23 September 2017

Deteksi Dini HIV/AIDS di Kota Depok adalah Penanggulangan di Hilir


Oleh: Syaiful W HARAHAP

Upaya pencegahan bahaya HIV/AIDS terus dilakukan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Depok. Salah upaya itu adalah dengan melakukan kegiatan deteksi HIV/AIDS melalui layanan mobile Voluntary Counseling and Testing (VCT) secara intensif. Ini lead pada berita “Kota Depok Gencar Lakukan Deteksi Dini HIV/AIDS” (republika.co.id, 6/9-2017). Catatan Dinkes Kota Depok menunjukkan ada 600 kasus HIV/AIDS yang terdeteksi (rakyat-jabar.com, 2/12-2016).

Ada beberapa hal yang tidak pas dalam berita ini.

Pertama, dalam kaitan epidemi HIV/AIDS bukan pencegahan bahaya HIV/AIDS tapi pencegahan penyebaran atau penularan HIV (baru) dari orang ke orang di Kota Depok. Risiko penularan HIV ke warga Kota Depok al. terjadi melalui perilaku berisiko dalam hubungan seksual, yaitu:

Perilaku Berisiko

(1) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual, di Kota Depok atau di luar Kota Depok atau di luar negeri, tanpa memakai kondom di dalam ikatan pernikahan yang sah dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu di antara perempuan tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.

(2) Perempuan yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual, di Kota Depok atau di luar Kota Depok atau di luar negeri, di dalam ikatan pernikahan yang sah dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu di antara laki-laki tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.

(3) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual, di Kota Depok atau di luar Kota Depok atau di luar negeri, di luar ikatan pernikahan yang sah dengan perempuan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu di antara prempuan tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.

(4) Perempuan yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual, di Kota Depok atau di luar Kota Depok atau di luar negeri, di luar ikatan pernikahan yang sah dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu di antara laki-laki tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.

(5) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual, di Kota Depok atau di luar Kota Depok atau di luar negeri, dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, seperti pekerja seks komersial (PSK) dan waria. PSK dikenal ada dua tipe, yaitu:

(a) PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(b) PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat plus-plus, ‘artis’, ‘spg’, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, ibu-ibu rumah tangga, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.



Bom Waktu

Yang jadi masalah besar adalah semua perilaku di atas bersifat pribadi sehingga tidak bisa dilakukan intervensi (Lihat Gambar 2). Hanya pada perilaku nomor 5 b yang bisa dilakukan intervensi dengan catatan transaksi seks yang melibatkan PSK langsung dilokalisir yaitu dengan memaksa laki-laki memakai kondoms setiap kali ngeseks dengan PSK.

Tentu saja hal itu (melokalisir pelacuran) sangat mustahil karena sejak reformasi ada gerakan massal di semua daerah yang menutup tempat-tempat rehabilitasi dan resosialiasi (Resos) PSK. Maka, praktek transaksi seks yang melibatkan PSK langsung dan tidak langsung pun berjalan di bawah tanah sehingga tidak terdeteksi. Bahkan, komunikasi melalui jaringan telepon dan Interenet yang memanfaatkan media sosial dan telepon pintar.

Kedua, disebutkan pencegahan dengan kegiatan deteksi HIV/AIDS. Lagi-lagi ini tidak pas karena deteksi HIV, melalui tes HIV, dilakukan kepada warga yang ada di antara mereka yang sudah tertular HIV. Artinya, deteksi dini itu adalah kegiatan di hilir (Lihat Gambar 1).

Yang diperlukan adalah pencegahan di hulu agar insiden infeksi HIV baru, khususnya pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK langsung, bisa diturunkan. Sekali lagi hanya bisa diturunkan atau dikurangi karena adalah hal yang mustahil menghentikan insiden penularan HIV karena bisa saja perilaku berisiko dilakuka warga Kota Depok di luar Kota Depok bahkan di luar negeri.

Bahwa deteksi dini merupakan langkah di hilir artinya warga Kota Depok yang sudah tertular HIV bisa disimak dari pernyataan Kepala Bidang Penanganan dan Pengendalian Penyakit (P2P), Dinkes Kota Depok, Rani ini: "Diharapkan dengan adanya mobile VCT, penderita HIV/AIDS dapat  tertangani sedini mungkin,"

Dikatakan pula oleh Rani bahwa "Sebelum pemeriksaan, kami beri penyuluhan terlebih dahulu, kemudian warga yang hadir dapat mengikuti pemeriksaan HIV/AIDS.”

Yang jadi pertanyaan adalah: Apakah semua yang hadir menjalani tes HIV?

Soalnya, tidak semua orang berperilaku yang berisiko tertular HIV, kecuali ibu-ibu rumah tangga yang hamil perlu tes HIV karena bisa saja ada suami mereka yang melakukan perilaku berisiko tertular HIV.

Maka, salah satu langkah penanggulangan yang efektif adalah Pemkot Depok dan DPRD Kota Depok membuat peraturan daerah (Perda) yang mewajibkan suami seorang ibu rumah tangga yang hamil untuk menjalani konseling HIV yang dilanjutkan dengan tes HIV jika terbukti perilaku suami berisiko tertular HIV. Jika suami terdeteksi HIV-positif barulah istrinya yang hamil menjalani tes HIV. Kalau hasilnya positif, maka dokter akan menangani si ibu hamil agar risiko penularan secara vertikal ke bayi yang dikandungnya bisa ditekan sampai nol persen.

Selama Pemkot Kota Depok tidak menjalankan pencegahan di hilir, al. melalui hubungan seksual antara warga laki-laki dewasa dengan PSK, maka selama itu pula insiden infeksi HIV baru akan terjadi. Pada gilirannya laki-laki dewasa yang tertular HIV akan jadi mata rantai penyebatan HIV di Kota Depok terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Penyebaran HIV bagaikan ‘bom waktu’ yang kelak menyebabkan ‘ledakan AIDS.” * [kompasiana.com/infokespro] *

22 September 2017

Tak Benar Kondom Mendorong Seks Bebas

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Badan Narkotika dan Penanggulangan HIV/AIDS Provinsi Lampung mendapati jumlah penderita HIV/AIDS di Lampung meningkat. Hingga kini, tercatat 288 orang terinfeksi penyakit mematikan ini.

"Penyebab utama HIV/AIDS di Lampung itu adalah penyalahgunaan narkoba dengan jarum suntik, yaitu 81 persen atau 233 orang," kata Kepala Sekretariat Badan Narkotika dan Penanggulangan HIV/AIDS Provinsi Lampung, Ahmad Alwi Siregar, pada Sosialisasi dan Persamaan Persepsi Pemberitaan HIV/AIDS dengan Media Massa, di Bandar Lampung, Selasa (3-6).

Mengutip data Dinas Kesehatan Provinsi Lampung dan Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Lampung, Alwi menyebutkan hingga Desember 2007 terdapat 54 kasus HIV/AIDS yang meninggal dunia dari 167 kasus HIV/AIDS di Lampung.

Kumulatif kasus HIV/AIDS paling banyak di Kota Bandar Lampung sebanyak 134 kasus dengan 45 kasus yang meninggal dunia. Disusul di Kabupaten Lampung Utara (7 kasus), Lampung Tengah (6 kasus), dan Lampung Selatan serta Metro lima kasus masing-masing.

