15 September 2017

Berita AIDS yang Tidak Akurat

Oleh: Syaiful W. Harahap
LSM "InfoKespro" Jakarta

Berita "Penderita AIDS Meningkat, Razia Pelacur Dilancarkan" yang disiarkan Liputan6 SCTV tanggal 12 Juni 2006 menunjukkan pemahaman terhadap HIV/AIDS yang tidak komprehensif.

Disebutkan "Penertiban terhadap pelacur jalanan dan gelandangan pengemis (gepeng) digiatkan menyusul laporan Dinas Kesehatan setempat bahwa delapan orang di Kalimantan Selatan tewas akibat virus Human Immunodeficiency Virus (HIV)". Pernyataan ini tidak akurat.

Pertama, tidak ada kaitan langsung antara kematian karena HIV/AIDS dengan pelacur jalanan. Penularan HIV bisa terjadi melalui cara-cara yang sama sekali tidak terakit dengan pelacur jalanan. Lagi pula, yang menularkan HIV kepada pelacur jalanan adalah laki-laki yang bisa jadi sebagai suami, remaja, lajang atau duda dari berbagai kalangandan status sosial.

Kedua, HIV dan AIDS tidak menewaskan. Seseorang yang tertular HIV dan sudah mencapai masa AIDS (antara 5 – 10 tahun setelah tertular HIV) meninggal karena penyakit lain yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare, ruam, TBC, dll.

Di bagian lain disebutkan "Setelah diambil contoh darah untuk diperiksa, mereka mendapat siraman rohani …". Dalam dunia kedokteran pengambilan contoh darah untuk tes semua penyakit harus seizing yang bersangkutan. Izin diberikan yang bersangkutan setelah dia mengetahui dengan jelas untuk apa tes dilakukan. Tes yang dilakukan itu sifatnya survailans sehingga harus sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku yaitu (a) menganut asas anonimintas, (b) konfidensial dan (c) ada konseling sebelum dan sesudah tes.

Dalam kaitan ini wartawan justru mempertanyakan: Apakah pengambilan darah pelacur jalanan itu sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku? Kalau tidak maka hal itu merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran barat terhadap HAM. Ini yang menjadi topik pemberitaan karena di sana ada pihak yang diperlakukan dengan semena-mena sebagai pihak yang tidak berdaya. Wartawan barada pada pihak mereka sebagai `corong' untuk pemberdayaan.

Karena yang menularkan HIV kepada pelajar jalanan adalah laki-laki, mengapa siraman rohani tidak diberikan kepada laki-laki yang menjadi pelanggan pelacur (jalanan)? Ini menunjukkan berita bias gender.

[Sumber: http://health.groups.yahoo.com/group/infokespro_lsm/message/403]

Melacak PSK Melanggar HAM

Oleh: Syaiful W. Harahap
LSM "InfoKespro" Jakarta

Berita "PSK Di Besitang Terjangkit HIV Positif" di "Waspada", Medan, edisi 15 Juni 2006 menunjukkan pemahaman terhadap HIV/AIDS yang tidak komprehensif.

Judul berita tidak akurat karena HIV menular sehingga yang benar adalah tertular HIV sehingga orang yang tertular disebut HIV-postif. Untuk mengetahui seseorang sudah tertular HIV atau belum hanya dapat dilakukan dengan tes HIV sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku yaitu (a) ada konseling (bimbingan) sebelum dan sesudah tes, (b) menganut asas anonimitas (contoh darah tidak diberikan tanda atau kode yang dapat menunjukkan pemilik darah), (c) asas konfidensialitas yaitu hasil tes dirahasiakan hanya diketahui oleh dokter, konselor (yang memberikan bimbingan) dan yang bersangkutan.

Tes yang dilakukan Dinas Kesehatan Langkat terhadap PSK di Besitang sifatnya survailans yaitu untuk mengetahui prevalensi HIV di kelangan PSK (angka perbandingan antara yang positif dan negatif pada kalangan tertentu dan pada kurun waktu yang tertentu). Setiap saat prevalensi ini berubah.

Hasil tes pada survailans tidak menunjukkan kepastian karena hasil tes itu belum dikonfirmasi dengan tes lain. Dalam tes HIV semua hasil tes, misalnya dengan ELISA atau rapid test harus dikonfirmasi dengan tes lain, seperti Western blot.

Namun, hasil tes pada PSK di Besitang sudah bisa memberikan gambaran nyata tentang epidemi HIV di sana. Yang perlu dikhawatirkan adalah penduduk setempat atau pendatang yang sering ke lokasi itu karena yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki yang bisa saja sebagai suami, duda atau lajang. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk.

Dalam berita disebutkan " …. pihaknya sudah menyelusuri mereka yang mengidap HIV, tetap tidak berada ditempat." Hal ini melanggar standar prosedur operasi tes HIV dan merupakan perbuatan yang melawan hukum serta pelanggaran berat terhadap HAM.

Lagi pula untuk apa mencari-cari PSK yang tertular HIV? Yang menjadi persoalan besar adalah laki-laki yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan PSK di Besitang. Mereka adalah laki-laki yang menularkan HIV kepada lima PSK dan kemudian laki-laki datang melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan PSK di sana. Merekainilah yang menjadi penyebar HIV.

Risiko tertular HIV tidak hanya bisa terajdi di kawasan Besitang itu tapi semua penduduk (laki-laki dan perempuan) yang pernah melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah tanpa kondom di mana saja di muka bumi ini karena mereka sudah berada pada risiko tinggi tertular HIV.

[Sumber: http://health.groups.yahoo.com/group/infokespro_lsm/message/401]

Perda AIDS Akan Sama Nasibnya dengan UU Pornografi

MEMBACA berita seorang rekan saya, yang kemudian diberitakan di koran ini pada edisi Senin 22 September 2008 kemarin dengan judul “Perda AIDS Sudah Sangat Dibutuhkan”, bak menggali ingatan lama. Adalah tulisan mentor saya dalam hal penulisan HIV/AIDS—Bang Syaiful W Harahap—yang berjudul “Perda Bukan Cara Ampuh Menanggulangi HIV/AIDS, yang dimuat koran ini pada edisi Selasa 11 Maret 2008 lalu.

Intinya, Bang Syaiful menegaskan, “Sudah ada beberapa kota, kabupaten dan provinsi yang meneluarkan Perda Penanggulangan HIV/AIDS tapi hasilnya nol besar karena perda itu tidak menyentuh persoalan yang mendasar terkait dengan pencegahan HIV”.Kondisi ini memang dipicu oleh muatan Perda yang hanya menyorot soal sanksi terkait moral. Tak hanya Perda di Papua saja, namun di kota-kota besar di Jawa—bahkan di DKI Jakarta pun—, moral masih menjadi “nyawa” dari Perda HIV/AIDS.

