring pendapat bawah mereka tertular HIV karena tidak beriman dan tidak bertaqwa.
Pada Perda Penanggulangan HIV/AIDS Jateng, misalnya, pasal 10 ayat 6 menyebutkan tes HIV bagi calon pengantin atau pasangan yang berisiko tinggi yang akanmenikah. Cara ini dikatakan sebagai langkah pencegahan HIV/AIDS di Jateng.
Siapa, sih, yang disebut berisiko tinggi? Selama ini ada salah kaprah karena yang dikategorikan sebagai orang yang berisiko tinggi tertular HIV adalah kalangan atau kelompok yaitu pekerja seks komersial (PSK) dan pelanggannya, waria dan homoseksual serta orang-orang yang melakukan zina atau melacur. Risiko tertular atau menularkan HIV bukan pada kalangan atau kelompok tapi terletak pada perilaku seks orang per orang.
Mereka yang berisiko tinggi tertular HIV adalah laki-laki atau perempuan yang pernah atau sering: (a) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti di wilayah Jateng, di luar Jateng atau di luar negeri, (b) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan di wilayah Jateng, di luar Jateng atau di luar negeri, (c) memakai jarum suntik secara bergantian, (d) menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan (e) menerima transplantasi organ tubuh yang tidak diskrining HIV.
Dalam berita disebutkan pula bahwa anggota Pansus Raperda HIV/AIDS, Tontowi Jauhari, untuk mendorong masyarakat bersedia melakukan VCT, politikus PAN itu menyarankan gubernur memberi contoh dengan bersedia melakukan tes HIV. “Saya yakin hasilnya akan negative.” Ini menyesatkan karena tes HIV bisa menghasilkan positif palsu (darah tidak mengandung HIV tapi terdeteksi positif) atau negatif palsu (darah mengandung HIV tapi tidak terdeteksi). Apa yang akan terjadi jika tes HIV terhadap gubernur hasilnya positif (palsu)?
Masa Jendela
Dengan menyebutkan ’mendorong masyarakat untuk melakukan VCT’ mengesankan bahwa HIV menyebar di masyarakat. Ini menyesatkan karena HIV tidak menular melalui kegiatan sosial atau pergaulan sehari-hari. Lagi-lagi ini menunjukkan pemahaman yang tidak akurat. Yang harus menjalani tes HIV adalah orang-orang yang perilakunya berisiko tertular HIV. Maka, yang didorong melakukan tes HIV bukan masyarakat, kalangan atau kelompok tertentu tapi hanya orang-orang yang pernah melakukan perilaku berisiko tertular HIV.
Terkait dengan tes HIV perlu diperhatikan masa jendela yaitu rentang waktu antara tertular HIV dengan pembentukan antibodi HIV (lihat gambar). Tes HIV bukan mencari virus (HIV) dalam darah tapi antibbodi HIV. Maka, jika tes HIV dilakukan pada rentang waktu ini maka tes belum bisa mendeteksi antibodi. Hasilnya pun HIV negatif, tapi negatif palsu karena virus (HIV) sudah ada dalam darah tapi tidak terdeteksi.
Skirining HIV di PMI pun tidak akurat karena kalau ada donor yang menyumbangkan darahnya pada masa jendela maka skrining terhadap darah donor bisa menghasilkan negatif palsu. Salah satu langkah untuk mencegah donor menyumbangkan darah pada masa jendela adalah dengan pertanyaan: “Kapan Anda terakhir melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan?” Kalau jawabannya di bawah tiga bulan maka donor ini ditolak.
Celakanya, pertanyaan di PMI ketika hendak mendonorkan darah justru menyuburkan mitos yaitu “Kapan Anda terakhir ke luar negeri?” Tidak ada kaitan langsung antara ke luar negeri dengan penularan HIV karena orang-orang yang tertular HIV tidak hanya terjadi di luar negeri tapi juga banyak yang terjadi di dalam negeri. Selain itu kegiatan keagamaan ke luar negeri pun di PMI tidak diketegorikan sebagai ke luar negeri.
Karena HIV/AIDS sudah ada di masyarakat maka salah satu langkah konkret yang dapat dilakukan untuk menanggulangi epidemi HIV di Jateng khususnya dan di Indonesia dan dunia umumnya, termasuk dalam perda, adalah dengan mewajibkan setiap orang untuk memakai kondom pada hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, yang berisiko tertular HIV di Jateng, luar Jateng atau luar negeri. Selanjutnya diwajibkan pula kepada orang-orang yang sudah pernah atau sering melakukan hubungan seks berisiko untuk menjalani tes HIV secara sukarela.
Kian banyak kasus HIV yang terdeteksi maka semakin banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputuskan.
[Sumber: Newsletter ”InfoAIDS” edisi No. 7/Mei 2009]
Maka, tidak mengherankan kalau kemudian perda-perda AIDS yang ada di negeri ini pun tidak jalan. Lihat saja Perda AIDS Prov. Riau yang menyebutkan HIV dapat dicegah melalui peningkatan ’iman dan taqwa’. Siapa dan bagaimana mengukur iman dan taqwa yang bisa mencegah penularan HIV? Lagi pula tidak ada kaitan langsung antara iman dan taqwa dengan penularan HIV. Selain itu hal ini pun akan menyuburkan stigma (cap buruk) dan diksriminasi (perlakukan berbeda) terhadap orang-orang yang tertular HIV karena menggiring pendapat bawah mereka tertular HIV karena tidak beriman dan tidak bertaqwa.
Pada Perda Penanggulangan HIV/AIDS Jateng, misalnya, pasal 10 ayat 6 menyebutkan tes HIV bagi calon pengantin atau pasangan yang berisiko tinggi yang akanmenikah. Cara ini dikatakan sebagai langkah pencegahan HIV/AIDS di Jateng.
Siapa, sih, yang disebut berisiko tinggi? Selama ini ada salah kaprah karena yang dikategorikan sebagai orang yang berisiko tinggi tertular HIV adalah kalangan atau kelompok yaitu pekerja seks komersial (PSK) dan pelanggannya, waria dan homoseksual serta orang-orang yang melakukan zina atau melacur. Risiko tertular atau menularkan HIV bukan pada kalangan atau kelompok tapi terletak pada perilaku seks orang per orang.
Mereka yang berisiko tinggi tertular HIV adalah laki-laki atau perempuan yang pernah atau sering: (a) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti di wilayah Jateng, di luar Jateng atau di luar negeri, (b) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan di wilayah Jateng, di luar Jateng atau di luar negeri, (c) memakai jarum suntik secara bergantian, (d) menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan (e) menerima transplantasi organ tubuh yang tidak diskrining HIV.
Dalam berita disebutkan pula bahwa anggota Pansus Raperda HIV/AIDS, Tontowi Jauhari, untuk mendorong masyarakat bersedia melakukan VCT, politikus PAN itu menyarankan gubernur memberi contoh dengan bersedia melakukan tes HIV. “Saya yakin hasilnya akan negative.” Ini menyesatkan karena tes HIV bisa menghasilkan positif palsu (darah tidak mengandung HIV tapi terdeteksi positif) atau negatif palsu (darah mengandung HIV tapi tidak terdeteksi). Apa yang akan terjadi jika tes HIV terhadap gubernur hasilnya positif (palsu)?
Masa Jendela
Dengan menyebutkan ’mendorong masyarakat untuk melakukan VCT’ mengesankan bahwa HIV menyebar di masyarakat. Ini menyesatkan karena HIV tidak menular melalui kegiatan sosial atau pergaulan sehari-hari. Lagi-lagi ini menunjukkan pemahaman yang tidak akurat. Yang harus menjalani tes HIV adalah orang-orang yang perilakunya berisiko tertular HIV. Maka, yang didorong melakukan tes HIV bukan masyarakat, kalangan atau kelompok tertentu tapi hanya orang-orang yang pernah melakukan perilaku berisiko tertular HIV.
Terkait dengan tes HIV perlu diperhatikan masa jendela yaitu rentang waktu antara tertular HIV dengan pembentukan antibodi HIV (lihat gambar). Tes HIV bukan mencari virus (HIV) dalam darah tapi antibbodi HIV. Maka, jika tes HIV dilakukan pada rentang waktu ini maka tes belum bisa mendeteksi antibodi. Hasilnya pun HIV negatif, tapi negatif palsu karena virus (HIV) sudah ada dalam darah tapi tidak terdeteksi.
Skirining HIV di PMI pun tidak akurat karena kalau ada donor yang menyumbangkan darahnya pada masa jendela maka skrining terhadap darah donor bisa menghasilkan negatif palsu. Salah satu langkah untuk mencegah donor menyumbangkan darah pada masa jendela adalah dengan pertanyaan: “Kapan Anda terakhir melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan?” Kalau jawabannya di bawah tiga bulan maka donor ini ditolak.
Celakanya, pertanyaan di PMI ketika hendak mendonorkan darah justru menyuburkan mitos yaitu “Kapan Anda terakhir ke luar negeri?” Tidak ada kaitan langsung antara ke luar negeri dengan penularan HIV karena orang-orang yang tertular HIV tidak hanya terjadi di luar negeri tapi juga banyak yang terjadi di dalam negeri. Selain itu kegiatan keagamaan ke luar negeri pun di PMI tidak diketegorikan sebagai ke luar negeri.
Karena HIV/AIDS sudah ada di masyarakat maka salah satu langkah konkret yang dapat dilakukan untuk menanggulangi epidemi HIV di Jateng khususnya dan di Indonesia dan dunia umumnya, termasuk dalam perda, adalah dengan mewajibkan setiap orang untuk memakai kondom pada hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, yang berisiko tertular HIV di Jateng, luar Jateng atau luar negeri. Selanjutnya diwajibkan pula kepada orang-orang yang sudah pernah atau sering melakukan hubungan seks berisiko untuk menjalani tes HIV secara sukarela.
Kian banyak kasus HIV yang terdeteksi maka semakin banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputuskan.
[Sumber: Newsletter ”InfoAIDS” edisi No. 7/Mei 2009]
Gay Tidak Bisa Dikenal dari Fisik
Oleh: Syaiful W. Harahap
"MUI Berencana Kumpulkan Gay: (Harian “Jawa Pos”, 29 April 2009). Secara kasat mata kalangan homoseksual (gay pada laki-laki dan lesbian pada perempuan) yaitu orang-orang dengan orientasi seks sesama jenis tidak bisa dikenali. Mereka ini dikenali ketika mereka menyatakan dirinya sebagai homoseksual.
Disebutkan tujuan mengumpulkan ‘lelaki penyuka lelaki’ itu untuk memberikan pembinaan dan pencerahan agar mereka ‘kembali ke jalan yang benar’. Ini bertolak dari norma karena sudut pandang yang normatif. Yang normal adalah heteroseksual (laki-laki suka perempuan atau sebaliknya).
Padahal, dalam kenyataannya banyak variasi. Penelitian di Surabaya menunjukkan banyak suami yang melakukan hubungan seks dengan waria. Ini mereka sebut tidak mengingkari cinta karena tidak dilakukan dengan perempuan.
Begitu pula dengan perempuan yang berteman dengan waria tidak digunjingkan karena ada anggapan waria selalu berperan sebagai perempuan. Padahal, waria tetap bisa sebagai laki-laki.
Dalam kaitan epidemi HIV yang menjadi masalah besar adalah laki-laki heteroseksual yang menjadi biseksual karena mereka merupakan jembatan penyebaran HIV dalam kalangan berisiko ke rumah tangga.
Yang dikhawatirkan adalah ada anggapan bahwa waria merupakan gay karena yang banyak tampak di tempat umum adalah waria. Ini menyesatkan.
Disebutkan “ .... seorang lelaki menjadi gay karena penyakit mental.” Ini tidak akurat karena dalam kontek hubungan seks semua orientasi seks merupakan bagian dari kehidupan. Orientasi seks yang dianggap tidak normal karena kaca mata yang dipakai adalah norma. Celakanya, norma hanya dipakai untuk seks. Sedangkan untuk perilaku yang merugikan orang lain, seperti mencuri, merampok, memperkosa, mendholimi rakyat, korupsi, dll. tidak dikaitkan dengan moral.
Disebutkan pula bahwa fenomena gay merupakan akibat buruk dari sistem demokrasi dan kapitalisme. Ini tidak akurat karena orientasi seks suka sesama jenis sudah ada sejak zaman Nabi Luth. Di negara-negara yang menerapkan kitab suci agama sebagai UUD pun tetap saja ada orientasi seks suka sesama jenis.
\
Karena kasus HIV/AIDS di Kabupaten dan Kota Tasikmalaya terus terdeteksi maka yang perlu mendapat pencerahan adalah orang-orang yang sering melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti satau dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan agar mereka selalu memakai kondom.
[Sumber: Newsletter ”InfoAIDS” edisi No. 7/Mei 2009]
"MUI Berencana Kumpulkan Gay: (Harian “Jawa Pos”, 29 April 2009). Secara kasat mata kalangan homoseksual (gay pada laki-laki dan lesbian pada perempuan) yaitu orang-orang dengan orientasi seks sesama jenis tidak bisa dikenali. Mereka ini dikenali ketika mereka menyatakan dirinya sebagai homoseksual.
Disebutkan tujuan mengumpulkan ‘lelaki penyuka lelaki’ itu untuk memberikan pembinaan dan pencerahan agar mereka ‘kembali ke jalan yang benar’. Ini bertolak dari norma karena sudut pandang yang normatif. Yang normal adalah heteroseksual (laki-laki suka perempuan atau sebaliknya).
Padahal, dalam kenyataannya banyak variasi. Penelitian di Surabaya menunjukkan banyak suami yang melakukan hubungan seks dengan waria. Ini mereka sebut tidak mengingkari cinta karena tidak dilakukan dengan perempuan.
Begitu pula dengan perempuan yang berteman dengan waria tidak digunjingkan karena ada anggapan waria selalu berperan sebagai perempuan. Padahal, waria tetap bisa sebagai laki-laki.
Dalam kaitan epidemi HIV yang menjadi masalah besar adalah laki-laki heteroseksual yang menjadi biseksual karena mereka merupakan jembatan penyebaran HIV dalam kalangan berisiko ke rumah tangga.
Yang dikhawatirkan adalah ada anggapan bahwa waria merupakan gay karena yang banyak tampak di tempat umum adalah waria. Ini menyesatkan.
