09 September 2017

Ternate Peduli AIDS


Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Maluku Utara selasa kemarin kembali mengadakan Lokakarya Penguatan Kapasitas Penulisan Berita tentang HIV/AIDS bagi Wartawan di Maluku Utara, yang menghadirkan fasilitator Syaiful W Harahap (Penerbit dan Pemred Situs Online “AIDS Watch Indonesia”). Lokakarya ini dilaksanakan pada tanggal 08-09 November 2016 di Hotel Safirna Transito, kelurahan Kota Baru, Ternate Tengah yang melibatkan peserta dari perwakilan wartawan media cetak, RRI, Radio swasta dan pers kampus yang secara keseluruhan berjumlah 25 orang peserta.

Hari pertama kegiatan dibuka oleh Dr. Idhar Sidi Umar M.Kes dari (Kepala Dinas Kesehatan provinsi Maluku Utara dan wakul ketua satu KPA Malut) yang dilanjutkan dengan Info dasar dan situasi Epidemi HIV/AIDS di provinsi Maluku Utara. Wartawan juga diajak untuk lebih memahami tentang Infeksi Menular Seksual (IMS) dan bagaimana keterkaitannya dengan HIV/AIDS, yang dalam kesempatan ini dibawakan oleh Dr. Wirda Albar (Penanggung jawab klinik Juwita Puskesmas Siko). Selanjutnya wartawan di bekali kembali tentang UU Pers, kode etik, unsur layak berita, dan lainnya serta menganalisis berita HIV/AIDS yang dipresentasikan lewat diskusi kelompok.

Hari kedua kegiatan, rekan-rekan wartawan dipertemukan langsung dengan sepasang suami istri pengidap HIV/AIDS untuk dapat berbagi informasi tentang kesehariaan mereka sebagai orang dengan HIV/AIDS (Odha). Juga pada kesemapatan itu, rekan-rekan wartawan mendapat kesempatan untuk mewawancarai waria, saat itu hadirkan dua orang untuk dapat berbagi cerita dengan teman-teman wartawan. Selanjutnya wartawan diberikan pemahaman bagaimana mencari isu AIDS yang layak diliput serta kemudian menulis berita AIDS dengan pola “Jurnalisme Harapan”.

Pada sesi terakhir lokakarya ini, para wartawan dari masing-masing delegasi lembaga pers diminta menuliskan RTL dan kegiatan ini yang kedepannya akan dikawal baik bersama KPA Malut dalam penyebaran informasi tentang HIV/AIDS di Maluku Utara. Sebelum lokakarya ini ditutup oleh Runi Abdulatif (sekertaris KPA Malut), para wartawan membentuk “Komunitas Jurnalis Peduli AIDS Maluku Utara” (Kupas Malut) sebagai wadah bagi wartawan untuk memberikan informasi lebih tentang bahaya HIV/AIDS sehingga masyarakat dapat menjaga diri untuk tidak tertular HIV/AIDS. 
by: Inggrith Pusung (Sumber: http://www.pokja-suarakita.com/2016/11/ternate-peduli-aids.html).

Perda AIDS Hanya 'Macan Kertas'

Berita "Tekan HIV/AIDS, masyarakat diminta lakukan seks sehat, Dari kegiatan penyuluhan HIV di daerah perbatasan PNG-RI" di Harian "Jayapura Pos" edisi 21 Juni 2006 lagi-lagi menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

Disebutkan " …. bagi warga yang terpaksa melakukan seks di luar pasangan yang sah …." Pernyataan ini mengandung mitos karena tidak ada kaitan langsung antara seks di luar pasangan yang sah dengan penularan HIV. Penularan HIV bisa terjadi di dalam ikatan pernikahan yang sah kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dansuami tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks. Sebaliknya, kalua dua-duanya HIV-negatif maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV biar pun di luar nikah, zina, melacur, seks anal atau seks oral.

Selama materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS tidak mengedepankan fakta medis maka yang muncul hanyalah mitos. Akibatnya, masyarakat `buta' terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis. Pada gilirannya mereka berada pada situasi yang berisiko tinggi tertular HIV.

Misalnya, laki-laki yang menikah dengan seorang PSK. Tindakan itu terpuji. Hubungan seks mereka halal. Tapi, istrinya itu adalah orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV ketika menjadi PSK karena berganti-ganti pasangan. Tapi, karena selama ini penularan HIV hanya dikaitkan dengan zina, pelacur, selingkuh, jajan dan homoseksual maka masyarakat tidak melihat perkawinan dengan mantan PSK sebagai kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV.

Penularan HIV terjadi tanpa disadari karena tidak ada tanda, gejala tau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV sebelum mencapai masa AIDS (antara 5 – 10 tahun setelah tertular). Pada rentang waktu inilah mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk.

Apakah Perda bisa mengatasi penularan HIV? Tentu saja tidak karena bisa saja seseorang tertular di luar daerah atau di luar negeri. Perda hanya `macan kertas' yang akan sia-sia.

Kita perlu berkaca ke Afrika, Eropa Barat, Amerika Utara dan Australia. Di kawasan ini kasus infeksi baru di kalangan dewasa mulai menunjukkan grafik yang mendatar. Mengapa hal ini bisa terjadi? Padahal, di sana tidak ada Perda. Hal itu terjadi karena masyarakat sudah mengetahui cara-cara pencegahan yang realistis.

Pencegahan yang realistis hanya dapat dilakukan jika materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS disampaikan dengan akurat yaitu mengedepankan fakta medis. Berbekal pengetahuan yang akurat masyarakat akan dapat melindungi diri sehingga mata rantai penyebaran HIV dapat diputus.

Syaiful W. Harahap
LSM (media watch) "InfoKespro"

[Sumber: http://health.groups.yahoo.com/group/infokespro_lsm/message/417]

Menekan AIDS Tidak Bisa dengan Perda

Berita "Payung Hukum Tekan HIV/AIDS Sangat Mendesak" di Harian "Pontianak Post" edisi 26 Juni 2006 lagi-lagi menunjukkan pemahaman terhadap HIV/AIDS yang tidak komprehensif.

Dalam berita itu disebutkan "Tiap kabupaten/kota tidak ada yang luput dari kegiatan transaksi seks illegal. Ini sangat berpotensi penularan virus yang belum ada obatnya tersebut". Hal ini menunjukkan pemahaman tentang HIV/AIDS masih tetap di seputar mitos (anggapan yang salah). Penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan HIV-positif. Penularan bisa terjadi di dalam ikatan pernikahan yang sah atau di luar pernikahan jika setiap kali hubungan seks laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta medis.

Penularan HIV melalui jarum suntik pada penyalahguna narkoba (bisa) terjadi kalau mereka ramai-ramai memakai jarum suntik secara bersama-sama dengan bergantian darn bergiliran karena kalau salah satu dari mereka HIV-positif maka yang lain berisiko tinggi tertular HIV. Kalau pengguna narkoba suntikan tidak berganti jarum suntik atau selalu memakai jarum suntik yang steril maka tidak ada risiko penularan HIV.

`Tren baru' pembuatan Perda di Indonesia meniru pengalaman Thailand yang disebut-sebut berhasil menekan pertambahan kasus baru infeksi HIV di kalangan dewasa karena ada kewajiban memakai kondom bagi laki-laki yang melakukan hubungan seks dengan pekerja seks di lokalisasi. Tapi, belakangan kasus kembali lagi meningkat karena hubungan seks berisiko yaitu berganti-ganti pasangan tidak hanya terjadi di lokalisasi. Ada pula `hidung belang' yang membawa pekerja seks ke luar lokalisasi sehingga tidak ada kewajiban memakai kondom.