Akibatnya, epidemi HIV tetap menjadi masalah yang tak terselesaikan di Indonesia. Karena—seperti tulisan Bang Syaiful—Perda muatannya adalah melarang penduduk melakukan hubungan seks di luar nikah, melakukan hubungan seks dengan perempuan yang bukan istri, atau melarang hubungan seks yang menyimpang. Ini semua normatif dan moralistik yang hanya menghasilkan mitos (anggapan yang salah) karena tidak ada kaitannya secara langsung dengan penularan HIV.

Bang Syaiful kemudian mencontohkan di beberapa negara di kawasan Afrika, Eropa Barat, Australia dan Amerika Utara. Di mana kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa sudah mulai menunjukkan grafik yang mendatar. Padahal, tidak ada bat dan vaksin HIV/AIDS. Lalu, bagaimana hal itu bisa terjadi?

Rupanya, masyarakat di sana sudah memahami cara-cara pencegahan yang realistis yaitu menghindari perilaku berisko tinggi tertular HIV: (1) menghindari hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif, (2) menghindari hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, karena ada kemungkinan salah satu dari pelanggan PSK itu HIV-positif, (3) menghindari transfusi darah dan cangkok organ tubuh yang tidak diskrining HIV, (4) menghindari pemakaian jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, dan alat-alat kesehatan secara bersama-sama dengan bergiliran.Kutipan tulisan Bang Syaiful selanjutnya adalah, “...kalau materi dalam Perda-perda itu tetap mengedepankan norma, moral, dan agama tentulah tidak menyentuh persoalan yang mendasar karena HIV/AIDS adalah fakta medis. Artinya dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga cara-cara pencegahannya pun dapat dilakukan dengan teknologi medis yang benar-benar masuk akal dan dapat dilakukan oleh setiap orang.

Mencegah penularan HIV yang realistis adalah menghindarkan agar cairan-cairan tubuh yang mengadung HIV tidak masuk ke dalam tubuh orang lain melalui: (a) hubungan seks di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, (d) cangkok organ tubuh, dan (e) menyusui. Ini fakta. Tapi, karena selama ini materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) tentang HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral, dan agama maka yang muncul dari berbagai penyuluhan hanya mitos sehingga masyarakat tidak memahami cara-cara pencegahan yang realistis. Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, seks bebas, seks menyimpang, dan homoseksual.

Penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, tidak ada kaitannya secara langsung dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, seks bebas, seks menyimpang, dan homoseksual karena penularan (bisa) terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif.

Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks mereka lakukan dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, seks bebas, seks menyimpang, dan homoseksual. Tanpa Disadari Pada Perda AIDS Riau, misalnya, disebutkan bahwa cara mencegah penularan HIV adalah dengan ‘Meningkatkan Iman dan Taqwa’. Bagaimana mengukur tingkat iman dan taqwa yang dapat mencegah penularan HIV?

Selain itu Perda ini pun menyuburkan stigma (cap buruh) terhadap orang-orang yang tertular HIV karena mereka dianggap tidak beriman dan tidak bertaqwa. Apakah seorang bayi yang lahir dari ibu yang HIV-positif tertular HIV karena dia tidak beriman dan tidak bertaqwa? Perda AIDS Kota Palembang pun mengedepankan upaya pencegahan dengan memberikan ancaman hukuman pidana kepada orang-orang yang dengan sengaja menularkan HIV. Padahal, sekitar 90 persen penularan HIV terjadi tanpa disadari. Perda ini tidak bisa mengendalikan penularan HIV karena yang ‘ditembak’ justru orang yang sudah mengangkat bendera putih yaitu orang-orang yang sudah terdeteksi HIV-positif.Kalangan ini, disebut Odha (Orang dengan HIV/AIDS) sudah sepakat menghentikan penularan HIV mulai dari diri mereka. Sementara itu banyak orang di masyarakat yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi justru menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk tanpa disadarinya. Perda AIDS di Bali dan Jawa Timur pun sama saja. Tetap mengedepankan aspek moral tinimbang fakta medis dalam upaya menanggulangi AIDS. Akibatnya, perda-perda AIDS itu pun tidak menyentuh persoalan yang mendasar dalam penanggulangan HIV/AIDS yaitu perilaku berisiko tanpa dikaitkan dengan norma, moral dan agama.

Karena penularan HIV lebih banyak terjadi tanpa disadari maka upaya penanggulangan dengan dukungan hukum, dalam hal ini Perda, harus ditujukan kepada fakta ini. Karena penularan bisa terjadi tanpa disadari maka yang perlu ditegaskan dalam Perda adalah kewajiban kepada setiap orang untuk memakai kondom jika melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan di wilayah Perda, di luar wilayah Perda, atau di luar negeri”.***Mengapa begitu panjang kutipan Bang Syaiful saya beberkan di sini? Persoalannya, supaya kita bisa me-rewain kembali. Benarkah pengendalian epidemi HIV di Sulut harus lewat Perda, yang penuh pesan moral? Sengaja saya langsung berasumsi demikian, kendati saya berharap bukan muatan moral yang muncul. Karena memang, nyaris seluruh Perda yang ada muatannya salah sasaran.

Desakan dari legislator, via pernyataan James Sumendap dan Inggried Sondakh—dua legislator Deprov Sulut yang ngendon di Komisi D—lewat berita kemarin, jelas-jelas menuju pada pemahaman bahwa hanya ada satu cara mencegah epidemi HIV; yakni lewat Perda HIV/AIDS.

Jika memang demikian, bahwa Perda HIV/AIDS Sulut nanti lebih bermuatan moral, maka apakah bedanya dengan rancangan undang undang (RUU) Pornografi yang saat ini telah mendapatkan penolakan di mana-mana di Indonesia ini?

So, kita akhirnya hanya bisa berharap, kekonyolan eksekutif-legislatif di daerah-daerah lain tak merembut ke bumi Nyiur Melambai ini. Karena bagaimana pun, untuk ukuran intelektual dan moderalisme, Sulut adalah jagoannya. Benarkah demikian? Semoga.(henzoe@swarakita-manado.com)

= Dipublikasikan di SKH. Swara Kita, Selasa 23 September 2008

[Sumber: http://henzoe.blogspot.com/ - 23 September 2008]

Risiko Tertular HIV dari PSK

Oleh: Syaiful W. Harahap
LSM (media watch) "InfoKespro"

Berita "Tiga PSK Banjarbaru Positif HIV" yang dimuat di Harian "Banjarmasin Post" edisi 22 Februari 2006 harus `dibaca' dengan nalar karena hal itu menunjukkan epidemi HIV sudah masuk ke populasi (masyarakat).

Terkait dengan tiga PSK yang terdeteksi HIV-positif maka ada beberapa persoalan yang terkait dengan hal itu.