Disebutkan “ .... seorang lelaki menjadi gay karena penyakit mental.” Ini tidak akurat karena dalam kontek hubungan seks semua orientasi seks merupakan bagian dari kehidupan. Orientasi seks yang dianggap tidak normal karena kaca mata yang dipakai adalah norma. Celakanya, norma hanya dipakai untuk seks. Sedangkan untuk perilaku yang merugikan orang lain, seperti mencuri, merampok, memperkosa, mendholimi rakyat, korupsi, dll. tidak dikaitkan dengan moral.
Disebutkan pula bahwa fenomena gay merupakan akibat buruk dari sistem demokrasi dan kapitalisme. Ini tidak akurat karena orientasi seks suka sesama jenis sudah ada sejak zaman Nabi Luth. Di negara-negara yang menerapkan kitab suci agama sebagai UUD pun tetap saja ada orientasi seks suka sesama jenis.
\
Karena kasus HIV/AIDS di Kabupaten dan Kota Tasikmalaya terus terdeteksi maka yang perlu mendapat pencerahan adalah orang-orang yang sering melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti satau dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan agar mereka selalu memakai kondom.
[Sumber: Newsletter ”InfoAIDS” edisi No. 7/Mei 2009]
Risiko Tertular HIV Bukan Karena Suka 'Nembak' di Luar
Oleh: Syaiful W. Harahap
"Suami Suka 'Nembak' di Luar, Anak Istri Terkana HIV/AIDS" (Kompas Online, 13 April 2009). Judul berita ini bombastis dan sensasional dan mengandung mitos (anggapan yang salah). Dalam berita pun ada beberapa hal yang tidak akurat sehingga masyarakat tidak menangkap fakta medis tentang HIV/AIDS.
Padahal, dalam upaya menanggulangi epidemi HIV yang diperlukan adalah pemahaman yang akurat terhadap cara-cara penularan dan pencegahan HIV.
Jika makna “Suami Suka ‘Nembak’ di Luar” adalah hubungan seks di luar nikah, seperti zina, melacur, dll. maka ini mitos karena tidak ada kaitan langsung antara zina dan melacur dengan penularan HIV. Seseorang (bisa) tertular HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah jika pasangannya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks.
Karena HIV bisa menular di dalam atau maka risiko tertular HIV pada laki-laki yang sering berganti-ganti pasangan melalui kawin-cerai. Kegiatan ini juga termasuk sebagai perilaku berisiko tinggi tertular HIV karena laki-laki dan perempuan yang kawin-cerai termasuk kegiatan berganti-ganti pasangan.
Dalam berita disebutkan “ .... saat ini balita dan 10 ibu rumah tangga yang tertular HIV terus diawasi karena bisa menularkannya kepada keluarga dan orang lain.” Pernyataan ini menyesatkan karena HIV tidak menular melalui pergaulan sehari-hari. Ini juga mendorong stigmatisasi (pemberia cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap Odha (Orang yang Hidup dengan HIV/AIDS). Selain itu pernyataan ini pun bias gender karena hanya menohok perempuan (ibu rumah tangga).
Terkait dengan ibu-ibu rumah tangga yang terdeteksi HIV-positif maka yang perlu ‘diawasi’ justru suami-suami mereka. Soalnya, 10 laki-laki suami ibu-ibu rumah tangga yang HIV-positif tadi menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Mereka akan menularkan HIV kepada perempuan lain, seperti istri kedua, ketiga dan seterusnya, selingkuhan, pacar, dan pekerja seks. Tapi, hal ini sering luput dari perhatian.
Di bagian lain disebutkan pula “ .... pihaknya meminta kepada ibu rumah tangga yang positif HIV/AIDS jika ingin melahirkan terlebih dulu berkonsultasi dengan petugas.” Persoalan besar dalam epidemi HIV adalah banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik sebelum masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular HIV). Apalagi ibu-ibu rumah tangga yang setia pada suaminya tentu tidak menyadari dirinya berisiko.
Hal itu terjadi karena selama ini materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS selalu dibalut denan norma, moral, dan agama sehingga yang muncul hanya mitos. Lihat saja judul berita ini yang menggiring masyarakat bahwa zina menjadi penyebab HIV/AIDS. Padahal, hubungan seks pada ganti-ganti pasangan melalui kawin-cerai juga merupakan kegiatan yang berisiko tertular HIV karena laki-laki dan perempuan sudah mempunyai pasangan sebelumnya.
Ada pula pernyataan “ .... Sebagian besar penularan HIV/AIDS disebabkan jarum suntik, narkoba, ....” Ini juga tidak akurat karena risiko penularan melalui jarum suntik pada pengguna narkoba bisa terjadi kalau jarum suntik mereka pakai bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian. Nah, kalau ada di antara mereka yang HIV-positif maka yang lain berisiko tertular HIV.
Disebutkan pula “ .... pihaknya menyarankan kepada laki-laki untuk menggunakan kondom karena kondom bisa mencegah risiko penularan HIV/AIDS.” Pertanyannya adalah: kapan seseorang harus memakai kondom untuk melindungi diri agar tidak tertular HIV? Seseorang harus memakai kondom untuk mencegah HIV adalah jika hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.
[Sumber: Newsletter ”InfoAIDS” edisi No. 7/Mei 2009]
"Suami Suka 'Nembak' di Luar, Anak Istri Terkana HIV/AIDS" (Kompas Online, 13 April 2009). Judul berita ini bombastis dan sensasional dan mengandung mitos (anggapan yang salah). Dalam berita pun ada beberapa hal yang tidak akurat sehingga masyarakat tidak menangkap fakta medis tentang HIV/AIDS.
Padahal, dalam upaya menanggulangi epidemi HIV yang diperlukan adalah pemahaman yang akurat terhadap cara-cara penularan dan pencegahan HIV.
Jika makna “Suami Suka ‘Nembak’ di Luar” adalah hubungan seks di luar nikah, seperti zina, melacur, dll. maka ini mitos karena tidak ada kaitan langsung antara zina dan melacur dengan penularan HIV. Seseorang (bisa) tertular HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah jika pasangannya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks.
Karena HIV bisa menular di dalam atau maka risiko tertular HIV pada laki-laki yang sering berganti-ganti pasangan melalui kawin-cerai. Kegiatan ini juga termasuk sebagai perilaku berisiko tinggi tertular HIV karena laki-laki dan perempuan yang kawin-cerai termasuk kegiatan berganti-ganti pasangan.
Dalam berita disebutkan “ .... saat ini balita dan 10 ibu rumah tangga yang tertular HIV terus diawasi karena bisa menularkannya kepada keluarga dan orang lain.” Pernyataan ini menyesatkan karena HIV tidak menular melalui pergaulan sehari-hari. Ini juga mendorong stigmatisasi (pemberia cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap Odha (Orang yang Hidup dengan HIV/AIDS). Selain itu pernyataan ini pun bias gender karena hanya menohok perempuan (ibu rumah tangga).
Terkait dengan ibu-ibu rumah tangga yang terdeteksi HIV-positif maka yang perlu ‘diawasi’ justru suami-suami mereka. Soalnya, 10 laki-laki suami ibu-ibu rumah tangga yang HIV-positif tadi menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Mereka akan menularkan HIV kepada perempuan lain, seperti istri kedua, ketiga dan seterusnya, selingkuhan, pacar, dan pekerja seks. Tapi, hal ini sering luput dari perhatian.
Di bagian lain disebutkan pula “ .... pihaknya meminta kepada ibu rumah tangga yang positif HIV/AIDS jika ingin melahirkan terlebih dulu berkonsultasi dengan petugas.” Persoalan besar dalam epidemi HIV adalah banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik sebelum masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular HIV). Apalagi ibu-ibu rumah tangga yang setia pada suaminya tentu tidak menyadari dirinya berisiko.
Hal itu terjadi karena selama ini materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS selalu dibalut denan norma, moral, dan agama sehingga yang muncul hanya mitos. Lihat saja judul berita ini yang menggiring masyarakat bahwa zina menjadi penyebab HIV/AIDS. Padahal, hubungan seks pada ganti-ganti pasangan melalui kawin-cerai juga merupakan kegiatan yang berisiko tertular HIV karena laki-laki dan perempuan sudah mempunyai pasangan sebelumnya.
Ada pula pernyataan “ .... Sebagian besar penularan HIV/AIDS disebabkan jarum suntik, narkoba, ....” Ini juga tidak akurat karena risiko penularan melalui jarum suntik pada pengguna narkoba bisa terjadi kalau jarum suntik mereka pakai bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian. Nah, kalau ada di antara mereka yang HIV-positif maka yang lain berisiko tertular HIV.
Disebutkan pula “ .... pihaknya menyarankan kepada laki-laki untuk menggunakan kondom karena kondom bisa mencegah risiko penularan HIV/AIDS.” Pertanyannya adalah: kapan seseorang harus memakai kondom untuk melindungi diri agar tidak tertular HIV? Seseorang harus memakai kondom untuk mencegah HIV adalah jika hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.
[Sumber: Newsletter ”InfoAIDS” edisi No. 7/Mei 2009]
Sloga Narkoba yang Menyesatkan
Oleh: Syaiful W. Harahap
Biar pun terminologi (istilah) tentang narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) sudah berkembang, tapi di Tanah Air tetap saja terjadi penggunaan istilah yang rancu dan ngawur.
“Dunia Damai tanpa Narkoba”. “Daerah X Bebas Narkoba”. “Narkoba Kado dari Neraka”. “Narkoba Serbuk Setan”. “Narkoba Haram”. “Narkoba No, Sehat Yes”. Masih banyak semboyan yang dijumpai di berbagai tempat.
Kalau ditelaah semboyan ini tidak nalar. Tidak ada zat yang haram (sesuai dengan kaidah agama Islam) di dalam semua jenis narkoba. Secara eksplisit yang diharamkan adalah minuman atau makanan yang mengandung alkohol dan daging babi. Ganja, misalnya, adalah jenis daun tanaman. Tidak ada daun atau tanaman yang diharamkan.
Begitu pula dengan pengaitan setan dengan narkoba. Ini jelas tidak rasional karena tidak ada fakta empiris tentang perilaku di dunia persetanan apakah mereka juga memakai narkoba. Siapa tahu di dunia persetanan juga narkoba justru dilarang.
Begitu pula dengan penggunaan kata zat adiktif yang dikaitkan dengan narkoba. Teh, kopi dan rokok mengandung zat adiktif (kecanduan) tapi tidak termasuk sebagai narkotik dan psikotropika. Maka, istilah NAZA (narkotika dan zat adiktif) dan NAPZA (narkotika psikoktropika dan zat adiktif) tidak pas. Yang tepat adalah narkoba.
Ada pula semboyan yang dipajang dekat pos polisi di pintu tol Serang Timur: Narkoba Dapat Dicegah dengan Iman dan Taqwa. Ba-gaimana me-ngukur iman dan taqwa yang bisa mencegah penyalahgunaan narkoba? Ini pun mendorong masyarakat me-lakukan stig-matisasi (cap buruk) dan dis-kriminasi (per-lakuan yang berbeda) ter-hadap peng-guna narkoba.
Narkoba sendiri adalah obat. Maka, pe-makaian secara medis dibenarkan oleh hukum. Nah, kalau narkoba tidak ada tentulah akan menjadi persoalan besar bagi banyak orang yang harus menjalani operasi (pembedahan) untuk menyembuhkan penyakitnya. Orang-orang yang menjalani pembedahan di kamar operasi memakai morfin sebagai obat anestesi (dahulu dikenal sebagai obat bius).
Bayangkan, kalau narkoba tidak ada. Apakah orang-orang yang menjalani pembedahan harus diikat tangan dan kakinya serta disumpal mulutnya? Yang terjadi bukan kedamaian tapi kekacauan karena orang harus meregang nyawa di meja operasi karena tidak memakai narkoba sebagai obat anestesi (bius). Maka semboyan yang benar adalah “Dunia Damai tanpa PENYALAHGUNAAN Narkoba”.
Apakah kita masih ngotot mengatakan bahwa narkoba sebagai ‘kado dari neraka’? Secara medis narkoba terbukti sebagai obat. Yang salah adalah penggunaan narkoba di luar keperluan medis.
Di beberapa daerah selalu ada baliho yang bertuliskan “Daerah ‘X’ Bebas Narkoba”. Patut dipertanyakan bagaimana cara dokter melakukan pembedahan terhadap pasien yang harus menjalani operasi. Kalau saja semboyan itu ditulis dengan memakai nalar tentulah bunyinya akan lebih masuk akal sehat yaitu “Daerah ‘X’ Bebas Penyalahgunaan Narkoba”.
Di Kota Serang, Banten, banyak spanduk yang bertuliskan TEBAS NARKOBA - BANTEN BEBAS NARKOBA. Ini juga semboyan yang tidak bernalar karena narkoba harus ada di rumah sakit untuk keperluan operasi.
Kalau kelak di Prov Banten benar-benar tidak ada narkoba maka penduduk Banten yang akan menjalani operasi harus dibawa ke luar Banten atau ke luar negeri. Karena Indonesia juga sudah mengumandangkan akan bebas narkoba tahun 2015 maka penduduk Indonesia pun kelak harus digotong ke luar negeri jika hendak menjalani terapi dengan pembedahan. Maka semboyan yang benar adalah TEBAS NARKOBA - BANTEN BEBAS PENYALAHGUNAAN NARKOBA.
[Sumber: Newsletter “InfoAIDS” edisi No 3/Januari 2009]
Biar pun terminologi (istilah) tentang narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) sudah berkembang, tapi di Tanah Air tetap saja terjadi penggunaan istilah yang rancu dan ngawur.
“Dunia Damai tanpa Narkoba”. “Daerah X Bebas Narkoba”. “Narkoba Kado dari Neraka”. “Narkoba Serbuk Setan”. “Narkoba Haram”. “Narkoba No, Sehat Yes”. Masih banyak semboyan yang dijumpai di berbagai tempat.
Kalau ditelaah semboyan ini tidak nalar. Tidak ada zat yang haram (sesuai dengan kaidah agama Islam) di dalam semua jenis narkoba. Secara eksplisit yang diharamkan adalah minuman atau makanan yang mengandung alkohol dan daging babi. Ganja, misalnya, adalah jenis daun tanaman. Tidak ada daun atau tanaman yang diharamkan.