Penularan HIV/AIDS di Lampung, kata alwi, akibat penyalahgunaan narkoba jarum suntik (IDU) sebesar 81 persen atau 233 orang, dan 19 persen yang lain disebabkan perilaku seksual bebas atau menyimpang, penularan dari orang tua kepada anaknya, dan penyebab yang lain.
Hal senada diungkapkan Saiful W. Harahap dari LSM Infokespro Jakarta. Menurut dia, pengguna narkoba mudah tertular HIV karena kerap menggunakan jarum suntik secara bergantian.

"Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) adalah suatu kondisi masuknya virus yang menyerang kekebalan tubuhnya dan orang yang mengidap HIV/AIDS CD4 (inti sel) harus di bawah 200. Apabila belum mencapai 200 belum bisa dikatakan mengidap HIV/AIDS. Gejala yang ditimbulkan orang terinfeksi bila mengalami panas tinggi selama dua pekan, tentunya jika orang itu memang berisiko tinggi seperti melakukan hubungan seks bebas dan perilaku menyimpang seks lain," kata Saiful. n CR-2/K-2

URL http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2008060316205520http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2008060316205520
[Sumber: Harian ”Lampung Post”, 4 Juni 2008]

Di Lampung 288 Orang Terinfeksi HIV/AIDS

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Badan Narkotika dan Penanggulangan HIV/AIDS Provinsi Lampung mendapati jumlah penderita HIV/AIDS di Lampung meningkat. Hingga kini, tercatat 288 orang terinfeksi penyakit mematikan ini.

"Penyebab utama HIV/AIDS di Lampung itu adalah penyalahgunaan narkoba dengan jarum suntik, yaitu 81 persen atau 233 orang," kata Kepala Sekretariat Badan Narkotika dan Penanggulangan HIV/AIDS Provinsi Lampung, Ahmad Alwi Siregar, pada Sosialisasi dan Persamaan Persepsi Pemberitaan HIV/AIDS dengan Media Massa, di Bandar Lampung, Selasa (3-6).

Mengutip data Dinas Kesehatan Provinsi Lampung dan Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Lampung, Alwi menyebutkan hingga Desember 2007 terdapat 54 kasus HIV/AIDS yang meninggal dunia dari 167 kasus HIV/AIDS di Lampung.

Kumulatif kasus HIV/AIDS paling banyak di Kota Bandar Lampung sebanyak 134 kasus dengan 45 kasus yang meninggal dunia. Disusul di Kabupaten Lampung Utara (7 kasus), Lampung Tengah (6 kasus), dan Lampung Selatan serta Metro lima kasus masing-masing.

Penularan HIV/AIDS di Lampung, kata alwi, akibat penyalahgunaan narkoba jarum suntik (IDU) sebesar 81 persen atau 233 orang, dan 19 persen yang lain disebabkan perilaku seksual bebas atau menyimpang, penularan dari orang tua kepada anaknya, dan penyebab yang lain.
Hal senada diungkapkan Saiful W. Harahap dari LSM Infokespro Jakarta. Menurut dia, pengguna narkoba mudah tertular HIV karena kerap menggunakan jarum suntik secara bergantian.

"Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) adalah suatu kondisi masuknya virus yang menyerang kekebalan tubuhnya dan orang yang mengidap HIV/AIDS CD4 (inti sel) harus di bawah 200. Apabila belum mencapai 200 belum bisa dikatakan mengidap HIV/AIDS. Gejala yang ditimbulkan orang terinfeksi bila mengalami panas tinggi selama dua pekan, tentunya jika orang itu memang berisiko tinggi seperti melakukan hubungan seks bebas dan perilaku menyimpang seks lain," kata Saiful. n CR-2/K-2

URL http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2008060316205520http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2008060316205520
[Sumber: Harian ”Lampung Post”, 4 Juni 2008]

AIDS Vs Kekuatan MEDIA Vs Kekuatan SOSIAL

KORAN-KORAN di Lampung belum lama ini memberitakan perihal Rt (28), warga Kabupaten Lampung Timur, yang meninggal karena HIV/AIDS. Identitas pengidap itu diungkapkan dengan lengkap, termasuk alamat tempat tinggalnya. "Kami sekeluarga dijauhi tetangga setelah mereka tahu dia terkena HIV/AIDS," kata Yahya, keluarga Rt.

Para tetangga menjauhi mereka begitu media massa memberitakan perihal penyakit yang diidap Rt, mereka juga tidak lagi bersikap seperti biasanya ketika Rt dibawa keluar masuk rumah sakit. "Tetangga mulai menjauh dan enggan datang," katanya. Pengalaman pahit juga dirasakan keluarga itu ketika petugas kesehatan yang merawat Rt berkomentar, kalau di tempat lain rumah warga yang diketahui terjangkit HIV/AIDS pasti dibakar ramai-ramai.

Diskriminasi dan cap buruk dialami keluarga Yahya karena hal itu sehingga akhirnya mereka tidak berani membawa Rt pulang ke rumah. "Kami khawatir ada hal buruk kalau dibawa ke rumah kami," katanya. Begitu pula saat dirawat di salah satu rumah sakit pemerintah di Bandar Lampung. Seorang petugas di rumah sakit itu mengatakan bahwa kasur bekas orang dengan HIV/AIDS (Odha) yang dirawat akan dibakar karena virus yang menempel di kasur tidak bisa dibersihkan lagi.

Saat tahlilan Rt, dari sekitar 30-an tetangga yang diundang, hanya empat yang datang. "Mereka yang datang pun semuanya sama sekali tidak mau makan dan minum penganan yang kami sediakan. Padahal, makanan itu semua dari membeli, bukan memasak sendiri," kata Yahya. Penderitaan keluarga itu, khususnya Rt, bertambah berat ketika suami Rt beserta keluarga enggan mengurusnya selama Rt dirawat di rumah sakit. Edwin, warga Bandar Lampung, juga mengaku menjadi korban diskriminasi dan cap buruk yang dikaitkan dengan HIV/AIDS akibat pemberitaan media massa yang kurang tepat tentang dirinya. "Saya sampai menjadi serba salah dan tidak bisa berbuat apa-apa karena seolah sudah divonis macam-macam lewat pemberitaan koran itu," kata Edwin.

Almizi Usman, pegiat dari kelompok pendamping Odha Saburai Support Group Lampung, menyatakan, cap buruk dan diskriminasi bagi Odha yang dilakukan masyarakat sekitar kerap dipicu pemberitaan kurang tepat dari wartawan. Dia mencontohkan kasus temuan HIV/AIDS di daerahnya yang secara jelas diberitakan identitas dan tempat tinggalnya di media cetak atau disorot kamera secara utuh di televisi. Itu berdampak langsung sangat buruk bagi Odha maupun keluarganya.

"Sayangnya, kenyataan seperti itu masih terus terjadi dan sangat menyedihkan bagi kami semua," kata Almizi. Kelompok itu juga pernah mengadvokasi perihal dampak pemberitaan Odha yang disiarkan sebuah media, sehingga media dan wartawan yang bersangkutan meminta maaf. Tapi pada kesempatan lain, menurut Aji, ternyata pemberitaannya masih belum berubah ke arah lebih baik.

Almizi mengatakan, ada dugaan banyak wartawan tidak mengerti tentang seluk beluk HIV/AIDS, sehingga ketika memberitakan masalah itu, acuannya adalah untuk meningkatkan jumlah tiras. "Tapi coba teman-teman wartawan dan media massa merasakan apa yang dirasakan Odha maupun keluarganya yang terdiskriminasi seperti itu," kata Almizi.