Pertama, ada kemungkinan PSK itu ditulari oleh penduduk setempat yang menjadi pelanggan PSK. Kalau hal ini yang terjadi maka kasus HIV di masyarakat sudah ada tapi belum terdeteksi. Mengapa hal ini terjadi? Ya, karena selama ini materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Misalnya, mengaitkanpenularan HIV melalui hubungan seks dengan zina, pelacuran, jajan, selingkuh, waria dan gay. Padahal, tidak ada kaitan langsung antara zina, pelacuran, jajan, selingkuh, waria dan gay dengan penularan HIV.

Penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, (bisa) terjadi kalau salah satu atau dua-duanya HIV-positif dan setiap hubungan seks laki-laki tidak memakai kondom. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV biar pun hubungan seks dilaluakan di luar nikah, zina, melacur, jajan, selingkuh atau homoseks.

Kedua, kalau PSK itu tertular di tempat lain maka penduduk yang menjadi pelanggan PSK akan berisiko tertular HIV. Kalau ada penduduk yang tertular HIV maka dia akan menjadi mata rantai penyebaran HIV antara penduduk.

Maka, dalam epidemi HIV yang menjadi persoalan besar adalah laki-laki karena laki-laki yang menjadi mata rantai penyebaran HIV. Banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada diri seseorang yang sudah tertular HIV sebelum mencapai masa AIDS (antara 5 – 10 tahun setelah tertular HIV). Tapi, dia sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain melalui (a) hubungan seks di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattto, alat-alat kesehatan atau cangkok organ tubuh (c) air susu ibu (ASI).

Dalam kasus Banjarbaru itu yang perlu dipersoalkan bukan identitas PSK yang terdeteksi HIV-positif, tapi mengajak laki-laki yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan PSK untuk menjalani tes HIV secara sukarela. Dengan mengetahui status HIV maka dapat diputus mata rantai penyebaran HIV yaitu dengan memberikan nasihat tentang cara-cara mencegah penularan HIV. Selain itu mereka pun dapat ditangani secara medis agar tetap produktif sebelum mencapai masa AIDS.

[Sumber: http://health.groups.yahoo.com/group/infokespro_lsm/message/302]

Jurnalis Harus 'Jaga' Identitas Korban HIV

Banda Aceh, acehmagazine.comPemahaman masyarakat Aceh tentang human immunodeficiency virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) masih kurang. Inilah yang mengakibatkan sulitnya melakukan penangulangan dan pencegahan bagi masyarakat. Pada sisi lain, korban pun masih ragu-ragu melakukan tes darah di rumah sakit Aceh, sebab jika penyakitnya diketahui umum membuat dia dan keluarga dikucil masyarakat.

Koordinator Medan Aceh Patnership, Baby Rinova pada acara Warkshop; Menggali Empathy Jurnalis Aceh dalam Permasalahan HIV dan AIDS, yang digelar di Grand Nanggroe Hotel, Kamis (31/5), menyebutkan pemberitaan pers yang membeberkan identitas korban “Penderita HIV dan AIDS” positif mengakibatkan mereka malu. Dia menganjurkan seharusnya media lebih ”ramah” dalam meliput persoalan ini.

Dia menyebutkan hingga Mei 2007 terdaftar ada 18 penderita HIV dan lima di antaranya meninggal dunia. Katanya, hingga saat ini ada 13 korban yang positif terkena HIV Dan AIDS di Aceh, yang sudah mendapatkan penanganan khusus dari pemerintah, namun Baby tidak menyangkal masih ada warga Aceh yang lain yang sudah terinfeksi tapi mereka masih takut dan masih malu melakukan tes darah di Aceh.

Sebelumnya Direktur LSM Info Kespro, Syaiful W. Harahap mengharapkan agar para jurnalis Aceh dalam penulisannya harus mampu menjaga identitas atau hak individu korban. “Dalam pemberitaan media harus bisa menjaga dampak yang akan ditimbulkan bagi korban terhadap pemberitaannya,” jelas dia.

Menurutnya, selama ini ada media yang menyembunyikan nama korban tapi masih menulis alamat dan kegiatannya dengan jelas, seperti yang terjadi pada salah satu korban di Aceh Tengah, yang ditulis sebuah media,” ungkapanya. Dalam workshop selama dua hari itu, para jurnalis yang hadir membentuk sebuah perkumpulan jurnalis yang akan membantu wartawan lain di Aceh dalam mendapatkan informasi tentang AIDS di Serambi Makkah.

Wadah itu diberi nama AJFA (Aceh Journalist for AIDS). Untuk tiga bulan pertama Evirosita, jurnalis Majalah ”Aceh Magazine” menjadi koordinator AJFA. “Bagi wartawan yang membutuhkan informasi tentang AIDS di Aceh bisa minta langsung dengan pihak AJFA,” kata Evi sembari menambahkan bahwa pihaknya akan bekerja sama dengan MAP dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), untuk membantu mensosialisasikan dan membagi informasi tentang penyakit menular itu. [Jamal]

[Sumber: http://malaceh.multiply.com/journal - 4 Juni 2007]

Stigmatisasi terhadap Odha

Oleh: Syaiful W. Harahap
LSM (media watch) "InfoKespro" Jakarta

Berita "12 Penderita HIV/Aids Bebas Berkeliaran, 10 PenderitaHIV/Aids di Lamongan tewas" di "RADAR BOJONEGORO" edisi 22 Februari 2005 menunjukkan pemahaman terhadap HIV/AIDS yang tidak komprehensif.

Judul berita yang menyebutkan "bebas bekeliaran' merupakan sensasi dan bentuk stigmatisasi (pemberian cap buruk) karena semua penderita penyakit, baik yang tidak menular maupun yang menular, selain HIV/AIDS juga bebas berkeliaran. Penderita TBC jauh lebih berbahaya karena dapat menularkan baksil TB melalui udara. Sedangkan Odha (Orang yang Hidup dengan HIV/AIDS) tidak bisa menularkan HIV/AIDS melalui udara dan pergaulan sehari-hari.

Yang menjadi persoalan besar justru orang-orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk tanpa mereka sadari. Penduduk Lamongan, laki-laki dan perempuan, yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah denganpasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperi pekerja seks, baik di Lamongan maupun di luar Lamongan atau di luar negeri sudah berisiko tertular HIV. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV.

Sedangkan yang sudah terdeteksi akan bisa menahan diri karena mereka memperoleh konseling (bimbingan) ketika henak menjalani tes HIV dan sesudah diketahui hasil tes HIV mereka.

Dalam berita disebutkan " …. warga Lamongan terkenal sebagai perantau, sehingga cukup rawan terjangkit penyakit itu saat berada di luar daerah". Pernyataan ini tidak akurat karena tidak ada kaitan langsung antara perantau dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, bisa terjadi kalau salah satu dari pasangan itu HIV-positif baik di Lamongan, di luar Lamongan mau pun di luar negeri. Kalau kemudian fakta menunjukkan penduduk Lamongan tertular HIV di luar Lamogan maka hal itu menunjukkan perilaku penduduk Lamongan yang merantau berisiko tinggi tertular HIV. Sebaliknya, biar pun merantau ke ujung dunia kalau perilakunya tidak berisiko tinggi maka risiko tertular HIV sangat rendah.