Begitu pula dengan pengaitan setan dengan narkoba. Ini jelas tidak rasional karena tidak ada fakta empiris tentang perilaku di dunia persetanan apakah mereka juga memakai narkoba. Siapa tahu di dunia persetanan juga narkoba justru dilarang.
Begitu pula dengan penggunaan kata zat adiktif yang dikaitkan dengan narkoba. Teh, kopi dan rokok mengandung zat adiktif (kecanduan) tapi tidak termasuk sebagai narkotik dan psikotropika. Maka, istilah NAZA (narkotika dan zat adiktif) dan NAPZA (narkotika psikoktropika dan zat adiktif) tidak pas. Yang tepat adalah narkoba.
Ada pula semboyan yang dipajang dekat pos polisi di pintu tol Serang Timur: Narkoba Dapat Dicegah dengan Iman dan Taqwa. Ba-gaimana me-ngukur iman dan taqwa yang bisa mencegah penyalahgunaan narkoba? Ini pun mendorong masyarakat me-lakukan stig-matisasi (cap buruk) dan dis-kriminasi (per-lakuan yang berbeda) ter-hadap peng-guna narkoba.
Narkoba sendiri adalah obat. Maka, pe-makaian secara medis dibenarkan oleh hukum. Nah, kalau narkoba tidak ada tentulah akan menjadi persoalan besar bagi banyak orang yang harus menjalani operasi (pembedahan) untuk menyembuhkan penyakitnya. Orang-orang yang menjalani pembedahan di kamar operasi memakai morfin sebagai obat anestesi (dahulu dikenal sebagai obat bius).
Bayangkan, kalau narkoba tidak ada. Apakah orang-orang yang menjalani pembedahan harus diikat tangan dan kakinya serta disumpal mulutnya? Yang terjadi bukan kedamaian tapi kekacauan karena orang harus meregang nyawa di meja operasi karena tidak memakai narkoba sebagai obat anestesi (bius). Maka semboyan yang benar adalah “Dunia Damai tanpa PENYALAHGUNAAN Narkoba”.
Apakah kita masih ngotot mengatakan bahwa narkoba sebagai ‘kado dari neraka’? Secara medis narkoba terbukti sebagai obat. Yang salah adalah penggunaan narkoba di luar keperluan medis.
Di beberapa daerah selalu ada baliho yang bertuliskan “Daerah ‘X’ Bebas Narkoba”. Patut dipertanyakan bagaimana cara dokter melakukan pembedahan terhadap pasien yang harus menjalani operasi. Kalau saja semboyan itu ditulis dengan memakai nalar tentulah bunyinya akan lebih masuk akal sehat yaitu “Daerah ‘X’ Bebas Penyalahgunaan Narkoba”.
Di Kota Serang, Banten, banyak spanduk yang bertuliskan TEBAS NARKOBA - BANTEN BEBAS NARKOBA. Ini juga semboyan yang tidak bernalar karena narkoba harus ada di rumah sakit untuk keperluan operasi.
Kalau kelak di Prov Banten benar-benar tidak ada narkoba maka penduduk Banten yang akan menjalani operasi harus dibawa ke luar Banten atau ke luar negeri. Karena Indonesia juga sudah mengumandangkan akan bebas narkoba tahun 2015 maka penduduk Indonesia pun kelak harus digotong ke luar negeri jika hendak menjalani terapi dengan pembedahan. Maka semboyan yang benar adalah TEBAS NARKOBA - BANTEN BEBAS PENYALAHGUNAAN NARKOBA.
[Sumber: Newsletter “InfoAIDS” edisi No 3/Januari 2009]
Survailans Tes HIV Bukan Untuk Mencari Kasus HIV/AIDS
Oleh: Syaiful W. Harahap
"200 Sopir Angkutan di Tasikmalaya Dites HIV" (“okezone.com”, 9 Desember 2008]). Berita ini tidak mengedepankan pemahanan terhadap standar prosedur operasi survailans tes HIV. Berita ini menunjukkan wartawan tidak memahami survailans tes HIV. Hal yang sama juga tampak jelas pada Ari Kusmara, Koordinator Harm Reduction KPA Kota Tasikmalaya, melalui pernyataannya yang dikutip wartawan yaitu “Jika hasilnya nanti ada yang positif, kami akan melakukan pemanggilan dan pendekatan lebih lanjut hingga melakukan konseling serta orangnya mau mendapatkan pengobatan. ....”
Pernyataan itu ngawur karena pada survailans tes HIV tidak ada identitas pada sampel darah yang diambil. Cara yang diterapkan KPA Kota Tasikmalaya ini jelas melanggar prosedur dan merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM).
Survailans tes HIV adalah untuk mendapatkan prevalensi yaitu angka perbandingan antara yang HIV-positif dan HIV-negatif pada kalangan tertentu dan pada kurun waktu yang tertentu pula. Tes dilakukan dengan asas anonimitas.
Pada bagian lain disebutkan “Langkah ini diambil lantaran para sopir yang selalu keluar masuk daerah setiap saat sangat rentan tertular penyakit kelamin karena kecenderungan menggunakan jasa PSK sangat tinggi.“ Ini kian rancu. Yang mau dicari prevalensi HIV atau kasus IMS (infeksi menular seksual). Istilah ‘penyakit kelamin’ sudah lama ditinggalkan sehingga tidak dipakai lagi sekarang.
Penolakan yang dilakukan sopir merupakan hak mereka. Apalagi tes HIV/AIDS itu tidak menganut asas anonimitas. Kalau hasilnya akan diberitahu maka harus ada konseling sebelum darah diambil. Selain itu harus pula ada persetujuan.
Biar pun survailans sebelum darah diambil harus ada konseling yang menjelaskan tujuan pengambilan darah dan manfaatnya untuk yang diambil darahnya. Apakah KPA Kota Tasikmalaya melakukan konseling kepada sopir-sopir sebelum darah mereka diambil? Kalau jawabannya TIDAK, maka lagi-lagi sudah terjadi pelanggaran terhadap asas tes HIV yang merupakan perbuatan yang melawan hukum.
Cara-cara yang dilakukan KPA Kota Tasikmalaya ini merupakan kegiatan yang kontra produktif karena akan menimbulkan sikap antipati karena ada unsur pemaksaan. Apalagi sopir dipanggil melalui pengeras suara. Di sini juga ada diskriminasi. Apakah hanya sopir yang perilakunya berisiko? Bagaimana dengan kondektur, kernet, dan pegawai terminal, apakah mereka tidak mungkin melakukan perilaku berisiko tertular HIV?
Sudah saatnya instansi atau institusi yang terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS menaati aturan.
[Sumber: Newsletter “InfoAIDS” edisi No 3/Januari 2009]
"200 Sopir Angkutan di Tasikmalaya Dites HIV" (“okezone.com”, 9 Desember 2008]). Berita ini tidak mengedepankan pemahanan terhadap standar prosedur operasi survailans tes HIV. Berita ini menunjukkan wartawan tidak memahami survailans tes HIV. Hal yang sama juga tampak jelas pada Ari Kusmara, Koordinator Harm Reduction KPA Kota Tasikmalaya, melalui pernyataannya yang dikutip wartawan yaitu “Jika hasilnya nanti ada yang positif, kami akan melakukan pemanggilan dan pendekatan lebih lanjut hingga melakukan konseling serta orangnya mau mendapatkan pengobatan. ....”
Pernyataan itu ngawur karena pada survailans tes HIV tidak ada identitas pada sampel darah yang diambil. Cara yang diterapkan KPA Kota Tasikmalaya ini jelas melanggar prosedur dan merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM).
Survailans tes HIV adalah untuk mendapatkan prevalensi yaitu angka perbandingan antara yang HIV-positif dan HIV-negatif pada kalangan tertentu dan pada kurun waktu yang tertentu pula. Tes dilakukan dengan asas anonimitas.
Pada bagian lain disebutkan “Langkah ini diambil lantaran para sopir yang selalu keluar masuk daerah setiap saat sangat rentan tertular penyakit kelamin karena kecenderungan menggunakan jasa PSK sangat tinggi.“ Ini kian rancu. Yang mau dicari prevalensi HIV atau kasus IMS (infeksi menular seksual). Istilah ‘penyakit kelamin’ sudah lama ditinggalkan sehingga tidak dipakai lagi sekarang.
Penolakan yang dilakukan sopir merupakan hak mereka. Apalagi tes HIV/AIDS itu tidak menganut asas anonimitas. Kalau hasilnya akan diberitahu maka harus ada konseling sebelum darah diambil. Selain itu harus pula ada persetujuan.
Biar pun survailans sebelum darah diambil harus ada konseling yang menjelaskan tujuan pengambilan darah dan manfaatnya untuk yang diambil darahnya. Apakah KPA Kota Tasikmalaya melakukan konseling kepada sopir-sopir sebelum darah mereka diambil? Kalau jawabannya TIDAK, maka lagi-lagi sudah terjadi pelanggaran terhadap asas tes HIV yang merupakan perbuatan yang melawan hukum.
Cara-cara yang dilakukan KPA Kota Tasikmalaya ini merupakan kegiatan yang kontra produktif karena akan menimbulkan sikap antipati karena ada unsur pemaksaan. Apalagi sopir dipanggil melalui pengeras suara. Di sini juga ada diskriminasi. Apakah hanya sopir yang perilakunya berisiko? Bagaimana dengan kondektur, kernet, dan pegawai terminal, apakah mereka tidak mungkin melakukan perilaku berisiko tertular HIV?
Sudah saatnya instansi atau institusi yang terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS menaati aturan.
[Sumber: Newsletter “InfoAIDS” edisi No 3/Januari 2009]
27 September 2017
Tes HIV Sebelum Nikah yang Sia-sia
Oleh: Syaiful W Harahap
BERITA “Perlu, Tes HIV/AIDS Sebelum Menikah” di Harian “Pontianak Post” edisi 16 Januari 2007 menunjukkan pemahaman HIV/AIDS yang tidak akurat. Hal ini terjadi karena selama ini materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) HIV/AIDS selalu dibalut dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.
Misalnya, penularan HIV dikait-kaitkan dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, seks bebas dan gay (homoseks). Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu atau kedua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan dengan zina, melacur, selingkuh, jajan, seks bebas dan gay.
Persoalan besar dalam pandemi HIV adalah penularan HIV terjadi secara diam-diam tanpa disadari karena orang-orang yang sudah tertular HIV tidak menyadari bahwa dirinya sudah HIV-positif. Ini terjadi karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5 - 10 tahun setelah tertular HIV). Namun, penularan HIV kepada orang lain sudah bisa terjadi melalui: (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan dan cangkok organ tubuh, dan (d) air susu ibu/ASI melalui proses menyusui.
Walaupun penularan HIV terjadi tanpa disadari bukan berarti semua orang harus menjalani tes HIV karena tidak semua orang berisiko (tinggi) tertular HIV. Lagi pula jika ada keharusan tes HIV sebelum menikah maka hal itu akan merendahkan harkat dan martabat menusia karena semua orang yang akan menikah dianggap berperilaku berisiko tinggi tertular HIV. Bayangkan, semua laki-laki dan perempuan yang akan menikah diharuskan tes HIV. Bagaimana dengan laki-laki yang masih perjaka dan perempuan yang masih perawan? Apakah mereka harus menjalani tes HIV? Apa alasan sehingga mereka harus tes HIV?
Lalu, siapa-(siapa) saja, sih, yang harus menjalani tes HIV? Mereka adalah orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV yaitu: (1) Laki-laki atau perempuan yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari mereka HIV-positif; (2). Laki-laki atau perempuan yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan karena ada kemungkinan salah satu dari mereka HIV-positif; dan (3). Laki-laki atau perempuan yang pernah menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan (4) Laki-laki atau perempuan yang pernah cangkok organ tubuh yang tidak diskrining HIV.
Untuk mengetahui apakah seseorang sudah tertular HIV atau belum hanya dapat diketahui melalui tes HIV. Tes HIV dengan tes ELISA baru bisa akurat kalau sudah tertular diatas tiga bulan. Masa tiga bulan sejak tertular disebut sebagai masa jendela (window period). Kalau ada calon pe-ngantin yang menjalani tes HIV pada masa jendela maka hasil tes bisa negatif palsu. Artinya, di da-rah yang ber-sangkutan sudah ada HIV tapi tidak ter-deteksi. Kalau ini yang terjadi maka tes HIV se-bagai syarat menikah pun akan sia-sia. Hanya menggantang asap.
Ada tes yang dapat mendeteksi HIV di dalam darah sejak tertular yaitu tes PCR. Biaya tes ini Rp 1,5 juta. Namun, tetap ada risiko karena tes HIV bukan vaksin. Artinya, biar pun hasil tes HIV-negatif tidak menjamin selama hidup akan tetap HIV-negatif. Misalnya, calon pengantin menjalani tes HIV dengan PCR tanggal 2 September 2006 pukul 10.00. Hasilnya negatif. Tapi, bisa saja terjadi beberapa jam kemudian atau setelah menikah dia melakukan perilaku berisiko dan tertular HIV.
Karena tidak ada vaksin HIV maka tidak ada orang yang (bisa) bebas dari HIV jika perilakunya berisiko tinggi. Agar ‘bebas HIV/AIDS’ bukan melalui tes HIV tapi menjaga perilaku yaitu menghindari perilaku berisiko tinggi tertular HIV.
Ada penularan yang sama sekali tidak terkait dengan perilaku yaitu transfusi darah dan jarum suntik. Kalau seorang donor yang tertular HIV (catatan: donor tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak pernah menjalani tes HIV) menyumbangkan darahnya pada masa jendela maka skrining HIV tidak bisa mendeteksi antibodi HIV di dalam darah yang didonorkannya. Kalau darah itu lolos dan ditransfusikan kepada orang lain maka orang yang menerima darah itu akan tertular HIV. Probabilitas penularan HIV melalui (transfusi) darah yang mengandung HIV adalah 90 persen.
‘Surat keterangan bebas HIV/AIDS’ tidak bisa menjadi terobosan yang sistematis dalam menanggulangi HIV/AIDS karena tes HIV bukan vaksin HIV. Penularan HIV bisa terjadi kapan saja, di mana saja dan kepada siapa saja terhadap setiap orang yang melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV.