Persoalan besar di Indonesia adalah tidak ada lokalisasi pelacuran. Nah, di mana pemakaian kondom diwajibkan? Persoalan lain penularan HIV terjadi tanpa disadari karena tidak ada tanda, gejala tau ciri-ciri khas AIDS pada diri seseorang yang sudah tertular HIV sebelum mencapai masa AIDS (antara 5 – 10 tahun setelah tertular). Maka, pada kurun waktu 5 – 10 itulah banyak orang yang menjadi mata rantai penyebaran HIV. Bagaiman Perda bisa mengatasi hal ini?

Di provinsi, kabupaten dan kota yang sudah memiliki Perda AIDS (Jawa Timur, Bali, Riau, Jayapura, dan Merauke) tetap saja kasus HIV/AIDS bertambah. Mengapa? Karena epidemi HIV bersifat global. Biar pun di daerah itu tidak ada pelacuran bisa saja penduduk setempat tertular di luar daerah atau di luar negeri. Ketika dia pulang maka dia akan menjadi mata rantai penyebaran HIV. Lagi-lagi tanpa disadari.

Kita perlu berkaca ke Afrika, Eropa Barat, Amerika Utara dan Australia. Di kawasan ini kasus infeksi baru di kalangan dewasa mulai menunjukkan grafik yang mendatar.

Mengapa hal ini bisa terjadi?

Padahal, di sana tidak ada perda. Hal itu terjadi karena masyarakat sudah mengetahui cara-cara pencegahan yang realistis.

Nah, pencegahan yang realistis hanya dapat dilakukan jika materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS disampaikan dengan akurat yaitu mengedepankan fakta medis. Berbekal pengetahuan yang akurat masyarakat akan dapat melindungi diri sehingga mata rantai penyebaran HIV dapat diputus.

Syaiful W. Harahap
LSM "InfoKespro"

[Sumber: http://health.groups.yahoo.com/group/infokespro_lsm/message/418]

Lagi-lagi Mitos AIDS

Berita “Jauhi AIDS, Dekati Tuhan, Bupati Pahabol Himbau Hidup Secara Tertib" di Harian "Radar YAHUKIMO" edisi 27 Juni 2006 lagi-lagi menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

Disebutkan " …. tindakan-tindakan yang berisiko terhadap penyakit HIV/AIDS adalah berhubungan badan dengan orang lain yang bukan suami atau istrinya, …." Ini mitos karena tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan berhubungan badan dengan orang lain yang bukan suami atau istrinya.

Di bagian lain disebutkan pula " …. dengan seks bebas jelas sangat berisiko tinggi terhadap HIV/AIDS …."

Penularan HIV melalui hubungan seks juga bisa terjadi di dalam ikatan pernikahan yang sah kalau salah satu atau dua-dua dari pasangan itu HIV-positif dan suami tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks.

"Seks bebas' sendiri adalah istilah yang ngawur. Apa yang dimaksud dengan `seks bebas'? Kalau `seks bebas' diartikan sebagai zina, maka tidak ada kaitan langsung antara `seks bebas' dengan penularan HIV. Kalau satu pasangan HIV-negatif maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV biar pun mereka melakukan `seks bebas'.

Berita ini hanya mengedepankan moral dan agama dalam kaitan pencegahan HIV/AIDS. Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis yang penularannya dapat dicegah dengan teknologi kedokteran.

Jika penularan HIV dikaitkan dengan iman maka hal ini akan menyuburkan stigma (cap buruk) kepada orang-orang yang tertular HIV. Apa kaitan iman dengan orang yang tertular HIV melalui transfusi darah? Apa pula kaitan iman dengan seorang istri yang tertular HIV dari suaminya? Apa kaitan iman dengan seorang bayi yang terular HIVdari ibunya?

Kita prihatin melihat kasus HIV/AIDS di Papua. Kalau materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS tetap mengabaikan fakta medis dan mengedepankan moral dan agama maka masyarakat hanya akan menangkap mitos. Misalnya, mengaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran dan `seks bebas'. Inilah yang menyurkan penyebaran HIV karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV.

Selama materi KIE tidak akurat maka penularan HIV akan terus terjadi karena masyarakat tidak mengetahui cara-cara pencegahan yang akurat.

Syaiful W. Harahap
LSM "InfoKespro" Jakarta

[Sumber: http://health.groups.yahoo.com/group/infokespro_lsm/message/419]

Mitos AIDS dalam Berita

Berita "Bendung HIV/AIDS Perda Pelacuran Diberlakukan" di “Pakuan Raya", Bogor, edisi 29 Juni 2006 menunjukkan pemahaman terhadap HIV/AIDS yang tidak komprehensif.

Pertama, judul berita itu sendiri tidak akurat karena tidak ada kaitan langsung antara pelacuran dengan penularan HIV. Sebagai virus HIV (bisa) menular melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, kalau salah astu atau kedua-kedua dari satu pasangan yang melakukan hubungan seks mengidap HIV (HIV-positif). Kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV biar pun mereka melakukan hubungan seks dengan melacur, berzina, selingkuh, jajan, seks bebas, seks anal, seks oral atau homoseksual.

Kedua, dalam berita disebutkan " …. membendung penularan virus HIV/AIDS yang dilakukan Pekerja Seks Komersial (PSK)". Ini juga tidak akurat karena yang pertama sekali menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki yang di masyarakat bisa sebagai seorang suami, remaja, perjaka atau duda dari semua lapisan sosial dan ekonomi. Maka, yang menjadi mata rantai penyebaran HIV adalah laki-laki bukan PSK. Pernyataan ini juga bias gender karena hanya memojokkan PSK (baca: perempuan).

Ketiga, biar pun di Tangerang tidak ada pelacur hal ini tidak menjamin semua penduduk Tangerang `bebas AIDS' karena bisa saja penduduk Tangerang tertular di luar Tangerang atau di luar negeri. Kalau ada penduduk Tangerang yang tertular di luar Tangerang maka dia akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk tanpa disadarinya. Bagi yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya atau perempuan lain yang menjadi pasangan seksnya atau pekerja seks. Yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada pasangan seksnya atau pekerja seks.

Hal ini terjadi karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV sebelum mencapai masa AIDS (antara 5 – 10 tahun setelah tertular). Nah, pada kurun waktu itulah banyak orang yang menjadi mata rantai penyebaran HIV tanpa disadari. Di Arab Saudi tidak ada pelacuran, tapi sudah dilaporkan lebih dari 9.000 kasus dan ada 84 anak yang dirawat di rumah sakit terkait AIDS (kliping berita terlampir).

Keempat, disebutkan pula "Langkah ini penting demi membebaskan kota Tangerang dari penyebaran virus mematikan HIV/AIDS yang ditularkan melalui praktek pelacuran". Pernyataan ini tidak akurat karena penularan HIV tidak hanya melalui pelacuran. Tidak ada kota, daerah atau negara yang bisa dibebaskan dari HIV/AIDS hanya dengan menghapuskan pelacuran karena penularan HIV juga terjadi melalui hubungan seks dalam ikatan pernikahan yang sah, jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat keseahtan, transfusi darah, cangkok organ tubuh dan air susu ibu (ASI). HIV/AIDS tidak mematikan karena kematian orang yang tertular HIV akibat dari penyakit lain yang disebut infeksi oportunistik.

