15 Juli 2017

Penularan HIV dapat Dicegah


Tanggapan terhadap Berita di Harian “Suara Merdeka”, Semarang

Oleh: Syaiful W. Harahap
Direktur Eksekutif LSM “InfoKespro” Jakarta


Berita “Soal AIDS, Jangan Hanya Berpolemik” yang dimuat di Harian “Suara Merdeka” edisi 20 Oktober 2003 lagi-lagi menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

Misalnya, disebutkan “ …. bagaimana menghentikan pertumbuhan penyakit mematikan itu”. Semua penyakit mematikan. Bahkan, penderita demam berdarah dan muntaber hanya hitungan jam menjelang maut jika tidak ditangani secara medis. Sedangkan seseorang yang terinfeksi HIV baru mencapai masa AIDS antara 5-10 tahun.

Penularan HIV dapat dicegah dengan teknologi kedokteran yakni menghindarkan diri dari perilaku berisiko tinggi tertular HIV yaitu (1) tidak melakukan hubungan seks (heteroseks, seks oral, seks anal atau homoseks) tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah, (2) tidak melakukan hubungan seks (heteroseks, seks oral, seks anal atau homoseks) tanpa kondom dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan di dalam dan di luar nikah, (3) tidak menerima transfusi darah yang tidak diskrining, dan (4) tidak memakai jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran.

Angka 191 sebagai kasus HIV/AIDS di Semarang juga tidak dijelaskan karena angka yang dikeluarkan Depkes tanggal 2 Oktober 2003 di Jawa Tengah kasus HIV/AIDS tercatat 98. Apakah angka 191 hasil survailans tes HIV atau angka kasus HIV-positif dan AIDS yang dilaporkan?

Pernyataan “ ….penularan HIV/AIDS sebagian besar karena hubungan seks seperti oral, anal, ciuman dalam” tidak akurat karena data menunjukkan penularan utama HIV secara global justru melalui heteroseks (laki-laki ke perempuan atau sebaliknya). Ada pula disebutkan “….faktor keturunan ibu hamil penderita HIV/AIDS”. Ini pun tidak akurat karena HIV/AIDS bukan penyakit keturunan. HIV adalah penyakit menular seperti flu, hepatitis, dll. Seorang perempuan yang HIV-positif berisiko menularkan HIV kepada bayi yang dikandugnya ketika persalinan dan menyusui dengan ASI (air susu ibu).

Di bagian lain disebut pula “ ….langkah memerangi penyakit itu masih terganjal oleh sikap masyarakat sendiri. Masih ada stigma dan diskriminasi yang dilakukan masyarakat umum terhadap penderita HIV/AIDS.” Ini tidak objektif karena selama ini masyarakat dibodohi oleh orang-orang yang membicarakan HIV/AIDS yang membalut lidahnya dengan moral dan agama sehingga yang muncul adalah mitos.

Pernyataan Nurul Arifin tentang remaja pengguna narkoba pun sangat tidak fair karena tidak membandingkannya dengan pengguna narkoba di kalangan dewasa. Hal ini hanya memojokkan remaja. ***

Tak Ada Daerah Bebas HIV/AIDS

Salah Kaprah pada Survailans Tes HIV

Oleh: Syaiful W. Harahap
[Sumber:Harian BERNAS, Yogyakarta, Wacana, 29 November 2003]

"BELUM Dijumpai Kasus AIDS Di Bantul." Ini judul berita di Harian Bernas edisi 14 September 2003. Kesimpulan ini tidak berlaku umum untuk wilayah Kabupaten Bantul karena tidak semua penduduk dites. Yang dilakukan hanya survailans pada kalangan tertentu.

Melalui Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2003 masyarakat diajak agar tidak melakukan stigmatisasi (memberi cap buruk) dan diskriminasi (mengasingkan, mengucilkan, membeda_bedakan) terhadap orang_orang yang hidup dengan AIDS (Odha) karena akan memperburuk epidemi HIV/AIDS. Stigmatitasi dan diskriminasi pun merupakan perbuatan yang melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM). Dalam berita itu dikutip pernyataan pejabat setempat yang mengatakan "Sejauh pengamatan kami di Bantul sama sekali belum ditemukan atau dijumpai penyakit AIDS."

Kesimpulan ini sangat naif karena AIDS tidak bisa dilihat dengan mata telanjang karena tidak ada gejala_gejala klinis yang khas AIDS. Mungkin benar tidak ada kasus AIDS yaitu orang HIV_positif yang sudah mencapai masa AIDS yang ditandai dengan penyakit_penyakit infeksi oportunistik. Tapi, kalau bicara tentang infeksi HIV maka tidak bisa dipastikan apakah satu daerah, kota, wilayah atau negara "bebas HIV/AIDS" karena penularan HIV tidak bisa dibendung dengan batas administratif atau benteng.

***

SECARA nasional kasus kumulatif HIV/AIDS sampai 30 September 2003 sudah tercatat 3.924 sedangkan secara global sampai akhir 2001 kasus HIV/AIDS tercatat 41 juta. Kasus ini terdapat di semua negara. Beberapa tahun yang lalu ada beberapa provinsi yang tidak melaporkan kasus HIV/AIDS, tapi kenyataannya ada penduduk dari daerah itu yang HIV_positif di sebuah LSM yang menangani HIV/AIDS di Jakarta. Hal ini sangat wajar karena di daerah belum ada tes HIV dengan konseling dan kerahasiaan sehingga mereka memilih Jakarta. Lagi pula di Jakarta ada beberapa LSM yang mendukung Odha.

Pernyataan aparat Bantul itu bisa menjadi bumerang yang pada gilirannya menohok diri sendiri. Soalnya, penularan HIV tidak hanya bisa terjadi di Bantul tapi bisa dialami penduduk Bantul di luar Bantul karena seseorang berisiko tertular HIV jika yang bersangkutan melakukan kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV.

Ada pun kegiatan berisiko terhadap penularan HIV yaitu (1) melakukan hubungan seks (sanggama) penetrasi yang tidak aman (tidak memakai kondom) di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti_ ganti; (2) melakukan hubungan seks (sanggama) penetrasi yang tidak aman (tidak memakai kondom) di dalam dan di luar nikah dengan seseorang yang suka berganti_ganti pasangan, seperti pekerja seks; (3) menerima transfusi darah yang tidak diskrining, dan (4) memakai jarum suntik dan semprit secara bersama_sama dengan bergiliran dan bergantian.

Jadi, terkait dengan epidemi HIV yang menjadi kunci adalah "Apakah ada di antara penduduk yang melakukan perilaku berisiko?" Jika ada yang menjawaban "ya" maka penduduk tadi berisiko tertular HIV. Kalau yang bersangkutan tertular HIV dan hal itu tidak disadarinya karena tidak ada gejala klinis yang khas maka penduduk tadi menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal.

Jika dia sudah beristri maka kalau istrinya tertular akan terjadi pula penularan vertikal dari ibu ke bayi. Bagi yang belum beristri maka orang tersebut akan menularkannya kepada pasangan seksnya atau kepada pekerja seks.

***

SURVAILANS tes HIV terhadap pekerja seks, pramuria panti pijat, dll tidak banyak artinya bagi upaya memutus mata rantai penyebaran HIV karena yang mempunyai potensi besar untuk menyebarkan HIV justru penduduk yang tidak terjamah survailans, terutama pelanggan pekerja seks. Survailans sendiri hanyalah "alat" untuk memperoleh gambaran perbandingan antara yang HIV_negatif dan HIV_positif pada kalangan tertentu dan pada kurun waktu yang tertentu pula. Jadi, hasil survailans tes pada hari ini akan berbeda dengan hasil survailans besok. Begitu seterusnya.