Media massa diingatkan untuk ikut merasakan atau berempati dengan para pengidap itu sehingga dalam memberitakan atau menulis dapat lebih tepat dan benar. Menurut dia, ada pengidap yang hingga saat ini belum mau menjalani perawatan di rumah sakit karena trauma pernah dikejar-kejar wartawan yang ingin memberitakannya. "Sampai sekarang dia hanya mau sembunyi-sembunyi berobat, tidak mau ke rumah sakit. Katanya takut dengan wartawan," ujarnya.

Menurut Syaiful W Harahap, aktivis LSM InfoKespro, kesalahan pada pemberitaan terhadap para pengidap itu antara lain karena wartawan bersangkutan minim pengetahuannya tentang HIV/AIDS. Dia mengingatkan para wartawan dan penulis HIV/AIDS untuk tidak mencampuradukkan antara fakta dan opini, serta bisa membedakan antara fakta privat maupun fakta publik serta opini maupun fakta empiris dan fakta medis, agar beritanya obyektif, tepat, dan benar.

Hingga Desember 2007, ditemukan 208 kasus HIV/AIDS dengan 167 kasus AIDS dan 121 kasus terinfeksi virus HIV. "Penyebab utama HIV/AIDS di Lampung adalah penyalahgunaan narkoba dengan jarum suntik, yaitu sebanyak 81 persen atau mencapai 233 orang," kata Kepala Sekretariat Badan Narkotika dan Penanggulangan HIV/AIDS Provinsi Lampung Ahmad Alwi Siregar.

Hingga Desember 2007 terdapat 54 kasus HIV/AIDS yang meninggal dunia, dari 167 kasus HIV/AIDS di Lampung yang masih hidup itu. Kumulatif kasus HIV/AIDS paling banyak di Bandar Lampung sebanyak 134 kasus, dengan 45 kasus yang meninggal dunia, disusul di Kabupaten Lampung Utara (tujuh kasus), Lampung Tengah (enam kasus), dan Lampung Selatan serta Metro masing-masing lima kasus. ABD Sumber: Antara

[Sumber: http://forum.detik.com/archive/index.php/t-42588.html - 6 Juni 2008

Temua AIDS di Bartang dan Solo

Oleh: Syaiful W. Harahap
Sumber: Harian “Suara Merdeka”, Semarang, 5 Maret 2005

BERITA tentang HIV/AIDS yang dimuat Harian Suara Merdeka dua hari berturut-turut (23/24 Februari 2005) menarikperhatian. Tanggal 23/2 mengungkap "11 Pelacur di Batang Positif Terkena HIV, Sejak 2001 hingga 2004" dan pada edisi 24/2 kasus di Solo tentang "Delapan Warga Silir Kena HIV" . Menarik perhatian karena saat ini penularan HIV/AIDS sudah terjadi secara horizontal antarpenduduk. Kasus kumulatif HIV/AIDS secara nasional sampai 31 Desember 2004 yang dikeluarkan oleh Depkes menunjukkan 6.050 yang terdiri atas 3.368 HIV dan 2.682 AIDS. Di Jawa Tengah sendiri terdeteksi 117 kasus yang terdiri atas 77 HIV dan 40 AIDS.

Fakta tentang pelacur yang HIV-positif di Batang dan Solo merupakan lampu merah bagi laki-laki yang pernah melakukan hubungan seks yang tidak memakai kondom dengan pelacur di dua tempat itu. Jika ada laki-laki yang tertular HIV di Batang dan Solo maka tanpa disadari mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal yaitu kepada istri bagi yang beristri atau kepada pacar atau pelacur lain bagi yang tidak beristri.

Epidemi HIV kian ruwet karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV mengingat sebelum mencapai masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah terinfeksi) tidak ada gejala-gejala yang khas. Tidak ada pula gangguan kesehatan yang berarti sehingga banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV.

Perilaku Berisiko

HIV (human immunodeficiency virus) adalah virus yang merusak sistem kekebabalan tubuh sehingga orang yang tertular akan mencapai masa AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) yang ditandai dengan berbagai penyakit yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare, ruam, Tbc, dll. Hal ini terjadi karena seseorang yang tertular HIV mudah diserang berbagai macam penyakit.

Jadi, bagaimana seseorang mengetahui dirinya berisiko tinggi tertular HIV? Setiap orang dapat menimbang-nimbang dirinya apakah sudah tertular HIV atau belum dengan memperhatikan perilaku seksnya. Jika seseorang pernah melakukan hubungan seks penetrasi di dalam dan di luar nikah tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau dilakukan dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, misalnya pelacur; maka yang bersangkutan sudah berada pada risiko tinggi tertular HIV. Inilah yang disebut sebagai perilaku yang berisiko tinggi tertular HIV.

Mengapa demikian? Karena ada kemungkinan salah satu dari mereka HIV-positif. Hal ini terjadi karena tidak ada gejala-gejala yang khas HIV/AIDS sehingga banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV.

Memang, kemungkinan tertular HIV melalui hubungan seks yang tidak memakai kondom adalah 1:100. Artinya, dalam seratus kali kemungkinan tertular 1 kali. Tapi, tidak bisa diketahui pada hubungan seks yang keberapa terjadi penularan. Bisa saja terjadi pada saat hubungan seks pertama, dua, lima, tujuh puluh, dst. Jadi, tidak bisa dikatakan "ah, hanya sekali" karena biarpun hanya sekali tetap berisiko tertular .

Kasus HIV-positif pada pelacur di Batang terdeteksi pada kurun waktu 2001-2004 sehingga bagi laki-laki yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan pelacur pada kurun waktu itu sudah berisiko tertular HIV.

Risiko tertular HIV tidak hanya dengan pelacur di lokalisasi. Kalau ada penduduk Batang dan Solo atau Jawa Tengah yang pernah berperilaku berisiko tinggi di luar daerah, maka mereka pun berada pada risiko tinggi tertular HIV.

Kalau ada penduduk Batang, Solo atau Jawa Tengah yang tertular di luar daerah atau di luar negeri maka mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antarpenduduk. Ditularkan kepada istri, pacar, pasangan atau pelacur.

Bagaimana memutus mata rantai penyebaran HIV? Cara yang realistis yaitu anjuran yang pernah melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV, baik laki-laki atau perempuan, agar menjalani tes HIV sukarela. Tentu saja tes HIV dijalankan sesuai dengan standar prosedur operasi yang baku yaitu konseling (bimbingan berupa penjelasan tentang semua hal yang terkait dengan HIV/AIDS), kesediaan (setelah memahami HIV/AIDS ybs. bersedia menjalani tes HIV), dan kerahasiaan (hanya ybs. dan dokter yang mengetahui hasil tes HIV).

Semua hasil tes adalah medical record yang merupakan rahasia jabatan dokter. Jadi, bukan hanya tes HIV yang harus dirahasiakan karena semua tes (tes kehamilan, diabetes, hepatitis, dll.) dan semua jenis penyakit merupakan rahasia sebagai medical record yang hanya boleh dipublikasikan atas izin yang bersangkutan.

Dari tes HIV sukarela akan diketahui status HIV seseorang. Bagi yang terdeteksi HIV-positif maka mereka dianjurkan agar memakai kondom jika melakukan hubungan seks agar tidak terjadi lagi penyebaran HIV. Selain itu bagi yang terdeteksi HIV-positif dapat ditangani secara medis, misalnya dengan pemberian obat antiretroviral/ARV (obat untuk menekan pertumbuhan HIV di dalam darah) sehingga kesehatan mereka terjaga agar tetap produktif.