Upaya Pemkot Tangerang untuk `membersihkan pelacuran' langkah terpuji, tapi perlu diingat bahwa `praktek pelacuran' tidak hanya terjadi di jalan raya atau di lokalisasi. `Praktek pelacuran' bisa saja terjadi di hotel berbintang, rumah mewah, perumahan penduduk, apartemen, taman, dll. Selain itu mengapa hanya perempuan (PSK) yangmenjadi sasaran? Bukankah pelacuran terjadi karena laki-laki?

Kelima, pemuatan gambar merupakan perbuatan yang melawaan hukum dan pelanggaran berat terhadap HAM jika tidak ada izin dari yang bersangkutan. Selain itu apakah sudah ada kepastian hukum berupa vonis hakim tentang perempuan yang fotonya dimuat? Kalua belum ada tentulah ini pelanggaran kode etik jurnalistik.

Di kawasan Afrika, Eropa Barat, Amerika Utara dan Australia penemuan kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa sudah mulai menunjukkan grafik yang mendatar sejak akhir tahun 1990-an. Sebaliknya, di kawasan Asia Pasifik justru kasus baru meningkat bagaikan roket.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Penduduk di kawasan Afrika, Eropa Barat, Amerika Utara dan Australia sudah mengetahui cara-cara pencegahan yang akurat dan realistis. Sedangkan di kawasan Asia Pasifik yang terjadi adalah penyangkalan terhadap cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang realistis serta `debat kusir' soal kondom.

Kalau Indonesia tidak mengedepankan fakta medis dalam materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS maka yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Akibatnya, penduduk lalai melindungi diri sehingga mereka berisiko tinggi tertular HIV. Pada gilirannya epidemi HIV di Indonesia akanmenjadi `bom waktu' yang kalau meledak akan menjadi beban berat bagi bangsa ini.

Maka, upaya untuk memutus mata rantai penyebaran HIV adalah meningkatan penyuluhan dengan materi KIE yang akurat yang mendepankan HIV/AIDS sebagai fakta medis sehingga pencegahannya pun dapat dilakukan dengan teknologi kedokteran. Salah satu sasarannya adalah meningkatkan kesadaran penduduk (laki-laki atau perempuan) yang pernah melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti untuk menjalani tes HIV secara sukarela.

Dengan mengetahui status HIV maka yang bersangkutan dapat diminta agar memutus mata rantai penyebaran HIV. Bagi yang beristri diminta agar selalu memakai kondom jika sanggama. Semakin banyak kasus yang terdeteksi maka makin banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputuskan. ***

Syaiful W. Harahap
LSM (media watch) "InfoKespro", Jakarta

[Sumber: http://health.groups.yahoo.com/group/infokespro_lsm/message/420]

Menyoal Perda AIDS

Berita "Kasus AIDS di Banten Capai 42 Buah" di Media Indonesia Online tanggal 2 Juli 2006 lagi-lagi menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

Disebutkan Banten diapit oleh dua daerah dengan kasus AIDS yang tinggi yaitu Prov. Jakarta dan Prov. Jawa Barat. Hal ini mengesankan Banten berada pada posisi yang riskan. Ini tidak akurat karena HIV tidak menular melalui udara dan air serta pergaulan sosial sehari-hari. Di negara yang tertutup dan tidak ada industri hiburan pun tetap saja ada kasus HIV/AIDS. Di Arab Saudi, misalnya, sampai akhir 2004 dilaporkan 8.919 (arabnews.com – 3 September 2005). Bahkan, 84 anak-anak dirawat di rumah sakit karena penyakit terkait AIDS.

Maka, yang menjadi persoalan dalam epidemi HIV adalah perilaku orang per orang. Seseorang berada pada risiko tinggi tertular HIV kalau dia pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.

Dalam berita disebutkan salah satu cara memutus mata rantai penularan AIDS adalah dengan membuat Perda. Beberapa daerah sudah mempunyai Perda yaitu Prov. Jawa Timur, Kab. Jayapura, Kab. Merauke dan Prov. Riau. Tapi, apa yang terjadi? Tidak ada penjabaran yang realistis untuk mengatasi epidemi HIV.

Perda dan `Komitmen Sentani' bertolak dari pengalaman Thailand yang dikabarkan berhasil menekan infeksi baru yaitu melalui `Program Wajib Kondom 100%". Di Thailand bisa karena ada lokalisasi pelacuran. Sedangkan di Indonesia tidak ada lokalisasi pelacuran yang resmi sehingga program itu tidak bisa dijalankan. Thailand sendiri mulai menuai persoalan baru yaitu banyak `hidung belang' yang membawapekerja seks ke luar lokalisasi sehingga tidak ada lagi kewajiban memakai kondom.

Perda Anti Pelacuran di Tangerang pun jelas tidak akan bisa membendung AIDS karena bisa saja penduduk Tangerang melakukan perilaku berisiko tinggi di luar Tangerang atau di luar negeri. Kalau ada di antara mereka yang tertular maka mereka puna kan menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk tanpa mereka sadari. Soalnya, tidak ada gejala, tanda atau ciri-ciri khas AIDS pada diri seseorang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5 – 10 tahun setelah tertular HIV), Pada kurun waktu inilah terjadi penularan HIV. Yang beristri akan menulari istrinya, perempuan lain yang menjadi pasangan seksnya atau pekerja seks. Yang tidak beristri akan menulari pacar atau pekerja seks.

Maka, yang menjadi persoalan kelak adalah: apa isi Perda dan bagaimana penjabarannya secara realistis terkait dengan mencegah penyebaran HIV. Dikhawatirkan Perda hanya `macan kertas' yang akhirnya akan sia-sia. Pada saat yang sama penularan HIV antar penduduk terus terjadi secara diam-diam tanpa disadari.

Syaiful W. Harahap
LSM "InfoKespro"

[Sumber: http://health.groups.yahoo.com/group/infokespro_lsm/message/423]

Rumus Telanjang

Berita "3 Pendertia Positif HIV/AIDS" di Harian "Radar Madura" edisi 8 Juli 2006 mengandung mitos (anggapan yang salah) terhadap HIV/AIDS sehingga menyesatkan masyarakat.

Pertama, disebutkan "Memang, yang muncul hanya 3 orang. Tapi, sebenarnya bisa mencapai 300 orang". Pernyataan ini tidak akurat karena epidemi HIV bukan matematika. Perbandingan 1:100 hanya untuk keperluan epidemiologis dengan syarat memenuhi beberapa faktor, al. (a) tingkat pelacuran tinggi, (b) pemakaian kondom rendah, (c) kondisi kesehatan masyarakat buruk. Tapi, biar pun ada faktor itu tidak otomatis 1 kasus berarti ada 100 kasus karena `rumus' itu hanya untuk keperluan epidemiologi.

Kedua, disebutkan pula " …. dampak negatif napza dan seks bebas". Penggunaan istilah `seks bebas' tidak tepat karena kalau yang dimasud sebagai `seks bebas' adalah melacur maka tidak ada kaitan langsung antara melacur atau pelacuran dengan penularan HIV.

Sebagai virus HIV (bisa) menular melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikahkalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV biar pun melacur, zina, jajan, seks bebas, dll.