Di bagian lain disebutkan " …. penyebaran penyakit ini hanya melalui 3 cara, yakni melalui persetubuhan, kontaminasi darah dan menurun ke anaknya." juga tidak akurat. Penularan HIV dari ibu yang HIV-positif ke anak yang dikandungnya tidak terjadi otomatis sebagai penyakit turunan karena HIV adalah virus yang menular sehingga bisa dicegah. Penularan dari ibu seorang ibu yang HIV-positif ke anak yang dikandungnya terutama terjadi pada saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).

Penularan HIV melalui persetubuhan, di dalam atau di luar nikah, bisa terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu mengidap HIV dan pada setiap hubungan seks laki-laki tidak memakai kondom. Penularan melalui darah bisa terjadi kalau darah yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan atau terpapar pada permukaan kulit yang ada luka-lukanya.

[Sumber: http://health.groups.yahoo.com/group/infokespro_lsm/message/304]

Pernyataan yang Menyuburkan Mitos

Oleh: Syaiful W. Harahap
LSM (media watch) "InfoKespro" Jakarta

Berita "98 Warga Kota Bogor Positif HIV-AIDS" di Media Indonesia Online edisi 24 Februari 2006 menunjukkan pemahaman terhadap HIV/AIDS yang tidak akurat. Padahal, saat ini informasi yang akurat tentang HIV/AIDS sudah tersebar luas.

Judul berita sendiri tidak akurat karena yang bisa dideteksi adalah HIV bukan AIDS. Maka, yang benar adalah HIV-positif dan masa AIDS (kondisi pada diri seseorang yang tertular HIV setelah 5 – 10 tahun tertular HIV yang ditandai dengan sekumpulan gejala penyakit yang disebut infeksi oportunistik).

Pada berita itu disebutkan " …. masih sedikit atau jarang sekali penderita HIV/AIDS mau mengaku diriya terinfeksi" dan " …. Karena pada umumnya pendertia HIV/AIDS itu sembunyi-sembunyi dan tidak mau mengakui dirinya terinfeksi penyakit tersebut." Pernyataan ini menunjukkan pemahaman yang rendah terhadap fakta medis tentang HIV/AIDS.

Pertama, banyak yang enggan mengakui dirinya sudah tertular HIV karena kalau mereka membeberkan status HIV mereka maka mereka akan menghadapi stigmatitasi dan diskriminasi. Bahkan, penelitian menunjukan stigmatisasi dan diskriminasi lebih dilakukan di sarana kesehatan, seperti rumah sakit.

Kedua, banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tiadk ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV sebelum mencapai masa AIDS.

Mengapa hal ini terjadi? Ya, ini terjadi karena selama ini materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS dibalut dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Misalnya, mengaitkan penularan HIV dengan seks di luar nikah, seks pranikah, zina, pelacuran, selingkuh, jajan, waria dan gay.Padahal, tidak ada kaitan langsung antara seks di luar nikah, seks pranikah, zina, pelacuran, selingkuh, jajan, waria dan gay dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, (bisa) terjadi kalau salah satu atau kedua pasangan itu HIV-positif dan setiap kali hubungan seks laki-laki tidak memakai kondom. Sebaliknya, biar pun seks di luar nikah, seks pranikah, zina, pelacuran, selingkuh, jajan, waria dan gay kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV.

Dalam berita itu juga disebutkan " …. dan yang melakukan hubungan seks tidak sehat" serta " … seks bebas" sebagai penularan HIV. Ini juga ngawur karena apa, sih, yang dimaksud dengan `seks tidak sehat' dan `seks bebas'? Penularan HIV melalui hubungan seks bukan karena sifat hubungan seks tapi kondisi hubungan seks. Penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi kalau salah satu atau kedua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom (kondisi) di dalam atau di luar nikah (sifat).

Menyebut `seks tidak sehat' dan `seks bebas' sebagai cara penularan HIV merupakan mitos. Inilah yang menyesatkan. Pada gilirannya epidemi HIV akan menjadi `bom waktu' karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV.

Kapan, sih, seseorang berisiko tinggi tertular HIV? Seseorang, laki-laki dan perempuan, berisiko tinggi tertular HIV jika pernah (a) melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan (seperti pekerja seks komersial/PSK), (b) menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, (c) memakai jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo dan alat-alat kesehatan secara bergiliran, (d) menerima cangkok organ tubuh yang tidak diskrining HIV.

Mereka inilah yang kelak akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal kalau mereka tertular HIV. Semuanya tanpa disadari sehingga penyebaran HIV antar penduduk terjadi secara diam-diam. Nah, untuk memutus mata rantai penyebaran HIV antar penduduk maka kepada yang pernah melakukan perilaku berisiko tinggi dianjurkanuntuk menjalani tes HIV secara sukarela. Dengan mengetahui status HIV seseorang dapat diajak untuk memutus mata rantai penyebaran HIV dan mereka pun dapat ditangani secara medis agar tetap produktif.

[Sumber: http://health.groups.yahoo.com/group/infokespro_lsm/message/306]

12 September 2017

Lack of knowledge on AIDS causes stigma

Dewi Santoso, The Jakarta Post, Jakarta


Indonesia has a mountain to climb in its attempt to combat HIV/AIDS due to the long-standing stigma and discrimination against people living with the virus (PLWHA), observers say.

They agree that people's understanding that HIV/AIDS is a private matter has led to their resistance to collective measures against the virus.

"This has given people the justification to label PLWHA as sex workers or drug addicts,"" Samuel Nugraha of Pita, the support group for PLWHA, said on Wednesday.
As a result, he said, PLWHA were isolated, marginalized, discriminated against, and denied access to healthcare and work.

Data from the Spritia Foundation showed that based on interviews with PLWHA in 10 provinces in 2002, 31 percent of them had claimed they had been deprived of access to healthcare. Ironically, those who had refused to care for the PLWHA were health workers, who are supposed to provide treatments and healthcare to people without discrimination.

The stigma has also caused PLWHA difficulties in getting jobs.

""Thirty eight percent of PLWHA in Indonesia voiced their disappointment that their status was revealed to others, without their consent; some were refused work and some even fired,"" Samuel told The Jakarta Post.

Because of this, he said, PLWHA did not feel like obtaining information on preventing and treating the virus.

"The implication is that HIV/AIDS cases are increasing undetected," he said.
To tackle this problem, United Nations (UN) Resident Coordinator Steven Allen said that more education on HIV/AIDS needed to be included in the curriculum in the teaching of reproductive health as early as junior high school.

"Government policies that relate to youth matters are of the most concern as schools do not provide adequate information on health issues," said Allen.

Data from the United Nations Fund for Population (UNFPA) shows that half of PLWHA, aged between 15 and 24, transmitted the virus due to their misconception of how HIV/AIDS is transmitted. Indonesia's youths account for 30 percent of the total population.