Ada salah kaprah tentang survailans. Kalau ada pekerja seks yang terdeteksi melalui survailans maka ada anggapan persoalan sudah selesai karena, maaf, "biangnya" sudah diketahui. Anggapan ini salah besar karena yang menjadi persoalan justru penduduk yang menjadi pelanggan pekerja seks yang terdeteksi HIV_positif tadi. Kalau ada penduduk yang melakukan kegiatan berisiko dengan pekerja seks tadi maka sudah ada kemungkinan tertular. Biar pun tidak ada gejala klinis tapi penduduk tadi sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain, terutama melalui hubungan seksual yang tidak aman (tidak pakai kondom).

Yang bersangkutan memang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada gejala klinis yang khas. Jika pekerja seks yang terdeteksi HIV_positif tadi melayani dua laki_laki setiap malam sebelum terdeteksi maka setiap bulan ada 40 laki_laki yang melakukan kegiatan berisiko. Probabilitas (kemungkinan) tertular melalui hubungan seksual yang tidak aman memang kecil (di bawah satu persen), tapi karena sering dilakukan maka kemungkinan tertular pun besar pula. Monitoring PMS (penyakit_penyakit yang menular melalui hubungan seksual yang tidak aman, seperti GO, sifilis, dll) di Puskesmas dapat menjadi ajang pemantauan epidemi HIV. Dengan konseling yang benar penduduk yang terdeteksi tertular PMS dianjurkan untuk menjalani tes HIV sukarela dengan konseling. Yang perlu diingat adalah tes HIV dilakukan setelah yang bersangkutan memberikan informed consent (pernyataan kesediaan setelah ybs. benar_benar memahami HIV/AIDS) dan tes dilakukan secara anonim.

Di Malaysia perempuan hamil dianjurkan untuk menjalani tes HIV. Hal ini sangat bermanfaat karena kalau seorang perempuan terdeteksi HIV_positif maka penanganan medis bisa menekan penularan vertikal dari ibu ke bayi. Melalui cara ini dapat pula diketahui bahwa suami perempuan itu sudah tertular HIV.

Deteksi dini kasus infeksi HIV, misalnya melalui tes sukarela dengan konseling dan asas anonimitas, dapat memutus mata rantai penyebaran HIV karena melalui konseling yang komprehensif ybs dianjurkan agar tidak melakukan kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV. ***

Syaiful W Harahap, Direktur Eksekutif LSM InfoKespro (bergerak dalam bidang selisik media berita HIV/AIDS di media massa nasional.

URL: http://www.bernas.info/modules.php?name=News&file=article&sid=5437

Kesewenang-wenangan terhadap Perempuan

Tanggapan Berita “Patroli” di “INDOSIAR” 13 September 2003

Oleh Syaiful W. Harahap
LSM “InfoKespro” Jakarta

Cara-cara yang dilakukan Polisi Pamongpraja Kodya Surabaya dalam menangkap perempuan yang mereka sebut sebagai WTS (maaf, istilah ini sangat tidak bermoral karena Tuhan tidak memberikan hak kepada manusia untuk menentukan mereka tidak mempunyai susila). Yang sangat disayangkan berita yang disiarkan “INDOSIAR” sama sekali tidak objektif karena wartawan yang meliput kejadian itu sudah menempatkan diri sebagai polisi pamongpraja.

Ada beberapa hal yang membuat berita itu tidak objektif.

Pertama, tidak ada UU yang menetapkan perempuan yang berkeliaran di jalanan harus ditangkap. Kalau mengacu kepada perzinaan maka yang berhak menangkap adalah polisi sebagai penyidik sesuai dengan KUHAP. Hal itu pun kalau ada bukti, misalnya, tertangkap basah. Lagi pula, apakah perzinaan hanya di jalanan? Mengapa polisi pamongpraja dan polisi tidak merazia hotel-hotel berbintang? Dalam kaitan ini wartawan sudah membenarkan tindakan polisi pamongpraja menindas perempuan tanpa bukti.

Kedua, sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV setiap orang yang akan menjalani tes, baik sukarela maupun survailans, harus mendapat konseling (bimbingan) dan bersifat anonim. Setelah mendapat konseling baru mereka diminta menjalani tes dengan persetujuan (informed consent) lisan atau tertulis. Dalam berita itu tidak dipersoalkan apakah ada konseling, anomim dan informed consent.

Ketiga, ada dua perempuan yang menolak ditangkap tetapi tidak digubris polisi pamongpraja. Mengapa wartawan “INDOSIAR” tidak mengembangkannya? Soalnya, tidak ada bukti mereka berzina ketika itu.
Keempat, ada polisi pamongpraja yang tersenyum menatap pekerja seks yang ditangkap. Kalau saja wartawan “INDOSIAR” peka dan mata hatinya tidak buta tentulah polisi itu menjadi berita. Apakah dia lebih suci dari pekerja seks itu?

Kelima, apakah “INDOSIAR” tidak memiliki hati nurani? Untuk apa menyorot wajah perempuan yang ditangkap itu? Masya Allah. Sombong sekali.

Tanggapan ini kami buat semata-mata karena rasa kemanusiaan. Di saat ada perempuan yang terpuruk tapi wartawan “INDOSIAR” justru menohok mereka. Apa pun tanggapan Anda hanya Tuhan yang Maha Mengetahui apa yang ada di hati kita. ***

Tanggapan terhadap Berita di “TVRI”: Kerahasiaan Odha

Oleh Syaiful W. HarahapLSM “InfoKespro” Jakarta

Sebagai media yang menjangkau khalayak ramai alangkan sayangnya berita “TVRI” tentang HIV/AIDS di Padang yang disiarkan tanggal 13 September 2003 pada acara berita pukul 15.00.

Dalam berita itu disebutkan bahwa kerahasiaan Odha (Orang yang Hidup dengan HIV/AIDS) menjadi penghalang dalam penanggulangan HIV/AIDS. Pernyataan ini, walaupun, dikutip dari pejabat, akan lebih baik kalau dikonfirmasi dengan pihak lain agar berita tidak misleading (menyesatkan).

Walaupun identitas orang-orang yang HIV-positif dipublikasikan yang menjadi persoalan justru penduduk yang terinfeksi tapi tidak terdeteksi. Inilah sumber penyebaran HIV di Tanah Air. Seorang laki-laki yang terinfeksi dari seorang pekerja seks akan menyebarkan HIV secara horizontal kepada istrinya dan kepada pasangan seksnya yang lain. ***

Catatan: pernah dimuat di http://aidsmediawatch.blogspot.co.id/2009/08/tanggapan-terhadap-berita-di-tvri.html - 28 Agustus 2009

Perda AIDS Jateng: Calon Pengantin Perlu Tes Uji HIV/AIDS

Tanggapan terhadap berita HIV/AIDS di Harian “Suara Merdeka

Oleh: Syaiful W. Harahap
[Sumber: Newsletter ”InfoAIDS” edisi No. 7/Mei 2009]

Berita “Calon Pengantin Perlu Tes Uji HIV/AIDS” di Harian “Suara Merdeka” (16/4-2009) menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis. Dengan pengesahan Perda AIDS Jateng ini maka sampai saat ini sudah ada 22 Perda Penanggulangan AIDS di tingkat kabupaten, kota, dan provinsi di seluruh Indonesia. Tapi, semua perda itu hanya mengedepankan moral sebagai cara menanggulangi epidemi HIV sehingga tidak menawarkan upaya penanggulangan yang realistis.