Ketiga, disebutkan "Itu rahasia, karena dilindungi undang-undang dan melanggar HAM (hak asasi masnusia)". Pernyataan ini bisa menyesatkan karena tidak dijelaskan dengan tepat. Ada kesan hanya kasus HIV/AIDS yang wajib dirahasiakan. Padahal, dalam dunia kedokteran semua catatan medis (termasuk identitas) dan hasil laboratorium pasien (medical record) adalah rahasia. Yang boleh mengetahui hanya dokter dan pasein. Perawat pun tidak boleh membaca catatan medis. Pembebaran catatan medis tanpa izin pasien merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap HAM yang dapat dituntut di pengadilan dengan pidana dan perdata.

Tiga pekerja seks komersial (PSK) yang terdeteksi HIV-positif itu bisa jadi ditularkan oleh laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, PIL, jejaka, remaja atau duda. Lalu, ada laki-laki lain yang mengendani PSK itu yang juga bisa sebagai suami, remaja atau duda. Laki-laki itulah semua yang menjadi mata rantaipenyebaran HIV secara horizontal antar penduduk.

Memang, perlu ditingkatkan penyuluhan tapi dengan materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) yang akurat dengan mengedepankan fakta medis sehingga akurat. Dengan memahami cara-ara penularan dan pencegahan HIV/AIDS secara benar maka orang pun bisa melindungi diri agar tidak tertualr HIV. Jika materi KIE dibumbui dengan moral dan agama maka yang muncul hanya mitos.

Syaiful W. Harahap
LSM "InfoKespro" Jakarta

[Sumber: http://health.groups.yahoo.com/group/infokespro_lsm/message/434]

Mencari Kambing Hitam

Berita "Malin: Tertibkan PSK Liar Hindari HIV/AIDS di Melawi" yang dimuat di harian “Pontianak Post” edisi 24/5-06 menunjukkan pemahaman HIV/AIDS yang belum akurat di banyak kalangan.

Pertama, kasus kumulatif HIV/AIDS yang dilaporkan Ditjen P2M&PL Depkes setiap tiga bulan yang menempatkan Kalbar pada posisi ketiga bukan survai tapi kasus yang dilaporkan dari Kalbar. Ada dari hasil survailans, diagnosis dan VCT. Kalau di satu daerah banyak terdeteksi kasus HIV/AIDS maka hal itu sangat positif karena sejumlah itulah mata rantai penyebaran HIV dapat diputus. Sebaliknya, di daerah yang tidak ada laporan HIV/AIDS maka epidemi HIV/AIDS kelak akan menjadi bom waktu karena terjadi penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk tanpa disadari karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV.

Kedua, tidak ada kaitan langsung antara PSK, baik liar maupun tidak liar, dengan penularan HIV. Soalnya, yang pertama kali menularkan HIV ke PSK justru laki-laki yang bisa saja sebagai suami, perjaka atau duda.

Ketiga, kalaupun dilakukan tes HIV terhadap PSK maka kalau ada PSK yang HIV-positif yang menjadi persoalan besar bukan PSK tapi sudah ada penduduk yang HIV-positif. Penduduk inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk.

Keempat, HIV/AIDS bukan penyakit kelamin karena infeksi HIV terhadi di darah dan penularannya pun tidak hanya melalui hubungan seks.

Kelima, yang perlu dilakukan adalah menggencarkan penyuluhan dengan materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) yang akurat dengan mengedepankan aspek medis. Penyuluhan ditujukan kepada penduduk, laki-laki atau perempuan, yang pernah melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti agar mau menjalani tes HIV secara sukarela. Dengan mengetahui status HIV makaseseorang dapat diajak untuk tidak menularkan HIV kepada orang lain sehingga mata rantai dapat diputus.

Syaiful W. Harahap
LSM "InfoKespro"

[Sumber: http://health.groups.yahoo.com/group/infokespro_lsm/message/368]

08 September 2017

Mengapa Pengidap HIV/AIDS Bisa Kelihatan Segar dan Mulai Gemuk?


Ilustrasi: Obat Antiretroviral (ARV) (Sumber: bhekisisa.org)

Oleh: Syaiful W HARAHAP

Tanya Jawab AIDS No 1/September 2017

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar semua pembaca bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Tanya-Jawab AIDS ini dimuat di: kompasiana.com/infokespro danAIDS Watch Indonesia” (http://www.aidsindonesia.com) dan. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke Syaiful W. Harahap, melalui: (1) Telepon (021) 8566755, (2) e-mail: aidsindonesia@gmail.com, (3) SMS 08129092017, dan (4) WhatsApp:  0811974977.  Pengasuh.

*****
Tanya: Saya mau tanya masalah perjalanan HIV. Desember 2016 lalu seorang teman saya benar-benar sudah drop karena HIV.  Sepulang dari rumah sakit dia minum obat HIV. Sekarang tubuhnya sudah mulai kelihatan segar dan mulai gemuk lagi.  Pertanyaan saya: (1) Mengapa bisa terjadi perubahan seperti itu? (2) Berapa bulan lagi bisa dilakukan tes ulang agar bisa dilihat status HIV-nya setelah makan obat HIV? (3) Apakah HIV itu bisa disembuhkan? Setahu saya belum ada obat yang bisa menyembuhkan HIV.

Via SMS (27/3-2017)

           
Jawab: (1) HIV adalah virus yang tergolong sebagai retrovirus yaitu bisa menggandakan diri. Dalam darah HIV menggandakan diri sampai miliaran copy per hari dengan memakai sel-sel darah putih sebagai ‘pabrik’. Sel-sel darah putih yang dijadikan HIV sebagai pabrik rusak sehingga seiring dengan kerusakan sel-sel darah putih, di dalam tubuh berguna sebagai sistem kekebalan tubuh, daya tahan pun menurun sehingga mudah kena penyakit. Ketika seorang pengidap HIV dalam kondisi CD4 di bawah 350 (diketahui melalui tes darah) dokter akan memberikan obat antriretroviral (ARV) yang di dalam darah akan menjadi penghambat laku perkembangan HIV sehingga kondisi ybs. berangsur pulih karena sistem kekebalan tubuhnya kembali membaik. Bukan berarti HIV hilang dari tubuh, tapi hanya memperlambat penggandaan.

(2) Sekali seseorang terdeteksi mengidap HIV/AIDS melalui tes HIV yang sesuai dengan standar prosedur operasi yang baku maka virus itu akan ada dalam tubuh seumur hidup. Maka, tidak perlu tes HIV lagi jika seudah ada hasil tes HIV yang valid.

(3) Saudara benar. Belum ada obat yang bisa mematikan HIV sebagai virus di dalam tubuh pada orang-orang yang mengidap HIV/AIDS. Yang sudah bisa dilakukan adalah menghambat penggandaan HIV di dalam darah sehingga sistem kekebalan tubuh tidak rusak.

Dalam kaitan itulah dianjurkan agar orang-orang yang pernah atau sering melakukan perilaku berisiko agar segera menjalani tes HIV secara sukarela di sarana kesehatan yang ditunjuk pemerintah, seperti di Puskesmas atau rumah sakit pusat dan daerah.

Orang-orang yang berisiko tinggi tertular HIV adalah:

(1) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom di dalam ikatan pernikahan yang sah dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu di antara perempuan tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.

(2) Perempuan yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di dalam ikatan pernikahan yang sah dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu di antara laki-laki tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.

(3) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di luar ikatan pernikahan yang sah dengan perempuan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu di antara prempuan tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.

(4) Perempuan yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di luar ikatan pernikahan yang sah dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu di antara laki-laki tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.