The data further revealed that only 26 percent of PLWHA aged between 15 and 24, received information on reproductive health from their parents. Furthermore, 86 percent of these parents provided their children with information that was incorrect.

"The data shows us that advocacy to young people on the prevention of HIV/AIDS is needed for a better future as young people play the key role in this country within the next 10 years," UNFPA Director Bernard Coquelin told the Post.

Education alone is not enough. Religious leaders have contributed to the stigma.
"They see it as a moral issue. For them, HIV/AIDS is a sin that PLWHA have to bear for what they have done," Indonesian AIDS Foundation (YAI) chairman Sarsanto W. Sarwono said.

Meanwhile, the World Health Organization (WHO) demanded that the Indonesian government allocate US$6 million in the 2004 fiscal year to help the global initiative aimed at bringing antiretroviral treatment to PLWHA.

The fund will be added to WHO's total budget for antiretroviral treatment in Indonesia worth $27.6 million, of which $7 million will come from the Global Fund, $5.6 million from U.S. agencies and $9 million from international non-governmental organizations.

WHO needs $5,5 billion to fund the program worldwide, targeting three million PLWHA for the next two years.

URL: http://www.thejakartapost.com/news/2003/12/04/lack-knowledge-aids-causes-stigma.html
[Sumber: The Jakarta Post, Jakarta, 4 Desember 2003]

Lack of HIV comprehension causes misery

Yuli Tri Suwarni, The Jakarta Post, Bandung

Maya (not a real name) broke into tears when a well-known newspaper printed her full name as well as a detailed description of her and her job in its recent article.

The article would not have shattered her world, if it was not for the fact, as pointed out in the story, that she is living with HIV. It has been a year since the 26-year-old tested positive for HIV and only her closest family members -- her parents and siblings -- had been aware of her condition.

"The journalist never asked for my permission to print my full name in the article or whether I would allow my comments during the HIV/AIDS night in December to be published. I'm really disappointed," she told a group of journalists at a recent workshop on HIV/AIDS reporting, which was organized by the Indonesia HIV/AIDS Prevention and Care Project (IHPCP) and West Java AIDS Prevention Commission in Bandung.


She still cries when she recalls how her father threw the paper at her when she arrived home the day it was published.

Later, her angry father demanded that if people asked her whether she was the person in the paper, then Maya had to tell them it was not her. "But, is it that easy? People will not believe me," she said.

"Sorry, it is not our responsibility because the person who did the story was an intern reporter and not one of our official reporters." That's what the newspaper's editor told Maya when Maya demanded that he be held responsible for the story.

"I wanted to take the newspaper to court but I couldn't because if I had, even more people would know that I was infected with HIV," explained Maya.

Maya's story is yet more evidence that many Indonesians still cannot accept people that have the virus. There is an overall perception that people with HIV got it because of their own moral transgressions; namely casual sex or needle-sharing by drug addicts. The fact is that many get HIV by other means, through no fault of their own, such as blood transfusions.

Worse, the stigmatization has been strengthened by the country's media, the institution that is supposed to enlighten people on this and other issues.

Another story printed in a local newspaper last month had the factually incorrect headline: "Based on Urine Tests, 6 Prostitutes in Pangandaran Confirmed to Have Been Infected with the HIV."

"It's ridiculous. How can the HIV virus be detected through a urine test. The journalist should have been better informed," said another person with HIV.

Syaiful W. Harahap, a media observer, said that there had been no significant progress in reporting on the HIV/AIDS issue since 1987, when the first HIV/AIDS case -- on Bali -- was made public.

Syaiful, who wrote a book entitled "How the Press Covers AIDS", said that some 90 percent of stories that covered HIV/AIDS issues were misleading and did not tell the readers the whole truth.

The stories were full of myths, said Syaiful who analyzed Indonesian newspaper stories on AIDS between 1981 and 2000.

The situation greatly concerns Syaiful, especially since the virus is spreading in this country at fast pace. By the end of June this year, the number people living with HIV/AIDS in the country reached 7,098 (the government's confirmed number), but the estimated amount was approximately 150,000, according to Coordinating Minister of People's Welfare Alwi Shihab, who is also the chairman of the National Committee to Eradicate AIDS.

The numbers showed sharp increases compared to last year's figure of 6,050 confirmed cases.

Syaiful said that the mass media had to work closer with the non-governmental organizations (NGOs) and the government to fight the disease. Such cooperation could help fight the disease, he said. The media workers themselves have to improve their skills and understanding about reports on HIV/AIDS in order to enlighten people, thus providing strong preventative measures against the disease.

The skills and understanding have to be improved because, at present, most journalists were found lacking in both those areas. One blatant example was the Maya case.

People living with HIV ideally should be treated as equal to people infected with dengue or other common health issues, but the reality is people in this country stigmatize them -- some calling them "enemies of the community" -- so local journalists need to have much more understanding and discretion.

Simply put, domestic journalists must become wiser in reporting on people with HIV, Syaiful asserted.

URL: http://www.thejakartapost.com/news/2005/08/24/lack-hiv-comprehension-causes-misery.html
[Sumber: The Jakarta Post, Jakarta, 24 Agustus 2005]

Penyakit Kalamin di Kalangan PSK

Oleh:: Syaiful W Harahap*

Berita di Harian “Jambi Ekspres” yaitu “Banyak PSK Terjangkit Penyakit Kelamin, Hanya 50 Persen PSK yang Memeriksakan Diri” (12 Maret 2008) menunjukkan ada risiko penularan HIV/AIDS di Jambi. Secara nasional Jambi menempati peringkat 17 dengan 112 kasus AIDS. Angka ini tidak menggambarkan kasus sebenarnya di masyarakat sehingga penularan IMS dan HIV secara horizontal antar penduduk terus terjadi secara diam-diam.

"Pria hidung belang kini harus kian waspada. Penyakit kelamin menular di lokalisasi Payosigadung alias Pucuk banyak ditemui." Inilah lead berita itu. Peringatan ini tidak pas karena ada dua kemungkinan yang bisa ditarik dari fakta itu.

Pertama, ada kemungkinan PSK di lokalisasi Pucuk tertular IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah), seperti sifilis, GO, kandidiasi, dll. dari laki-laki yang melakukan hubungan seks dengan PSK di sana. Kalau ini yang terjadi maka di kalangan penduduk lokal sudah ada laki-laki yang mengidap IMS. Maka, penularan IMS pun sudah terjadi antar penduduk. Bagi yang beristri mereka menularkan IMS kepada istrinya. Kalau istrinya tertular maka ada risiko cacat pada bayi yang dikandungnya.

Kedua, ada kemungkinan PSK yang datang ke Pucuk sudah mengidap IMS. Kalau ini yang terjadi maka laki-laki yang melakukan hubungan seks dengan PSK di sana akan berisiko tertular IMS kalau tidak pakai kondom. Kondisi ini juga mendorong penularan IMS antar penduduk seperti halnya kemungkinan pertama.