Walaupun HIV/AIDS sudah dikenal sejak 28 tahun yang lalu, tapi pemahaman terhadap HIV/AIDS tetap saja tidak akurat. Ini tampak jelas dalam perda-perda penanggulangan AIDS yang tidak menyentuh akar persoalan pandemi HIV. Pembuatan perda AIDS di Indonesia ’diilhami’ oleh keberhasilan Thailand dalam menurunkan insiden infeksi HIV baru di kalangan dewasa melalui program ’wajib kondom 100 persen’.

Namun, perda hanya mengekor karena program ’wajib kondom 100 persen’ di Thailand merupakan urutan terakhir dari serangkaian program terpadu yang berkeseinambungan. Dimulai dari pendidikan masyarakat tentang cara-cara pencegahan HIV melalui media massa, pendidikan sebaya, sampai ke program tadi. Tapi, penanggulangan yang diterapkan di Indonesia hanya ekor dari program terpadu di Thailand.

Perilaku Berisiko

Maka, tidak mengherankan kalau kemudian perda-perda AIDS yang ada di negeri ini pun tidak jalan. Lihat saja Perda AIDS Prov. Riau yang menyebutkan HIV dapat dicegah melalui peningkatan ’iman dan taqwa’. Siapa dan bagaimana mengukur iman dan taqwa yang bisa mencegah penularan HIV? Lagi pula tidak ada kaitan langsung antara iman dan taqwa dengan penularan HIV. Selain itu hal ini pun akan menyuburkan stigma (cap buruk) dan diksriminasi (perlakukan berbeda) terhadap orang-orang yang tertular HIV karena menggiring pendapat bawah mereka tertular HIV karena tidak beriman dan tidak bertaqwa.

Pada Perda Penanggulangan HIV/AIDS Jateng, misalnya, pasal 10 ayat 6 menyebutkan tes HIV bagi calon pengantin atau pasangan yang berisiko tinggi yang akanmenikah. Cara ini dikatakan sebagai langkah pencegahan HIV/AIDS di Jateng.

Siapa, sih, yang disebut berisiko tinggi? Selama ini ada salah kaprah karena yang dikategorikan sebagai orang yang berisiko tinggi tertular HIV adalah kalangan atau kelompok yaitu pekerja seks komersial (PSK) dan pelanggannya, waria dan homoseksual serta orang-orang yang melakukan zina atau melacur. Risiko tertular atau menularkan HIV bukan pada kalangan atau kelompok tapi terletak pada perilaku seks orang per orang.

Mereka yang berisiko tinggi tertular HIV adalah laki-laki atau perempuan yang pernah atau sering: (a) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti di wilayah Jateng, di luar Jateng atau di luar negeri, (b) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan di wilayah Jateng, di luar Jateng atau di luar negeri, (c) memakai jarum suntik secara bergantian, (d) menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan (e) menerima transplantasi organ tubuh yang tidak diskrining HIV.

Dalam berita disebutkan pula bahwa anggota Pansus Raperda HIV/AIDS, Tontowi Jauhari, untuk mendorong masyarakat bersedia melakukan VCT, politikus PAN itu menyarankan gubernur memberi contoh dengan bersedia melakukan tes HIV. “Saya yakin hasilnya akan negative.” Ini menyesatkan karena tes HIV bisa menghasilkan positif palsu (darah tidak mengandung HIV tapi terdeteksi positif) atau negatif palsu (darah mengandung HIV tapi tidak terdeteksi). Apa yang akan terjadi jika tes HIV terhadap gubernur hasilnya positif (palsu)?

Masa Jendela

Dengan menyebutkan ’mendorong masyarakat untuk melakukan VCT’ mengesankan bahwa HIV menyebar di masyarakat. Ini menyesatkan karena HIV tidak menular melalui kegiatan sosial atau pergaulan sehari-hari. Lagi-lagi ini menunjukkan pemahaman yang tidak akurat. Yang harus menjalani tes HIV adalah orang-orang yang perilakunya berisiko tertular HIV. Maka, yang didorong melakukan tes HIV bukan masyarakat, kalangan atau kelompok tertentu tapi hanya orang-orang yang pernah melakukan perilaku berisiko tertular HIV.

Terkait dengan tes HIV perlu diperhatikan masa jendela yaitu rentang waktu antara tertular HIV dengan pembentukan antibodi HIV (lihat gambar). Tes HIV bukan mencari virus (HIV) dalam darah tapi antibbodi HIV. Maka, jika tes HIV dilakukan pada rentang waktu ini maka tes belum bisa mendeteksi antibodi. Hasilnya pun HIV negatif, tapi negatif palsu karena virus (HIV) sudah ada dalam darah tapi tidak terdeteksi.

Skirining HIV di PMI pun tidak akurat karena kalau ada donor yang menyumbangkan darahnya pada masa jendela maka skrining terhadap darah donor bisa menghasilkan negatif palsu. Salah satu langkah untuk mencegah donor menyumbangkan darah pada masa jendela adalah dengan pertanyaan: “Kapan Anda terakhir melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan?” Kalau jawabannya di bawah tiga bulan maka donor ini ditolak.

Celakanya, pertanyaan di PMI ketika hendak mendonorkan darah justru menyuburkan mitos yaitu “Kapan Anda terakhir ke luar negeri?” Tidak ada kaitan langsung antara ke luar negeri dengan penularan HIV karena orang-orang yang tertular HIV tidak hanya terjadi di luar negeri tapi juga banyak yang terjadi di dalam negeri. Selain itu kegiatan keagamaan ke luar negeri pun di PMI tidak diketegorikan sebagai ke luar negeri.

Karena HIV/AIDS sudah ada di masyarakat maka salah satu langkah konkret yang dapat dilakukan untuk menanggulangi epidemi HIV di Jateng khususnya dan di Indonesia dan dunia umumnya, termasuk dalam perda, adalah dengan mewajibkan setiap orang untuk memakai kondom pada hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, yang berisiko tertular HIV di Jateng, luar Jateng atau luar negeri. Selanjutnya diwajibkan pula kepada orang-orang yang sudah pernah atau sering melakukan hubungan seks berisiko untuk menjalani tes HIV secara sukarela.

Kian banyak kasus HIV yang terdeteksi maka semakin banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputuskan. * 

‘Gelombang Epidemi HIV’ vs Perda AIDS Bali

Oleh: Syaiful W. Harahap
[Pemerhati berita HIV/AIDS di media massa melalui LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta]

Sebuah harian di Denpasar mem-blow up berita seputar pelacuran terkait dengan epidemi HIV/AIDS di Pulau Dewata. Wagub Prov. Bali mengusulkan agar pelacuran dilokalisir. Muncul pro dan kontra. Diperkirakan akan ada ‘gelombang epidemi HIV/AIDS yang mengancam Pulau Bali’ terkait peningkatkan penularan HIV melalui hubungan seks. Yang menjadi persoalan bukan lokalisasi dan PSK, tapi penduduk (lokal) yang menjadi pelanggan PSK di Bali atau di luar Bali.

Selama HIV/AIDS dibenturkan dengan aspek norma, moral, dan agama maka selama itu pula penularan akan terjadi karena masyarakat tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat. HIV/AIDS adalah fakta medis (dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran) sehingga pencegahannya pun dapat dilakukan dengan teknologi kedokteran.

Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam darah, air mani, cairan vagina, dan air susu ibu (ASI). Mencegah penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, adalah dengan cara tidak melakukan hubungan seks (sanggama), di dalam atau di luar nikah, dengan orang yang sudah tertular HIV. Persoalannya adalah orang yang sudah tertular HIV tidak bisa dikenal dari fisiknya. Maka, sanggama yang aman dengan orang yang tidak diketahui status HIV-nya adalah dengan menghindarkan pergesekan langsung antara penis dan vagina. Penularan HIV terjadi melalui luka-luka mikroskopis di penis dan vagina pada saat sanggama dengan seseorang yang HIV-positif.