(5) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, seperti pekerja seks komersial (PSK) dan waria. PSK dikenal ada dua tipe, yaitu:

(a) PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(b) PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat plus-plus, ‘artis’, ‘spg’, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, ibu-ibu rumah tangga, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.

Semoga bermanfaat.* [kompasiana.com/infokespro] *


07 September 2017

Mengedepankan Mitos

Berita "Hasil Finalisasi Ranperda AIDS/HIV, Menekankan pada Imtaq" yang dimuat di “Metro Riau” edisi 23/05-2006 menunjukkan pemahaman terhadap HIV/AIDS yang tidak komprehensif.

Pertama, tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV sebagai virus dengan iman dan taqwa. Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam darah (laki-laki dan perempuan), air mani (laki-laki, dalam sperma tidak ada HIV), cairan vagina dan air susu ibu/ASI (perempuan). Penularan HIV melalu air mani atau cairan vagina yang mengandung HIV dapat terjadi dalam ikatan pernikahan yang sah kalau salah satu dari pasangan itu HIV-positif.

Kedua, upaya mencegah penularan HIV melalui hubungan seks pada hubungan seks yang berisiko tinggi (berganti-ganti pasangan) di dalam atau di luar nikah hanya dapat dilakukan dengan cara laki-laki memakai kondom setiap kali hubungan seks.

Ketiga, penularan HIV terjadi sedara diam-diam tanpa diketahui karena banyak orang yang sudah tertular HIV tapi tidak menyadari dirinya sudah HIV-positif. Hal ini bisa terjadi karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV sebelum mencapai masa AIDS (antara 5 – 10 tahun setelahtertular HIV).

Upaya melindungi masyarakat dari risiko tertular HIV adalah dengan meningkatkan pemahaman yang akurat terhadap HIV/AIDS yaitu cara-cara penularan dan encegahannya. Selama cara-cara penularan dan pencegahan tidak disampaikan dengan akurat yaitu mengedepankan aspek medis maka masyarakat tidak akan mengetahui cara-cara melindungi diri agar terhindar dari HIV. Hal ini sudah terbukti di kawasan Afrika,Eropa Barat, Amerika Utara dan Australia yang dibuktikan dengan kasus infeksi HIV baru di kalnagan dewasa sudah menunjukkan grafik yang mendatar.

Perda akan sia-sia kalau hanya mengancam orang yang (akan) menularkan HIV karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV sehingga dia pun tidak menyadari sudah menularkan HIV kepada orang lain.

Yang perlu dilakukan adalah memutus mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk yaitu menganjurkan agar orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti untuk menjalani tes HIV secara sukarela. Dengan mengetahui status HIV maka mereka dapat diajak untuk memutus mata rantai penyebaran HIV.

Syaiful W. Harahap
LSM "InfoKespro"

[Sumber: http://health.groups.yahoo.com/group/infokespro_lsm/message/370]

Berita yang Tidak Akurat

Berita "25 Warga Sumedang Positif Terjangkit HIV" dan "Jangan-jangan Orang Baik pun Tertular" yang dimuat di Harian "Pikiran Rakyat" edisi 24 Mei 2006 menunjukkan pemahaman terhadap HIV/AIDS yang tidak akurat.

Pertama, dalam berita tidak dijelaskan kapan dan siapa atau kalangan mana yang menjadi objek survailans. Hal ini penting karena survailans dilakukan hanya untuk mendapatkan prevalensi yaitu angka yang merupakan perbandingan antara yang HIV-positifi dan HIV-negatif di kalangan tertentu dan pada kurun waktu tertentu pula. Setiap saat prevalensi bisa berubah.

Kedua, asas survailans adalah anonim (tidak ada tanda atau kode pada contoh darah yang dites) dan konfidensial (rahasia). Lagi pula tidak ada gunanya mengetahui identitas pemilik darah yang terdeteksi HIV-positif pada survailans karena yang diperlukan hanya prevalensi. Maka, pernyataan yang menyebutkan karena tidak mengetahui identitas maka " ….. pihaknya belum bisa langsung melakukan langkah pembinaan … terhadap pengidap virus …. " ngawur karena data itu adalah hasil survailans. Lagi pula orang yang sudah tertular HIV sebelum mencapai masa AIDS tidak memerlukan penanganan medis.

Ketiga, hasil tes HIV pada survailans tidak bisa dijadikan sebagai patokan yang menentukan seseorang sudah HIV-positif karena hasil tes HIV

Keempat, disebutkan " …. meninggal dunia karena AIDS ….". Ini tidak akurat karena AIDS bukan penyakit sehingga tidak mamatikan. Yang mamatikan ad pertama apa pun hasilnya harus dikonfirmasi dengan tes lain. Maka, angka 25 itu kalau dites ulang belum tentu hasilnya tetap 25 karena ada di antara hasil itu ada yang positif palsu.
alah penyakit lain yang disebut infeksi oportunistik.

Kelima, pananggulangan dengan `melakukan survey khusus HIV' merupakan langkah yang naïf karena tidak mungkin melakukan survai kepada semua penduduk. Lagi pula mobilitas penduduk antar kota, daerah dan negara sangat tinggi sehingga tidak mungkin tiap saat dilakukan tes HIV karena setiap orang bisa saja tertular kapan saja dan di mana saja kalau dia melalukan perilaku berisiko.

Keenam, disebutkan pula " …. diarahkan ke tempat-tempat yang dicurigai sebagai sumber penularan dan dugaan ada orang terkena HIV" menunjukkan pemahaman yang tidak komprehensif terhadap HIV/AIDS. HIV tidak bersarang di tempat tertentu. PSK pun terular HIV dari laki-laki yang mengenceaninya. Maka, yang menjadi mata rantai adalah laki-laki. Selama laki-laki yang menjadi mata rantai penyebaran HIV tidakterdeteksi maka epidemi akan menjadi `bom waktu'.

Ketujuh, Orang yang tertular HIV tidak hanya di lokalisasi. Siapa saja dan di mana saja tempat tinggalnya bisa tertular HIV kalau dia melakukan perilaku yang berisiko tertular HIV. Misalnya, melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan di daerah sendiri atau di luar daerah atau di luar negeri.

Selama materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS dibalut dengan moral dan agama maka selama itu pula masyarakat tidak akan menyadari cara-cara pencegahan HIV yang realistis. Kalau ini yang terjadi maka ledakan HIV/AIDS akan menjadi kenyataan dalam kehidupan kita. ***

Syaiful W. Harahap
LSM (media watch) "InfoKespro"

[Sumber: http://health.groups.yahoo.com/group/infokespro_lsm/message/372]

Pemahaman yang Tidak Akurat

Ternyata biar pun informasi yang akurat tentang HIV/AIDS sudah banjir tetap saja ada yang belum memahami HIV/AIDS secara komprehensif. Buktinya, dalam berita "Pengidap HIV/AIDS di Kabupaten Malang Capai 98 Orang" Media Indonesia Online 2 Juni 2006 ada pernyataan yang tidak akurat.

Misalnya, disebutkan penularan HIV `melalui seks bebas'. Apa yang dimaksud dengan `seks bebas'? Dalam berita tidak dijelaskan. Tapi, kalau yang dimaksud dengan `seks bebas' adalah hubungan seks di luar nikah maka pernyataan ini tidak akurat karena tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan `seks bebas'.

HIV menular melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah bisa terjadi kalau salah satu adau dua-duanya dari pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom. Sebaliknya, kalau pasangan itu dua-duanya HIV-negatif maka tidak akan pernah terjadipenularan HIV biar pun dilakukan dengan `seks bebas'.