Tanpa Disadari

Yang perlu dikhawatirkan adalah penularan HIV karena bisa saja terjadi penularan HIV bersamaan dengan penularan IMS. Soalnya, cara penularan IMS dan HIV sama sehingga kalau seseorang tertular IMS maka jika yang menularkan IMS itu juga mengidap HIV maka adakemungkinan terjadi pula sekaligus penularan HIV. Hal ini bias terjadi karena orang-orang yang sudah tertular HIV tidak menunjukkan tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum mencapai masa AIDS (antara 5 – 10 tahun setelah tertular HIV). HIV adalah virus yang tergolong sebagai retrovirus yaitu virus yang bisa mengembangbiakkan diri di dalam sel-sel darah putih manusia.

Ketika HIV mengembangbiakkan diri sel-sel darah putih rusak. HIV yang baru diproduksi mencari sel darah putih lain untuk tempat berkembang biak. Begitu seterusnya sehingga sampai pada satu tahap ketika jumlah sel darah putih tinggal sedikit maka muncullah masa AIDS dengan beberapa gejala yang tidak khas AIDS. Pada tahap ini penyakit sangat mudah masuk karena sistem kekebalan tubuh yang sangat rendah. Penyakit-penyakit yang masuk pada masa AIDS inilah yang kemudian menyebabkan kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS).

Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam cairan darah (laki-laki dan perempuan), air mani (laki-laki, dalam sperma tidak ada HIV), cairan vagina (perempuan), dan air susu ibu/ASI (perempuan). Penularan HIV melalui darah (bisa) terjadi kalau darah yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan, dan cangkok organ tubuh. Penularan HIV melalui air mani dan cairan vagina yang mengandung HIV (bisa) terjadi melaui hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah. Penularan HIV melalui ASI yang mengandung HIV (bisa) terjadi melalui proses menyusui.

Penularan HIV terjadi tanpa disadari secara diam-diam karena orang-orang yang tertular HIV tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada gejala dan keluhan kesehatan yang khas AIDS. Tapi, biar pun tidak ada gejala AIDS seorang Odha sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain melalui cara-cara di atas. Lebih dari 90 persen penularan HIV terjadi tanpa disadari oleh yang menularkan dan yang ditulari karena tidak ada tanda yang khas pada saat terjadi penularan HIV.

Yang dilakukan oleh Dinkes Kota Jambi terhadap PSK tidak akan berhasil kalau laki-laki yang menjadi pelanggan PSK di Pucuk tidak konsisten memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks dengan PSK di sana. Andaikan semua PSK yang terdeteksi mengidap IMS diobati maka mereka pun akan segera tertular lagi kalau ada laki-laki yang mengencani mereka mengidap IMS dan HIV karena laki-laki enggan memakai kondom.

Bom Waktu

Dalam laporan kasus HIV/AIDS yang dikeluarkan Ditjen PPM&PL, Depkes RI, Januari 2008 menunjukkan dari 112 kasus AIDS di Jambi ada 71 kasus yang tertular melalui penggunaan jarum suntik bergantian di kalangan penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya). Di kalangan pengguna narkoba mereka biasanya menyuntikkan narkoba bersama teman-temannya antara 2 sampai 5 orang. Andaikan seorang pengguna narkoba mempunyai teman menyuntik 3 maka sudah ada 213 orang yang berisiko tertular HIV. Kalau dari 71 itu ada yang sudah beristri maka istri mereka pun berisiko pula tertular HIV. Dari 213 itu ada kemungkinan masih mempunyai teman menyuntik narkoba di kotanya, di luar kota, atau di luar daerah sehingga angkanya kian banyak seperti deret ukur.

Pernyataan Kadiskes Kerinci, Efnizal Mairad, yang mengatakan "Saya berani memastikan sampai sekarang tidak ada penduduk Kerinci yang terkena virus yang mematikan tersebut" (berita Kadiskes: Kerinci Bebas HIV pada edisi 25 Februari 2008) bisa menjadi bumerang karena tidak ada satu tempat pun di muka bumi ini yang bebas HIV/AIDS. Lagi pula patut ditanya: Apakah semua penduduk Kerinci sudah menjalanites HIV? Kalau semua penduduk belum dites HIV maka tidak ada jaminan Kerinci bebas HIV/AIDS. Yang perlu diperhatikan adalah kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi kelak akan menjadi `bom waktu' ledakan AIDS.

Dalam berita tidak dijelaskan apa alasan Kadiskes sampai dia berani membuat pernyataan `Kerinci bebas AIDS'. Kalau alasannya karena di Kerinci tidak ada lokalisasi pelacuran maka pernyataan itu sangat naïf karena bisa saja terjadi penduduk Kerinci melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah yang berisiko tertular HIV (hubungan seks tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK) di luar Kerinci atau di luar negeri. Kalau ada penduduk Kerinci yang tertular di luar Kerinci maka mereka akan menjadi mata rantaipenyebaran HIV secara horizontal antar penduduk di Kerinci. Dalam laporan kasus HIV/AIDS Depkes disebutkan pula ada 31 kasus kematian terkait AIDS. Kematian pada Odha terjadi setelah masa AIDS yaitu antara 5 – 10 setelah tertular HIV. Pada kurun waktu 5 – 10 tahun setelah tertular mereka tidak menyadari sudah tertular HIVsehingga mereka pun menularklan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari. Maka 31 penduduk yang meninggal ini sudah menularkan HIV kepada orang lain sebelum mereka meninggal.

Itulah sebabnya angka kasus yang terdeteksi tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat karena tidak ada mekanisme yang sistematis untuk mendeteksi orang-orang yang sudah tertular HIV. Untuk itu perlu digencarkan penyuluhan dengan materi HIV/AIDS yang akurat yaitu yang mengedepankan fakta medis. Dianjurkan kepada penduduk yang pernah melakukan (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, (b) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK, untuk melakukan tes HIV secara sukarela.

Kian banyak kasus HIV yang terdeteksi maka semakin banyak pula mata rantai penularan HIV yang diputuskan karena orang-orang yang terdeteksi HIV diajak untuk tidak menularkan HIV kepada orang lain. Mereka pun bisa pula ditangani secara medis agar mereka bisa tetap produktif. Sekarang sudah ada obat antiretroviral yaitu obat untuk menekan perkembangan HIV di dalam darah orang-orang yang tertular HIV.

*Direktur Ekeskutif LSM "InfoKespro"

[Sumber: Harian "Jambi Ekspres", 24 Maret 2008]

Santunan Kematian yang Diskriminatif

Oleh: Syaiful W. Harahap

Berita “Sosialisasi Dana Kematian Rp 2 juta, Mati kena AIDS tak disantuni” di Harian “Monitor Depok” edisi 13 September 2007 merupakan gambaran nyata tentang pemahaman terhadap HIV/AIDS yang tidak akurat di banyak kalangan. Berita itu pun menyuburkan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan yang tidak adil) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Selain itu pernyataan terkait HIV/AIDS dalam berita itu pun tidak akurat yang justru menimbulkan mitos (anggapan yang salah) terhadap HIV/AIDS.

