30 Agustus 2017

Tidak ada Penyakit AIDS

Tanggapan terhadap Berita HIV/AIDS di Harian "Sinar Pagi" Jakarta

Oleh: Syaiful W. Harahap
Drektur Eksekutif LSM “InfoKespro” Jakarta

Berita “Bencong Mati Kena Penyakit AIDS” yang dimuat Harian “Sinar Pagi” edisi 30 Oktober 2003 merupakan berita yang mengadung mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS karena tidak ada penyakit AIDS sehingga tidak ada orang yang mati karena AIDS.

AIDS adalah cacat kekebalan tubuh dapatan (bukan keturunan) karena sistem kekebalan tubuh diserang virus, dalam hal ini HIV. Seseorang yang terinfeksi (tertular) HIV akan mencapai masa AIDS antara 5-10 tahun kemudian. Ketika masa AIDS seseorang sangat mudah diserang penyakit. Jadi, yang menyebabkan kematian pada seorang yang sudah mencapai masa AIDS adalah penyakit-penyakit infeksi (infeksi oportunistik), seperti TB, diare, dll.

Sayang, dalam berita itu tidak dijelaskan penyebab kematiannya. Dengan menyebutkan penyebab kematian maka berita itu akan objektif sehingga tidak menimbulkan mitos.

Deskripsi tentang pribadi dan pekerjaan ybs. juga menurunkan harkat dan martabat ybs. sebagai manusia. Dengan menyebut “ …. mencari mangsanya” menggambarkan ybs. sebagai binatang buas.

Pada bagian lain disebutkan “….diketahui korban positif mengidap HIV/AIDS”. Ini tidak tepat karena tes menghasilkan status HIV sehingga yang benar adalah HIV-positif.

Sangat disayangkan penyebutan ‘bencong’ terhadap ybs. karena hal ini merupakan penghakiman dan penghukuman. Ini merupakan ‘trial by the press’ yang ‘diharamkan’ pers. “Bencong” bukan gelar atau status sehingga tidak layak dikaitkan dengan pribadi seseorang. ***

Phttp://aidsmediawatch.blogspot.co.id/ernah dimuat di 

Menyikapi Pertambahan Kasus HIV/AIDS di Jawa Barat

Tanggapan terhadap berita HIV/AIDS di Harian "SUARA PEMBARUAN" Jakarta

Oleh: Syaiful W. Harahap
[Direktur Eksekutif LSM “InfoKespro” Jakarta, institusi media watchtentang berita HIV/AIDS]

Berita “Kasus HIV/AIDS di Jabar dalam 3 Bulan Bertambah 129 Kasus” yang dimuat di Harian “Suara Pembaruan” edisi 26 April 2004 menunjukkan penanganan epidemi HIV di Indonesia masih tetap sebatas wacana. Buktinya, dalam berita itu disebutkan untuk menanggulangi HIV/AIDS di Jawa Barat pihak Pemprov “membuat Perda”. Bagaimana sebuah Perda (peraturan daerah) bisa menanggulangi epidemi HIV?

HIV/AIDS adalah epidemi yang tidak kasat mata. Orang-orang yang sudah terinfeksi HIV selama bertahun-tahun tidak menyadari dirinya sudah HIV-positif karena tidak ada gejala-gejala yang khas sebelum masa AIDS (antara 5-10 tahun). Tapi, pda rentang waktu itu mereka sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain. Berbeda dengan diare, campak, cacar atau TBC yang bisa dilihat dengan mata telanjang penderitanya menunjukkan gejala-gejala secara fisik. 

Kasus HIV/AIDS selama ini banyak terdeteksi di kalangan pekerja seks melalui tes survailans yang melanggar asas tes HIV. Belakangan banyak terdeteksi di kalangan pengguna narkoba suntikan karena mereka diwajibkan menjalankan tes HIV jika akan masuk ke pusat rehabilitasi narkoba.

Angka-angka yang dilaporkan di Jawa Barat dan Indonesia tidak menggambarkan angka yang sebenarnya karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang tidak terdeteksi jauh lebih besar daripada yang terdeteksi. Hal ini terjadi karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada gejala yang khas.

Perilaku Berisiko

Nah, bagiamana caranya secarik kertas bisa menanggulangi (epidemi)AIDS yang tidak kasat mata?