Untuk itulah diperlukan materi penyuluhan (KIE-komunikasi, informasi dan edukasi) HIV/AIDS yang komprehensif yaitu dengan mengedepankan fakta, bukan mitos. Selama ini KIE dibalut dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

Misalnya, mengait-ngaitkan HIV dengan pelacuran, bule, gay, waria, zina, lokalisasi, dll. sehingga banyak orang yang menganggap HIV hanya menular melalui zina, pelacur, waria dan gay. Padahal, banyak kasus HIV terdeteksi di kalangan "orang baik-baik", seperti karyawan, pegawai dan ibu rumah tangga. melalui penularan horizontal.

Jadi, KIE yang komprehensif adalah yang mengedepankan HIV/AIDS sebagai fakta medis. KIE yang akurat akan membuka mata (hati) banyak orang sehingga mengetahui HIV/AIDS dengan benar yang pada gilirannya dapat melindungi diri agar tidak tertular HIV. (18)

-Syaiful W. Harahap Pemerhati HIV/AIDS, Direktur Eksekutif LSM media watch "InfoKespro" Jakarta.

SURAT PEMBACA: Positif HIV Bisa sebagai Positif Palsu

Berita seorang pelajar putri positif HIV di Suara Merdeka 22 Mei 2004 mengandung beberapa hal yang perlu diluruskan. Pertama, tidak ada kaitan langsung antara pekerja seks komersial (PSK) dengan HIV/AIDS.

Pernyataan yang menyebutkan: "...penderita penyakit menular itu sebenarnya bukan seorang pekerja seks komersial (PSK)", saya anggap menyesatkan. Hal ini menimbulkan kesan HIV/AIDS hanya terdapat pada kalangan PSK. Ini mitos (anggapan yang salah).
Kedua, identifikasi pelajar tersebut melalui skrining transfusi darah di PMI Pati, berarti mereka melanggar asas unlinked anonymous yang menjadi standar prosedur baku dalam skrining darah donor yang ditetapkan pemerintah. Perbuatan ini melawan hukum dan pelanggaran HAM.

Ketiga, skrining darah donor dilakukan melatui rapid test sehingga ada kemungkinan hasilnya positif palsu atau negatif palsu. Sebelum ada tes konfirmasi dengan tes Western blot maka tidak bisa dipastikan pelajar tersebut HIV-positif.

Indikasi itu dapat dipakai untuk tes HIV sukarela metalui konseling jika yang bersangkutan pernah melakukan kegiatan berisiko tinggi tertular HIV. Di antaranya tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti serta homoseks.

Juga melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan serta homoseks. Atau menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV serta memakai jarum suntik secara bersama-sama secara bergiliran.

Jadi, jika pelajar tersebut tidak pemah melakukan seperti yang saya sebutkan, maka hasil skrining di PMI Pati adalah negatif palsu. Pernyataan, penularan virus diduga karena penderita pemah melakukan hubungan seksual dengan seseorang, rasanya tak tepat.

Penularannya tidak hanya melalui hubungan seks. Penularan HIV tidak bisa diduga. Lagi pula tidak ada bimbingan terhadap pelajar tadi sebelum dia mendonorkan darahnya sehingga tidak diketahui perilakunya. Tak tepat kalau langsung dikaitkan dengan hubungan seks.

Syaiful W Harahap
Pisangan Lama III/1 Jaktim

URL: http://www.suaramerdeka.com/harian/0406/12/opi5.htm
[Sumber: Harian “Suara Merdeka”, Semarang, 12 Juni 2004]

Tidak Ada Sekolah yang Rawan HIV

Berita berjudul ''Westra Enggan Jamah PSK'' di harian ini edisi 15 Juni 2006 lagi-lagi mengandung mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Dalam berita disebutkan, ''...mempetakan sekolah yang dinilai rawan penularan HIV/AIDS...''

1. Tidak ada sekolah yang rawan HIV/AIDS karena HIV tidak menular melalui udara, air dan pergaulan sosial sehari-hari. Lagi pula sebagai virus, HIV tidak terdapat di lingkungan sekolah karena HIV hanya ada dalam darah di tubuh orang yang HIV-positif. Yang rawan HIV adalah perilaku seseorang bukan kelompok atau kalangan tertentu. Seseorang berisiko tinggi tertular HIV kalau dia (a) pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, dan (b) pernah memakai jarum suntik secara bergiliran dan bergantian. Tidak ada sekolah yang bisa melakukan kedua hal ini. Maka, tidak ada sekolah yang rawan penularan HIV/AIDS.

2. ''Menjamah'' PSK dalam konteks epidemi HIV adalah untuk meningkatkan pemahaman PSK terhadap risiko tertular dan menularkan HIV. Yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki yang bisa saja seorang suami, pemuda, remaja atau duda dari berbagai kalangan dan jenis pekerjaan. PSK menjadi ''terminal'' karena laki-laki datang menularkan dan tertular HIV.

3. Kasus HIV/AIDS di kalangan remaja jelas pada usia sekolah. Karena kebanyakan mereka tertular melalui penggunaan narkoba dengan jarum suntik maka mereka dikeluarkan dari sekolah. Lagi pula, apakah kalau anak sekolah yang tertular HIV langsung tidak diakui sebagai anak sekolah? Jika ini yang terjadi maka hal itu merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap HAM.

4. Penularan HIV melalui hubungan seks sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan zina, pelacuran, seks pranikah, selingkuh, jajan, wanita dan homoseksual. Penularan melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah bisa terjadi karena salah satu atau kedua orang dari pasangan itu HIV-positif.

Akibatnya, banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV dan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk.

Syaiful W.Harahap
Direktur Eksekutif LSM InfoKespro


URL: http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2006/6/26/s1.htm

[Sumber: Harian ”Bali Post”, Denpasar, 26 Juni 2006]

Bekali Wartawan Seputar AIDS, AJP HIV/AIDS Taja Pelatihan Dua Hari

Dalam pelatihan Aliansi Jurnalisti Peduli HIV/AIDS Riau di Hotel Resty Menara Pekanbaru selama dua hari dibuka langsung Kadis Kes Riau.

Riauterkini-PEKANBARU- Kepala Dinas Kesehatan Riau (Kadis Kes) Ekmal Rusdy resmi buka palatihan jurnalis peduli HIV/AIDS (AJP HIV/AIDS) di hotel Resty Menara Pekanbaru selama dua hari ini. Dalam pidatonya Ekmal mengatakan bahwa diRiau ini kemungkinan banyak terserang Virus mematikan itu.

Dalam acara itu wartawan lokal yang menghadiri dari berbagai daerahpun tampak bersemangat dan mau mengeluarkan pendapat-pendapatnya tentang penyakit HIV/AIDS itu, salah satunya wartawan Riauterkini yang sempat bertanya kepada narasumber Yakni ibu Rosma Wati selaku ketua harian dalam permberantasanj virus HIV/AIDS, dengan pertanyaan kenapa yang terkena virus itu hanya laki-laki pada umumnya.