Dalam berita disebutkan “Warga Depok yang meninggal akibat AIDS/HIV”. Ini tidak akurat karena HIV/AIDS bukan penyebab kematian. Seseorang yang tertular HIV akan sampai kepada masa AIDS (antara 5 – 10 tahun kemudian). Pada masa AIDS ini sistem kekebalan tubuh sudah rapuh sehingga mudah tertular penyakit yang disebut sebagai infeksi oportunistik. Penyakit-penyakit inilah, seperti diare, TBC, dll. yang menyebabkan kematian seorang Odha.

HIV adalah virus yang tergolong sebagai retrovirus yaitu virus yang bisa menggandakan diri di dalam sel-sel darah putih manusia. Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam cairan darah (laki-laki dan perempuan), air mani (laki-laki, di dalam sperma tidak ada HIV), cairan vagina (perempuan), dan air susu ibu/ASI (perempuan). Penularan HIV melalui darah bisa terjadi kalau darah yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, dan cangkok organ tubuh. Penularan HIV melalui air mani dan cairan vagina bisa terjadi kalau air mani dan cairan vagina yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah. Penularan HIV melalui ASI bisa terjadi pada proses menyusui dengan seorang perempuan yang HIV-positif.

Penularan HIV terjadi tanpa disadari karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada diri orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS. Yang tertular pun tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena juga tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada diri seseorang ketika dia tertular HIV.

Selama ini materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) tentang HIV/AIDS dibalut dan dibumbui dengan norma, moral, dan agama sehingga yang muncul hanya mitos. Misalnya, mengaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, ‘seks bebas’, waria, dan homoseksual. Ini mitos karena penularan HIV melalui hubungan seks di dalam nikah atau di luar nikah (zina, pelacuran, selingkuh, jajan, ‘seks bebas’, waria) dan homoseksual bisa terjadi kalau salah satu dari pasangan itu HIV-positif. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan melalui hubungan seks biar pun mereka melakukannya dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, ‘seks bebas’, waria, dan homoseksual.

Tidak disebutkan alasan yang masuk akal mengapa kematian terkait HIV/AIDS tidak berhak menerima santunan kematian. Inilah salah satu bentuk diskriminasi yang merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak-hak asasi manusia (HAM).

Alasan diskriminasi muncul dari penyataan Walikota Depok “Itu membantu Pemkot mencegah warga melakukan perbuatan melanggar hukum.” Tidak jelas perbuatan apa yang dilakukan oleh orang-orang yang tertular HIV yang disebut sebahgai ‘perbuatan melanggar hukum’.

Seseorang yang tertular HIV dari transfusi darah sangat jelas tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Secara akidah orang yang melakukan transfusi darah wajib hukumnya jika cara itu akan menyelamatkan nyawanya. Di Malaysia seorang perempuan guru mengaji Alquran tertular HIV di RS Jitra di Kedah, 28 April 2000. Perempuan tadi menuntut pemerintah Malaysia membayar ganti rugi 100 juta ringgit (sekitar Rp 200 miliar). Seandainya kasus itu terjadi di Depok dan orang yang tertular HIV kemudian meninggal, mengapa dia tidak berhak mendapatkan santunan kematian?

Dalam berita disebutkan “Bagaiman jika ada anak yang mendapat AIDS karena turunan dari orang tuanya.” Ini tidak akurat karena HIV/AIDS bukan penyakit turunan tapi penyakit menular. Seorang perempuan yang tertular HIV berisiko menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya terutama pada saat melahirkan dan menyusui dengan ASI.

Diskriminasi santunan kematian kepada Odha patut dipertanyakan kalau kematian terkait Hepatitis B, kecelakaan lalu lintas, dan penyakit karena dengan pola (perilaku) diberikan santunan. Penularan virus Hepatitis B sama dengan penularan HIV.

Melihat penyebaran HIV yang kian merata di semua lapisan masyarakat di seluruh Nusantara maka tidak tertutup kemungkinan kasus HIV/AIDS juga akan menjadi persoalan (kesehatan) masayarakat di Depok. Secara nasional sudah dilaporkan 15.502 kasus kumuilatif HIV/AIDS. Tapi, angka ini tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya karena banyak kasus yang tidak terdeteksi.

Kasus yang tidak terdeteksi itulah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV yang pada gilirannya kelak akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS, termasuk di Depok. Jika ini yang terjadi maka kematian terkait HIV/AIDS pun tentulah tidak sedikit.

* Penulis adalah pemerhati HIV/AIDS dan direktur eksekutif LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta.

[Sumber: Harian “Monitor Depok”, 17 September 2007]

Mitos dakam Berita AIDS

Oleh: Syaiful W. Harahap
LSM (media watch) "InfoKespro" Jakarta

Berita "Penderita HIV-Aids di Riau Capai 75 orang" di "Riau Terkini” edisi 23 Juni 2006 menunjukkan pemahaman terhadap HIV/AIDS yang tidak komprehensif.

Pertama, berita "Penderita HIV-Aids di Riau Capai 75 orang" bias menyesatkan karena tidak dijelaskan mengapa angka kasus HIV/AIDS terus bertambah. Karena tidak ada penjelasan maka berita itu mengesankan kasus HIV/AIDS hanya terjadi akhir-akhir ini saja. Padahal, penemuan kasus (baru) terjadi karena ada kegiatan survailans dan VCT. Kian gencar survailans dan VCT maka makin banyak pula kasus baru yang terdeteksi.

Kedua, dalam berita disebutkan " ….. rendahnya kesadaran orang dengan resiko tinggi HIV-Aids untuk menggunakan kondom saat `jajan' …." merupakan pernyataan yang tidak akurat. Tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan `jajan' karena penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salahsatu atau dua-dua dari pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali hubungan seks.

Pernyataan di atas merupakan mitos yaitu anggapan yang salah tentang HIV/AIDS yang membuat masyarakat lalai melindungi diri karena di beberapa tempat yang menyediakan `cewek' ada proses `pernikahan' sehingga hubungan seks sah. Tapi, hal ini tidak mencegah penularan HIV dan penyakit lain, seperti sifilis, GO, hepatitis B, dll.Hubungan seks sah sehingga mereka pun tidak berpikir akan terjadi penularan HIV karena selama ini disebutkan (mitos) penularan HIV terjadi karena zina, jajan, selingkuh, dll.