Karena selama ini materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral, dan agama maka yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Akibatnya, masyarakat tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat. Penularan HIV dikait-kaitkan dengan zina, pelacuran, ‘seks bebas’, ‘jajan’, selingkuh, seks pranikah, waria, seks menyimpang, dan homoseksual. Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah (bisa) terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan dengan zina, pelacuran, ‘seks bebas’, ‘jajan’, selingkuh, seks pranikah, waria, seks menyimpang, dan homoseksual.

Menurut Koordinator Kelompok Kerja Perencanaan, Monitoring, dan Evaluasi KPAD Prov. Bali, Dewa N. Wirawan, terjadi peningkatan kasus penularan HIV melalui hubungan seksual (KOMPAS, 12/10-2007). Yang dikhawatirkan ada asusmi hal itu terjadi karena pelacuran di Bali yang akhirnya memicu ‘debat kusir’ pro dan kontra lokalisasi pelacuran.
Praktek Pelacuran

Boleh-boleh saja ada asumsi seperti itu. Tapi, ingat ada kemungkinan PSK yang beroperasi di Bali justru tertular HIV di Bali. Mereka bisa saja ditulari penduduk asli (lokal) atau wisatawan. Kalau ini yang terjadi maka di masyarakat lokal sudah ada penduduk yang tertular HIV tapi tidak terdeteksi. Bisa juga terjadi PSK yang beroperasi di Bali sudah tertular HIV sebelum ke Bali. Kalau ini yang terjadi maka penduduk Bali yang melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan PSK berisiko tinggi tertular HIV.

Hal di atas bisa terjadi karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV. Penularan HIV pun terjadi tanpa disadari. Yang menjadi mata rantai penularan HIV bukan PSK tapi laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK. Dalam kehidupan sehari-hari mereka itu bisa sebagai seorang suami, pacar, lajang, remaja, atau duda yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, pelajar, mahasiswa, sopir, petani, nelayan, pencopet, perampok, dll.

Tidak ada kaitan langsung antara (lokalisasi) pelacuran dengan penularan HIV. Yang menjadi persoalan adalah ‘praktek pelacuran’ yaitu hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti di semua tempat karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif.

Di Arab Saudi tidak ada industri hiburan malam dan tidak pula ada lokalisasi pelacuran tetap saja ada kasus HIV/AIDS. Sampai awal tahun ini sudah dilaporkan lebih dari 10.000 kasus HIV/AIDS. Hal itu bisa terjadi karena penduduk Arab Saudi melakukan hubungan seks berisiko, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti di luar negaranya. Sebaliknya, di negara-negara yang ada lokalisasi pelacuran kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa justru mulai menunjukkan grafik yang mendatar karena penduduknya sudah menerapkan cara-cara pencegahan yang realistis yaitu menghindari hubungan seks berisiko.

Membuat lokalisasi di tengah kota, seperti dianjurkan anggota DPRD Bali, agar pelanggan malu tidak relevan karena bisa saja orang Bali melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, yang berisiko (tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK) di luar Bali atau di luar negeri. Jika dia tertular HIV (ini terjadi tanpa disadarinya) maka dia akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk (juga tanpa disadari).

Melokalisir PSK (membuat lokalisasi pelacuran) erat kaitannya dengan (kesehatan) masyarakat. Kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa ada laki-laki penduduk lokal yang pernah atau sering melakukan hubungan seks dengan PSK. Ini fakta. Dengan mengontrol (kesehatan) PSK maka masyarakat dapat diselamatkan dari kemungkinan tertular penyakit. Secara rutin kesehatan PSK diperiksa dan mereka dididik agar bisa menolak laki-laki yang tidak mau memakai kondom.

Sebuah yayasan di Denpasar yang menjalankan VCT (tes sukarela dengan konseling) terhadap PSK menemukan fakta yang mencengangkan. Sejak Januari sampai bulan ini dari sekitar 700 PSK yang sudah dites terdeteksi 90 PSK yang HIV+. Tujuh PSK sedang hamil ketika dites. Sekitar 30 sudah ada indikasi untuk mulai memakai ARV (ini menunjukkan 30 PSK sudah mencapai masa AIDS). Dari 90 PSK yang HIV-positif itu tentulah ada yang ditulari oleh penduduk lokal atau mereka sudah HIV-positif ketika tiba di Bali.


Memupus Mitos

Berdasarkan fakta di atas yang menjadi persoalan bukan PSK tapi penduduk (lokal) karena pelanggan PSK tentulah kebanyakan penduduk lokal. PSK yang terdeteksi HIV-positif minimal mereka sudah tertular tiga bulan sebelum tes. Sedangkan yang sudah terdeteksi pada masa AIDS mereka sudah tertular antara 5 sampai 10 tahun sebelumnya. Bayangkan pada rentang waktu itu sudah berapa laki-laki yang melakukan hubungan seks dengan mereka. Katakanlah dalam tiba bulan mereka ‘praktek’ 75 hari. Jika satu malam ada 2 tamu maka sebelum mereka terdeteksi sudah 4.500 (90 x 25 x 2) laki-laki yang berisiko tertular HIV. Nah, laki-laki yang 4.500 inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk. Yang beristri akan menulari istirnya atau perempuan lain atau PSK lain. Yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada pacarnya, pasangannya, atau PSK.

Ketika di banyak negara kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa mulai menunjukkan grafik yang mendatar (hal ini terjadi karena penduduk sudah menerapkan cara-cara pencegahan yang akurat, al. dengan memakai kondom pada sanggama dengan pasangan yang berganti-ganti) kita malah bertengkar soal pelacuran dan kondom. Pertambahan kasus baru infeksi HIV di Indonesia merupakan yang tercepat ketiga di Asia setelah Cina dan India.

Salah satu berita di sebuah harian di Depasar menyebutkan ‘PSK perlu surat bebas HIV/AIDS’. Ini lagi-lagi menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS. Misalnya, tanggal 15 Oktober 2007 pukul 08.00 semua PSK di Bali menjalani tes HIV. Andaikan 100 persen negatif. Tapi, tunggu dulu. Ada kemungkinan di antara PSK pada masa jendela (tertular HIV di bawah tiga bulan) ketika dites sehingga hasilnya negative palsu karena mereka sebenarnya sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi.

Baiklah. Tes HIV dilakukan dengan PCR yang sangat akurat. Diperoleh angka 100 persen negatif. Tapi, lagi-lagi ingat. Tes bukan vaksin. Sesaat setelah dites bisa saja mereka melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan pelanggan. Kalau pelanggan HIV-positif maka mereka pun berisiko tertular HIV. Maka, surat bebas HIV/AIDS tidak ada manfaatnya karena setiap saat setiap orang yang perilaku seksnya berisiko bisa tertular HIV. Lalau, apakah Pemprov Bali akan mengetes setiap PSK setiap saat?

Maka, yang perlu dilakukan adalah memupus mitos AIDS dengan cara mengedepankan fakta (medis) tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS dan menganjurkan penduduk yang perilakunya berisiko untuk menjalani tes HIV secara sukarela. Mata rantai penyebaran HIV akan diputus mulai dari penduduk yang terdeteksi HIV-positif. ***

Catatan: artikel ini pernah dimuat di http://aidsmediawatch.blogspot.co.id/2017/06/gelombang-epidemi-hiv-vs-perda-aids-bali.html

14 Juli 2017

Diskriminasi terhadap Pengidap HIV

Oleh: Syaiful W Harahap
[Sumber: Harian “Pontianak Post”, 2 Desember 2003]

Dengan 472 kasus HIV/AIDS (282 HIV positif dan 190 AIDS), Jawa Timur berada pada peringkat tiga nasional. Angka ini tidak menggambarkan jumlah kasusyang sebenarnya. Perlakuan buruk terhadap Odha (orang yang hidup denganAIDS) menyulitkan penanggulangan epidemi HIV/AIDS.