Lagi pula kalau semua calon pengantin diwajibkan menjalani tes HIV maka kita sudah meng-generalisir bah-wa semua orang berperilaku yang berisiko tinggi tertular HIV. Ini merupa-kan suatu peng-hinaan terhadap orang-orang yang sudah menjaga dirinya agar tidak me-lakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV.
Anjuran ‘bebas HIV/AIDS’ sebagai syarat menikah menunjukkan kegalauan yang berlebihan karena pemahaman yang tidak komprehensif terhadap HIV/AIDS. Kalau saja HIV/AIDS dipahami sebagia fakta medis maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena penularan HIV hanya terjadi melalui cara-cara yang sangat spesifik. Selain itu setiap orang bisa melindungi diri agar tidak tertular HIV.
Berbeda dengan TBC, flu, diare, malaria dan demam berdarah yang bisa menular dengan mudah melalui udara, air dan nyamuk. Sangat sulit melindungi diri agar tidak tertular TBC, flu, dan demam berdarah. Begitu pula dengan penyakit yang diturunkan secara genetik, seperti diabetes, thalasemia, dll. tidak bisa dicegah.
Sebaliknya, penularan HIV dapat dicegah dengan cara-cara yang sangat realistis. Mencegah HIV melalui hubungan seks adalah dengan cara tidak melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan orang yang HIV-positif. Mencegah HIV melalui tranfusi darah adalah dengan tidak menerima transfusi darah yang mengandung HIV. Mencegah HIV melalui jarum suntik adalah dengan cara tidak memakai jarum suntik yang tercemar HIV.
Karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas pada diri seseorang yang sudah tertular HIV maka risiko penularan melalui hubungan seks, di di dalam atau di luar nikah, dapat dihindari dengan memakai kondom setiap kali sanggama.
* Penulis adalah pemerhati HIV/AIDS di LSM “InfoKespro” Jakarta dan pengasuh Rubrik “Konsultasi HIV/AIDS” di Harian “Pontianak Post”. [Harian “Pontianak Post”, 23 Januari 2007].
[Sumber: Newsletter “InfoAIDS” edisi No 3/Januari 2009]
BERITA “Perlu, Tes HIV/AIDS Sebelum Menikah” di Harian “Pontianak Post” edisi 16 Januari 2007 menunjukkan pemahaman HIV/AIDS yang tidak akurat. Hal ini terjadi karena selama ini materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) HIV/AIDS selalu dibalut dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.
Misalnya, penularan HIV dikait-kaitkan dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, seks bebas dan gay (homoseks). Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu atau kedua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan dengan zina, melacur, selingkuh, jajan, seks bebas dan gay.
Persoalan besar dalam pandemi HIV adalah penularan HIV terjadi secara diam-diam tanpa disadari karena orang-orang yang sudah tertular HIV tidak menyadari bahwa dirinya sudah HIV-positif. Ini terjadi karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5 - 10 tahun setelah tertular HIV). Namun, penularan HIV kepada orang lain sudah bisa terjadi melalui: (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan dan cangkok organ tubuh, dan (d) air susu ibu/ASI melalui proses menyusui.
Walaupun penularan HIV terjadi tanpa disadari bukan berarti semua orang harus menjalani tes HIV karena tidak semua orang berisiko (tinggi) tertular HIV. Lagi pula jika ada keharusan tes HIV sebelum menikah maka hal itu akan merendahkan harkat dan martabat menusia karena semua orang yang akan menikah dianggap berperilaku berisiko tinggi tertular HIV. Bayangkan, semua laki-laki dan perempuan yang akan menikah diharuskan tes HIV. Bagaimana dengan laki-laki yang masih perjaka dan perempuan yang masih perawan? Apakah mereka harus menjalani tes HIV? Apa alasan sehingga mereka harus tes HIV?
Lalu, siapa-(siapa) saja, sih, yang harus menjalani tes HIV? Mereka adalah orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV yaitu: (1) Laki-laki atau perempuan yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari mereka HIV-positif; (2). Laki-laki atau perempuan yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan karena ada kemungkinan salah satu dari mereka HIV-positif; dan (3). Laki-laki atau perempuan yang pernah menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan (4) Laki-laki atau perempuan yang pernah cangkok organ tubuh yang tidak diskrining HIV.
Untuk mengetahui apakah seseorang sudah tertular HIV atau belum hanya dapat diketahui melalui tes HIV. Tes HIV dengan tes ELISA baru bisa akurat kalau sudah tertular diatas tiga bulan. Masa tiga bulan sejak tertular disebut sebagai masa jendela (window period). Kalau ada calon pe-ngantin yang menjalani tes HIV pada masa jendela maka hasil tes bisa negatif palsu. Artinya, di da-rah yang ber-sangkutan sudah ada HIV tapi tidak ter-deteksi. Kalau ini yang terjadi maka tes HIV se-bagai syarat menikah pun akan sia-sia. Hanya menggantang asap.
Ada tes yang dapat mendeteksi HIV di dalam darah sejak tertular yaitu tes PCR. Biaya tes ini Rp 1,5 juta. Namun, tetap ada risiko karena tes HIV bukan vaksin. Artinya, biar pun hasil tes HIV-negatif tidak menjamin selama hidup akan tetap HIV-negatif. Misalnya, calon pengantin menjalani tes HIV dengan PCR tanggal 2 September 2006 pukul 10.00. Hasilnya negatif. Tapi, bisa saja terjadi beberapa jam kemudian atau setelah menikah dia melakukan perilaku berisiko dan tertular HIV.
Karena tidak ada vaksin HIV maka tidak ada orang yang (bisa) bebas dari HIV jika perilakunya berisiko tinggi. Agar ‘bebas HIV/AIDS’ bukan melalui tes HIV tapi menjaga perilaku yaitu menghindari perilaku berisiko tinggi tertular HIV.
Ada penularan yang sama sekali tidak terkait dengan perilaku yaitu transfusi darah dan jarum suntik. Kalau seorang donor yang tertular HIV (catatan: donor tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak pernah menjalani tes HIV) menyumbangkan darahnya pada masa jendela maka skrining HIV tidak bisa mendeteksi antibodi HIV di dalam darah yang didonorkannya. Kalau darah itu lolos dan ditransfusikan kepada orang lain maka orang yang menerima darah itu akan tertular HIV. Probabilitas penularan HIV melalui (transfusi) darah yang mengandung HIV adalah 90 persen.
‘Surat keterangan bebas HIV/AIDS’ tidak bisa menjadi terobosan yang sistematis dalam menanggulangi HIV/AIDS karena tes HIV bukan vaksin HIV. Penularan HIV bisa terjadi kapan saja, di mana saja dan kepada siapa saja terhadap setiap orang yang melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV.
Lagi pula kalau semua calon pengantin diwajibkan menjalani tes HIV maka kita sudah meng-generalisir bah-wa semua orang berperilaku yang berisiko tinggi tertular HIV. Ini merupa-kan suatu peng-hinaan terhadap orang-orang yang sudah menjaga dirinya agar tidak me-lakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV.
Anjuran ‘bebas HIV/AIDS’ sebagai syarat menikah menunjukkan kegalauan yang berlebihan karena pemahaman yang tidak komprehensif terhadap HIV/AIDS. Kalau saja HIV/AIDS dipahami sebagia fakta medis maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena penularan HIV hanya terjadi melalui cara-cara yang sangat spesifik. Selain itu setiap orang bisa melindungi diri agar tidak tertular HIV.
Berbeda dengan TBC, flu, diare, malaria dan demam berdarah yang bisa menular dengan mudah melalui udara, air dan nyamuk. Sangat sulit melindungi diri agar tidak tertular TBC, flu, dan demam berdarah. Begitu pula dengan penyakit yang diturunkan secara genetik, seperti diabetes, thalasemia, dll. tidak bisa dicegah.
Sebaliknya, penularan HIV dapat dicegah dengan cara-cara yang sangat realistis. Mencegah HIV melalui hubungan seks adalah dengan cara tidak melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan orang yang HIV-positif. Mencegah HIV melalui tranfusi darah adalah dengan tidak menerima transfusi darah yang mengandung HIV. Mencegah HIV melalui jarum suntik adalah dengan cara tidak memakai jarum suntik yang tercemar HIV.
Karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas pada diri seseorang yang sudah tertular HIV maka risiko penularan melalui hubungan seks, di di dalam atau di luar nikah, dapat dihindari dengan memakai kondom setiap kali sanggama.
* Penulis adalah pemerhati HIV/AIDS di LSM “InfoKespro” Jakarta dan pengasuh Rubrik “Konsultasi HIV/AIDS” di Harian “Pontianak Post”. [Harian “Pontianak Post”, 23 Januari 2007].
[Sumber: Newsletter “InfoAIDS” edisi No 3/Januari 2009]
Penanggulangan AIDS di Indonesia 'Jalan di Tempat'
Oleh: Syaiful W. Harahap
[Pemerhati berita HIV/AIDS di media massa melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta]
Biar pun perjalanan epidemi HIV di Indonesia sudah memasuki tahun ke 22 tapi persoalan yang dalam menanggulangi HIV/AIDS tetap jalan di tempat bahkan bisa dikatakan mundur. Ini dapat dilihat dari penolakan terhadap kondom dan harm reduction sebagai salah satu upaya untuk menanggulangi HIV/AIDS. Kasus HIV/AIDS di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia.
Ketika di beberapa kawasan infeksi HIV di kalangan dewasa mulai menunjukkan grafik yang mendatar di Indonesia justru sebaliknya. Kasus-kasus HIV dan AIDS baru terus terdeteksi. Sampai Maret 2009 sudah dilaporkan 6.668 kasus HIV dan 16.964 kasus AIDS dengan 3.492 kematian.
Pertambahan kasus yang cepat membuat banyak kepala daerah kalang kabut. Tanggapan yang muncul pun tidak lagi realistis sebagai upaya nyata penanggulangan AIDS. Yang terjadi adalah perlombaan membuat peraturan darah, dikenal sebagai Perda. Sampai Desember 2008 sudah 21 daerah mulai dari provinsi, kabupaten dan kota yang membuat Perda penanggulangan AIDS.
Semua Perda itu hanya mengedepankan norma, moral, dan agama sebagai cara untuk mencegah penularan HIV. Tentu saja ini tidak akan berhasil karena penularan HIV sama sekali tidak terkait langsung dengan moral.
Hal lain yang diatur dalam Perda adalah penggunaan kondom. Sebagian besar Perda tidak menyebut kondom tapi hanya menyebut ‘alat pengaman”. Lagi-lagi ini mengesankan moralitas masuk ke ranah empiris sehingga penanggulangan epidemi HIV tidak menggambarkan fakta medis.
Pengabaian kata ‘kondom’ dalam Perda AIDS itu merupakan eufemisme sebagai jalan tengah untuk meredam penolakan besar-besaran terhadap kondom.
Tapi, mengapa terjadi penolakan terhadap kondom?
Ya, itu terjadi karena Indonesia mengekor ke Thailand yang disebut-sebut berhasil menekan kasus infeksi baru di kalanga dewasa. Perda yang dihasilkan pun mengacu ke ‘program kondom 100 persen’ yang dikembangkan Thailand.
Ternyata ada salah kaprah. ‘Program kondom 100 persen’ di Thailand merupakan bagian terakhir dari serangkaian program. Maka, tidak mengherankan kalau kondom di tentang karena Indonesia mulai dari ekor sehingga menjadi ‘pengekor’ dari program penanggulangan Thailand.
Penanggulangan AIDS secara nasional di Thailand merupakan suatu program terpadu. Program itu jelas efektif karena dimulai dari pendidikan terhadap masyarakat luas melalui media massa tentang upaya yang dilakukan. Dengan cara ini masyarakat di Negeri Gajah Putih itu memahami penggunaan kondom sebagai bagian dari suatu program terpadu.
Berbeda dengan Indonesia. Masyarakat belum dididik dalam menghapadi epidemi HIV sebagai fakta medis, tapi mereka sudah dicekoki dengan kondom yang selama ini selalu dikait-kaitkan dengan moral. Akibatnya, terjadi penolakan besar-besaran terhadap kondom dari berbagai kalangan karena mereka menganggap kondom sebagai alat yang bisa mendorong orang melakukan zina.
Pemahaman masyarakat terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis tidak komprehensif karena yang menjadi sumber adalah media massa. Celakanya, selama ini berita HIV/AIDS di media massa nasional tidak akurat karena dibalut dengan norma, moral, dan agama sehingga masyarakat tidak menangkap makna dalam fakta empiris. Yang muncul dari berita itu hanya mitos yaitu anggapan yang salah.
Celakanya, banyak narasumber berita, termasuk kalangan medis dan pejabat, pun selalu mengedepankan moral ketika memberikan keterangan kepada wartawan tentang HIV/AIDS.
Selama program penanggulangan tidak dilakukan secara terpadu maka penolakan akan terus terjadi karena masyarakat tidak memahaminya sebagai suatu langkah yang saling terkait.
Berbagai kegiatan hanya dilakukan secara sporadis. Banyak daerah yang tidak menjalankan program penanggulangan secara terpadu. Mereka menganggap dengan membuat Perda masalah AIDS sudah selesai.
Penanggulangan yang ditawarkan dalam Perda-perda AIDS itu pun paradoks karena bertentangan dengan kenyataan. Ada pasal yang menyebutkan pencegahan dengan memakai kondom pada hubungan seks berisiko, tapi di pasal lain ada pula larangan untuk menyediakan industri seks.
‘Program kondom 100 persen’ tidak akan jalan di Indonesia karena tidak ada lokalisasi pelacuran atau rumah bordir. Hampir semua daerah di Indonesia sudah menutup lokalisasi pelacuran. Karena tidak ada lokalisasi pelacuran atau rumah maka program itu tidak bisa dijalankan.
Itulah yang merupakan pradoks dalam penanggulangan epidemi HIV yang ditawarkan melalui Perda AIDS. Pemakaian kondom dan ‘alat pengaman’ pada hubungan seks berisiko diwajibkan, tapi tempat untuk melakukan hubungan seks berisiko ditutup.