Pertanyan itu dijawab dengan mudah karena yang kerap kali jajan (Pengguna jasa pekerja sek, red)diluaran itu hanya laki-laki dan tak tertutup kemungkinan untuknya menderita virus mematikan itu. Dan bukan hanya itu saja cara untuk menebarkan virus tersebut juga dapat melalui jarum suntik yang tak pernah diganti-ganti (Satu jarum untuk bersama-sama, red).Dalam itu juga AJP HIV/AIDS ikut dalam penyidikan ke tempat-tempat keramaian yang kerap terjadi transaksi sek tersebut.

Dan dalam pelatihan itu juga diikuti beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bertugas untuk membimbing rekan-rekan wartawan untuk mengetahui tentang bahayanya virus HIV/AIDS itu.

Terang Syaiful W. Harahap di hadapan wartawan," Kita tak bisa melihat secara langsung siap-siapa saja yang terkena virus HIV/AIDS itu, karena kita tak bisa memaksakan kepada orang lain agar Ia membeberkan bahwa dirinya penderita virus tersebut," dan untuk mengetahui itu AJP HIV/AIDS telah membentuk satu tempat yang mana khusus tempat bertukar pikiran dan apabila ada seseorang yang menderita virus tersebut tak merasa malu untuk mengungkapkannya.***(vila)

[Sumber: http://www.riauterkini.com/hukum.php?arr=5699 - 16 Agustus 2005]

21 September 2017

Penanggulangan HIV/AIDS Libatkan Media

Agar lebih memantapkan upaya pemerintah menanggulangi HIV /AIDS, sejumlah wartawan dari beberapa media lokal mendapat pelatihan jurnalistik selama dua hari.Kepala Dinas Kesehatan NTB H. Muhammad Ismail mengatakan, pihaknya berharap melalui kegiatan ini para jurnalis dapat memberikan informasi yang akurat kepada masyarakat tentang HIV /AIDS.

Pasalnya, seluruh kabupaten/ kota di NTB saat ini memiliki kasus HIV/AIDS yang jumlahnya bervariasi. Karena itu, agar lebih dapat menekan penularannya, masyarakat perlu diberikan informasi secara lebih detail melalui media cetak atau elektronik tentang cara penularan dan penanganan bagi mereka yang terdeteksi menjadi ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS).

Di sinilah letak peran penting media untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat. Agar pemahaman tentang HIV/AIDS di tengah masyarakat tidak salah, maka wartawan juga, perlu dibekali pelatihan tentang masalah ini,” terang Ismail.

Dinas kesehatan, sambungnya juga tetap melakukan berbagai macam upaya penanggulangan. Terlebih dengan dikeluarkannya perda NTB nomor 11 Tahun 2008 tentang pencegahan dan penanggulangan HIV / AIDS. Sarana perawatan bagi ODHA juga telah disediakan di beberapa lokasi, yakni RSUP NTB, RSUD Praya, RSUD Sumbawa dan RSUD Dompu yang segera berfungsi.

Ditambahkan nara sumber pada kegiatan tersebut Syaiful W Harahap, dalam penulisan berita seorang wartawan juga harus memperhatikan kode etik jurnalistik. Salah satunya adalah dapat membedakan mana kabar yang tergolong fakta empiris, privat, atau publik.

Kesalahan menggolongkan kabar dalam kategori fakta akan berdampak pada pesan yang ditangkap masyarakat. Bahkan terkadang dapat juga menimbulkan kerugian bagi sejumlah pihak.”termasuk dalam menulis masalah HIV / AIDS harus diperhatikan pengkategorian berita ke dalam fakta,” terang Syaiful.

Agar lebih mematangkan pengetahuan seputar HIV / AIDS, koordinator PK VHI NTB EY Wenny Astuti yang juga ditunjuk sebagai pembicara selain memberikan penjelasan juga mengajak para peserta untuk melakukan diskusi kecil. Kegiatan itu juga diisi dengan ceramah dari Asisten Redaktur Pelaksana Harian Lombok Post H. Rudi Hidayat yang banyak mengupas tentang peran media di NTB terhadap masalah penanggulangan HIV/AIDS.

Sumber: http://ntb.bkkbn.go.id/news_detail.php?nid=422http://ntb.bkkbn.go.id/news_detail.php?nid=422 - 25 Juni 2009]

Media, hati-hati Beritakan AIDS

KORAN-KORAN di Lampung belum lama ini memberitakan perihal Rt (28), warga Kabupaten Lampung Timur, yang meninggal karena HIV/AIDS. Identitas pengidap itu diungkapkan dengan lengkap, termasuk alamat tempat tinggalnya. "Kami sekeluarga dijauhi tetangga setelah mereka tahu dia terkena HIV/AIDS," kata Yahya, keluarga Rt. 

Para tetangga menjauhi mereka begitu media massa memberitakan perihal penyakit yang diidap Rt, mereka juga tidak lagi bersikap seperti biasanya ketika Rt dibawa keluar masuk rumah sakit. "Tetangga mulai menjauh dan enggan datang," katanya. Pengalaman pahit juga dirasakan keluarga itu ketika petugas kesehatan yang merawat Rt berkomentar, kalau di tempat lain rumah warga yang diketahui terjangkit HIV/AIDS pasti dibakar ramai-ramai.

Diskriminasi dan cap buruk dialami keluarga Yahya karena hal itu sehingga akhirnya mereka tidak berani membawa Rt pulang ke rumah. "Kami khawatir ada hal buruk kalau dibawa ke rumah kami," katanya. Begitu pula saat dirawat di salah satu rumah sakit pemerintah di Bandar Lampung. Seorang petugas di rumah sakit itu mengatakan bahwa kasur bekas orang dengan HIV/AIDS (Odha) yang dirawat akan dibakar karena virus yang menempel di kasur tidak bisa dibersihkan lagi. 

Saat tahlilan Rt, dari sekitar 30-an tetangga yang diundang, hanya empat yang datang. "Mereka yang datang pun semuanya sama sekali tidak mau makan dan minum penganan yang kami sediakan. Padahal, makanan itu semua dari membeli, bukan memasak sendiri," kata Yahya. Penderitaan keluarga itu, khususnya Rt, bertambah berat ketika suami Rt beserta keluarga enggan mengurusnya selama Rt dirawat di rumah sakit. Edwin, warga Bandar Lampung, juga mengaku menjadi korban diskriminasi dan cap buruk yang dikaitkan dengan HIV/AIDS akibat pemberitaan media massa yang kurang tepat tentang dirinya. "Saya sampai menjadi serba salah dan tidak bisa berbuat apa-apa karena seolah sudah divonis macam-macam lewat pemberitaan koran itu," kata Edwin. 

Almizi Usman, pegiat dari kelompok pendamping Odha Saburai Support Group Lampung, menyatakan, cap buruk dan diskriminasi bagi Odha yang dilakukan masyarakat sekitar kerap dipicu pemberitaan kurang tepat dari wartawan. Dia mencontohkan kasus temuan HIV/AIDS di daerahnya yang secara jelas diberitakan identitas dan tempat tinggalnya di media cetak atau disorot kamera secara utuh di televisi. Itu berdampak langsung sangat buruk bagi Odha maupun keluarganya. "

Sayangnya, kenyataan seperti itu masih terus terjadi dan sangat menyedihkan bagi kami semua," kata Almizi. Kelompok itu juga pernah mengadvokasi perihal dampak pemberitaan Odha yang disiarkan sebuah media, sehingga media dan wartawan yang bersangkutan meminta maaf. Tapi pada kesempatan lain, menurut Aji, ternyata pemberitaannya masih belum berubah ke arah lebih baik.