Melalui Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2003 -hari ini- masyarakat diajak agartidak melakukan stigmatisasi (memberi cap buruk) dan diskriminasi(mengasingkan, mengucilkan, membeda-bedakan) terhadap orang-orang yang hidupdengan AIDS (Odha) karena akan memperburuk epidemi HIV/AIDS. Stigmatitasidan diskriminasi pun merupakan perbuatan melawan hukum dan melanggar hakasasi manusia (HAM).

Selama ini di Surabaya sering dilakukan razia untuk menangkap pekerja seks.Yang tertangkap diambil darahnya untuk tes HIV tanpa melalui standarprosedur tes HIV yang baku (konseling sebelum dan sesudah tes, pernyataankesediaan, asas anonimitas, dan konfidensialitas). Hal ini dilakukanseakan-akan sebagai cara menanggulangi epidemi HIV/AIDS karena pekerja seksyang terdeteksi HIV positif akan ‘diawasi’.

Perlakuan itu membuat Odha mengalami stigmatisasi dan diskriminasi sehinggaada kemungkinan orang-orang yang terinfeksi HIV ‘menyembunyikan’ diri dimasyarakat. Padahal, penanganan pasca tes HIV sangat penting untuk mendorongorang tersebut agar tidak berperilaku berisiko.

Perilaku Berisiko

Mengawasi pekerja seks yang terdeteksi HIV positif tidak banyak manfaatnya.Yang lebih ‘berbahaya’ justru laki-laki yang melakukan hubungan seksualtidak aman dengan pekerja seks. Mereka berisiko tinggi tertular HIV. Jikaada laki-laki yang tertular HIV, dia akan menjadi mata rantai penyebaran HIVke masyarakat. Dia akan menulari istrinya (horizontal). Jika istrinyatertular, ada pula risiko penularan dari-ibu-ke-bayi (vertikal), terutamapada saat persalinan dan menyusui dengan ASI. Kasus HIV/AIDS yang dilaporkandi Surabaya umumnya terdeteksi di kalangan pekerja seks.

Jadi, ada risiko tertular HIV melalui hubungan seks yang tidak aman (tidakmemakai kondom) dengan pekerja seks. Celakanya, banyak orang yang tidakmenyadari dirinya tertular HIV karena tidak ada keluhan yang khas. Tidak adapula gejala-gejala klinis yang khas HIV/AIDS. Gejala baru muncul jika sudahmencapai masa AIDS (5-10 tahun). Tapi, perlu diingat bahwa biarpun belummencapai masa AIDS, seseorang yang HIV positif sudah dapat menularkan HIVmelalui cara-cara yang sangat spesifik.

Sebagai virus, HIV hanya dapat menular melalui (1) hubungan seks yang tidakaman (tak memakai kondom) dengan pasangannya di dalam dan di luar nikah, (2)transfusi darah, (3) jarum suntik, dan (4) dari ibu yang HIV positif ke bayiyang dikandungnya pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI.Karena tidak ada gejala-gejala klinis yang terkait dengan HIV/AIDS, yangdiperlukan ialah kesadaran setiap orang untuk menimbang-nimbang: Apakahdirinya berperilaku berisiko tinggi tertular HIV atau tidak. Jika jawabannya”ya”, orang tersebut berisiko tertular HIV.

Perilaku berisiko tinggi tertular HIV adalah (1) melakukan hubungan seks(sanggama) yang tidak aman (tidak memakai kondom) di dalam dan di luar nikahdengan pasangan yang berganti-ganti, (2) melakukan hubungan seks (sanggama)yang tidak aman (tidak memakai kondom) di dalam dan di luar nikah denganseseorang yang suka berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, (3)menerima transfusi darah yang tidak diskrining, dan (4) memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.Materi KIE.

Setiap orang dapat melindungi diri sendiri dengan aktif agar tidak tertularHIV, yaitu dengan menghindari perilaku berisiko. Tapi, hal itu tidak mudahkarena selama ini informasi tentang HIV/AIDS tidak akurat. Materi KIE(komunikasi, informasi, edukasi) selalu dibalut dengan moral dan agamasehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Misalnya, disebutkan HIV menular melalui zina, seks di luar nikah, ‘seks bebas’ (istilah ini rancu), seks menyimpang, pelacuran, dll.

Padahal, tidak ada hubungan langsung antara penularan HIV dengan zina, seks di luar nikah, seks menyimpang, atau pelacuran. HIV menular melalui hubungan seksual yang tidak aman jika salah satu dari pasangan itu HIV positif di dalam dan di luar nikah.

Informasi yang menyesatkan itulah kemudian yang membuat masyarakat tidak waspada. Banyak yang merasa tidak akan tertular HIV karena mereka melakukan hubungan seks di luar lokalisasi. Ada pula yang merasa aman karena kencan dengan ‘anak sekolah’.

Kalau hubungan seksual yang tidak aman dilakukan dengan pasangan yangberganti-ganti, baik ‘anak sekolah’, ‘orang baik-baik’, dll, tetap berisikotertular HIV. Soalnya, bisa saja di antara teman kencan tersebut ada yangHIV positif.

Ketika epidemi HIV sudah menjadi ancaman yang nyata terhadap kesehatanmasyarakat, langkah yang perlu ditempuh adalah menggencarkan penyuluhan dengan materi KIE yang akurat. Salah satu informasi yang perlu disampaikan kepada masyarakat adalah perilaku-perilaku berisiko tinggi tertular HIV. Selain itu, ada anjuran agar orang-orang yang pernah berperilaku berisiko tinggi mau menjalani tes HIV sukarela sesuai standar prosedur operasi tes HIV yang baku. Dengan mengetahui status HIV lebih dini sebelum mencapai masa AIDS, orang tersebut dapat diajak kompromi agar tidak menulari orang lain.

Selain itu, yang bersangkutan mendapat perawatan medis. Misalnya, pemberian obat antiretroviral (obat yang dapat menahan laju perkembangan HIV di dalam darah) sehingga kondisi kesehatan sampai ke masa AIDS tetap baik.

(Syaiful W. Harahap, direktur Eksekutif LSM “InfoKespro” Jakarta yang bergerak dalam bidang selisik media/media watch berita HIV/AIDS).

Menekan Laju Penyebaran HIV di Banten

Oleh: Syaiful W. Harahap
(Pemerhati HIV/AIDS melalui LSM (media watch) “InfoKespro”, Jakarta dan instruktur
pada pelatihan wartawan untuk penulisan berita HIV/AIDS yang komprehensif.)

Awal tahun 1990-an Thailand sudah diingatkan oleh kalangan epidemiolog untuk menanggulangi epidemic HIV agar kelak tidak menjadi masalah. Thailand menampik dengan alasan penduduk negeri itu berbudaya dan beragama. Apa yang terjadi sepuluh tahun kemudian? Devisa dari sektor pariwisata hanya bisa menutupui dua pertiga biaya penanggulangan HIV/AIDS. Hal yang sama akan terjadi Indonesia.

Kasus HIV/AIDS di Thailand terus meroket sampai awal tahun 2000-an jumlahnya mencapai 1 juta. Untunglah kalangan agamawan, dalam hal ini vihara, menjadi tulang punggung pemerintah menangani kasus HIV/AIDS. Vihara menampung orang-orang yang sudah mencapai masa AIDS.