Satu hal yang luput dari rangkaian ‘program 100 persen kondom’ adalah penyidikan terhadap kegiatan itu. Yang dilakukan di Thailand adalah melakukan survailans infeksi menular seksual terhadap pekerja seks yang ada di lokalisasi atau rumah bordir. Jika ada pekerja seks yang terdeteksi mengidap IMS maka germonya ditindak karena itu menunjukkan ada pekerja seks yang tidak memakai kondom. Ini relistis.
Di Indonesia justru yang diatur dalam Perda-perda AIDS itu adalah ancaman hukuman bagi orang yang sengaja menularkan HIV. Ini ngawur karena fakta menunjukkan lebih dari 90 persen penularan HIV terjadi tanpa disadari karena banyak orang yang tertular HIV tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV.
Selain itu ancaman hukuman pada Perda pun tidak boleh lebih dari enam bulan. Ini jauh dari ancaman hukuman dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sebuah provinsi, misalnya, membuat perda ‘anti maksiat’. Bayangkan, kalau seorang pengacara yang piawai membawa kasus perkosaan yang didakawakan kepada kliennya dia bawa ke perbuatan maksiat maka ancaman hukumannya hanya enam bulan.
Selama masyarakat tidak dididik secara komprehensif tentang upaya penanggulangan epidemi HIV yang akurat maka selama itu pula akan terjadi penolakan terhadap kondom. Ini terjadi karena masyarakat tidak memahami program penanggulangan yang terpadu. ***
[Pemerhati berita HIV/AIDS di media massa melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta]
Biar pun perjalanan epidemi HIV di Indonesia sudah memasuki tahun ke 22 tapi persoalan yang dalam menanggulangi HIV/AIDS tetap jalan di tempat bahkan bisa dikatakan mundur. Ini dapat dilihat dari penolakan terhadap kondom dan harm reduction sebagai salah satu upaya untuk menanggulangi HIV/AIDS. Kasus HIV/AIDS di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia.
Ketika di beberapa kawasan infeksi HIV di kalangan dewasa mulai menunjukkan grafik yang mendatar di Indonesia justru sebaliknya. Kasus-kasus HIV dan AIDS baru terus terdeteksi. Sampai Maret 2009 sudah dilaporkan 6.668 kasus HIV dan 16.964 kasus AIDS dengan 3.492 kematian.
Pertambahan kasus yang cepat membuat banyak kepala daerah kalang kabut. Tanggapan yang muncul pun tidak lagi realistis sebagai upaya nyata penanggulangan AIDS. Yang terjadi adalah perlombaan membuat peraturan darah, dikenal sebagai Perda. Sampai Desember 2008 sudah 21 daerah mulai dari provinsi, kabupaten dan kota yang membuat Perda penanggulangan AIDS.
Semua Perda itu hanya mengedepankan norma, moral, dan agama sebagai cara untuk mencegah penularan HIV. Tentu saja ini tidak akan berhasil karena penularan HIV sama sekali tidak terkait langsung dengan moral.
Hal lain yang diatur dalam Perda adalah penggunaan kondom. Sebagian besar Perda tidak menyebut kondom tapi hanya menyebut ‘alat pengaman”. Lagi-lagi ini mengesankan moralitas masuk ke ranah empiris sehingga penanggulangan epidemi HIV tidak menggambarkan fakta medis.
Pengabaian kata ‘kondom’ dalam Perda AIDS itu merupakan eufemisme sebagai jalan tengah untuk meredam penolakan besar-besaran terhadap kondom.
Tapi, mengapa terjadi penolakan terhadap kondom?
Ya, itu terjadi karena Indonesia mengekor ke Thailand yang disebut-sebut berhasil menekan kasus infeksi baru di kalanga dewasa. Perda yang dihasilkan pun mengacu ke ‘program kondom 100 persen’ yang dikembangkan Thailand.
Ternyata ada salah kaprah. ‘Program kondom 100 persen’ di Thailand merupakan bagian terakhir dari serangkaian program. Maka, tidak mengherankan kalau kondom di tentang karena Indonesia mulai dari ekor sehingga menjadi ‘pengekor’ dari program penanggulangan Thailand.
Penanggulangan AIDS secara nasional di Thailand merupakan suatu program terpadu. Program itu jelas efektif karena dimulai dari pendidikan terhadap masyarakat luas melalui media massa tentang upaya yang dilakukan. Dengan cara ini masyarakat di Negeri Gajah Putih itu memahami penggunaan kondom sebagai bagian dari suatu program terpadu.
Berbeda dengan Indonesia. Masyarakat belum dididik dalam menghapadi epidemi HIV sebagai fakta medis, tapi mereka sudah dicekoki dengan kondom yang selama ini selalu dikait-kaitkan dengan moral. Akibatnya, terjadi penolakan besar-besaran terhadap kondom dari berbagai kalangan karena mereka menganggap kondom sebagai alat yang bisa mendorong orang melakukan zina.
Pemahaman masyarakat terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis tidak komprehensif karena yang menjadi sumber adalah media massa. Celakanya, selama ini berita HIV/AIDS di media massa nasional tidak akurat karena dibalut dengan norma, moral, dan agama sehingga masyarakat tidak menangkap makna dalam fakta empiris. Yang muncul dari berita itu hanya mitos yaitu anggapan yang salah.
Celakanya, banyak narasumber berita, termasuk kalangan medis dan pejabat, pun selalu mengedepankan moral ketika memberikan keterangan kepada wartawan tentang HIV/AIDS.
Selama program penanggulangan tidak dilakukan secara terpadu maka penolakan akan terus terjadi karena masyarakat tidak memahaminya sebagai suatu langkah yang saling terkait.
Berbagai kegiatan hanya dilakukan secara sporadis. Banyak daerah yang tidak menjalankan program penanggulangan secara terpadu. Mereka menganggap dengan membuat Perda masalah AIDS sudah selesai.
Penanggulangan yang ditawarkan dalam Perda-perda AIDS itu pun paradoks karena bertentangan dengan kenyataan. Ada pasal yang menyebutkan pencegahan dengan memakai kondom pada hubungan seks berisiko, tapi di pasal lain ada pula larangan untuk menyediakan industri seks.
‘Program kondom 100 persen’ tidak akan jalan di Indonesia karena tidak ada lokalisasi pelacuran atau rumah bordir. Hampir semua daerah di Indonesia sudah menutup lokalisasi pelacuran. Karena tidak ada lokalisasi pelacuran atau rumah maka program itu tidak bisa dijalankan.
Itulah yang merupakan pradoks dalam penanggulangan epidemi HIV yang ditawarkan melalui Perda AIDS. Pemakaian kondom dan ‘alat pengaman’ pada hubungan seks berisiko diwajibkan, tapi tempat untuk melakukan hubungan seks berisiko ditutup.
Satu hal yang luput dari rangkaian ‘program 100 persen kondom’ adalah penyidikan terhadap kegiatan itu. Yang dilakukan di Thailand adalah melakukan survailans infeksi menular seksual terhadap pekerja seks yang ada di lokalisasi atau rumah bordir. Jika ada pekerja seks yang terdeteksi mengidap IMS maka germonya ditindak karena itu menunjukkan ada pekerja seks yang tidak memakai kondom. Ini relistis.
Di Indonesia justru yang diatur dalam Perda-perda AIDS itu adalah ancaman hukuman bagi orang yang sengaja menularkan HIV. Ini ngawur karena fakta menunjukkan lebih dari 90 persen penularan HIV terjadi tanpa disadari karena banyak orang yang tertular HIV tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV.
Selain itu ancaman hukuman pada Perda pun tidak boleh lebih dari enam bulan. Ini jauh dari ancaman hukuman dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sebuah provinsi, misalnya, membuat perda ‘anti maksiat’. Bayangkan, kalau seorang pengacara yang piawai membawa kasus perkosaan yang didakawakan kepada kliennya dia bawa ke perbuatan maksiat maka ancaman hukumannya hanya enam bulan.
Selama masyarakat tidak dididik secara komprehensif tentang upaya penanggulangan epidemi HIV yang akurat maka selama itu pula akan terjadi penolakan terhadap kondom. Ini terjadi karena masyarakat tidak memahami program penanggulangan yang terpadu. ***
Perda Tidak Akan Bisa Mengatasi AIDS
Oleh: Syaiful W. Harahap*
[Sumber: Harian “Pontianak Post”, 26 September 2007]
AWAL September 2007 ini ada tiga berita di harian ini tentang gagasan DPRD Kalbar merancang peraturan daerah (Perda) HIV/AIDS. Di saat di banyak daerah Perda AIDS hanya menghias rak buku, DPRD Kalbar malah akan merancang Perda AIDS. Selama materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) tentang HIV/AIDS tetap dibalut dengan norma, moral, dan agama maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi. Mengapa? Karena masyarakat tidak memahami cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat. Karena materi KIE dibalut dengan norma, moral, dan agama maka yang muncul adalah mitos (anggapan yang salah). Misalnya, selama ini didengung-dengungkan bahwa penularan HIV terjadi karena zina, seks bebas, pelacuran, jajan, selingkuh, dan homoseksual.
Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah (bisa) terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun dilakukan dengan zina, seks bebas, pelacuran, jajan, selingkuh, dan homoseksual.
Sampai sekarang sudah ada beberapa Perda AIDS di Papua yaitu Kabupaten Merauke, Jayapura, dan Nabire, serta Kota Jayapura. Sedangkan di tingkat provinsi Perda AIDS ada di Jawa Timur, Bali, dan Riau.
Apakah ada hasil nyata dari perda-perda itu? Ternyata hasilnya nol besar. Mengapa? Karena perda itu tidak menyentuh persoalan HIV/AIDS dari aspek medis. Seperti diketahui HIV/AIDS adalah fakta medis, artinya dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehigga pencegahannya pun dapat pula dilakukan denga teknologi kedokteran. Tapi, dalam perda justru norma, moral dan agama yang dijadikan sebagai alat untuk mencegah penularan HIV.
Dalam Perda AIDS Riau, misalnya, disebutkan mencegah penularan HIV/AIDS adalah dengan ‘iman dan taqwa’. Ini jelas tidak akurat karena: bagaimana menugukur ‘iman dan taqwa’ yang bisa menghalau HIV/AIDS? Lagi pula tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan ‘iman dan taqwa’. Misalnya, penularan HIV melalui transfusi darah jelas tidak terkait dengan ‘iman dan taqwa’. Begitu pula dengan seorang istri yang tertular HIV dari suaminya, apakah hal itu terjadi karena si istri tidak ‘beriman dan bertaqwa’?
100 Persen Kondom
Perda lain pun tetap mengepankan morma, moral, dan agama sebagai alat pencegahan HIV. Di salah satu Perda AIDS di Papua disebutkan mencegah HIV adalah ‘jangan melakukan seks menyimpang’. Ini ‘kan ngawur. Di dalam ikatan pernikahan yang sah pun bisa terjadi penularan HIV kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif.
Perda lain mengatur hukuman bagi orang yang menularkan HIV/AIDS dengan sengaja. Ini jelas tidak akurat karena sekitar 90 persen kasus penularan HIV/AIDS terjadi tanpa disadari. Lagi pula fakta membuktikan orang-orang yang sudah terdeteksi HIV/AIDS sudah berjanji akan menghentikan penularan HIV mulai dari dirinya.
Maka, yang menjadi mata rantai penularan HIV adalah orang-orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Hal ini terjadi karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5 – 10 tahun setelah tertular). Tapi, pada kurun waktu itu penularan HIV sudah bisa terjadi melalui: (a) hubungan seks di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik, jarum akupunktur, jarum tattoo, dan alat-alat kesehatan, (d) cangkok organ tubuh, dan (e) air susu ibu/ASI pada proses menyusui. Celakanya, orang yang (baru) tertular pun tidak menyadari kalau dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada diri seseorang yang baru tertular HIV.
Disebutkan “perdagangan orang atau trafficking sangat dekat dengan persoalan HIV/AIDS. Tak sedikit korban trafficking dipekerjakan di tempat-tempat prostitusi di luar negeri. Sementara dari tempat tersebut mereka kemudian terjangkit HIV/AIDS dan virus itu dibawa ke tanah air.” (7/11). Ini tidak adil karena penduduk Kalbar pun ada yang ‘melancong’ ke luar daerah atau luar negeri. Kalau mereka tertular ketika ‘melancong’ maka mereka pun akan menjadi mata rantai penyebaran HIV.
Dalam berita disebutkan perda itu menyentuh ranah keagamaan karena mengatur penggunaan kondom, pengenalan tentang seks sejak dini, dan lain-lain. Yang dikhawatirkan jangan sampai hal itu mengesankan perda malah melegalkan seks bebas serta prostitusi (11/7). Kalau perda itu mengatur kondom maka jelas merupakan tiruan dari Thailand yang konon kabarnya berhasil menekan kasus infeksi baru HIV berkat ‘Program 100 Persen Kondom”. Artinya, setiap hubungan seks berisiko laki-laki diwajibkan memakai kondom.
Kalau pun penggunaan kondom kelak diatur dalam perda, maka pertanyaan yang sangat mendasar adalah: di mana dan bagaiman mengaturnya? Di Thailand bisa diatur karena ada lokalisasi dan rumah border. Nah, apakah di Kalbar ada lokalisasi pelacuran yang ‘resmi’? Thailand mengaturnya dengan cara memeriksa pekerja seks secara berkala. Kalau ada yang tertular IMS, seperti sifilis, GO, dll., maka mucikari atua germonya mendapatkan hukuman sampai penutupan rumah bordir. Apakah hal ini bisa dilakukan di Kalbar?
Lagi pula belakangan ‘hidung belang’ di Thailand putra otak. Mereka tidak ‘main’ di lokalisasi atau rumah bordir tapi pekerja seks mereka bawa ke rumah, apartemen, hotel atau tempat lain sehingga aturan “100 Persen Kondom” tidak berlaku bagi mereka. Maka, program itu pun tetap ada kelemahannya karena pada akhirnya tergantung kepada orang per orang.
