Oleh: Syaiful W. HARAHAP
Pada dekade pertengahan epidemi
HIV/AIDS secara global Afrika dihadapkan pada kenyataan penularan HIV yang
membuat benua itu jadi ‘sarang’ HIV/AIDS. Dari 36,7 juta warga dunia yang hidup
dengan HIV/AIDS pada tahun 2015 dilaporkan 25,5 juta berada di Afrika (www.avert.org).
Bukan hanya itu
banyak desa tanpa penduduk. Pertanian dan pertambangan pun berhenti. Berkat
uluran tangan penderma dan organisasi internasional epidemi HIV di Afrika mulai
menunjukkan grafik yang mendatar sejak awal tahun 2000-an. Sebaliknya, di Asia
Pasifik kasus baru terus terdeteksi pada kalangan dewasa heteroseksual dan
bayi. Sedangkan di Afrika kasus baru justru terdeteksi pada bayi karena orang
tua mereka mengidap HIV/AIDS.
Fenomena
Gunung Es
Di Asia ada tiga
negara dengan percepatan infeksi HIV baru yaitu India, Cina dan Indonesia. Laporan
Ditjen
P2P, Kemenkes RI, tanggal 24 Mei 2017, menunjukkan jumlah kasus kumulatif
HIV/ADS secara nasional sejak tahun 1987 sd. Maret 2017 berjumlah 330.152 yang
terdiri atas 242.699 HIV dan 87.453 AIDS dengan 14,754 kematian.
Jumlah kasus yang
dilaporkan Ditjen P2M, Kemenkes RI, setiap tiga bulan hanyalah kasus yang
ditangani sarana kesehatan, seperti puskesmas dan rumah sakit. Kasus-kasus
HIV/AIDS yang terdeteksi di klinik-klinik dan rumah sakit swasta serta dokter
praktek bisa jadi tidak dilaporkan atas permintaan pasien.
Maka, kasus yang
dilaporkan hanyalah sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat karena
epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi
atau yang dilaporkan digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas
permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat
digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar).
Persoalannya jadi
masalah besar karena kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi jadi mata
rantai penularan HIV di masyarakat terutama melalaui hubungan seksual di dalam
dan di luar nikah dengan kondisi suami atau laki-laki tidak memakai kondom.
Secara faktual
penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia dibalut dengan norma, moral dan agama dan
dilakukan di hilir.
Pertama, membalut informasi HIV/AIDS
dengan norma, moral dan agama yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah).
Misalnya, mengaitkan penularan HIV dengan perilaku seksual di luar nikah. Ini
jelas ngawur karena penularan HIV melalui hubungan seksual bukan akrena sifat
hubungan seksual (zina, di luar nikah, pranikah, melacur, selingkuh,
homoseksual,seks anal, seks abnormal, dll.) tapi karena kondisi ketika terjadi
hubungan seksual (salah satu atau kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki
atau suami tidak memakai kondom setiap kali sanggama).
Penanggulangan
di Hilir
Kedua, terjadi penyangkalan karena
disebut-sebut sebagai bangsa yang beradab, berbudaya dan beragama sehingga tidak
ada celah masuk HIV/AIDS. Penularan HIV tidak selalu terkait dengan hubungan
seksual yang melawan norma, moral dan agama. Hubungan seksual tanpa kondom
dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam nikah pun ada risiko penularan HIV
karena bisa saja terjadi salah satu dari pasangan yang pernah melakukan
hubungan seksual mengidap HIV/AIDS. Seperti perilaku kawin-cerai atau mempunyai
passangan lebih dari satu karena bisa saja salah satu dari pasangan tsb.
mengidap HIV/AIDS.
Ketiga, penanggulangan yang dilancarkan
pemerintah, dalam hal ini pemerintah kabupaten dan kota, dilakukan di hilir.
Ini penanggulangan pasif karena menunggu orang sakit datang berobat ke sarana
kesehatan kemudian ada gejala terkait HIV dan perilaku pasien terkait dengan
risiko penularan HIV selanjutnya dirujuk untuk tes HIV. Itu artinya orang-orang
dibiarkan tertular HIV baru dites dan ditangani secara medis.
Tes HIV bagi
ibu-ibu rumah tangga yang hamil pun adalah penanggulangan di hilir karena sudah
terjadi penularan. Yang lebih celaka ada suami yang menolak tes HIV ketika
istrinya terdeteksi mengidap HIV/AIDS, bahkan menuduh istrinya selingkuh.