Indonesia sebduru menjadi negara ketiga tercepat pertambahan kasus HIV/AIDS di Asia setelah India dan Cina. Tahun 2001 Dr Peter Piot, waktu itu direktur eksekutif UNAIDS, sudah mengingatkan Indonesia di ICAAP VI, Melbourne, Australia, tentang percepatan kasus HIV/AIDS, terutama di kalangan pengguna narkoba.

Peringatan itu tidak ditanggapi pemerintah. Sekarang lebih dari 40 persen kasus AIDS di Indonesia terdeteksi di kalangan pengguna narkoba. Berbagai kalangan mulai panik menghadapi pertambahan kasus HIV/AIDS yang terus meningkat yang dapat disimak dari berita di media massa.

Pada priode Maret-Agustus 2008 ada 13 berita HIV/AIDS di harian ”Radar Banten”. Luar biasa. Ini merupakan tanggung jawab sosial. ”Radar Banten” sudah menempatkan diri sebagai agen perubahan, di sisi lain pernyataan narasumber tidak akurat. Kemampuan wartawan untuk menulis berita HIV/AIDS yang komprehensif pun masih rendah.

Mata Rantai

Pada berita ”Lakukan Tes Darah Secara Intens, Antisipasi Penyabaran HIV/AIDS” (31/3) ada fakta yang luput. Kasus HIV/AIDS pada pekerja seks dan karyawan tempat-tempat hiburan justru merupakan gambaran ril kasus HIV/AIDS di masyarakat lokal. 

Pertama, pekerja seks yang terdeteksi HIV-positif di Banten tertular HIV dari laki-laki penduduk lokal atau pendatang. Kalau ini yang terjadi maka konsentrasi HIV di masyarakat, terutama laki-laki dewasa yang sering melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan pekerja seks, sudah tinggi. Laki-laki yang menularkan HIV kepada pekerja seks itulah yang justru menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk. Laki-laki ini dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai suami, pacar, duda, lajang, perjaka, remaja yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, sopir, pedagang, petani, nelayan, mahasiswa, pelajar, perampok, dll.

Kedua, pekerja seks yang terdeteksi HIV-positif di Banten sudah mengidap HIV ketika mulai ’praktek’ di Banten. Kalau ini yang terjadi maka laki-laki penduduk lokal atau pendatang berisiko tinggi tertular HIV jika mereka tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seks dengan pekerja seks. Laki-laki yang tertular HIV dari pekerja seks itulah kelak yang akan menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk.

Penularan HIV bisa terjadi setiap saat ketika terjadi hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks. Biar pun tes HIV dilakukan setiap hari risiko penularan tetap tidak bisa dicegah. Tes yang ada sekarang yaitu rapid test dan ELISA hanya mencari antibody HIV bukan virus HIV. Antibody HIV baru bisa terdeteksi pada darah seseorang yang tertular HIV setelah tiga bulan tertular.

Pada rentang waktu sebelum terdeteksi HIV-positif (disebut masa jendela) sudah terjadi penularan tanpa disadari. Hal ini terjadi karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5-10 tahun).

Jika sudah masa AIDS akan mulai muncul penyakit yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare, pnemonia, sariawan, TB, dll. Karena penyakit yang seharusnya mudah sembuh ini tapi sangat sulit sembuh pada Odha (Orang dengah HIV/AIDS) maka mereka akan berobat ke rumah sakit. Dokter yang jeli akan melihat kaitan gejala itu dengan HIV/AIDS berdasarkan prilaku pasien. Di hari-hari mendatang kasus HIV/AIDS akan terus terdeteksi di rumah sakit. Fakta ini tidak terungkap pada berita ”RSUD Kembali Temukan Penderita HIV/AIDS” (24/7).

Realitas di balik fakta kematian Odha juga sering tidak muncul. Berita ”Sudah 27 Orang Penderita yang Meninggal Dunia, Fenomena Penyebaran Virus AIDS/HIV di Banten” (20/4) tidak muncul realitas terkait kematian Odha. Begitu pula pada berita ”33 Warga Meninggal Terjangkit AIDS, 63 Dinyatakan Positif HIV” (28/6). Sebelum 27 dan 33 Odha itu meninggal tanpa disadari mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain. Ini mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Bagi yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya, pasangan seksnya atau pekerja seks. Kalau istrinya tertular maka ada risiko penularan terhadap anak yang dikandungnya (vertikal) terutama pada saat melahirkan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).

Realitas sosial terkait epidemi HIV juga tidak muncul pada berita ”76 Kantung Positif HIV/AIDS” (26/4). Celakanya, pernyataan Arif Mulyawan, Program Officer KPAP Banten, juga tidak akurat. Dalam berita dia mengatakan tidak mengetahui indentitas pendonor yang darahnya HIV-positif karena dia tidak tahu asal donor. Ini ngawur. Di Unit-unit Transfusi Darah (UTD) PMI berlaku unliked anonymouskarena yang diskrining bukan donor tapi darah donor. Tidak ada identitas pada darah donor yang diskrining HIV.

Tes Konfirmasi

Fakta ini menujukkan di masyarakat umum, di luar kalangan pekerja seks, waria, dan karyawan tempat hiburan, sudah ada kasus HIV/AIDS. Mereka tidak terdeteksi. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV karena mereka tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV.

Persoalan lain yang sering tidak akurat adalah tentang angka HIV/AIDS. Ada kasus HIV yang terdeteksi dari survailans tes untuk mencari prevalensi (angka perbandingan antara yang HIV-positif dan HIV-negatif pada kalangan tertentu dan pada kurun waktu yang tertentu pula). Ada kasus HIV yang terdeteksi pada skrining darah donor di UTD PMI. Kasus-kasus ini belum positif sebagai HIV karena ada ketentuan setiap tes HIV harus dikonfirmasi dengan tes lain. Hasil tes ini tidak perlu dikonfirmasi karena data itu hanya untuk keperluan epidemiologi, seperti merancang kegiatan penanggulangan, penyediaan obat, dll. Tes di PMI pun tidak dikonfirmasi karena hanya untuk keperluan transfusi.

Angka kasus HIV dan AIDS yang valid adalah tes HIV yang sudah dikonfirmasi. Misalnya, tes pertama dengan rapid test atau ELISAdikonfiramsi dengan tes Western blot. Bisa juga tes dilakukan tiga kali dengan ELISA tapi dengan cara dan reagen yang berbeda. Ini dilakukan jika sudah ada gejala terkait AIDS atau riwayat perilaku yang bersangkutan berisiko tertular HIV. Wartawan sering tidak jeli tentang angka ini. Narasumber pun tidak pula semuanya paham.

Ketika di banyak negara kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa mulai menunjukkan grafik yang mendatar di Indonesia justru sebaliknya. Kasus HIV/AIDS terus muncul. Komentar pun muncul. Ada berita ”Penyebaran HIV/AIDS Harus Ditekan” (5/8). Tapi, Hezi F Zebua, Ketua Komisi B DPRD Lebak, sebagai narasumber justru menyampiakan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. 

Hezi mengatakan: ”…. peningkatan jumlah penyakit ini, sebagian besar akibat seks bebas ….” Ini tidak akurat karna tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan seks bebas dan narkoba. Penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, bisa terjadi kalau salah satu dari pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap sanggama.

Salah satu faktor yang membuat epidemi HIV/AIDS menjadi persoalan besar adalah karena selama ini materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV selalu dibalut dengan norma, moral, dan agama. Akibatnya, yang muncul hanya mitos. Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis sehingga pencegahannya pun dapat dilakukan dengan teknologi kedokteran.

