Tanggapan terhadap Berita HIV/AIDS di Harian "ANALISA" Medan
Oleh: Syaiful W. Harahap
LSM “InfoKespro” Jakarta
Berita “Ibu Muda Penderita AIDS di Medan Meninggal, 9 Lagi Masih Dirawat” di Harian ”ANALISA” edisi 5/6-2006 menunjukkan yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis.
Pertama, pada aliena pertama disebutkan “Jumlah penderita positif AIDS …. “ Ini tidak akurat karena yang positif adalah virus yaitu HIV di dalam darah. Sedangkan AIDS adalah masa ketika jumlah HIV lebih banyak daripada sel darah putih.
Kedua, dalam berita itu tidak disebutkan apa yang menyebabkan ‘ibu muda’ itu meninggal dunia. Soalnya, yang mematikan Odha (Orang yang Hidup dengan HIV/AIDS) adalah infeksi oportunistik yang muncul setelah masa AIDS. Maka, tanpa menyebutkan penyebab kematian maka berita itu tidak akurat sehingga pembaca (baca: masyarakat) akan menangkap bahwa yang mematikan adalah AIDS.
Ketiga, disebutkan “ …. penyakit mematikan …. “ Apakah hanya HIV/AIDS yang mematikan? Penderita flu burung, demam berdarah atau diare mati dalam hitungan hari sedangkan Odha ada yang bertahan sampai belasan tahun tanpa obat.
Keempat, disebutkan bahwa suami ‘ibu muda’ itu tertular HIV karena “ …. sering melakukan hubungan seks bebas tanpa kondom ….” Ini tidak akurat karena tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan seks bebas. Kalau seks bebas dalam berita itu diartikan sebagai ‘hubungan seks di luar nikah’ maka sama sekali tidak ada kaitan langsung antara ‘seks bebas’ dengan penularan HIV. HIV menular melalui hubungans seks di dalam atau di luar nibah (bisa) terjadi kalau salah satu atau dua-dua dari pasangan itu HIV-positif. Kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV biar pun dilakukan dengan ‘seks bebas’.
Kelima, dalam berita tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan ‘hubungan seks berisiko’ sehingga pembaca tidak menangkap makna dari pernyataan ini.
Keenam, disebutkan untuk menghindari HIV adalah dengan “Jauhkan diri dari narkoba ….” Ini menyesatkan karena narkoba diperlukan untuk medis, seperti obat anestesi. Tanpa narkoba maka puluhan, ratusan bahkan ribuan orang setiap hari akan mati di meja operasi. Yang dihindari adalah memakai narkoba dengan jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian menyuntikkan narkoba karena ada kemungkinan salah satu di antara mereka HIV-positif sehingga yang lain berisiko tinggi tertular HIV.
Ketujuh, disebutkan “ …. setelah itu virus berkembang menjadi AIDS ….”. Ini tidak akurat karena HIV tidak berkembang yang terjadi adalah HIV menggandakan diri di sel-sel darah putih. Sel darah putih tempat HIV menggandakan diri rusak. Virus yang baru diproduksi mencari sel darah putih lain. Begitu seterusnya sampai pada suatu saat jumlah virus lebih banyak daripada sel darah putih maka itulah yang disebut masa AIDS.
Kedelapan, disebutkan “Apalagi obat yang dapat menyembuhkan AIDS belum ada”. Ini juga tidak jujur karena banyak penyakit yang tidak ada obatnya, seperti demam berdarah. Ada lagi penyakit yang ada obatnya tapi tidak bisa disembuhkan, seperti diabetes dan darah tinggi. Tapi, mengapa tidak disebutkan bahwa tidak ada obatnya kalau memberitkan demam berdarah, diabetes atau darah tinggi?