Beberapa kasus di Klinik VCT RSUD Dr Adjidarmo, Rangkasbitung, Lebak, Banten,
menunjukkan suami-suami meninggalkan istri dan anak-anaknya ketika istrinya
terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Maka, suami-suami itu pun jadi mata rantai
penyebar HIV/AIDS.
Adalah hal yang
mustahil menghentikan penyebaran HIV/AIDS karena banyak orang yang mengidap
HIV/AIDS tidak menyadarinya karena tidak ada tanda-tanda, ciri=ciri dan
gejala-gejala fisik dan kesehatan yang khas AIDS sebelum masa AIDS (secara
statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).
Disseminasi
Informasi
Yang bisa dilakukan
secara konkret dan realistis di hulu adalah menurunkan insiden penularan HIV
baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks
komersial (PSK). Intervensi dilakukan melalui regulasi yang memaksa laki-laki
memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung. Cara ini
sudah terbukti berhasil di Thailang dengan program “wajib kondom 100 persen”
bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung dengan
indikator penurunan kasus HIV/AIDS pada calon taruna militer.
Yang perlu diingat
yang bisa dijangkau hanya PSK langsung karena kasat mata, sedangkan PSK tidak
langsung tidak kasat mata.
(1) PSK langsung
adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi
pelacuran atau di jalanan.
(2) PSK tidak
langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek
pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek
gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan),
dll.
Celakanya, praktek
PSK langsung sudah tidak ada yang ‘resmi’ yaitu yang ditangani oleh instansi
pemerintah melalui regulasi seperti di masa Orde Baru yang membina PSK langsung
melalui program resosialisasi dan rehabilitasi. Biar pun sekarang tidak ada
lagi praktek pelacuran yang dilokalisir itu tidak jaminan di daerah tsb. tidak
ada praktek pelacuran. Itu artinya insiden infeksi HIV baru terus dan akan
terus terjadi baik melalui seks tidak aman dengan PSK langsung maupun dengan
PSK tidak langsung.
Survei yang
dilakukan Kemenkes Ri sampai akhir tahun 2012 ada 6,7 juta laki-laki yang
menjadi pelanggan 230.000 PSK langsung. Dari jumlah 6,7 juta itu ada 4,9 juta
yang beristri (antarabali.com, 9/4-2013). Maka, tidaklah mengherankan kalau
kemudian dalam laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal ... dari tahun
1987-Maret 2017 kasus AIDS paling banyak terdeteksi pada ibu rumah tangga yaitu
sebesar 12.302 dari 87.453 atau sebesar 14,07 persen.
Maka, untuk menurunkan
insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui PSK langsung pun tidak
bisa dilakukan karena transaski seks tidak dilokalisir. Begitu juga dengan PSK
tidak langsung jelas tidak bisa dilakukan intervensi karena transaksi seks terjadi
di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Disseminasi
informasi HIV/AIDS yang komprehensif sangat jarang dilakukan melalui media
massa dan media online. Celakanya, banyak pengelola media, redaktur dan
wartawan, yang memakai ‘baju moral’ ketika menulis berita HIV/AIDS yaitu dengan
balutan moral. Berita pun tidak mencerahkan karena informasi yang disampaikan
mengandung mitos.
Ilustrasi
(Sumber: Women’s Health Encyclopedia)
Untuk itulah
pemerintah perlu membentuk badan independen untuk menyebarluaskan informasi
HIV/AIDS yang komprehensif agar masyarakat menangkap fakta bukan mitos.
Keberhasilan Thailand menannggulangi HIV/AIDS langkah pertama dari lima langkah
adalah disseminasi informasi HIV/AIDS melalui media dengan skala nasional
secara bersamaan (Integration of AIDS
into National Development Planning, The Case of Thailand, Thamarak Karnpisit, UNAIDS, Desember 2000).
Karena pemerintah
tidak bisa melakukan intervensi untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru, maka
pilihan lain adalah menyebarkan informasi HIV/AIDS yang komprehensif dengan
skala nasional dan simultan. Tanpa langkah-langkah konkret bisa jadi Indonesia
akan menjelma sebagai “Afrika Kedua”. * (Discalimer:
yang tepat adalah epidemi HIV karena yang menular HIV bukan AIDS, dipakai judul
AIDS agar cepat dipahami karena banyak orang yang lebih akrab dengan istilah
AIDS dari HIV).