Almizi mengatakan, ada dugaan banyak wartawan tidak mengerti tentang seluk beluk HIV/AIDS, sehingga ketika memberitakan masalah itu, acuannya adalah untuk meningkatkan jumlah tiras. "Tapi coba teman-teman wartawan dan media massa merasakan apa yang dirasakan Odha maupun keluarganya yang terdiskriminasi seperti itu," kata Almizi. 

Media massa diingatkan untuk ikut merasakan atau berempati dengan para pengidap itu sehingga dalam memberitakan atau menulis dapat lebih tepat dan benar. Menurut dia, ada pengidap yang hingga saat ini belum mau menjalani perawatan di rumah sakit karena trauma pernah dikejar-kejar wartawan yang ingin memberitakannya. "Sampai sekarang dia hanya mau sembunyi-sembunyi berobat, tidak mau ke rumah sakit. Katanya takut dengan wartawan," ujarnya. 

Menurut Syaiful W Harahap, aktivis LSM InfoKespro, kesalahan pada pemberitaan terhadap para pengidap itu antara lain karena wartawan bersangkutan minim pengetahuannya tentang HIV/AIDS. Dia mengingatkan para wartawan dan penulis HIV/AIDS untuk tidak mencampuradukkan antara fakta dan opini, serta bisa membedakan antara fakta privat maupun fakta publik serta opini maupun fakta empiris dan fakta medis, agar beritanya obyektif, tepat, dan benar. 

Hingga Desember 2007, ditemukan 208 kasus HIV/AIDS dengan 167 kasus AIDS dan 121 kasus terinfeksi virus HIV. "Penyebab utama HIV/AIDS di Lampung adalah penyalahgunaan narkoba dengan jarum suntik, yaitu sebanyak 81 persen atau mencapai 233 orang," kata Kepala Sekretariat Badan Narkotika dan Penanggulangan HIV/AIDS Provinsi Lampung Ahmad Alwi Siregar.

Hingga Desember 2007 terdapat 54 kasus HIV/AIDS yang meninggal dunia, dari 167 kasus HIV/AIDS di Lampung yang masih hidup itu. Kumulatif kasus HIV/AIDS paling banyak di Bandar Lampung sebanyak 134 kasus, dengan 45 kasus yang meninggal dunia, disusul di Kabupaten Lampung Utara (tujuh kasus), Lampung Tengah (enam kasus), dan Lampung Selatan serta Metro masing-masing lima kasus. ABD Sumber: Antara

[Sumber: http://www.kompas.com/read/xml/2008/06/06/05433435/media.hati-hati.beritakan.aids - 6 Juni 2008 ]

Menyikapi Peringkat Kasus AIDS Jawa Timur



Oleh: Syaiful W. Harahap*
Sumber: Harian ”Jawa Pos”, Surabaya, 20 Januari 2006

Dalam laporan terbaru yang dikeluarkan Ditjen PPM & PL, Depkes RI, tanggal 13 Januari 2006 disebutkan, pada kurun waktu Oktober - Desember 2005 di Jawa Timur terdeteksi 444 kasus AIDS. Dengan demikian sampai 30 Desember 2005 kasus kumulatif HIV/AIDS di Jawa Timur adalah 1.007 yang terdiri atas 283 HIV+ dan 724 AIDS dengan 397 kasus AIDS pada pengguna narkoba suntik serta 225 meninggal.

Dengan tambahan kasus baru itu maka posisi Jawa Timur pada peringkat jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS secara nasional menepati urutan ketiga. Prevalensi AIDS per 100.000 mencapai 2,08.

Boleh-boleh saja kita melirik angka yang kecil ini dengan sebelah mata. Tapi, ada fakta yang sering luput, yaitu kasus yang terdeteksi hanyalah bagian kecil dari kasus yang sebenarnya di masyarakat. Dalam epidemi HIV/AIDS dikenal istilah fenomena gunung es (iceberg phenomenon) yang memberikan gambaran tentang gunung es di samudra.Puncak gunung es yang dapat dilihat sangat kecil (ini menggambarkan angka yang terdeteksi) tapi bagian yang tidak muncul ke permukaan jauh lebih besar (ini menggambarkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat).

Penularan Diam-diam


Penduduk Jawa Timur yang sudah tertular HIV, tapi tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horisontal antar penduduk. Penularan ini terjadi secara diam-diam tanpa disadari, karena seseorang yang sudah tertular HIV tidak akan merasakan kelainan pada kesehatan dirinya. Sebelum mencapai masa AIDS, antara5 - 10 tahun setelah tertular HIV, tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV.

Tapi, biar pun tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV dia sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain melalui: (a) hubungan seks (heteroseks atau homoseks, seks oral atau seks anal) tanpa kondom didalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) transplantasi atau cangkok organ tubuh, (d) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo dan alat-alat kesehatan, (e) air susu ibu (ASI).

Penularan yang terjadi tanpa disadari itulah yang mendorong penyebaran HIVsecara diam-diam. Persaolan kian besar karena sebelum mencapai masa, AIDS banyak orang yang sudah tertular HIV tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV, karena tidak ada keluhan kesehatan yang has.

Penularan secara diam-diam inilah yang membuat epidemi HIV kian runyam. Sebagian besar kasus HIV/AIDS baru terdeteksi setelah masa AIDS. Artinya, sebelum terdeteksi mereka sudah menjadi mata rantai penyebaran HIV tanpa mereka sadari. Masa AIDS terjadi setelah seseorang tertular HIV antara 5 - 10 tahun. Maka, kalau seseorangterdeteksi HIV-positif pada masa AIDS, maka pada kurun waktu antara 5 - 10 tahun sebelumnya dia menjadi mata rantai penularan HIV.

Banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena selama ini materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan moral dan agama, sehingga yang ditangkap masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah). Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, 'seks bebas', selingkuh, seks oral, seks anal dan gay (homoseks). Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan zina, pelacuran, 'seks bebas', selingkuh, seks oral, seks anal dan gay. Dalam ikatan pernikahan yang sah menurut agama dan negara pun bisa terjadi penularan HIV kalau salah satu dari pasangan itu HIV-positif dan suami tidak memakai kondom pada setiap hubungan seks. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif, maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan tanpa kondom dalam zina, pelacuran, 'seks bebas', selingkuh, jajan, seks oral, seks anal atau homoseks.

Penularan Horisontal

Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi karena kondisi hubungan seks bukan sifat hubungan seks. Kalau salah satu pasangan HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom (kondisi) pada saat melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah (sifat), maka ada risiko penularan HIV karena dalam air mani dan cairan vagina terdapat HIV dalam jumlah yang bisa ditularkan.

Selain dalam air mani dan cairan vagina, HIV dalam jumlah yang dapat ditularkan juga teradapat dalam cairan darah dan ASI orang yang HIV-positif. Penularan HIV melalui darah bisa terjadi kalau ada darah yang mengandung HIV masuk ke tubuh melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alatkesehatan atau terpapar pada permukaan kulit yang ada luka-lukanya. Penularan HIV melalui ASI bisa terjadi kalau ASI yang mengandung HIV masuk ke tubuh melalui proses menyusui.