Selama informasi tentang HIV/AIDS tidak akurat berdasarkan fakta medis maka masyarakat hanya menangkap mitos (anggapan yang salah) sehingga penularan HIV akan terjadi antar penduduk tanpa disadari. Kelak epidemi HIV akan menjadi ‘bom waktu’. ***
Pernah dimuat di http://aidsmediawatch.blogspot.co.id/
25 Agustus 2017
Pemahaman AIDS yang Tidak Akurat
Tanggapan terhadap Berita HIV/AIDS di Harian "Radar Tegal"
Oleh: Syaiful W. Harahap
LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta
Selama tiga hari berturut-turut mulai tanggal 8 sampai 10 Mei 2006 Harian “Radar Tegal” memuat berita tentang HIV/AIDS: (1) 21 Positif HIV, 3 AIDS, (2) Kabupaten Tegal Epidemi AIDS, dan (3) Dinkes Diminta Proaktif. Salah satu upaya untuk menanggulangi epidemi HIV adalah penyebarluasan informasi yang akurat tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV.
Namun, dalam tiga berita itu justru muncul informasi yang tidak akurat sehingga bisa menyesatkan.
Pertama, tes HIV terhadap pekerja seks komersial (PSK) bersifat survailans untuk mendapatkan prevalensi (perbandingan antara HIV-positif dan HIV-negatif di kalangan PSK pada kurun waktu tertentu) sebagai pegangan dalam merumuskan langkah-langkah penanggulangan. Kalau ada yang PSK yang terdeteksi HIV-positif persoalan bukan pada PSK tapi pada penduduk yang sudah pernah melakukan hubungan seks tanpa kndom dengan PSK karena kalau mereka tertular HIV maka mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat. Bagi yang beristri akan menulari istrinya atau perempuan lain yang menjadi pasangannya.
Kedua, yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki. Maka, yang paling bersalah adalah laki-laki dan lagi-lagi yang menyebarkan HIV adalah laki-laki.
Ketiga, disebutkan “ …. dinyatakan mengidap virus HIV dan tiga orang lainnya positif AIDS.” Ini tidak akurat karena tidak ada yang positif AIDS tapi sudah mencapai masa AIDS. Seseorang yang tertular HIV akan terdeteksi HIV-positif melalui tes darah yang sudah dikonfirmasi, tapi belum menunjukkan gejala-gejala yang khas pada fisik. Setelah 5 – 10 tahun kemudian akan sampai pada masa AIDS yang ditandai dengan infeksi oportunistik, seperti diare, TBC, dll.
Keempat, pernyaaan “ …. Kabupaten Tegal dikenal sebagai daerah ‘wisata malam’ …. juga tidak akurat karena sama sekali tidak ada kaitan langsung antara ‘wisata malam’ dengan penularan HIV. Ini yang disebut mitos (anggapan yang salah). Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah pada siang atau malam hari di lokalisasi atau di luar lokalisasi kalau salah satu satu atau dua-dua dari pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom.
Kelima, ada lagi pernyataan “ …. Padalah jika identitas mereka diketahui, penangangannya akan lebih komprehensif.” Bukan hanya untuk kasus HIV/AIDS semua keterangan tentang penyakit dalam medical record (catatan medis) merupakan rahasia yang hanya boleh diketahui pasien dan dokter. Pembeberan isi catatan medis harus seizing pasien, jika tidak ada izin maka hal itu merupakan perbuatan yang melawan hukum yang bisa digugat di pengadilan. Lagi pula dalam hal HIV/AIDS yang menjadi persoalan justru penduduk yang sudah tertular tapi tidak terdeteksi sehingga mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV tanpa mereka sadari.
Keenam, disebutkan pula “ …. pekerja seks komersial (PSK) yang kedapatan positif terserang HIV/AIDS untuk diisolasi” merupakan pernyataan yang ngawaur karena yang menjadi persoalan besar adalah penduduk yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi. Penduduk Tegal atau Batang bisa saja tertular HIV di luar daerah atau di luar negeri. Selain itu mengisolasi PSK juga merupakan perbuatna yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap HAM.