Asumsi
“Beberapa daerah mengalami kegagalan dalam implementasi Perda HIV/AIDS. Ada sesuatu yang dianggap tabu oleh sebagian masyarakat seperti melegalkan penggunaan kondom. Padahal salah satu teknis pelaksanaan perda tersebut adalah menempatkan beberapa titik untuk melegalkan penggunaan kondom. Muncul beberapa apresiasi akibat pelegalan tersebut seperti melegalkan jinah.” (7/9) Tidak ada satu pun UU yang melarang penggunaan kondom karena kondom bukan barang yang dilarang di Indonesia. Tidak ada kaitan kegagalan perda-perda AIDS dengan kondom karena dalam perda-perda AIDS itu penggunaan kondom untuk mencegahj penularan HIV tidak disebutkan secara eksplisit.
Ada satu hal yang selama ini dianggap sebagai kebenaran padahal hanya asumsi yaitu ‘kondom mendorong orang berzina’. Ini tidak akurat karena laki-laki yang sering berganti-ganti pasangan di dalam atau di luar nikah justru enggan memakai kondom. Inilah salah satu faktor yang mendorong penyebaran HIV/AIDS terus terjadi. Alasannya bermacam-macam: hubungan seks tidak nikmat, repot, dll. Lagi pula tentulah hal yang bodoh bagi seorang laki-laki yang sudah membayar ‘cewek’ dan hotel ratusan ribu rupiah tapi ketika melakukan hubungan seks penisnya dibalut.
Kekeliruan lain adalah cara pencegahan HIV melalui hubungan seks selalu mengedepankan kondom. Padahal, mencegah penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam dan di luar nikah, adalah dengan cara jangan melakukan hubungan seks dengan orang yang sudah tertular HIV (Odha yaitu Orang dengan HIV/AIDS). Persoalannya adalah tidak bisa dikenali dengan mata telanjang siapa saja orang yang sudah tertular HIV. Jika ini yang terjadi maka menghindarkan penularan HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang tidak diketahui status HIV-nya adalah menghindarkan penis bergesekan langsung dengan vagina. Soalnya, dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam air mani dan cairan vagina.
Pengenalan seks sejak dini pun tidak akan banyak membantu pencegahan HIV kalau mterinya tetap dibalut dengan moral dan agama. Hasilnya tetap nol besar. Untuk itulah yang diperlukan adalah meningkatkan penyuluhan dengan materi KIE yang akurat tanpa dibumbui dengan norma, moral, dan agama.
Berbekal pengetahun yang akurat tentang HIV/AIDS maka masyarakat akan bisa melindungi dirinya agar tidak tertular atau menularkan HIV kepada orang lain. ***
Penulis seorang pemerhati masalah HIV/AIDS, pengasuh rubrik “Konsultasi HIV/AIDS” di Harian “Pontianak Post”.
[Sumber: Harian “Pontianak Post”, 26 September 2007]
AWAL September 2007 ini ada tiga berita di harian ini tentang gagasan DPRD Kalbar merancang peraturan daerah (Perda) HIV/AIDS. Di saat di banyak daerah Perda AIDS hanya menghias rak buku, DPRD Kalbar malah akan merancang Perda AIDS. Selama materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) tentang HIV/AIDS tetap dibalut dengan norma, moral, dan agama maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi. Mengapa? Karena masyarakat tidak memahami cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat. Karena materi KIE dibalut dengan norma, moral, dan agama maka yang muncul adalah mitos (anggapan yang salah). Misalnya, selama ini didengung-dengungkan bahwa penularan HIV terjadi karena zina, seks bebas, pelacuran, jajan, selingkuh, dan homoseksual.
Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah (bisa) terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun dilakukan dengan zina, seks bebas, pelacuran, jajan, selingkuh, dan homoseksual.
Sampai sekarang sudah ada beberapa Perda AIDS di Papua yaitu Kabupaten Merauke, Jayapura, dan Nabire, serta Kota Jayapura. Sedangkan di tingkat provinsi Perda AIDS ada di Jawa Timur, Bali, dan Riau.
Apakah ada hasil nyata dari perda-perda itu? Ternyata hasilnya nol besar. Mengapa? Karena perda itu tidak menyentuh persoalan HIV/AIDS dari aspek medis. Seperti diketahui HIV/AIDS adalah fakta medis, artinya dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehigga pencegahannya pun dapat pula dilakukan denga teknologi kedokteran. Tapi, dalam perda justru norma, moral dan agama yang dijadikan sebagai alat untuk mencegah penularan HIV.
Dalam Perda AIDS Riau, misalnya, disebutkan mencegah penularan HIV/AIDS adalah dengan ‘iman dan taqwa’. Ini jelas tidak akurat karena: bagaimana menugukur ‘iman dan taqwa’ yang bisa menghalau HIV/AIDS? Lagi pula tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan ‘iman dan taqwa’. Misalnya, penularan HIV melalui transfusi darah jelas tidak terkait dengan ‘iman dan taqwa’. Begitu pula dengan seorang istri yang tertular HIV dari suaminya, apakah hal itu terjadi karena si istri tidak ‘beriman dan bertaqwa’?
100 Persen Kondom
Perda lain pun tetap mengepankan morma, moral, dan agama sebagai alat pencegahan HIV. Di salah satu Perda AIDS di Papua disebutkan mencegah HIV adalah ‘jangan melakukan seks menyimpang’. Ini ‘kan ngawur. Di dalam ikatan pernikahan yang sah pun bisa terjadi penularan HIV kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif.
Perda lain mengatur hukuman bagi orang yang menularkan HIV/AIDS dengan sengaja. Ini jelas tidak akurat karena sekitar 90 persen kasus penularan HIV/AIDS terjadi tanpa disadari. Lagi pula fakta membuktikan orang-orang yang sudah terdeteksi HIV/AIDS sudah berjanji akan menghentikan penularan HIV mulai dari dirinya.
Maka, yang menjadi mata rantai penularan HIV adalah orang-orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Hal ini terjadi karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5 – 10 tahun setelah tertular). Tapi, pada kurun waktu itu penularan HIV sudah bisa terjadi melalui: (a) hubungan seks di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik, jarum akupunktur, jarum tattoo, dan alat-alat kesehatan, (d) cangkok organ tubuh, dan (e) air susu ibu/ASI pada proses menyusui. Celakanya, orang yang (baru) tertular pun tidak menyadari kalau dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada diri seseorang yang baru tertular HIV.
Disebutkan “perdagangan orang atau trafficking sangat dekat dengan persoalan HIV/AIDS. Tak sedikit korban trafficking dipekerjakan di tempat-tempat prostitusi di luar negeri. Sementara dari tempat tersebut mereka kemudian terjangkit HIV/AIDS dan virus itu dibawa ke tanah air.” (7/11). Ini tidak adil karena penduduk Kalbar pun ada yang ‘melancong’ ke luar daerah atau luar negeri. Kalau mereka tertular ketika ‘melancong’ maka mereka pun akan menjadi mata rantai penyebaran HIV.
Dalam berita disebutkan perda itu menyentuh ranah keagamaan karena mengatur penggunaan kondom, pengenalan tentang seks sejak dini, dan lain-lain. Yang dikhawatirkan jangan sampai hal itu mengesankan perda malah melegalkan seks bebas serta prostitusi (11/7). Kalau perda itu mengatur kondom maka jelas merupakan tiruan dari Thailand yang konon kabarnya berhasil menekan kasus infeksi baru HIV berkat ‘Program 100 Persen Kondom”. Artinya, setiap hubungan seks berisiko laki-laki diwajibkan memakai kondom.
Kalau pun penggunaan kondom kelak diatur dalam perda, maka pertanyaan yang sangat mendasar adalah: di mana dan bagaiman mengaturnya? Di Thailand bisa diatur karena ada lokalisasi dan rumah border. Nah, apakah di Kalbar ada lokalisasi pelacuran yang ‘resmi’? Thailand mengaturnya dengan cara memeriksa pekerja seks secara berkala. Kalau ada yang tertular IMS, seperti sifilis, GO, dll., maka mucikari atua germonya mendapatkan hukuman sampai penutupan rumah bordir. Apakah hal ini bisa dilakukan di Kalbar?
Lagi pula belakangan ‘hidung belang’ di Thailand putra otak. Mereka tidak ‘main’ di lokalisasi atau rumah bordir tapi pekerja seks mereka bawa ke rumah, apartemen, hotel atau tempat lain sehingga aturan “100 Persen Kondom” tidak berlaku bagi mereka. Maka, program itu pun tetap ada kelemahannya karena pada akhirnya tergantung kepada orang per orang.
Asumsi
“Beberapa daerah mengalami kegagalan dalam implementasi Perda HIV/AIDS. Ada sesuatu yang dianggap tabu oleh sebagian masyarakat seperti melegalkan penggunaan kondom. Padahal salah satu teknis pelaksanaan perda tersebut adalah menempatkan beberapa titik untuk melegalkan penggunaan kondom. Muncul beberapa apresiasi akibat pelegalan tersebut seperti melegalkan jinah.” (7/9) Tidak ada satu pun UU yang melarang penggunaan kondom karena kondom bukan barang yang dilarang di Indonesia. Tidak ada kaitan kegagalan perda-perda AIDS dengan kondom karena dalam perda-perda AIDS itu penggunaan kondom untuk mencegahj penularan HIV tidak disebutkan secara eksplisit.
Ada satu hal yang selama ini dianggap sebagai kebenaran padahal hanya asumsi yaitu ‘kondom mendorong orang berzina’. Ini tidak akurat karena laki-laki yang sering berganti-ganti pasangan di dalam atau di luar nikah justru enggan memakai kondom. Inilah salah satu faktor yang mendorong penyebaran HIV/AIDS terus terjadi. Alasannya bermacam-macam: hubungan seks tidak nikmat, repot, dll. Lagi pula tentulah hal yang bodoh bagi seorang laki-laki yang sudah membayar ‘cewek’ dan hotel ratusan ribu rupiah tapi ketika melakukan hubungan seks penisnya dibalut.
Kekeliruan lain adalah cara pencegahan HIV melalui hubungan seks selalu mengedepankan kondom. Padahal, mencegah penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam dan di luar nikah, adalah dengan cara jangan melakukan hubungan seks dengan orang yang sudah tertular HIV (Odha yaitu Orang dengan HIV/AIDS). Persoalannya adalah tidak bisa dikenali dengan mata telanjang siapa saja orang yang sudah tertular HIV. Jika ini yang terjadi maka menghindarkan penularan HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang tidak diketahui status HIV-nya adalah menghindarkan penis bergesekan langsung dengan vagina. Soalnya, dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam air mani dan cairan vagina.
Pengenalan seks sejak dini pun tidak akan banyak membantu pencegahan HIV kalau mterinya tetap dibalut dengan moral dan agama. Hasilnya tetap nol besar. Untuk itulah yang diperlukan adalah meningkatkan penyuluhan dengan materi KIE yang akurat tanpa dibumbui dengan norma, moral, dan agama.
Berbekal pengetahun yang akurat tentang HIV/AIDS maka masyarakat akan bisa melindungi dirinya agar tidak tertular atau menularkan HIV kepada orang lain. ***
Penulis seorang pemerhati masalah HIV/AIDS, pengasuh rubrik “Konsultasi HIV/AIDS” di Harian “Pontianak Post”.
CATATAN: Perda Tidak Akan Bisa Menanggulangi AIDS
Oleh: Syaiful W Harahap
[Sumber: Harian ”Swara Kita”, Manado, 11 Maret 2008]
BERITA “Pemprov Diminta Pro Aktif, Perda AIDS ‘Disepelekan’” di “Swara Kita” Manado, Sulut, edisi 23 Februari 2008 menunjukkan pemahaman terhadap pencega-han HIV yang akurat masih ren-dah di banyak kalangan. Sudah ada beberapa kota, kabupaten dan provinsi yang meneluarkan Perda Penanggulangan HIV/AIDS tapi hasilnya nol besar karena perda itu tidak menyen-tuh persoalan yang mendasar terkait dengan pencegahan HIV.
Di Tanah Papua, misalnya, su-dah ada beberapa Perda AIDS mulai dari Merauke sampai Na-bire, tapi epidemi HIV tetap men-jadi persoalan besar di sana. Fakta menunjukkan jumlah ibu rumah tangga yang tertular HIV dikabarkan lebih banyak dari-pada pekerja seks yang terde-teksi HIV-positif. Ini menunjuk-kan bahwa suami-suami mereka pernah atau sering melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan perempuan (heteroseksual) atau laki-laki (biseksual) yang berisiko tinggi tertular HIV yaitu tidak memakai kondom dengan pasangan yang berganti-ganti. Atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan di Tanah Pupua, di luar Tanah Papua atau di luar negeri.
Kalau saja pihak-pihak yang merancang Perda AIDS di Tanah Papua mau membuka mata dan hati dengan melihat realitas sosial tadi tentulah materi Perda akan menukik ke upaya-upaya pencegahan yang realistis. Yaitu menganjurkan kepada penduduk agar tidak melakukan hubungan seks yang berisiko tinggi. Perda memberikan pencerahan kepada penduduk agar memamahi cara-cara penularan dan pencegahan yang masuk akal. Terkait dengan fakta di atas yang perlu disampaikan adalah penduduk diminta agar menghindari hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti psangan, seperti pekerja seks.
Celakanya, Perda-perda di sana justru mengedepankan moral sebagai cara untuk mencegah penularan HIV. Misalnya, melarang penduduk melakukan hubungan seks di luar nikah, melakukan hubungan seks dengan perempuan yang bukan istri, atau melarang hubungan seks yang menyimpang. Ini semua normatif dan moralistik yang hanya menghasilkan mitos (anggapan yang salah) karena tidak ada kaitannya secara langsung dengan penularan HIV.
MITOS AIDS
Sebagai virus HIV terdapat dalam (a) cairan darah (laki-laki dan perempuan), (b) air mani (laki-laki, pada sperma tidak ada HIV), (c) cairan vagina (perempuan), dan (d) air susu ibu/ASI (perempuan). Penularan HIV melalui darah yang mengandung HIV bisa terjadi melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik, jaum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan, dan cangkok organ tubuh. Penularan HIV melalui air manu dan cairan vagina yang mengandung HIV bisa terjadi pada saat hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, penetrasi tanpa kondom. Penularan HIV melalui ASI yang mengandung HIV bisa terjadi melalui proses menyusui. Cara-cara penularan ini jelas tidak ada kaitannya secara langsung dengan norma, moral, dan agama.