Di bagian lain disebutkan pula bahwa persoalan yang dihadapi adalah tidak ada kesadaran dari penderita. Ini menyesatkan karena orang-orang yang sudah terdeteksi HIV-positif akan memutus mata rantai penyebaran mulai dari dirinya. Ini fakta. Hal ini terjadi karena sebelum tes dilakukan konseling (bimbingan) sehingga mereka memahamiposisinya.

Yang menjadi persoalan besar adalah orang-orang yang sudah tertular HIV tapi belum atau tidak terdeteksi. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk secara diam-diam.

Yang menularkan HIV kepada pekerja seks komersial (PSK) juga adalah penduduk laki-laki yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Maka, yang menjadi `biang keladi' adalah penduduk, terutama laki-laki, yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi.

Hal itu terjadi karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV sebelum mencapai masa AIDS (antara 5 – 10 tahun).

Angka kasus HIV yang terus bertambah terjadi karena kegiatan survialans dan VCT (tes HIV sukarela) yang kian gencar. Dengan mendeteksi kasus HIV maka mata rantai penyebaran HIV pun dapat pula diputus.

Syaiful W. Harahap
LSM "InfoKespro" Jakarta

[Sumber: http://health.groups.yahoo.com/group/infokespro_lsm/message/379]

Tidak Ada Positif AIDS

Oleh: Syaiful W. Harahap
LSM "InfoKespro"

Berita "Ibu Muda Penderita AIDS di Medan Meninggal, 9 Lagi Masih Dirawat" di harian “ANALISA”, Medan, edisi 5/6-2006 menunjukkan yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Pertama, pada aliena pertama disebutkan "Jumlah penderita positif AIDS …. " Ini tidak akurat karena yang positif adalah virus yaitu HIV di dalam darah. Sedangkan AIDS adalah masa ketika jumlah HIV lebih banyak daripada sel darah putih.

Kedua, dalam berita itu tidak disebutkan apa yang menyebabkan `ibu muda' itu meninggal dunia. Soalnya, yang mematikan Odha (Orang yang Hidup dengan HIV/AIDS) adalah infeksi oportunistik yang muncul setelah masa AIDS. Maka, tanpa menyebutkan penyebab kematian maka berita itu tidak akurat sehingga pembaca (baca: masyarakat) akan menangkap bahwa yang mematikan adalah AIDS.

Ketiga, disebutkan " …. penyakit mematikan …. " Apakah hanya HIV/AIDS yang mematikan? Penderita flu burung, demam berdarah atau diare mati dalam hitungan hari sedangkan Odha ada yang bertahan sampai belasan tahun tanpa obat.

Keempat, disebutkan bahwa suami `ibu muda' itu tertular HIV karena "…. sering melakukan hubungan seks bebas tanpa kondom …." Ini tidak akurat karena tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan seks bebas. Kalau seks bebas dalam berita itu diartikan sebagai `hubungan seks di luar nikah' maka sama sekali tidak ada kaitan langsung antara `seks bebas' dengan penularan HIV. HIV menular melalui hubungans seks di dalam atau di luar nibah (bisa) terjadi kalau salah satu atau dua-dua dari pasangan itu HIV-positif. Kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV biar pun dilakukan dengan `seks bebas'.

Kelima, dalam berita tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan `hubungan seks berisiko' sehingga pembaca tidak menangkap makna dari pernyataan ini.

Keenam, disebutkan untuk menghindari HIV adalah dengan "Jauhkan diri dari narkoba …." Ini menyesatkan karena narkoba diperlukan untuk medis, seperti obat anestesi. Tanpa narkoba maka puluhan, ratusan bahkan ribuan orang setiap hari akan mati di meja operasi. Yang dihindari adalah memakai narkoba dengan jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian menyuntikkan narkoba karena ada kemungkinan salah satu di antara mereka HIV-positif sehingga yang lain berisiko tinggi tertular HIV.

Ketujuh, disebutkan " …. setelah itu virus berkembang menjadi AIDS ….". Ini tidak akurat karena HIV tidak berkembang yang terjadi adalah HIV menggandakan diri di sel-sel darah putih. Sel darah putih tempat HIV menggandakan diri rusak. Virus yang baru diproduksi mencari sel darah putih lain. Begitu seterusnya sampai pada suatu saat jumlahvirus lebih banyak daripada sel darah putih maka itulah yang disebut masa AIDS.

Kedelapan, disebutkan "Apalagi obat yang dapat menyembuhkan AIDS belum ada". Ini juga tidak jujur karena banyak penyakit yang tidak ada obatnya, seperti demam berdarah. Ada lagi penyakit yang ada obatnya tapi tidak bisa disembuhkan, seperti diabetes dan darah tinggi. Tapi, mengapa tidak disebutkan bahwa tidak ada obatnya kalau memberitkan demam berdarah, diabetes atau darah tinggi?

Selama informasi tentang HIV/AIDS tidak akurat berdasarkan fakta medis maka masyarakat hanya menangkap mitos (anggapan yang salah) sehingga penularan HIV akan terjadi antar penduduk tanpa disadari. Kelak epidemi HIV akan menjadi `bom waktu'. ***

Pernah dimuat di: http://aidsmediawatch.blogspot.co.id/

Tidak Asda Daerah Endemik AIDS

Tiga hari berturut-turut sejak tanggal 7 – 9 Juni 2006 "Pakuan Raya", Bogor, memberitakan masalah HIV/AIDS, yaitu : (1) Kota Sukabumi Digolongkan Endemik HIV, (2) Pelajar Rawan Penularan HIV/AIDS, dan (3) Penularan HIV/AIDS Lewat Jarum Suntik menunjukkan pemahaman HIV/AIDS di banyak kalangan belum komprehensif.

Dalam berita Kota Sukabumi Digolongkan Endemic HIV disebutkan " …. termasuk daerah endemik penyakit human imunnited virus (HIV)". Kepanjangan I dalam HIV adalah immunodeficiency bukan imunnited. HIV adalah virus yang tidak bisa menula melalui udara, air dan pergaulan sosial sehari-hari sehingga HIV/AIDS bukan penyakit endemis. Hasil tes di LP bersifat survailans sehingga hasilnya belum dapat dikatakanpositif sebelum contoh darah yang sama dites dengan tes lain yang disebut sebagai tes konfirmasi.

Judul berita Pelajar Rawan Penularan HIV/AIDS tidak akurat karena kerawanan terhadap HIV bukan pada kelompok atau kalangan tapi tergantung kepada perilaku orang per orang. Disebutkan pula bahwa kasus HIV di kalangan pelajar terjadi karena " …. akibat pergaulan bebas yang dilakukan sembunyi, baik antar pelajar itu sendiri maupun dengan orang lain". Pernyataan ini ngawur. Tidak ada kaitan langsung antara `pergaulan bebas' atau `seks bebas' dengan penularan HIV. HIV menular melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif.Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak pernah terjadi penularan HIV biar pun pergaulan bebas, zina, homoseks, dll.

Begitu juga pada berita Penularan HIV/AIDS Lewat Jarum Suntik disebutkan "Benar sebagian besar penyebaran penyakit HIV/AIDS itu disebabkan oleh pelajar dari cara melalukan jarum suntik dan melakukan pergulan seks bebas". Ada fakta yang digelapkan yaitu kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi di kalangan pelajar pengguna narkoba karena mereka diwajibkan menjalani tes HIV kalau hendak mengukuti rehabilitasi. Sebaliknya, orang dewasa baik yang tertular melalui hubungan seks maupun jarum suntik pada pengguna narkoba tidak terdeteksi karena tidak ada mekanisme yang memaksa mereka menjalani tes HIV. Tapi, kasus HIV di kalangan penduduk dewasa akan menjadi `bom waktu' epidemi HIV.