Ketujuh, pernyataan “ …. segera diambil langkah-langkah preventif yang diperlukan agar tidak menyebar ke orang lain” merupakan gambaran betapa masih banyak yang tidak memahami penularan HIV dengan akurat. Sebagai virus HIV tidak bisa menyebar karena hanya menular melalui cara-cara yang sangat spesifik.
Selama materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS tidak diberikan secara akurat kepada masyarakat maka epidemi HIV akan terus berlangsung dan akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan HIV/AIDS kelak. ***
Catatan:pernah dimuat di http://aidsmediawatch.blogspot.co.id/
Oleh: Syaiful W. Harahap
LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta
Selama tiga hari berturut-turut mulai tanggal 8 sampai 10 Mei 2006 Harian “Radar Tegal” memuat berita tentang HIV/AIDS: (1) 21 Positif HIV, 3 AIDS, (2) Kabupaten Tegal Epidemi AIDS, dan (3) Dinkes Diminta Proaktif. Salah satu upaya untuk menanggulangi epidemi HIV adalah penyebarluasan informasi yang akurat tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV.
Namun, dalam tiga berita itu justru muncul informasi yang tidak akurat sehingga bisa menyesatkan.
Pertama, tes HIV terhadap pekerja seks komersial (PSK) bersifat survailans untuk mendapatkan prevalensi (perbandingan antara HIV-positif dan HIV-negatif di kalangan PSK pada kurun waktu tertentu) sebagai pegangan dalam merumuskan langkah-langkah penanggulangan. Kalau ada yang PSK yang terdeteksi HIV-positif persoalan bukan pada PSK tapi pada penduduk yang sudah pernah melakukan hubungan seks tanpa kndom dengan PSK karena kalau mereka tertular HIV maka mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat. Bagi yang beristri akan menulari istrinya atau perempuan lain yang menjadi pasangannya.
Kedua, yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki. Maka, yang paling bersalah adalah laki-laki dan lagi-lagi yang menyebarkan HIV adalah laki-laki.
Ketiga, disebutkan “ …. dinyatakan mengidap virus HIV dan tiga orang lainnya positif AIDS.” Ini tidak akurat karena tidak ada yang positif AIDS tapi sudah mencapai masa AIDS. Seseorang yang tertular HIV akan terdeteksi HIV-positif melalui tes darah yang sudah dikonfirmasi, tapi belum menunjukkan gejala-gejala yang khas pada fisik. Setelah 5 – 10 tahun kemudian akan sampai pada masa AIDS yang ditandai dengan infeksi oportunistik, seperti diare, TBC, dll.
Keempat, pernyaaan “ …. Kabupaten Tegal dikenal sebagai daerah ‘wisata malam’ …. juga tidak akurat karena sama sekali tidak ada kaitan langsung antara ‘wisata malam’ dengan penularan HIV. Ini yang disebut mitos (anggapan yang salah). Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah pada siang atau malam hari di lokalisasi atau di luar lokalisasi kalau salah satu satu atau dua-dua dari pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom.
Kelima, ada lagi pernyataan “ …. Padalah jika identitas mereka diketahui, penangangannya akan lebih komprehensif.” Bukan hanya untuk kasus HIV/AIDS semua keterangan tentang penyakit dalam medical record (catatan medis) merupakan rahasia yang hanya boleh diketahui pasien dan dokter. Pembeberan isi catatan medis harus seizing pasien, jika tidak ada izin maka hal itu merupakan perbuatan yang melawan hukum yang bisa digugat di pengadilan. Lagi pula dalam hal HIV/AIDS yang menjadi persoalan justru penduduk yang sudah tertular tapi tidak terdeteksi sehingga mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV tanpa mereka sadari.
Keenam, disebutkan pula “ …. pekerja seks komersial (PSK) yang kedapatan positif terserang HIV/AIDS untuk diisolasi” merupakan pernyataan yang ngawaur karena yang menjadi persoalan besar adalah penduduk yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi. Penduduk Tegal atau Batang bisa saja tertular HIV di luar daerah atau di luar negeri. Selain itu mengisolasi PSK juga merupakan perbuatna yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap HAM.