Di beberapa negara di kawasan Afrika, Eropa Barat, Australia dan Amerika Utara kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa sudah mulai menunjukkan grafik yang mendatar. Padahal, tidak ada bat dan vaksin HIV/AIDS. Lalu, bagaimana hal itu bisa terjadi? Rupanya, masyarakat di sana sudah memahami cara-cara pencegahan yang realistis yaitu menghindari perilaku berisko tinggi tertular HIV: (1) menghindari hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif, (2) menghindari hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, karena ada kemungkinan salah satu dari pelanggan PSK itu HIV-positif, (3) menghindari transfusi darah dan cangkok organ tubuh yang tidak diskrining HIV, (4) menghindari pemakaian jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, dan alat-alat kesehatan secara bersama-sama dengan bergiliran.
Nah, kalau materi dalam Perda-perda itu tetap mengedepankan norma, moral, dan agama tentulah tidak menyentuh persoalan yang mendasar karena HIV/AIDS adalah fakta medis. Artinya dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga cara-cara pencegahannya pun dapat dilakukan dengan teknologi medis yang benar-benar masuk akal dan dapat dilakukan oleh setiap orang.
Mencegah penularan HIV yang realistis adalah menghindarkan agar cairan-cairan tubuh yang mengadung HIV tidak masuk ke dalam tubuh orang lain melalui: (a) hubungan seks di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, (d) cangkok organ tubuh, dan (e) menyusui. Ini fakta. Tapi, karena selama ini materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) tentang HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral, dan agama maka yang muncul dari berbagai penyuluhan hanya mitos sehingga masyarakat tidak memahami cara-cara pencegahan yang realistis.
Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, seks bebas, seks menyimpang, dan homoseksual. Penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, tidak ada kaitannya secara langsung dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, seks bebas, seks menyimpang, dan homoseksual karena penularan (bisa) terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks mereka lakukan dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, seks bebas, seks menyimpang, dan homoseksual.
Tanpa Disadari
Pada Perda AIDS Riau, misalnya, disebutkan bahwa cara mencegah penularan HIV adalah dengan ‘Meningkatkan Iman dan Taqwa’. Bagaimana mengukur tingkat iman dan taqwa yang dapat mencegah penularan HIV? Selain itu Perda ini pun menyuburkan stigma (cap buruh) terhadap orang-orang yang tertular HIV karena mereka dianggap tidak beriman dan tidak bertaqwa. Apakah seorang bayi yang lahir dari ibu yang HIV-positif tertular HIV karena dia tidak beriman dan tidak bertaqwa?
Perda AIDS Kota Palembang pun mengedepankan upaya pencegahan dengan memberikan ancaman hukuman pidana kepada orang-orang yang dengan sengaja menularkan HIV. Padahal, sekitar 90 persen penularan HIV terjadi tanpa disadari. Perda ini tidak bisa mengendalikan penularan HIV karena yang ‘ditembak’ justru orang yang sudah mengangkat bendera putih yaitu orang-orang yang sudah terdeteksi HIV-positif. Kalangan ini, disebut Odha (Orang dengan HIV/AIDS) sudah sepakat menghentikan penularan HIV mulai dari diri mereka. Sementara itu banyak orang di masyarakat yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi justru menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk tanpa disadarinya.
Perda AIDS di Bali dan Jawa Timur pun sama saja. Tetap mengedepankan aspek moral tinimbang fakta medis dalam upaya menanggulangi AIDS. Akibatnya, perda-perda AIDS itu pun tidak menyentuh persoalan yang mendasar dalam penanggulangan HIV/AIDS yaitu perilaku berisiko tanpa dikaitkan dengan norma, moral dan agama.
Karena penularan HIV lebih banyak terjadi tanpa disadari maka upaya penanggulangan dengan dukungan hukum, dalam hal ini Perda, harus ditujukan kepada fakta ini. Karena penularan bisa terjadi tanpa disadari maka yang perlu ditegaskan dalam Perda adalah kewajiban kepada setiap orang untuk memakai kondom jika melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan di wilayah Perda, di luar wilayah Perda, atau di luar negeri. (penulis seorang pemerhati HIV/AIDS melalui LSM—media watch—“InfoKespro” Jakarta) *
BERITA “Pemprov Diminta Pro Aktif, Perda AIDS ‘Disepelekan’” di “Swara Kita” Manado, Sulut, edisi 23 Februari 2008 menunjukkan pemahaman terhadap pencega-han HIV yang akurat masih ren-dah di banyak kalangan. Sudah ada beberapa kota, kabupaten dan provinsi yang meneluarkan Perda Penanggulangan HIV/AIDS tapi hasilnya nol besar karena perda itu tidak menyen-tuh persoalan yang mendasar terkait dengan pencegahan HIV.
Di Tanah Papua, misalnya, su-dah ada beberapa Perda AIDS mulai dari Merauke sampai Na-bire, tapi epidemi HIV tetap men-jadi persoalan besar di sana. Fakta menunjukkan jumlah ibu rumah tangga yang tertular HIV dikabarkan lebih banyak dari-pada pekerja seks yang terde-teksi HIV-positif. Ini menunjuk-kan bahwa suami-suami mereka pernah atau sering melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan perempuan (heteroseksual) atau laki-laki (biseksual) yang berisiko tinggi tertular HIV yaitu tidak memakai kondom dengan pasangan yang berganti-ganti. Atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan di Tanah Pupua, di luar Tanah Papua atau di luar negeri.
Kalau saja pihak-pihak yang merancang Perda AIDS di Tanah Papua mau membuka mata dan hati dengan melihat realitas sosial tadi tentulah materi Perda akan menukik ke upaya-upaya pencegahan yang realistis. Yaitu menganjurkan kepada penduduk agar tidak melakukan hubungan seks yang berisiko tinggi. Perda memberikan pencerahan kepada penduduk agar memamahi cara-cara penularan dan pencegahan yang masuk akal. Terkait dengan fakta di atas yang perlu disampaikan adalah penduduk diminta agar menghindari hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti psangan, seperti pekerja seks.
Celakanya, Perda-perda di sana justru mengedepankan moral sebagai cara untuk mencegah penularan HIV. Misalnya, melarang penduduk melakukan hubungan seks di luar nikah, melakukan hubungan seks dengan perempuan yang bukan istri, atau melarang hubungan seks yang menyimpang. Ini semua normatif dan moralistik yang hanya menghasilkan mitos (anggapan yang salah) karena tidak ada kaitannya secara langsung dengan penularan HIV.
MITOS AIDS
Sebagai virus HIV terdapat dalam (a) cairan darah (laki-laki dan perempuan), (b) air mani (laki-laki, pada sperma tidak ada HIV), (c) cairan vagina (perempuan), dan (d) air susu ibu/ASI (perempuan). Penularan HIV melalui darah yang mengandung HIV bisa terjadi melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik, jaum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan, dan cangkok organ tubuh. Penularan HIV melalui air manu dan cairan vagina yang mengandung HIV bisa terjadi pada saat hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, penetrasi tanpa kondom. Penularan HIV melalui ASI yang mengandung HIV bisa terjadi melalui proses menyusui. Cara-cara penularan ini jelas tidak ada kaitannya secara langsung dengan norma, moral, dan agama.
Di beberapa negara di kawasan Afrika, Eropa Barat, Australia dan Amerika Utara kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa sudah mulai menunjukkan grafik yang mendatar. Padahal, tidak ada bat dan vaksin HIV/AIDS. Lalu, bagaimana hal itu bisa terjadi? Rupanya, masyarakat di sana sudah memahami cara-cara pencegahan yang realistis yaitu menghindari perilaku berisko tinggi tertular HIV: (1) menghindari hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif, (2) menghindari hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, karena ada kemungkinan salah satu dari pelanggan PSK itu HIV-positif, (3) menghindari transfusi darah dan cangkok organ tubuh yang tidak diskrining HIV, (4) menghindari pemakaian jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, dan alat-alat kesehatan secara bersama-sama dengan bergiliran.
Nah, kalau materi dalam Perda-perda itu tetap mengedepankan norma, moral, dan agama tentulah tidak menyentuh persoalan yang mendasar karena HIV/AIDS adalah fakta medis. Artinya dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga cara-cara pencegahannya pun dapat dilakukan dengan teknologi medis yang benar-benar masuk akal dan dapat dilakukan oleh setiap orang.
Mencegah penularan HIV yang realistis adalah menghindarkan agar cairan-cairan tubuh yang mengadung HIV tidak masuk ke dalam tubuh orang lain melalui: (a) hubungan seks di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, (d) cangkok organ tubuh, dan (e) menyusui. Ini fakta. Tapi, karena selama ini materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) tentang HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral, dan agama maka yang muncul dari berbagai penyuluhan hanya mitos sehingga masyarakat tidak memahami cara-cara pencegahan yang realistis.
Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, seks bebas, seks menyimpang, dan homoseksual. Penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, tidak ada kaitannya secara langsung dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, seks bebas, seks menyimpang, dan homoseksual karena penularan (bisa) terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks mereka lakukan dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, seks bebas, seks menyimpang, dan homoseksual.
Tanpa Disadari
Pada Perda AIDS Riau, misalnya, disebutkan bahwa cara mencegah penularan HIV adalah dengan ‘Meningkatkan Iman dan Taqwa’. Bagaimana mengukur tingkat iman dan taqwa yang dapat mencegah penularan HIV? Selain itu Perda ini pun menyuburkan stigma (cap buruh) terhadap orang-orang yang tertular HIV karena mereka dianggap tidak beriman dan tidak bertaqwa. Apakah seorang bayi yang lahir dari ibu yang HIV-positif tertular HIV karena dia tidak beriman dan tidak bertaqwa?
Perda AIDS Kota Palembang pun mengedepankan upaya pencegahan dengan memberikan ancaman hukuman pidana kepada orang-orang yang dengan sengaja menularkan HIV. Padahal, sekitar 90 persen penularan HIV terjadi tanpa disadari. Perda ini tidak bisa mengendalikan penularan HIV karena yang ‘ditembak’ justru orang yang sudah mengangkat bendera putih yaitu orang-orang yang sudah terdeteksi HIV-positif. Kalangan ini, disebut Odha (Orang dengan HIV/AIDS) sudah sepakat menghentikan penularan HIV mulai dari diri mereka. Sementara itu banyak orang di masyarakat yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi justru menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk tanpa disadarinya.
Perda AIDS di Bali dan Jawa Timur pun sama saja. Tetap mengedepankan aspek moral tinimbang fakta medis dalam upaya menanggulangi AIDS. Akibatnya, perda-perda AIDS itu pun tidak menyentuh persoalan yang mendasar dalam penanggulangan HIV/AIDS yaitu perilaku berisiko tanpa dikaitkan dengan norma, moral dan agama.
Karena penularan HIV lebih banyak terjadi tanpa disadari maka upaya penanggulangan dengan dukungan hukum, dalam hal ini Perda, harus ditujukan kepada fakta ini. Karena penularan bisa terjadi tanpa disadari maka yang perlu ditegaskan dalam Perda adalah kewajiban kepada setiap orang untuk memakai kondom jika melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan di wilayah Perda, di luar wilayah Perda, atau di luar negeri. (penulis seorang pemerhati HIV/AIDS melalui LSM—media watch—“InfoKespro” Jakarta) *
Hak Bebas HIV Melalui Transfusi Darah
Oleh: SYAIFUL W HARAHAP
[Sumber: Harian ”Suara Pembaruan”, Jakarta, 1 Desember 2000]
Risiko tertular HIV melalui darah yang terkontaminasi HIV lebih dari 90 persen. Oleh sebabitu setiap orang yang menerima transfusi darah berhak mendapatkan darah yangbebas dari HIV. Pedoman internasional dan Resolusi IPU (Inter-Parliamentary Union) Tahun 1998 juga menghargai undang-undang tentang kesehatan masyarakat yang mengharuskan darah untuk transfusi bebas dari HIV dan penyakit-penyakit yang dibawa darah. Ditinjau dari aspek hak asasi manusia (HAM) pun hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan merupakan hak asasi.
Laporan UNAIDS (1997) menunjukkan lebih dari empat juta darah donor setiap tahundi seluruh dunia tidak dites HIV dan penyakit-penyakit infeksi lain. Dari 34,3 jutakasus HIV/AIDS global 5-10 persen di antaranya tertular melalui transfusi darah yangtidak diskrining HIV. Bahkan di India 7 persen kasus HIV/AIDS tertular melalui transfusi darah (Strategies for Safe Blood Transfusion, WHO, Regional Office for South-East Asia, New Delhi, 1998).
Penularan HIV melalui darah bukan hanya terjadi di negara berkembang, tetapijuga di negara maju. Di Eropa, misalnya, tercatat 6.000 kasus, sedangkan di AS antara 1983 dan 1993 tercatat 8.000 kasus penularan HIV melalui transfusi darah.
Kasus penularan HIV melalui transfusi darah baru saja terjadi pada seorang wanita guru mengaji di Malaysia. Ibu rumah tangga berusia 47 tahun itu berobat ke Rumah Sakit Jitra,28 April 2000, karena perdarahan sehingga memerlukan transfusi darah. Darah yangditransfusikan kemudian diketahui HIV-positif. Tes darah pada 8 Mei 2000 menunjukkan wanita tadi tertular HIV.
Faktor risiko penularan yang jelas diketahui dari transfusi darah di sebuah rumah sakit,menyebabkan wanita itu pun menuntut ganti rugi kepada pemerintah Malaysia sebesar 100 juta ringgit Malaysia (sekitar Rp 200 miliar). Tuntutan lain adalah pengobatan gratisselama sisa hidupnya yang diperkirakan 2.000 ringgit (sekitar Rp 4 juta) per bulan.
Tes Sukarela
Bertolak dari fakta di atas, patutlah kita khawatir membaca berita ''Darah PMI Rentan Penyakit'' (Suara Pembaruan, 11/11-2000). Bisa saja kejadian di Malaysia terjadi di sini.Maka, tuntutan yang sama pun bisa pula terjadi di negeri ini. Apalagi sekarangsudah ada UU Perlindungan Konsumen. Pada Januari 2000, misalnya, Ditjen PPM&PL Depkes melaporkan 16 kasus HIV yang terdeteksi pada darah donor.