Upaya menekan laju penyebaran HIV melalui hubungan seks adalah dengan menganjurkan agar laki-laki yang melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan selalu memakai kondom. Sedangkan melalui jaum suntik pada pengguna narkoba dilakukan dengan program metadhon yaitu mengganti narkoba suntikan dengan narkoba cair sintetis yang ditelan.

Laki-laki dan perempuan yang pernah melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan agar menjalani tes HIV.

Semakin banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus. ***

Catatan: artikel ini pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/07/13/menekan-laju-penyebaran-hiv-di-banten/

Menelurkan Perda AIDS yang Efekftif

Oleh: Syaiful W. Harahap
(Pemerhati HIV/AIDS melalui LSM (media watch) “InfoKespro”, Jakarta)

Bulan Agustus 2008 ada tiga berita tentang HIV/AIDS di sebuah harian yang terbit di Pontianak, yaitu (1) Laju AIDS Diatur Perda (12/8), (2) HIV/AIDS, Kalbar Urutan Tiga Nasional (14/8), dan (3) HIV/AIDS, Kalbar Bisa No. 1 (15/8). Pernyataan yang muncul di tiga berita ini menunjukkan pemahaman yang tidak komprehensif terhadap HIV/AIDS di banyak kalangan sehingga upaya penanggulangan pun tidak menyentuh akar persoalan.

PRD Kalbar menggagas Perda Penanggulangan HIV/AIDS. Sudah banyak kabupaten, kota, dan provinsi yang menelurkan Perda Penanggulangan HIV/AIDS tapi hasilnya nol besar.
Mengapa Perda-perda AIDS tidak bisa bekerja? Ide pembuatan perda bertolak dari cerita sukses Thailand menekan laju infeksi HIV baru di kalangan dewasa melalui ’Program Wajib Kondom 100 Persen’. Perda pertama dihasilkan Pemkab Merauke, Papua (2003) yang disusul beberapa kabupaten, kota dan provinsi di seluruh Indonesia. Program ini jelas tidak bisa diterapkan di Indonesia karena: (a) di Indonesia tidak ada lokaliasi pelacuran dan rumah bordir yang ’resmi’, dan (b) sosialisasi kondom sebagai alat untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seks tidak diterima banyak kalangan.

Selain itu perda-perda yang dihasilkan di Indonesia tidak melihat program penanggulangan AIDS di Thailand secara utuh. ’Program Wajib Kondom 100 Persen’ itu bagian terakhir dari serangkaian program yang dijalankan Thailand dalam menanggulangi HIV/AIDS.

Fakta Medis

Akibanya, perda-perda penanggulangan AIDS yang diterbitkan di Indonesia tidak menyentuh akar persoalan utama dalam epidemi HIV. Semua perda mengedepankan norma, moral, dan agama sebagai ’alat’ untuk menanggulangi epidemi HIV. Perda AIDS Prov Riau, misalnya, menyebutkan cara mencegah penularan HIV adalah dengan meningkatkan iman dan taqwa.

Bagaimana mengukur iman dan taqwa yang bisa mencegah HIV? Cara ini tidak akan berhasil karena tidak ada kaitan langsung antara norma, moral, dan agama dengan penularan HIV.

HIV/AIDS adalah fakta medis yaitu bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga pencegahannya pun dapat dilakukan secara medis. HIV adalah virus yang tergolong retrovirus yaitu virus yang bisa menggandakan diri di dalam sel-sel darah putih manusia.  Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam (a) cairan darah (laki-laki dan perempuan), (b) air mani (laki-laki, dalam sperma tidak ada HIV), (c) cairan vagina (perempuan), dan (d) air susu ibu/ASI (perempuan).

Penularan HIV melalui darah bisa terjadi kalau darah yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan dan cangkok organ tubuh.

Penularan HIV melalui air mani dan cairan vagina bisa terjadi jika air mani dan cairan vagina yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah. Maka, tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan ’hubungan bebas di luar nikah’ dan ’seks bebas’. Penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi karena kondisi hubungan seks(salah satu atau kedua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom) bukan karena sifat hubungan seks (sebelum menikah, di luar nikah, jajan, seks bebas, dll.).

Penularan HIV melalui ASI bisa terjadi kalau ASI yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui proses menyusui.

Jika perda dibuat untuk menanggulangi penyebaran HIV maka yang diatur adalah pencegahan melalui cara-cara di atas. Tapi, yang diatur dalam perda-perda AIDS yang sudah ada justru sama sekali tidak menyentuh cara-cara penularan. Tentu saja perda itu tidak bisa bekerja dan laju penyebaran HIV terus terjadi.

Salah satu yang diatur dalam perda adalah larangan menularkan HIV kepada orang lain. Ini naif karena fakta menunjukkan penularan HIV justru terjadi tanpa disadari karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum mencapai masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tertular HIV).

Ada salah kaprah tentang epidemi terkonsentrasi. Karena survailans tes HIV hanya dilakukan di kalangan pekerja seks tentu saja hasilnya tinggi  karena tidak ada pembanding, misalnya, laki-laki pelanggan pekerja seks. Celakanya, konsentrasi HIV yang tinggi di kalangan pekerja seks tidak disikapi dengan arif.

Fakta itu dapat disimak dari dua aspek. 

Pertama, pekerja seks yang terdeteksi HIV-positif di Kalbar tertular HIV dari laki-laki sebagai penduduk lokal atau pendatang. Kalau ini yang terjadi maka konsentrasi HIV di masyarakat, terutama laki-laki dewasa yang sering melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan pekerja seks dan istrinya, juga tinggi. Laki-laki yang menularkan HIV kepada pekerja seks itulah yang justru menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk. Laki-laki ini dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai suami, pacar, duda, lajang, perjaka, remaja yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, sopir, pedagang, petani, nelayan, mahasiswa, pelajar, perampok, dll.

Perilaku Berisiko
    
Kedua, pekerja seks yang terdeteksi HIV-positif sudah mengidap HIV ketika mulai ’praktek’ di Kalbar. Kalau ini yang terjadi maka laki-laki penduduk lokal atau pendatang berisiko tinggi tertular HIV jika mereka tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seks dengan pekerja seks. Laki-laki yang kelak tertular HIV dari pekerja seks akan menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk.

Jika perda dibuat untuk menahan laju penyebaran HIV maka yang perlu diatur adalah perilaku yang berisiko tinggi tertular HIV dan menyebarakan HIV antar penduduk. Sayang, pada semua perda yang sudah ada tidak ada pasal yang mengatur hal ini.

Perilaku berisiko tertular HIV adalah (a) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, dan (b) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.

 Perilaku inilah yang perlu diatur agar penyebaran HIV bisa ditekan. Dalam perda harus ada pasal yang mengatur hal ini yang berbunyi: “Setiap orang yang melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering bergangi-ganti pasangan diwajibkan memakai kondom.” Selanjutnya disebutkan pula: “Setiap orang yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering bergangi-ganti pasangan diwajibkan melakukan tes HIV.”

Sedangkan menekan laju penyebaran HIV melalui jarum suntik pada pemakai narkoba dapat dilakukan dengan program pertukaran jarum suntik dan penggantian narkoba suntik dengan narkoba sintetis, dikenal sebagai metadhon. Perda melarang pengguna narkoba dengan jarum suntik memakai jarum secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian. Mereka diwajibkan memakai jarum yang steril. Bisa pula mereka diarahkan untuk mengganti narkoba suntikan dengan metadhon sehingga mereka tidak lagi memakai jarum suntik.