Ketujuh, pernyataan “ …. segera diambil langkah-langkah preventif yang diperlukan agar tidak menyebar ke orang lain” merupakan gambaran betapa masih banyak yang tidak memahami penularan HIV dengan akurat. Sebagai virus HIV tidak bisa menyebar karena hanya menular melalui cara-cara yang sangat spesifik.
Selama materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS tidak diberikan secara akurat kepada masyarakat maka epidemi HIV akan terus berlangsung dan akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan HIV/AIDS kelak. ***
Catatan:pernah dimuat di http://aidsmediawatch.blogspot.co.id/
Penularan HIV dapat Dicegah
Tanggapan terhadap Berita HIV/AIDS di Harian "Suara Merdeka" Semarang
Oleh: Syaiful W. Harahap
Direktur Eksekutif LSM “InfoKespro” Jakarta
Berita “Soal AIDS, Jangan Hanya Berpolemik” yang dimuat di Harian “Suara Merdeka” edisi 20 Oktober 2003 lagi-lagi menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.
Misalnya, disebutkan “ …. bagaimana menghentikan pertumbuhan penyakit mematikan itu”. Semua penyakit mematikan. Bahkan, penderita demam berdarah dan muntaber hanya hitungan jam menjelang maut jika tidak ditangani secara medis. Sedangkan seseorang yang terinfeksi HIV baru mencapai masa AIDS antara 5-10 tahun.
Penularan HIV dapat dicegah dengan teknologi kedokteran yakni menghindarkan diri dari perilaku berisiko tinggi tertular HIV yaitu:
(1) tidak melakukan hubungan seks (heteroseks, seks oral, seks anal atau homoseks) tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah,
(2) tidak melakukan hubungan seks (heteroseks, seks oral, seks anal atau homoseks) tanpa kondom dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan di dalam dan di luar nikah,
(3) tidak menerima transfusi darah yang tidak diskrining, dan
(4) tidak memakai jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran.
Angka 191 sebagai kasus HIV/AIDS di Semarang juga tidak dijelaskan karena angka yang dikeluarkan Depkes tanggal 2 Oktober 2003 di Jawa Tengah kasus HIV/AIDS tercatat 98. Apakah angka 191 hasil survailans tes HIV atau angka kasus HIV-positif dan AIDS yang dilaporkan?
Pernyataan “ ….penularan HIV/AIDS sebagian besar karena hubungan seks seperti oral, anal, ciuman dalam” tidak akurat karena data menunjukkan penularan utama HIV secara global justru melalui heteroseks (laki-laki ke perempuan atau sebaliknya). Ada pula disebutkan “….faktor keturunan ibu hamil penderita HIV/AIDS”. Ini pun tidak akurat karena HIV/AIDS bukan penyakit keturunan. HIV adalah penyakit menular seperti flu, hepatitis, dll. Seorang perempuan yang HIV-positif berisiko menularkan HIV kepada bayi yang dikandugnya ketika persalinan dan menyusui dengan ASI (air susu ibu).
Di bagian lain disebut pula “ ….langkah memerangi penyakit itu masih terganjal oleh sikap masyarakat sendiri. Masih ada stigma dan diskriminasi yang dilakukan masyarakat umum terhadap penderita HIV/AIDS.” Ini tidak objektif karena selama ini masyarakat dibodohi oleh orang-orang yang membicarakan HIV/AIDS yang membalut lidahnya dengan moral dan agama sehingga yang muncul adalah mitos.
Pernyataan Nurul Arifin tentang remaja pengguna narkoba pun sangat tidak fair karena tidak membandingkannya dengan pengguna narkoba di kalangan dewasa. Hal ini hanya memojokkan remaja. ***
Catatan: naskah ini pernah dimuat di http://aidsmediawatch.blogspot.co.id/
Langganan:
Postingan (Atom)