Melindungi diri agar tidak tertular HIV adalah mencegah agar darah, air mani, cairan vagina atau ASI yang mengandung HIV tidak masuk ke dalam tubuh. Namun, kita tidak bisa mengenali orang-orang yang sudah tertular HIV. Inilah fenomena AIDS. Tapi, setiap orang dapat melindungi dirinya dengan cara yang realistis agar tidak tertular HIV, yaitu menghindari perilaku berisiko tinggi tertular HIV: (a) tidak melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, di mana saja dengan pasangan yang berganti-ganti, karena ada kemungkinan salah satu dari mereka HIV-poistif, (b) tidak melakukanhubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, di mana saja dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, karena ada kemungkinan salah satu dari pelanggan mereka HIV-poistif, (c) tidak menerima transfusi darah dan cangkok organ tubuh yang tidak diskrining HIV, (d) tidak memakai jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, pisau cukur dan alat-alat kehatan yang tidak steril.

Jika ada penduduk Jawa Timur, laki-laki atau perempuan, yang pernah melakukan perilaku berisiko, baik di Jawa Timur, di luar Jawa Timur atau di luar negeri tertular HIV, maka mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk.

Untuk memutus mata rantai penyebaran HIV di Jawa Timur dapat dilakukan dengan meningkatkan penyuluhan dengan materi KIE AIDS yang akurat, yaitu materi yang mengedepankan fakta medis, agar penduduk yang pernah melakukan perilaku berisiko tinggi mau menjalani tes HIV secara sukarela. Dengan mengetahui status HIV, maka seseorang dapat diajak untuk memutus mata rantai penyebaran HIV. Misalnya, bagi yang sudah beristri dianjurkan agar selalu memakai kondom kalau melakukan hubungan seks.

Penduduk yang terdeteksi HIV-positif ditangani secara medis sehingga tetap bisa produktif. Misalnya, pemberian obat antiretroviral (ARV), yaitu obat untuk menekan penggandaan HIV di dalam darah. Sedangkan bagi yang tidak tertular dianjurkan agar tidak melakukan perilaku berisiko tinggi. ***

Syaiful W. Harahap, Pemerhati HIV/AIDS dan direktur eksekutif LSM "InfoKespro" Jakarta

Perilaku Penduduk Kalbar yang Berisko Tertular HIV/AIDS

Oleh: Syaiful W. Harahap
Sumber: Harian ”Pontianak Post”, 2 Desember 2008

Dalam laporan Depkes terakhir (30/6-2008), Kalimantan Barat menempati peringkat keenam dengan 765 kasus AIDS, 132 diantaranya terdeteksi di kalangan pengguna narkoba. Kematian tercatat 196. Tanpa penanganan yang serius dengan tindakan yang konkret, penyebaran HIV/AIDS di Kalbar bisa menjadi persoalan besar terhadap kesehatan masyarakat di masa yang akan datang. Perda tidak akan bisa mananggulangi penyebaran HIV. Hari ini dunia memperingati Hari AIDS Sedunia sebagai pemicu bagi kita untuk meningkatkan penanggulangan HIV/AIDS.

Saat ini epidemi HIV di Kalbar khususnya dan di Indonesia umumnya bagaikan ‘api dalam sekam’ sehingga menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS. Hal ini terjadi karena kasus-kasus infeksi HIV dan AIDS yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat. Mengapa kasus yang terdeteksi di Kalbar khususnya dan di Indonesia umumnya hanya sedikit?

Antar Penduduk


Pertama, di Indonesia tidak ada sistem (cara) yang bisa mendeteksi kasus HIV di masyarakat. Kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi umumnya dari survailans tes HIV pada kalangan tertentu, seperti PSK, waria, dll. Sebagian lagi dari klinik tes HIV sukarela dengan konseling (VCT). Yang lain terdeteksi di rumah sakit ketika mereka berobat. Orang-orang yang mengidap HIV (HIV-positif) akan menderita berbagai macam penyakit, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, sariawan, TBC, dll ketika sudah mencapai masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tertular). Penyakit ini sulit disembuhkan pada diri Odha (Orang dengan HIV/AIDS) jika dibandingkan dengan orang yang tidak mengidap HIV (HIV-negatif) sehingga dokter yang menangani akan menganjurkan tes HIV.

Berbeda dengan negara lain, seperti Malaysia, yang menerapkan survailans melalui tes HIV rutin dan sistematis terhadap pasien PMS (penyakit menular seksual, seperti sifilis, GO, klamidia, herpes, dll), pengguna narkoba suntik, perempuan hamil, polisi, narapidana, dan pasien TBC. Sedangkan skrining khusus dilakukan terhadap pekerja seks komersial (PSK), pelajar dan mahasiswa. Maka, tidak mengherankan kalau kemudian kasus HIV/AIDS di Malaysia, dengan penduduk 26 juta, sudah dilaporkan lebih dari 40.000. Bandingkan dengan Indonesia yang berpenduduk 230 juta kasus yang terdeteksi baru 18.963 kasus HIV/AIDS.

Kedua, banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Ini terjadi karena orang-orang yang sudah tertular HIV tidak menunjukkan gejala, tanda, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum masa AIDS. Tapi, para rentang waktu sejak tertular sampai pada masa AIDS sudah bisa terjadi penularan HIV, lagi-lagi tanpa disadari, melalui: (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah yang tidak diskrining HIV, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, dan alat-alat kesehatan yang dipakai bersama-sama, (d) cangkok organ tubuh yang tidak diskrining HIV, dan (e) air susu ibu (ASI) pada proses menyusui.

Itulah sebabnya penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk menjadi salah satu pemicu kasus HIV/AIDS karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Lalu, siapa saja orang yang ‘sudah tertular HIV’, tapi tidak terdeteksi? Mereka adalah orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV. Mereka adalah (1) orang-orang yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan karena ada kemungkinan salah satu dari mereka HIV-positif; (2) orang-orang yang menggunakan jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran dengan bergantian, seperti pada pengguna narkoba.

Jika di Kalbar terdeteksi ada pekerja seks komersial (PSK) yang HIV-positif, maka ada dua kemungkinan terkait dengan fakta ini. Pertama, PSK itu ditulari oleh laki-laki penduduk Kalbar atau pendatang. Jika ini yang terjadi, maka sudah ada laki-laki penduduk Kalbar yang mengidap HIV. Laki-laki ini bisa sebagai suami, pacar, lajang atau duda yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, pelajar, mahasiswa, pengusaha, buruh, petani, nelayan, perampok, dll. Laki-laki inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk. Kedua, PSK itu sudah mengidap HIV ketika mulai ‘praktek’ di Medan. Kalau ini yang terjadi, maka laki-laki penduduk Medan yang melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan PSK berisiko tertular HIV. Jika ada laki-laki yang tertular HIV, maka mereka pun akhirnya menjadi mata rantai penyebaran HIV pula.

Perda Mandul

Selama ini jika ada PSK yang terdeteksi HIV-positif yang ditangani hanya PSK tersebut. Padahal, penanganan harus diarahkan ke masyarakat. Indikasi penularan kepada penduduk dapat dilihat dari kasus infeksi HIV di kalangan ibu-ibu rumah tangga dan bayi, serta deteksi HIV pada darah donor di PMI. Untuk itulah orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi dianjurkan menjalani tes HIV secara sukarela. Siapa yang harus memeriksakan diri ke klinik VCT? Yang dianjurkan ke klinik VCT adalah setiap orang yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK.

Namun, fakta menunjukkan kunjungan ke VCT sangat rendah karena banyak orang yang tidak menyadari perilakunya berisiko tinggi tertular HIV. Untuk itulah belakangan ini dikembangkan program baru yaitu provider initiative test and counseling (PITC). Ketika seseorang berobat ke dokter, rumah sakit, klinik, atau poliklinik dokter bisa menganjurkan mereka untuk menjalani tes HIV jika ada gejala terkait AIDS dengan latar belakang perilaku berisiko.