Menekan penularan HIV secara vertikal dari seorang ibu yang HIV-positif kepada bayi yang dikandungnya dapat dilakukan dengan survailans tes HIV terhadap perempuan hamil. Untuk itu perda mengatur agar perempuan yang hamil menjalani tes HIV secara sukarela. Jika mereka terdeteksi HIV-positif maka dapat ditangani secara medis sehingga risiko penularan diturukan dari 30 persen menjadi 8 persen. Cara ini sudah lama dilakukan oleh Malaysia sehingga menurukan angka bayi yang tertular HIV.

Kepanikan di banyak kalangan juga terjadi karena kasus HIV/AIDS kian banyak. Kalau saja fakta ini disikapi dengan arif maka penemuan kasus terjadi karena kegiatan survailans dan tes. Selain itu kasus pun kian banyak terdeteksi pada penduduk yang sudah mencapai masa AIDS ketika berobat karena mereka sudah menderita berbagai penyakit.

Semakin banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus. ***

Catatan: artikel ini pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/07/13/menelurkan-perda-aids-yang-efekftif/

Mengukur Peran Perda Penanggulangan AIDS

Oleh: Syaiful W Harahap
[Sumber: Harian “Pos Kupang”, 21 Agustus 2008]

SAMPAI Juni 2008 kasus HIV/AIDS di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dilaporkan 378 kasus, 103 orang di antaranya telah meninggal dunia. Angka ini hanya bagian kecil dari kasus yang sebenarnya di masyarakat. Pemprov NTT menelurkan Perda No. 3/2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS. Apakah perda ini efektif menanggulangi epidemi HIV di NTT?

Kasus AIDS yang terdeteksi pada seorang wisatawan Belanda yang meninggal di Bali (1987) dijadikan pemerintah sebagai kasus pertama di Indonesia. Padahal, jauh sebelumnya ada kasus AIDS di Jakarta tapi pemerintah menyebutnya sebagai ARC (AIDS related complex). Selain itu tahun 1988 ada seorang penduduk Indonesia asli yang juga meninggal di Bali dengan indikasi terkait AIDS.

Penetapan kasus pertama ini mengadung mitos (anggapan yang salah) terhadap HIV/AIDS. Soalnya, sejak kasus AIDS dipublikasikan, bahkan sampai sekarang, ada anggapan bahwa HIV/AIDS penyakit orang bule. Kemudian AIDS terjadi pada kalangan homoseksual. Dua mitos inilah antara lain yang membuat banyak orang terlena sehingga kasus HIV/AIDS terus bertambah di negeri ini.

Aturan Normatif

Soalnya, banyak orang merasa dirinya bukan bule dan tidak pula gay. Akibatnya, banyak orang yang merasa aman melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK). Perilaku berisiko inilah yang memicu penyebaran HIV di Indonesia. Maka, tidak mengherankan kalau laju epidemi kasus HIV/AIDS di Indoensia tercepat di Asia.

Dalam perda di pasal 4 ayat 1 memang disebutkan salah satu upaya pencegahan melalui kegiatan promosi yang meliputi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi). Persoalannya, adalah: Apakah materi KIE itu benar-benar berisi fakta medis tentang HIV/AIDS? Soalnya, selama ini materi KIE banyak yang hanya mengandung mitos karena dibalut dengan norma, moral, dan agama.

Pada pasal 4 ayat 1 disebutkan “… dalam rangka menumbuhkan sikap dan perilaku hidup bersih dan sehat.” Ini sangat normatif. Apa ukuran ‘sikap dan perilaku hidup bersih dan sehat’ yang bisa mencegah HIV? Selain itu hal ini pun mendorong stigmatisasi (pemberian cap buruk) dan diskriminasi terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) karena ada kesan Odha tertular HIV karena tidak bersikap dan berperilaku hidup bersih dan sehat.

Dari aspek medis tidak ada kaitan langsung antara ‘sikap dan perilaku hidup bersih dan sehat’ dengan penularan HIV. Sebagai virus dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam cairan darah (laki-laki dan perempuan), air mani (laki-laki, dalam sperma tidak ada HIV), cairan vagina (perempuan), dan air susu ibu/ASI (perempuan).

Maka, penularan HIV melalui darah bisa terjadi kalau darah yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tato, alat-alat kesehatan, dan cangkok organ tubuh.

Penularan HIV melalui air mani dan cairan vagina bisa terjadi kalau air mani dan cairan vagina yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh pada saat terjadi hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah. Sedangkan penularan melalui ASI bisa terjadi kalau ASI yang mengandung HVI masuk ke dalam tubuh pada proses menyusui.

Yang menjadi persoalan besar pada epidemi HIV adalah penularan justru terjadi tanpa disadari. Hal ini terjadi karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Orang-orang yang sudah tertular HIV tidak otomatis menunjukkan tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-10 tahun setelah tertular). Pada rentang waktu inilah terjadi penularan melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, transfusi darah yang tidak diskrining, jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan, dan cangkok organ tubuh.

Mata Rantai

Maka, kewajiban pada pasal 8 ayat 6 dan 7 serta larangan pada pasal 9 ayat 2 yang ditujukan kepada orang yang mengetahui dirinya sudah tertular HIV tidak efektif. Fakta menunjukkan orang-orang yang terdeteksi HIV-positif melalui prosedur tes HIV yang baku menyatakan sikap bahwa mereka akan memutus mata rantai penyebaran HIV mulai dari dirinya.
Yang menjadi persoalan besar justru orang-orang yang sudah tertular HIV tapi belum atau tidak terdeteksi sehingga tanpa sadar mereka menularkan HIV kepada orang lain. Inilah mata rantai penyebaran HIV antar penduduk.

Lalu, bagaimana memutus mata rantai penyebaran HIV antar penduduk? Pada pasal 4 ayat f sudah ada ‘pintu’, tapi tidak jelas siapa saja yang dianjurkan melakukan tes HIV secara sukarela (VCT).

Selama ini yang menjadi ‘sasaran tembak’ untuk survailans tes HIV adalah PSK. Padahal, yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar, lajang, remaja, duda yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, pelajar, mahasiswa, pengangguran, tani, nelayan, pedagang, perampok, dll. Fakta inilah yang tidak pernah muncul sehingga PSK dicaci-maki sebagai penyebar HIV. Yang menjadi mata rantai bukan PSK tapi laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang kemudian tertular HIV dari PSK.

Nah, yang dianjurkan ke VCT adalah laki-laki dan perempuan yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau yang pernah melakukan melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK.

Tapi, perda ini lagi-lagi mengedepankan moral untuk mengajak masyarakat dalam menanggulangi HIV/AIDS. Di pasal 11, misalnya, pada ayat 1 disebutkan peran serta masyarakat dalam menanggulangi HIV/AIDS dengan (a) berperilaku hidup sehat, dan (b) meningkatkan ketahanan keluarga. Ini norma dan moral. Apa yang dimaksud dengan perilaku hidup sehat dan ketahanan keluarga? Di Malaysia ada seorang ibu rumah tangga guru mengaji yang tertular HIV melalui transfusi darah di rumah sakit pemerintah. Ibu ini menggugat pemerintah 1 juta ringgit (Rp 2,5 miliar).

HIV/AIDS adalah fakta medis sehingga upaya penanggulangannya pun dapat dilakukan dengan cara-cara yang sangat rasional tanpa harus dibumbui dengan norma, moral, dan agama.

Mencegah penularan HIV melalui hubungan seks di dalam dan di luar nikah adalah dengan cara jangan melakukan hubungan seks dengan orang yang HIV-positif. Ini fakta. Karena kita tidak bisa mengenali orang yang sudah tertular HIV dari fisiknya maka jika melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan orang yang tidak diketahui status HIV-nya hindarkan pergesekan langsung antara penis dan vagina.

Semakin banyak kasus HIV yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus. *

* Pemerhati HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ‘InfoKespro’, Jakarta.