Dari tiga berita itu tidak ada sama sekali penjelasan yang akurat tentang penularan dan cara-cara pencegahan HIV. Selama ini materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS dibumbui dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis sehingga pencegahannya pun dapat dilakukan dengan teknologi kedokteran.

Syaiful W. Harahap
LSM “InfoKespro

[Sumber: http://health.groups.yahoo.com/group/infokespro_lsm/message/390]

PLAGIAT

Tulisan saya di bawah ini dimuat di beberapa media cetak Jawa Pos Grup tanggal 1 dan 2 Desember 2003. Antara lain di "Indo Pos', "Pontianak Post", dan "Radar Sulteng".

Tanggal 28 – 30 November 2007 saya menjalankan workshop 'Memahami Aborsi sebagai Realitas Sosial" di Bandar Lampung yang diikuti wartawan, polisi, jaksa, pemuka agama, dosen, mahasiswa dan LSM. Tanggal 1 Desember 2007 saya membeli semua koran terbitan Bandar Lampung.

Semula saya tertarik membaca tulisan berjugul "Diskriminasi terhadap Pengidap AIDS" di rubrik OPINI Harian "Radar Lampung" karena judul itu salah. Soalnya, AIDS bukan penyakit sehingga tidak ada yang mengidapnya. Tapi, setelah saya baca, koq mirip benar dengan tulisan saya.

Ketika saya buka file ternyata tulisan Sdr. Nur Arif Sugandi yang menyebut diri sebagai Pemerhati Masalah Kemasyarakatan di Bandar Lampung persis tulisan saya. Hanya diutak-atik di lead saja. Saya sudah menyurati Pemred "Radar Lampung" tapi tidak ada tanggapan.

Apakah ada usul dari rekan-rekan untuk membuat agar orang semacam Nur Arif Sugandi ini kapok?

Syaiful W. Harahap
Anggota PWI Jaya No. 09.00.3124.90
LSM (media watch) "InfoKespro", Jakarta

=======
Diskriminasi terhadap Pengidap HIV

Oleh Syaiful W. Harahap *

Dengan 472 kasus HIV/AIDS (282 HIV positif dan 190 AIDS), Jawa Timur berada pada peringkat tiga nasional. Angka ini tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya. Perlakuan buruk terhadap Odha (orang yang hidup dengan AIDS) menyulitkan penanggulangan epidemi HIV/AIDS. Melalui Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2003 -hari ini- masyarakat diajak agar tidak melakukan stigmatisasi (memberi cap buruk) dan diskriminasi (mengasingkan, mengucilkan, membeda-bedakan) terhadap orang-orang yang hidup dengan AIDS (Odha) karena akan memperburuk epidemi HIV/AIDS.

Stigmatitasi dan diskriminasi pun merupakan perbuatan melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM). Selama ini di Surabaya sering dilakukan razia untuk menangkap pekerja seks. Yang tertangkap diambil darahnya untuk tes HIV tanpamelalui standar prosedur tes HIV yang baku (konseling sebelum dan sesudah tes, pernyataan kesediaan, asas anonimitas, dan konfidensialitas). Hal ini dilakukan seakan-akan sebagai cara menanggulangi epidemi HIV/AIDS karena pekerja seks yang terdeteksiHIV positif akan 'diawasi'.

Perlakuan itu membuat Odha mengalami stigmatisasi dan diskriminasi sehingga ada kemungkinan orang-orang yang terinfeksi HIV 'menyembunyikan' diri di masyarakat. Padahal, penanganan pasca tes HIV sangat penting untuk mendorong orang tersebut agar tidak berperilaku berisiko.

Perilaku Berisiko

Mengawasi pekerja seks yang terdeteksi HIV positif tidak banyak manfaatnya. Yang lebih 'berbahaya' justru laki-laki yang melakukan hubungan seksual tidak aman dengan pekerja seks. Mereka berisiko tinggi tertular HIV. Jika ada laki-laki yang tertular HIV, dia akan menjadi mata rantai penyebaran HIV ke masyarakat. Dia akan menulariistrinya (horizontal). Jika istrinya tertular, ada pula risiko penularan dari-ibu-ke-bayi (vertikal), terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI. Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di Surabaya umumnya terdeteksi di kalangan pekerja seks.

Jadi, ada risiko tertular HIV melalui hubungan seks yang tidak aman (tidak memakai kondom) dengan pekerja seks. Celakanya, banyak orang yang tidak menyadari dirinya tertular HIV karena tidak ada keluhan yang khas. Tidak ada pula gejala-gejala klinis yang khas HIV/AIDS. Gejala baru muncul jika sudah mencapai masa AIDS (5-10 tahun). Tapi,perlu diingat bahwa biarpun belum mencapai masa AIDS, seseorang yang HIV positif sudah dapat menularkan HIV melalui cara-cara yang sangat spesifik.

Sebagai virus, HIV hanya dapat menular melalui (1) hubungan seks yang tidak aman (tak memakai kondom) dengan pasangannya di dalam dan di luar nikah, (2) transfusi darah, (3) jarum suntik, dan (4) dari ibu yang HIV positif ke bayi yang dikandungnya pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI.

Karena tidak ada gejala-gejala klinis yang terkait dengan HIV/AIDS, yang diperlukan ialah kesadaran setiap orang untuk menimbang-nimbang: Apakah dirinya berperilaku berisiko tinggi tertular HIV atau tidak. Jika jawabannya "ya", orang tersebut berisiko tertular HIV.

Perilaku berisiko tinggi tertular HIV adalah (1) melakukan hubungan seks (sanggama) yang tidak aman (tidak memakai kondom) di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, (2) melakukan hubungan seks (sanggama) yang tidak aman (tidak memakai kondom) di dalam dan di luar nikah dengan seseorang yang suka berganti-gantipasangan, seperti pekerja seks, (3) menerima transfusi darah yang tidak diskrining, dan (4) memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.

Materi KIE

Setiap orang dapat melindungi diri sendiri dengan aktif agar tidak tertular HIV, yaitu dengan menghindari perilaku berisiko. Tapi, hal itu tidak mudah karena selama ini informasi tentang HIV/AIDS tidak akurat. Materi KIE (komunikasi, informasi, edukasi) selalu dibalut dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapanyang salah) tentang HIV/AIDS. Misalnya, disebutkan HIV menular melalui zina, seks di luar nikah, 'seks bebas' (istilah ini rancu), seks menyimpang, pelacuran, dll.

Padahal, tidak ada hubungan langsung antara penularan HIV dengan zina, seks di luar nikah, seks menyimpang, atau pelacuran. HIV menular melalui hubungan seksual yang tidak aman jika salah satu dari pasangan itu HIV positif di dalam dan di luar nikah. Informasi yang menyesatkan itulah kemudian yang membuat masyarakat tidak waspada. Banyak yang merasa tidak akan tertular HIV karena mereka melakukan hubungan seks di luar lokalisasi. Ada pula yang merasa aman karena kencan dengan 'anak sekolah'.

Kalau hubungan seksual yang tidak aman dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti, baik 'anak sekolah', 'orang baik-baik', dll, tetap berisiko tertular HIV. Soalnya, bisa saja di antara teman kencan tersebut ada yang HIV positif.