Terkadang kita sering terlena dan ikut-ikutan dengan keberhasilan negara lain tanpa menyimak apa dan bagaimana program dijalankan. Hal ini terkait dengan “Wajib Kondom 100%” yang dicanangkan Thailand. Program itu berhasil menurunkan insiden penularan HIV dan PMS (penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks yang tidak aman, seperti sifilis, GO, hepatitis B, dll.).

Tapi, kalau hanya mencontoh program itu, seperti yang dilakukan di Papua, dengan mentah-mentah maka hasilnya pun akan nol besar. Soalnya, di Thailand program “Kondom 100%” sejalan dengan sosialisasi HIV/AIDS melalui komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang komprehensif sehingga masyarakat memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Berbeda dengan di Indonesia. KIE dibalut dengan moral dan agama. Akibatnya, yang ditangkap masyarakat tentang HIV/AIDS hanyalah mitos (anggapan yang salah). Misalnya, HIV/AIDS dikait-kaitkan dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan dan gay. Padahal, sebagai fakta medis tidak ada kaitan langsung antara HIV/AIDS dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan dan gay. HIV hanya menular jika salah satu dari pasangan yang melakukan hubungan seks HIV-positif dan hubungan seks dilakukan tanpa menggunakan kondom di dalam dan di luar nikah. Kalau satu pasangan HIV-negatif apa pun sifat dan jenis hubungan seks yang mereka lakukan tidak akan pernah terjadi penularan HIV.

Karena masyarakat sudah terbuai dengan mitos maka epidemi HIV bagaikan ‘bom waktu’ di negeri ini. Hal ini sudah terbukti. Belakangan ini kasus HIV/AIDS mulai terdeteksi di berbagai kalangan, seperti ibu-ibu rumah tangga, anak-anak dan remaja. Ini menunjukkan HIV sudah masuk ke populasi.

Siapa yang menjadi mata rantai penyebaran HIV ke populasi? Ya, tentu saja laki-laki yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV yaitu orang-orang yang sering melakukan hubungan seks yang tidak memakai kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau orang-orang yang sering melakukan hubungan seks yang tidak memakai kondom di dalam dan di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-gnati pasangan (seperti pekerja seks).

Kegiatan yang berisiko ini tidak hanya terjadi di lokalisasi pelacuran. Tapi, perda yang dibuat di Papua hanya menjerat pelanggan pekerja seks di lokalisasi. Lalu, laki-laki yang berperilaku berisiko yang tidak melakukannya di lokalisasi pun aman tenteram karena tidak bisa dijerat dengan perda. Tapi, perlu diingat mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV seacara horizontal.

Memupus Mitos

Mereka tidak menyadari kalau dirinya sudah tertular HIV karena mereka sudah termakan mitos yang menyebutkan HIV/AIDS terkait dengan pelacuran. Mereka tidak melakukan hubungan seks di lokalisasi dan tidak pula dengan pekerja seks. Mereka melakukannya di rumah atau di hotel dengan ‘cewek baik-baik’, ‘anak SMA’ atau ‘mahasiswi’. Tapi, hal ini tetap sebagai perilaku berisiko tinggi tertular HIV.

Mitos itu pulalah mungkin yang ‘menjerat, tentara kita yang tertular HIV di Kamboja saat bertugas sebagai pasukan perdamaian PBB. Kerena di benak banyak orang sudah terpatri mitos AIDS terkait dengan pelacur, maka mereka pun ‘main’ dengan ‘ibu-ibu rumah tangga’ atau perempuan di luar lokalisasi. Padahal, prevalensi HIV (perbandingan antara yang HIV-positif dan HIV-negatif) di kalangan ibu-ibu rumah tangga di Kamboja juga tinggi sehingga risiko tertular pun besar. Tentara Belanda tidak ada yang tertular HIV atau PMS. Mengapa? Ya, tentara kita cuma dibekali dengan wejangan sedangkan tentara Belanda selain membawa bedil juga dipersenjatai dengan kondom.

Jadi, hal yang paling mendasar dalam menanggulangi HIV/AIDS di negeri ini adalah memupus mitos yang selama ini berkembang di masyarakat. Ini pekerjaan berat karena mulai dari menteri sampai dokter pun tetap membicarakan HIV/AIDS dari aspek moral dan agama. Ironis. Dokter membahas HIV sebagai fakta medis dari sudut moral dan agama. Wartawan pun mewawancarai agamawan. Di negara-negara yang menjadikan agama sebagai dasar negara pun banyak kasus HIV/AIDS yang dilaporkan ke WHO/UNAIDS. Padahal, di sana tidak ada industri seks, seperti bar, lokalisasi pelacuran, dll.