Sudah saatnya Pemprov Kalbar meningkatkan penyuluhan agar masyarakat memahami perilakunya dan mau menjalani tes HIV bukan membuat Perda AIDS. Sudah 13 daerah provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia yang membuat Perda AIDS tidak ada dampaknya secara langsung terhadap penurunan infeksi HIV baru. Di Tanah Papua, ada enam Perda AIDS, tapi perda itu tidak bisa menghentikan kasus infeksi baru di kalangan dewasa. Semakin banyak kasus HIV dan AIDS yang terdeteksi, maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus. ***

* Penulis, pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) "InfoKespro" Jakarta dan pengasuh rubrik "Konsulasi HIV/AIDS" di Harian “Pontianak Post”.

Jihad Bukan Lawan AIDS tapi Lawan Perilaku Berisiko

Oleh: Syaiful W. Harahap*

Berita "Jihad Lawan HIV/AIDS" di Harian "Fajar Banten" (9 Juli 2008) menunjukkan sebaliknya. Agama justru dipakai untuk ‘memerangi’ AIDS dengan memakai istilah jihad dalam menanggulangi HIV/AIDS. Padahal, tidak ada kaitan langsung antara agama dengan penularan HIV. Penggunaan kata jihad akan menimbulkan stigma baru terhadap HIV/AIDS karena mengesankan HIV/AIDS sebagai ‘musuh Islam’.

Pada Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik (ICAAP) VI Oktober 2001 di Australia Direktur Eksekutif UNAIDS (badan dunia di bawah PBB yang mengurus masalah HIV/AIDS), Dr. Peter Piot, sudah mengingatkan agar Indonesia memperhatikan epidemi HIV dengan serius karena pertambahan kasus infeksi HIV baru di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia. Lagi-lagi peringatan itu dianggap sebagai ‘anjing menggonggong kafilah berlalu’. Peringatan Piot terutama terkait dengan kasus HIV yang banyak terdeteksi di kalangan penyalahgunaan narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik.

Kalau saja pemerintah mendengarkan peringatan itu tentulah penyebaran HIV melalui penyalahgunaan narkoba dengan jarum suntik tidak seperti sekarang ini. Dari data yang dikeluarkan Ditejn PPM&PL, Depkes RI, menunjukkan dari 11.868 kasus AIDS yang dilaporkan sampai 31 Maret 2008 yang terdeteksi di kalangan penyalahguna narkoba suntik mencapai 5.834 atau 49,16 persen secara nasional. Angka ini hanya yang dilaporkan. Masih ada angka yang belum terdeteksi atau yang tidak dilaporkan oleh rumah sakit, dokter, atau panti rehabilitiasi narkoba yang mendeteksi kasus AIDS.

Sebagai fakta medis HIV/AIDS tidak ada kaitannya secara langsung dengan norma, moral dan agama. Maka, dengan memakai kata jihad dalam menanggulangi HIV/AIDS mengesankan hanya agama Islam yang terkait dengan HIV/AIDS karena jihad merupakan terminologi yang dipakai dalam agama Islam. Epidemi HIV sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan agama.

Selain itu pemakaian kata jihad dalam penanggulangan HIV/AIDS pun akan menimbulkan stigma (cap buruk) pada diri Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Jika jihad dilakukan terhadap HIV/AIDS tentulah secara langsung terkait dengan Odha karena HIV/AIDS ada pada diri Odha. Tidak bisa memerangi HIV/AIDS terlepas dari diri orang yang mengidapnya. Selama ini ada kesan penularan HIV terjadi karena perilaku yang terkait dengan moral.

Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks, baik di dalam maupun di luar nikah, bisa terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Dalam kaitan ini jelas tidak ada kaitannya dengan norma, moral, dan agama karena pada banyak kasus penularan terjadi tanpa disadari karena pasangan itu tidak mengetahui dirinya sudah tertular HIV. Inilah persoalan besar dalam epidemi HIV.

Pertanyaannya kemudian adalah: Mengapa banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV?

Seseorang yang sudah tertular HIV tidak menunjukkan tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tertular). Pada masa AIDS sudah mulai ada penyakit, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, ruam, jamur, TB, dll. Penyakit ini sulit disembuhkan karena daya tahan tubuh sudah rusak yang ditandai dengan kerusakan yang besar pada sel-sel darah putih. Sel-sel darah putih yang menjadi benteng dalam tubuh rusak karena dijadikan HIV sebagai ‘pabrik’ untuk menggandakan dirinya.

Penyebaran HIV kian tidak terkendali karena penularan terjadi secara diam-diam tanpa disadari. Ini terjadi karena biar pun tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV, tapi pada rentang waktu sebelum masa AIDS sudah bisa terjadi penularan HIV.

Kondisi inilah yang tidak dipahami banyak orang karena selama ini informasi tentang HIV/AIDS sering dibalut dengan norma, moral, dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis. Artinya dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga cara-cara pencegahannya pun dapat dilakukan secara medis.

Mencegah penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, adalah dengan cara jangan melakukan hubungan seks dengan orang yang sudah tertular HIV. Ini fakta medis. Hal ini sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan norma, moral, dan agama.

Masalah besar dalam epidemi HIV adalah orang-orang yang sudah tertular HIV tidak bisa dikenali dengan mata telanjang karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik mereka. Dalam kaitan inilah sering terjadi penularan HIV tanpa disadari karena ada yang melakukan hubungan seks, baik di dalam maupun di luar nikah, dengan seseorang yang tidak diketahui status HIV-nya. Kegiatan ini dikenal sebagai perilaku yang berisiko tinggi tertular atau menularkan HIV yaitu (a) laki-laki atau perempuan yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif, dan (b) laki-laki atau perempuan yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pelaku kawin-cerai dan pekerja seks, karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan mereka HIV-positif.

Kalau jihad akan tetap dipakai dalam penanggulangan HIV maka yang diperangi dengan jihad bukan HIV sebagai virus atau Odha sebagai pengidap HIV tapi perilaku yang berisiko tinggi tertular atau menularkan HIV.

Tapi, tunggu dulu. Bagaimana caranya menerapkan jihad untuk menghentikan perilaku berisiko pada diri orang per orang? Tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Yang diperlukan bukanlah jihad tapi meningkatkan penyuluhan dengan materi informasi HIV/AIDS yang akurat agar masyarakat, terutama yang perilakunya berisiko tinggi, memahami risiko yang dihadapinya akibat perilakunya. Pada gilirannya mereka diajak untuk menjalani tes HIV secara sukarela. Orang-orang yang terdeteksi HIV-positif akan diajak untuk memutus mata rantai penyebaran HIV mulai dari dirinya. Maka, semakin banyak kasus HIV yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV secara horisontal di masyarakat dapat diputus.

Namun, penggunaan kata jihad akan menambah ‘keangkeran’ HIV/AIDS. Padahal , sebagai virus HIV tidak berbeda dengan virus, kuman atau bakteri lain yang dapat dicegah tanpa harus mengait-ngaitkannya dengan norma, moral, dan agama. ***

* Penulis seorang pemerhati masalah HIV/AIDS dan direktur eksekutif LSM (media watch) "InfoKespro" Jakarta.

[Sumber: http://www.gemadepok.com/index.php?mod=article&cat=Opini&article=41