Ketika epidemi HIV sudah menjadi ancaman yang nyata terhadap kesehatan masyarakat, langkah yang perlu ditempuh adalah menggencarkan penyuluhan dengan materi KIE yang akurat. Salah satu informasi yang perlu disampaikan kepada masyarakat adalah perilaku-perilaku berisiko tinggi tertular HIV.

Selain itu, ada anjuran agar orang-orang yang pernah berperilaku berisiko tinggi mau menjalani tes HIV sukarela sesuai standar prosedur operasi tes HIV yang baku. Dengan mengetahui status HIV lebih dini sebelum mencapai masa AIDS, orang tersebut dapat diajak kompromi agar tidak menulari orang lain. Selain itu, yang bersangkutan mendapat perawatan medis. Misalnya, pemberian obat antiretroviral (obat yang dapat menahan laju perkembangan HIV di dalam darah) sehingga kondisi kesehatan sampai ke masa AIDS tetap baik.****

Syaiful W Harahap, direktur Eksekutif LSM "InfoKespro" Jakarta yang bergerak dalam bidang selisik media (media watch) berita HIV/AIDS.

URL: http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?berita=Opini&id=28185
[Sumber: Harian "Radar Sulteng", 2 Desember 2003]

=============

Diskriminasi terhadap Pengidap AIDS

Oleh Nur Arif Sugandi
Pemerhati Masalah Kemasyarakatan di Bandar Lampung

Setiap tahun, penderita AIDS terus meningkat seiring perkembangan zaman. Melalui Hari AIDS Sedunia, 1 Desember 2007 (hari ini,Red), masyarakat diajak tidak melakukan stigmatisasi (memberi cap buruk) dan diskriminasi (mengasingkan, mengucilkan, membeda-bedakan) terhadap orang-orang yang hidup dengan AIDS (Odha) karena akanmemperburuk epidemi HIV/AIDS. Stigmatitasi dan diskriminasipun merupakan perbuatan melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Selam ini di beberapa daerah Indonesia sering dilakukan razia untuk menangkap pekerja seks. Yang tertangkap diambil darahnya untuk tes HIV tanpa melalui standar prosedur tes HIV yang baku (konseling sebelum dan sesudah tes, pernyataan kesediaan, asas anonimitas, dan konfidensialitas). Hal ini dilakukan seakan-akan sebagai cara menggulangi epidemi HIV/AIDS karena pekerja seks yang terdeteksi.

HIV positif akan `diawasi'

Perlakuan itu membuat Odha mengalami stigmatisasi dan diskriminasi sehingga ada kemungkinan orang-orang yang terinfeksi HIV `menyembunyikan' diri di masyarakat. Padahal, penanganan pasca-tes HIV sangat penting untuk mendorong orang tersebut agar tidak berperilaku berisiko.

Perilaku Berisiko

Mengawasi pekerja seks yang terdeteksi HIV positif tidak banyak manfaatnya. Yang lebih'berbahaya' justru laki-laki yang melakukan hubungan seksual tidak aman dengan pekerja seks. Mereka berisiko tinggi tertular HIV. Jika ada laki-laki yang tertular HIV, dia akan menjadi mata rantai penyebaran HIV ke masyarakat. Dia akan menulari istrinya (horizontal). Jika istrinya tertular, ada pula risiko penularan dari ibu ke bayi (vertical), terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI. Kasus HIV/AIDS yang umumnya terdeteksi di kalangan pekerja seks.

Jadi, ada risiko tertular HIV melalui hubungan seks yang tidak aman (tidak memakai kondom) dengan pekerja seks. Celakanya, banyak orang yang tidak menyadari dirinya tertular karena tidak ada keluhan yang khas. Tidak ada pula gejala-gejala klinis yang khas HIV/AIDS. Gejala baru muncul jika sudah mencapai masa AIDS (5-10 tahun), Tapi, perlu diingat bahwa biarpun belum mencapai masa AIDS, seseorang yang HIV positif sudah dapat menularkan HIV melalui cara-cara yang sangat spesifik.

Sebagi virus, HIV hanya dapat menular melalui (1) hubungan seks yang tidak aman (tak memakai kondom) dengan pasangannya di dalam dan di luar nikah, (2) transfusi darah, (3) jarum suntik dan (4) dari ibu yang HIV positif ke bayi yang dikandungnya pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI.

Karena tidak ada gejala-gejala klinis yang terkait dengan HIV/AIDS, yang diperlukan ialah kesadaran setiap orang untuk menimbang-nimbang: Apakah dirinya berperilaku berisiko tinggi tertular HIV atau tidak. Jika jawabannya "ya" orang tersebut berisiko tertular HIV.

Perilaku berisiko tinggi tertular HIV adalah (1) melakukan hubungan seks (senggama) yang tidak aman (tidak makai kondom) di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, (2) melakukan hubungan seks yang tidak aman (tidak mmemakai kondom) di dalam dan di luar nikah dengan seseorang yang suka berganti-danti pasangan, seperti pekerja seks, (3) menerima transfusi darah yang tidak diskrining dan (4) memakai jarumsuntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.

Materi KIE

Setiap orang dapat melindungi diri sendiri dengan aktif agar tidak tertular HIV, yaitu dengan menghindari perilaku beresiko. Tapi, hal itu tidak mudah karena selama ini informasi tentang HIV/AIDS tidak akurat. Materi KIE (komunikasi, indormasi, edukasi) selalu dibalut dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapanyang salah) tentang HIV/AIDS. Misalnya, disebutkan HIV menular melalui zina, seks di luar nikah, `seks bebas' (istilah ini rancu), seks menyimpang, paelacuran dan lainnya.

Padahal tidak ada hubungan langsung antara penularan HIV dengan zina, seks di luar nikah, seks menyimpang atau pelacuran. HIV menular melalui hubungan seksual yang tidak aman jika salah satu dari pasangan itu HIV positif di dalam dan di luar nikah.

Informasi yang menyesatkan itulah yang membuat masyarakat tidak waspada. Banyak yang merasa tidak akan tertular HIV karena mereka melakukan hubungan seks di luar lokalisasi. Ada pula yang merasa aman karena kencan dengan 'anak sekolah'. Kalau hubungan seksual yang tidak aman dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti,baik `anak sekolah', `orang baik-baik', dll, tetap beresiko tertular HIV. Soalnya bisa saja di antara teman kencan tersebut ada yang HIV positif.

Ketika epidemi HIV sudah menjadi ancaman yang nyata terhadap kesehatan masyarakat, langkah yang perlu ditempuh adalah menggencarkan penyuluhan dengan materi KIE yang akurat. Salah satu informasi yang perlu disampaikan kepada masyarakat adalah perilaku-perilaku berisiko tinggi tertular HIV.

Selain itu, ada anjuran agar orang-orang yang pernah berperilaku berisiko tinggi mau menjalani tes HIV sukarela sesuai standar prosedur operasi tes HIV yang baku. Dengan mengetahui status HIV lebih dini sebelum mencapai masa AIDS, orang tersebut dapat diajak kompromi agar tidak menulari orang lain. Selain itu, yang bersangkutan mendapat perawatan medis. Misalnya, pemberian obar antiretroviral (obat yang dapat menahan laju perkembangan HIV di dalam darah) sehingga kondisi kesehatan sampai ke masa AIDS tetap baik. (*)

[Sumber: Harian "Radar Lampung", Opini, 1 Desember 2007]