Probabilitas penularan HIV melalui darah sangat tinggi. Tidak ada pilihan bagi UTD (unit transfusi darah)-Palang Merah Indonesia (PMI) selain menskrining darah(melakukan uji saring darah) yang akan ditransfusikan.
PMI yang sudah ada sejak tahun 1969 berdasarkan Keppres No 246/1969 mulaimelakukan uji saring darah donor dalam upaya penanggulangan AIDS sejak 1992 berdasarkan Kepmenkes No 622/VII/1992. Tes sifilis mulai dilakukan pada 1974, hepatitis B sejak 1985, sedangkan tes hepatitis C baru dilakukan di beberapa UTD.
Sampai tahun 1996 tercatat 144 UTD di seluruh Indonesia. Bandingkan denganjumlah daerah tingkat dua (kabupaten dan kota) yang mencapai 298. Pemerintah AS mewajibkan darah dites HIV sejak Maret 1985. Identifikasi HIV sendiri pada 1983. Jadi, penerima transfusi darah sebelum 1992, perlu juga memikirkan untuk menjalani tes HIV secara sukarela karena kasus HIV/ AIDS di Indonesia sudah ada sejak 1987. Bahkan, pada 1988 seorang warga negara Indonesia meninggal dengan indikasi AIDS. Berarti, kalau jarak antara infeksi sampai mencapai masa AIDS antara 7-10 tahun maka epidemi HIV sudah ada antara tahun 1978 dan 1983.
Hasil tes HIV terhadap darah donor sendiri bergantung pula pada masa jendela(window period). Biarpun seseorang sudah tertular HIV tetapi dalam rentang waktu enambulan sejak tertular antibodi di dalam darahnya belum bisa dideteksi melalui tes HIV. Dalam kaitan itulah diperlukan kejujuran donor. Salah satu cara untuk mengetahui perilaku donor adalah melalui kuestioner atau daftar pertanyaan.
Biarpun angka kasus infeksi HIV dari transfusi darah kecil tetapi skirining darah donor tetap harus menjadi perhatian karena epidemi HIV dan penyebaran PMS sudah masuk kemasyarakat pada kelompok berisiko rendah tertular HIV, seperti ibu-ibu rumahtangga dan bayi. Pada 1992/1993 dari 533.865 kantong darah terdeteksi delapan kantong darah yang positif HIV, 1997/1998 terdeteksi 28, pada 1998/1999 terdeteksi 56 dan 1999/2000 terdeteksi 66. Jika dihitung rata-rata dari setiap 10.000 kantong darah ada satuyang positif HIV.
Standar ISO
Melihat risiko penularan melalui transfusi yang sangat tinggi, ada baiknya kalaukebutuhan darah dicari dari lingkungan anggota keluarga. Anggota keluarga tentu akan lebih jujur sehingga hasil negatif palsu (hasil tes HIV pada masa jendela) dapat dihindarkan. Di samping itu pemberian transfusi darah pun harus rasional, artinya transfusi diberikan jika pertimbangan secara medis sudah mengharuskannya.
Selama ini UTD-PMI menghadapi kendala biaya untuk uji saring darah (biaya penggantipengolahan darah/ BPPD) yang terus meningkat. Pengujian satu labu darah memerlukan biaya Rp 106.000, tetapi BPPD yang ditetapkan UTD-PMI justru di bawah biaya uji saring darah (Republika, 13/11-2000). Jika dibandingkan dengan risiko penularan HIV dan penyakit lain dari transfusi darah yang tidak disaring tentulah biaya itu tidak besar. Inilah yang perlu disosialisasikan agar masyarakat memahaminya. Agaknya, itulah yang kurang dilakukan selama ini. Di Malaysia darah untuk transfusi gratis.
Ada baiknya anjuran WHO untuk melakukan pool 2 sampai pool 6(menggabungkan dua sampai enam contoh darah) pada uji saring darah bagi negara yang kekurangan dana dan prevalensi HIV rendah tidak diterapkan secara membabi-buta. Prevalensi HIVsecara nasional yang dinilai rendah itu terjadi karena surveilllance testdilakukan secarasporadis, bahkan sering mengabaikan hak-hak asasi manusia (HAM) ketika dilakukan terhadap pekerja seks. Petugas menyebutkan surveillance sifilis, tetapi yang terjadi kemudian tes HIV. Identitas pekerja seks pun diketahui karena contoh darah dicatat.
Jadi, prevalensi HIV nasional tidak dapat dijadikan patokan karena surveillancetest tidak sistematis dan angka kasus kumulatif HIV/AIDS pun tidak semuanya warga negara Indonesia. Tidak sedikit pula dari angka itu yang merupakan hasil surveillance test sehingga tidak akurat karena hasil- nya belum dikonfirmasi dengan tes lain.
Negara-negara lain, seperti Malaysia, sudah melakukan surveilance test berupa skirining rutin terhadap pasien klinik PMS (penyait menular seksual), pengguna narkoba suntikan (injecting drug use/IDU), perempuan hamil, polisi, narapidana, dan pasien TB, sehingga prevalensi HIVnya lebih akurat. Sampai sekarang sistem ini tidak ada di Indonesia sehingga identifikasi kasus-kasus baru hanya diperoleh dari diagnosis dan darah donor.
Untuk mengantisipasi kemungkinan penularan melalui transfusi darah Malaysiamenetapkan pelayanan transfusi darah di negeri jiran itu akan tunduk pada ISO(International Organization for Standardization) melalui standar ISO/ICE 17025:1999 (general requirements for the competence of testing and calibration laboratories). Cara yang ditempuh Malaysia itu dapat menjadi cermin bagi kita. Biarpun biaya untukmendapatkan sertifikat ISO besar, tetapi akan lebih baik daripada dituntut ratusan miliarrupiah. uPenulis adalah pemerhati masalah HIV/AIDS. *
[Sumber: Harian ”Suara Pembaruan”, Jakarta, 1 Desember 2000]
Risiko tertular HIV melalui darah yang terkontaminasi HIV lebih dari 90 persen. Oleh sebabitu setiap orang yang menerima transfusi darah berhak mendapatkan darah yangbebas dari HIV. Pedoman internasional dan Resolusi IPU (Inter-Parliamentary Union) Tahun 1998 juga menghargai undang-undang tentang kesehatan masyarakat yang mengharuskan darah untuk transfusi bebas dari HIV dan penyakit-penyakit yang dibawa darah. Ditinjau dari aspek hak asasi manusia (HAM) pun hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan merupakan hak asasi.
Laporan UNAIDS (1997) menunjukkan lebih dari empat juta darah donor setiap tahundi seluruh dunia tidak dites HIV dan penyakit-penyakit infeksi lain. Dari 34,3 jutakasus HIV/AIDS global 5-10 persen di antaranya tertular melalui transfusi darah yangtidak diskrining HIV. Bahkan di India 7 persen kasus HIV/AIDS tertular melalui transfusi darah (Strategies for Safe Blood Transfusion, WHO, Regional Office for South-East Asia, New Delhi, 1998).
Penularan HIV melalui darah bukan hanya terjadi di negara berkembang, tetapijuga di negara maju. Di Eropa, misalnya, tercatat 6.000 kasus, sedangkan di AS antara 1983 dan 1993 tercatat 8.000 kasus penularan HIV melalui transfusi darah.
Kasus penularan HIV melalui transfusi darah baru saja terjadi pada seorang wanita guru mengaji di Malaysia. Ibu rumah tangga berusia 47 tahun itu berobat ke Rumah Sakit Jitra,28 April 2000, karena perdarahan sehingga memerlukan transfusi darah. Darah yangditransfusikan kemudian diketahui HIV-positif. Tes darah pada 8 Mei 2000 menunjukkan wanita tadi tertular HIV.
Faktor risiko penularan yang jelas diketahui dari transfusi darah di sebuah rumah sakit,menyebabkan wanita itu pun menuntut ganti rugi kepada pemerintah Malaysia sebesar 100 juta ringgit Malaysia (sekitar Rp 200 miliar). Tuntutan lain adalah pengobatan gratisselama sisa hidupnya yang diperkirakan 2.000 ringgit (sekitar Rp 4 juta) per bulan.
Tes Sukarela
Bertolak dari fakta di atas, patutlah kita khawatir membaca berita ''Darah PMI Rentan Penyakit'' (Suara Pembaruan, 11/11-2000). Bisa saja kejadian di Malaysia terjadi di sini.Maka, tuntutan yang sama pun bisa pula terjadi di negeri ini. Apalagi sekarangsudah ada UU Perlindungan Konsumen. Pada Januari 2000, misalnya, Ditjen PPM&PL Depkes melaporkan 16 kasus HIV yang terdeteksi pada darah donor.
Probabilitas penularan HIV melalui darah sangat tinggi. Tidak ada pilihan bagi UTD (unit transfusi darah)-Palang Merah Indonesia (PMI) selain menskrining darah(melakukan uji saring darah) yang akan ditransfusikan.
PMI yang sudah ada sejak tahun 1969 berdasarkan Keppres No 246/1969 mulaimelakukan uji saring darah donor dalam upaya penanggulangan AIDS sejak 1992 berdasarkan Kepmenkes No 622/VII/1992. Tes sifilis mulai dilakukan pada 1974, hepatitis B sejak 1985, sedangkan tes hepatitis C baru dilakukan di beberapa UTD.
Sampai tahun 1996 tercatat 144 UTD di seluruh Indonesia. Bandingkan denganjumlah daerah tingkat dua (kabupaten dan kota) yang mencapai 298. Pemerintah AS mewajibkan darah dites HIV sejak Maret 1985. Identifikasi HIV sendiri pada 1983. Jadi, penerima transfusi darah sebelum 1992, perlu juga memikirkan untuk menjalani tes HIV secara sukarela karena kasus HIV/ AIDS di Indonesia sudah ada sejak 1987. Bahkan, pada 1988 seorang warga negara Indonesia meninggal dengan indikasi AIDS. Berarti, kalau jarak antara infeksi sampai mencapai masa AIDS antara 7-10 tahun maka epidemi HIV sudah ada antara tahun 1978 dan 1983.
Hasil tes HIV terhadap darah donor sendiri bergantung pula pada masa jendela(window period). Biarpun seseorang sudah tertular HIV tetapi dalam rentang waktu enambulan sejak tertular antibodi di dalam darahnya belum bisa dideteksi melalui tes HIV. Dalam kaitan itulah diperlukan kejujuran donor. Salah satu cara untuk mengetahui perilaku donor adalah melalui kuestioner atau daftar pertanyaan.
Biarpun angka kasus infeksi HIV dari transfusi darah kecil tetapi skirining darah donor tetap harus menjadi perhatian karena epidemi HIV dan penyebaran PMS sudah masuk kemasyarakat pada kelompok berisiko rendah tertular HIV, seperti ibu-ibu rumahtangga dan bayi. Pada 1992/1993 dari 533.865 kantong darah terdeteksi delapan kantong darah yang positif HIV, 1997/1998 terdeteksi 28, pada 1998/1999 terdeteksi 56 dan 1999/2000 terdeteksi 66. Jika dihitung rata-rata dari setiap 10.000 kantong darah ada satuyang positif HIV.
Standar ISO
Melihat risiko penularan melalui transfusi yang sangat tinggi, ada baiknya kalaukebutuhan darah dicari dari lingkungan anggota keluarga. Anggota keluarga tentu akan lebih jujur sehingga hasil negatif palsu (hasil tes HIV pada masa jendela) dapat dihindarkan. Di samping itu pemberian transfusi darah pun harus rasional, artinya transfusi diberikan jika pertimbangan secara medis sudah mengharuskannya.
Selama ini UTD-PMI menghadapi kendala biaya untuk uji saring darah (biaya penggantipengolahan darah/ BPPD) yang terus meningkat. Pengujian satu labu darah memerlukan biaya Rp 106.000, tetapi BPPD yang ditetapkan UTD-PMI justru di bawah biaya uji saring darah (Republika, 13/11-2000). Jika dibandingkan dengan risiko penularan HIV dan penyakit lain dari transfusi darah yang tidak disaring tentulah biaya itu tidak besar. Inilah yang perlu disosialisasikan agar masyarakat memahaminya. Agaknya, itulah yang kurang dilakukan selama ini. Di Malaysia darah untuk transfusi gratis.
Ada baiknya anjuran WHO untuk melakukan pool 2 sampai pool 6(menggabungkan dua sampai enam contoh darah) pada uji saring darah bagi negara yang kekurangan dana dan prevalensi HIV rendah tidak diterapkan secara membabi-buta. Prevalensi HIVsecara nasional yang dinilai rendah itu terjadi karena surveilllance testdilakukan secarasporadis, bahkan sering mengabaikan hak-hak asasi manusia (HAM) ketika dilakukan terhadap pekerja seks. Petugas menyebutkan surveillance sifilis, tetapi yang terjadi kemudian tes HIV. Identitas pekerja seks pun diketahui karena contoh darah dicatat.
Jadi, prevalensi HIV nasional tidak dapat dijadikan patokan karena surveillancetest tidak sistematis dan angka kasus kumulatif HIV/AIDS pun tidak semuanya warga negara Indonesia. Tidak sedikit pula dari angka itu yang merupakan hasil surveillance test sehingga tidak akurat karena hasil- nya belum dikonfirmasi dengan tes lain.
Negara-negara lain, seperti Malaysia, sudah melakukan surveilance test berupa skirining rutin terhadap pasien klinik PMS (penyait menular seksual), pengguna narkoba suntikan (injecting drug use/IDU), perempuan hamil, polisi, narapidana, dan pasien TB, sehingga prevalensi HIVnya lebih akurat. Sampai sekarang sistem ini tidak ada di Indonesia sehingga identifikasi kasus-kasus baru hanya diperoleh dari diagnosis dan darah donor.
Untuk mengantisipasi kemungkinan penularan melalui transfusi darah Malaysiamenetapkan pelayanan transfusi darah di negeri jiran itu akan tunduk pada ISO(International Organization for Standardization) melalui standar ISO/ICE 17025:1999 (general requirements for the competence of testing and calibration laboratories). Cara yang ditempuh Malaysia itu dapat menjadi cermin bagi kita. Biarpun biaya untukmendapatkan sertifikat ISO besar, tetapi akan lebih baik daripada dituntut ratusan miliarrupiah. uPenulis adalah pemerhati masalah HIV/AIDS. *
Langganan:
Postingan (Atom)