Salah satu cara realistis yang dapat dilakukan untuk memutus mata rantai penyebaran HIV secara vertikal di Jawa Barat adalah dengan menganjurkan tes HIV sukarela kepada orang-orang yang berperilaku berisiko tinggi tertular HIV.

Jika ada yang HIV-positif maka mereka dapat dibimbing agar tidak menulari orang lain. Selain itu dapat pula ditangani secara medis, misalnya, pemberian obat antiretroviral (obat yang dapat menekan pertumbuhan HIV di dalam darah) sehingga mereka tetap bisa bekeja dengan produktif seperti orang yang HIV-negatif. ***

Pernah dimuat di http://aidsmediawatch.blogspot.co.id/

Pernyataan tentang HIV/AIDS yang Tidak Akurat

Tanggapan terhadap berita HIV/AIDS di Media Indonesia Obline

Oleh: Syaiful W. Harahap
LSM “InfoKespro” Jakarta

Ternyata biar pun informasi yang akurat tentang HIV/AIDS sudah banjir tetap saja ada yang belum memahami HIV/AIDS secara komprehensif. Buktinya, dalam berita “Pengidap HIV/AIDS di Kabupaten Malang Capai 98 Orang” (Media Indonesia Online, 2/6-2006) ada pernyataan yang tidak akurat.

Misalnya, disebutkan penularan HIV ‘melalui seks bebas’. Apa yang dimaksud dengan ‘seks bebas’? Dalam berita tidak dijelaskan. Tapi, kalau yang dimaksud dengan ‘seks bebas’ adalah hubungan seks di luar nikah maka pernyataan ini tidak akurat karena tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan ‘seks bebas’.

HIV menular melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah bisa terjadi kalau salah satu adau dua-duanya dari pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom. Sebaliknya, kalau pasangan itu dua-duanya HIV-negatif maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV biar pun dilakukan dengan ‘seks bebas’.

Di bagian lain disebutkan pula bahwa persoalan yang dihadapi adalah tidak ada kesadaran dari penderita. Ini menyesatkan karena orang-orang yang sudah terdeteksi HIV-positif akan memutus mata rantai penyebaran mulai dari dirinya. Ini fakta. Hal ini terjadi karena sebelum tes dilakukan konseling (bimbingan) sehingga mereka memahami posisinya.

Yang menjadi persoalan besar adalah orang-orang yang sudah tertular HIV tapi belum atau tidak terdeteksi. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk secara diam-diam.

Yang menularkan HIV kepada pekerja seks komersial (PSK) juga adalah penduduk laki-laki yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Maka, yang menjadi ‘biang keladi’ adalah penduduk, terutama laki-laki, yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi.

Hal itu terjadi karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV sebelum mencapai masa AIDS (antara 5 – 10 tahun).

Angka kasus HIV yang terus bertambah terjadi karena kegiatan survialans dan VCT (tes HIV sukarela) yang kian gencar. Dengan mendeteksi kasus HIV maka mata rantai penyebaran HIV pun dapat pula diputus. ***

Pernah dimuat di http://aidsmediawatch.blogspot.co.id/

Laki-laki (sebagai) Penyebar HIV

Tanggapan terhadap berita HIV/AIDS di Harian "KOMPAS"

Oleh: Syaiful W. Harahap
LSM ”InfoKespro” Jakarta

Berita “Penyakit Menular, Penyebaran HIV/AIDS di Banten Semakin Liar” (KOMPAS, 25/2-2009) menunjukkan ada fakta yang luput dari perhatian banyak kalangan.

Selama ini ada kesan bahwa penyebaran HIV dilakukan oleh pekerja seks komersial (PSK). Dalam berita ini juga hal itu muncul, “Gambaran betapa liar virus itu menyebar bisa dilihat dari aktivitas seorang PSK yang positif HIV/AIDS di Merak.” Fakta yang hilang adalah virus (HIV) yang ada di tubuh PSK itu justru ditularkan oleh laki-laki penduduk lokal atau pendatang.

Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki yang menularkan HIV itu bisa sebagai seorang suami, duda, lajang, atau remaja yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, mahasiswa, pelajar, nnak buah kapal, sopir, kondektur, pedagang, perampok, copet, dll. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk.

Ketika seorang PSK tertular HIV maka laki-laki yang kemudian mengencaninya tanpa memakai kondom berisiko pula tertular HIV. Laki-laki ini pun kemudian akan menjadi mata rantai penyebaran HIV.

Kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi di kalangan pengguna narkoba terjadi karena mereka wajib tes HIV ketika hendak menjalani rehabilitasi.

Sebaliknya, laki-laki yang tertular melalui hubungan seks tidak terdeteksi karena tidak ada mekanisme yang bisa ’menjaring’ mereka. Umumnya, mereka ini terdeteksi setelah masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tertular) karena sudah ada penyakit, yang disebut sebagai infeksi oportunistik, yang memerlukan pengobatan.

Pada kurun waktu 5-10 tahun sebelum terdeteksi mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari. Maka, kasus HIV/AIDS di kalangan laki-laki yang perilakunya berisiko tertular HIV merupakan ’bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang.

Belakangan ini penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia lebih ditujukan di hilir yang dilakukan dengan upaya-upaya ’menjaring’ kasus HIV/AIDS di kalangan berisiko, disebut sebagai populasi kunci. Ini mengabaikan penanganan di hilir karena penularan HIV kepada populasi kunci dilakukan oleh orang-orang di luar populasi itu.

Maka, kasus-kasus infeksi baru HIV (akan) terus terjadi jika persialan di hulu tidak ditangani dengan serius. Berbagai peraturan daerah (Perda) penanggulangan AIDS, saat ini ada 22 Perda di tingkat provinsi, kabupaten dan kota, hanya mengedepankan norma, moral, dan agama sebagai alat pencegahan.

Tentu saja Perta-perda itu tidak akan bekerja karena penularan HIV sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan norma, moral, dan agama. ***

Pernah dimuat di http://aidsmediawatch.blogspot.co.id/

Laki-laki yang Menularkan HIV

Tanggapan terhadap Berita HIV/AIDS di Harian "ANALISA" Medan 

Oleh: Syaiful W. Harahap
LSM “InfoKespro” Jakarta

Berita “Tuna Susila Termasuk Rawan Resiko Penularan HIV, Dibutuhkan Peran Nyata Masyarakat Secara Aktif” di Harian “ANALISA” (20 Agustus 2008) menunjukkan ada fakta pada tataran realitas sosial yang luput dari banyak kalangan. Akibatnya, masalah HIV/AIDS tidak dipahamai banyak orang secara komprehensif.

Pertama, HIV pada kalangan pekerja seks, dalam berita disebut tuna susila, justru ditularkan oleh laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari sebagai seorang suami, pacar, selingkuhan, lajang, duda, remaja yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, pengajar, sopir, pedagang, perampok, dll. Mereka inilah yang menjadi persoalan besar dalam epidemi HIV/AIDS karena mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk.

Persoalan kian runyam karena banyak orang yang sudah tertular HIV tidak menyadarinya. Akibatnya, terjadilah penularan yang tidak disadari, misalnya, melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, transfusi darah yang tidak diskrining, jarum suntik, dll.

Kedua, laki-laki yang kemudian mengencani pekerja seks yang sudah tertular HIV berisiko pula tertular HIV. Laki-laki ini pun akan menjadi mata rantai penyenbaran HIV pula. Lagi-lagi tanpa disadarinya.

Fakta-fakta di atas tidak muncul dalam berita atau pun ceramah soal HIV/AIDS sehingga yang dihujat hanya pekerja seks. Padahal, yang perlu dihujar adalah laki-laki yang menularkan HIV kepada pekerja seks karena mereka ini menjadi mata rantai penyebaran HIV.

Pembicaraan tentang pelacuran selalu bias gender karena yang disalahkan hanya pekerja seks (baca: perempuan). Padahal, tanpa laki-laki kegiatan pelacuran tidak akan terjadi.

Selama kita tidak melihat pelacuran dengan objektif maka selama itu pula pelacuran terus terjadi dan disertai pula dengan penyebaran sifilis, GO, hepatitis B, dan HIV/AIDS. ***

Pernah dimuat di http://aidsmediawatch.blogspot.co.id/