Ketiga, dalam berita itu juga tidak dijelaskan siapa yang disebut `orang dengan risiko tinggi HIV-Aids'. Pekerja seks yang terdeteksi HIV-positif ditularkan oleh laki-laki yang mengencani mereka. Maka, yang menjadi mata rantai penyebaran HIV antar pendudukadalah laki-laki, yang di masyarakat bisa saja sebagai suami, lajang, perjaka atau duda. Tapi, mereka itu tidak terdeteksi karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik sebelum mencapai masa AIDS (antara 5 – 10 tahun). Namun, mereka sudah bias menularkan HIV kepada orang lain, al. melalui hubungan seks di dalamatau di luar nikah.

Selama materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS dibalut dengan moral dan agama maka yang ditangkap masyarakat hanya mitos yang pada akhirnya akan menyuburkan penyangkalan. Jika ini yang terjadi maka epidemi HIV akanmenjadi `bom waktu' ledakan AIDS.

[Sumber: http://health.groups.yahoo.com/group/infokespro_lsm/message/404]

AIDS di Jembrana, Peringatan bagi Penduduk Lokal

Sikap yang diambil oleh Pemkab Jembrana dalam menanggapi kasus HIV/AIDS di daerahnya bagaikan orang yang kebakaran jenggot. Hal ini terkesan dari berita berjudul ''Pascatemuan 12 Penderita HIV/AIDS, Gilimanuk Diobrak-abrik'' yang dimuat ”Bali Post” edisi 14 Januari 2005.

Cara yang ditempuh Pemkab dengan merazia pendatang bagaikan ''menggantang asap'' karena epidemi HIV/AIDS sudah masuk ke populasi (masyarakat). Hal ini bisa terjadi jika ada penduduk Jembrana yang melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan pekerja seks di Jembrana atau di luar Jembrana.

Karena sudah ada lima pekerja seks yang HIV-positif (''Tahun 2004, 12 Penderita HIV/AIDS Ditemukan di Jembrana'', Bali Post, 13 Januari 2004) maka penduduk Jembrana yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan pekerja seks di Jembrana sudah berisiko tertular HIV. Kalau ada penduduk yang tertular maka yang bersangkutan akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal.

Bagi yang beristri maka dia akan menularkannya kepada istrinya atau ke pekerja seks yang lain. Sedangkan yang belum beristri dia akan menularkannya kepada pasangan seksnya, seperti pacar atau pekerja seks lain. Maka, yang terjadi adalah penularan HIV secara horizontal antarpenduduk. Bahkan, bisa saja terjadi pekerja seks justru tertular HIV dari penduduk lokal.

Kalau saja Pemkab Jembrana lebih arif maka yang perlu dilakukan adalah meningkatkan penyuluhan dengan materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) yang komprehensif berupa anjuran agar laki-laki yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan pekerja seks di Jembrana atau di luar Jembrana supaya menjalani tes HIV sukarela. Hanya cara ini yang dapat memutus mata rantai penyebaran HIV di Jembrana karena penduduk yang terdeteksi HIV-positif dapat ditangani agar menjaga perilakunya. Misalnya, memakai kondom jika melakukan hubungan seks, tidak mendonorkan darah serta tidak berganti-ganti jarum suntik bagi pemakai narkoba.

Razia yang hanya ditujukan untuk pendatang merupakan perbuatan yang diskriminatif.
Apakah hanya pendatang yang berisiko menularkan atau tertular HIV?

Jika sembilan orang yang berhasil dirazia langsung diambil darahnya tanpa melalui konseling (bimbingan) dan persetujuan yang bersangkutan maka hal ini merupakan perbuatan melawan hukum dan pelanggaran HAM. Soalnya, standar prosedur oprasi tes HIV mensyaratkan konseling dan pernyataan kesediaan. Jika tanpa konseling dan kesediaan maka tes hanyalah survailans dengan syarat anonimitas (contoh darah tidak diberi tanda atau nama). Kalau contoh darah diberi tanda maka hal itu sudah melanggar standar prosedur operasi tes HIV.

Syaiful W. Harahap
Jl. Pisangan Lama III RT 010/07 No. 1, Jakarta 13230

URL: http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2005/1/19/s6.htm
[Sumber: Harian ”Bali Post”, 19 Januari 2005]

AIDS: Twisted view leads farmer to ruin

Fitri Wulandari, The Jakarta Post, Jakarta
Kartam never imagined such news could bring a hell that came close to ruining his life forever.

Kartam's tragic story began eight years ago when police, the village leader and a doctor arrived at his home in Cibuaya, Karawang, West Java. The uninvited guests forced him and his family to take a blood test.

Later that day, Katam, a farm laborer in his 50s, received the shocking news: A local newspaper reported that three female workers from Cibuaya had been sent home by government officials in Riau, where they worked, after testing positive for Human Immunodeficiency Virus, more commonly known as HIV.

One of them, according to the article, was his 17-year-old daughter.

In Riau, his daughter worked as a food stall attendant. Her boss, admiring her beauty, made her his concubine -- prompting local public health officials put her a AIDS high-risk list and made her subject to involuntary testing.

Since then, Kartam's life has been turned upside down. Shunned and discriminated against by the local community for the last four years, he and his family have been forced to move from place to place. Upon learning of his daughter's HIV, each village would drive him off.

His daughter left home after she found life unbearable: journalists stalked her and took her picture. Their standard question was how she got the virus.

"Villagers went as far as burning a chair where my daughter had sat for fear of contracting the virus," Kartam said, recounting his bitter plight to participants of AIDS seminar on Thursday. "Nobody wanted to pass by my door."

Kartam recalled that even police refused to come near his home, and would shout obscenities at him.

Three years ago, though still fearful of rejection, Kartam and his family returned to Cibuaya and, later, so did his daughter. She had spent four years in hiding.

It was a happy ending for the daughter, however. After undergoing another test as a requirement for a job in Saudi Arabia, she tested negative. Following several months there, she returned home, and lives with her lover in Riau again.

Kartam's saga was a case study about the ignorance of the Indonesian public, fueled by media stereotypes, about people with HIV/AIDS.

Irwan Julianto, a senior journalist and AIDS activist, referring to the media, said, "when they report HIV/AIDS news, their paradigm is 'bad news is good news'."

"They have yet to approach it with compassionate journalism," Irwan added.

Maltreatment and rejection of people with HIV/AIDS will only worsen the situation, he said, since it deprives the sufferer of proper treatment, and can cause the virus to spread elsewhere.

Syaiful W. Harahap, editor of HindarAIDS newsletter likewise said that the media often made HIV/AIDS sufferers pariahs.

By forcing doctors to reveal the medical records of people suspected of having HIV/AIDS, Indonesian journalists themselves often violate a basic human right.

"A medical record is confidential -- it is against the law to reveal it to public," Syaiful said. ""But on top of things, it violates the right of confidentiality of HIV/AIDS victims.

URL: http://www.thejakartapost.com/news/2001/12/08/aids-twisted-view-leads-farmer-ruin.html
[Sumber: The Jakarta Post, Jakarta, 8 Desember 2001]