Oleh: Syaiful W. HARAHAP
Banyak peraturan terkait
(penanggulangan) HIV/AIDS, tapi tidak menyentuh akar persoalan yaitu menurukan
insiden infeksi HIV baru, khususnya pada laki-laki dewasa, melalui hubungan
seksual dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan yaitu pekerja seks
komersial (PSK).
Bahkan,
dalam 90-an peraturan daerah (Perda) provinsi, kabupaten dan kota juga tidak
ada cara-cara yang konkret untuk menjalankan program di atas. Celakanya, semua
perda itu dibalut dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos.
Misalnya, disebutkan mencegah penularan HIV/AIDS adalah dengan tidak melakukan
hubungan seksual dengan perempuan yang bukan pasangan, tidak melakukan hubungan
seksual sebelum menikah, dll.
Larangan
itu jelas mitos (anggapan yang salah) karena penularan HIV melalui hubungan
seksual terjadi karena kondisi (saat terjadi) hubungan seksual (salah satu atau
kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak pakai kondom) bukan karena
sifat hubungan seksual (di luar nikah, melacur, dll.).
Maka,
di dalam ikatan pernikahan yang sah secara agama dan negara pun bisa terjadi
penularan HIV kalau suami mengidap HIV/AIDS dan tidak pakai kondom ketika
sanggama. Buktinya, sudah banyak ibu rumah tangga (baca: istri yang sah)
terdeteksi mengidap HIV/AIDS, padahal mereka tidak pernah sanggama dengan
laki-laki lain.
Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 20 November 2016
menyebutkan sampai tanggal 30 September 2016 kasus kumulatif HIV/AIDS di
Indonesia tercatat 302.004 yang terdiri atas 219.036 HIV dan 82.968 AIDS dengan
10.132 kematian. Secara global kasus HIV/AIDS di akhir tahun 2015 mencapai 36,7
juta dengan 1,1 juta kematian. Dengan kondisi seperti ini Indonesia menjadi
salah satu dari tiga negara di Asia yang pertambahan kasus HIV-nya tercepat.
“Keberadaan
Peraturan Presiden Nomor 124 Tahun 2016 dipersoalkan sejumlah pihak. Dalam
regulasi itu, Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS Nasional ditempatkan di
Kementerian Kesehatan sehingga dikhawatirkan bisa menghambat koordinasi lintas
kementerian.” Ini lead pada berita “HIV
DAN AIDS, Perpres No 124/2016 Dipersoalkan” (Harian KOMPAS, 23/2-2017).
Persoalan
yang hakiki bukan soal regulasi tsb., tapi sejauh mana program penanggulangan
HIV/AIDS selama ini di Indonesia?
Semua
program hanya berkutat di hilir, yaitu: tes HIV terhadap ibu hamil, tes HIV
terhadap orang-orang berperilaku berisiko tertular HIV, tes HIV bagi kominitas
kelompok kunci, tes HIV terhadap penylahaguna narkoba yang akan menjalani
rehabiliasi, dan pasien yang berobat ke rumah sakit dengan gejala-gejala
terkait AIDS. Ibarat kata program-progtam ini ‘bak pemadam kebakaran’ yaitu
menangggulagi di hilr.
Dalam
berita disebutkan: “Jika pengendalian HIV-AIDS hanya dilakukan Kemenkes,
programnya terfokus di populasi kunci. Padahal, di Papua, misalnya, HIV masuk
dalam populasi umum. Tren serupa di provinsi lain terjadi pada ibu hamil dan
anak.” Ini jelas asimsi karena program kerja pemangku Perpres No 124/2016 belum bekerja. Perpres
memberi waktu sampai 31 Desember 2017.
Selama
ini ada kesan yang buruk yang menggiring opini publik bahwa populasi kunci, PSK
dan waria bukan bagian dari masyarakat. Apakah populasi kunci bukan populasi
umum? Apakah PSK dan waria bukan anggota keluarga?
PSK
dan waria adalah bagian dari keluarga di masyarakat. Maka, tidak perlulah
menyebut-nyebut populasi kunci, populasi khusus, dll. karena semua bagian dari
masyarakat yang hidup dalam tatanan sosial.
Hal
lain yang sering dipersoalan adalah stigma (cap buruk) dan diskriminasi
(perlakuan berbeda) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Diposisikan bahwa
penanggulangan HIV/AIDS terhalang karena stigma dan diskriminasi.
Anggapan
itu sempit dan tidak objektif karena stigma dan diskriminasi terjadi di hilir yaitu
terhadap orang-orang yang (sudah) tertular HIV/AIDS. Lalu, penanggulangan apa
yang terganggu?
Yang
jelas pemerintah tidak bisa melakukan program yang konkret dalam menurunkan
insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan
PSK karena:
Pertama, program tsb.
merupakan kegiatan berupa intervensi terhadap laki-laki untuk memakai kondom
setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK. Hal ini tidak bisa dilakukan
karena kondom ‘dilarang’ dipromosikan di Indonesia. Banyak kalangan, bahkan
pakar dan tokoh, yang menyerang promosi kondom. Bahkan, ada ketua organisasi
keagamaan yang menyebut Menkes Nafsiah Mboi sebagai ‘menteri cabul’ karena
mendukung promosi kondom untuk pencegahan HIV/AIDS (Lihat Gambar 1).

Kedua, intervensi tsb. hanya bisa
dilakukan jika PSK dilokalisir (Lihat Gambar 2). Sejak reformasi semua daerah
berlomba-lomba menutup tempat pelacuran. Bahkan, sekarang Mensos Kofifah Indar
Parawansa jadi motor penggeran penutupan tempat-tempat pelacuran tanpa
memikirkan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat terkait dengan penyebaran
‘penyakit kelamin’ (IMS-infeksi menular seksual yaitu kencing nanah/GO, raja
singa/sifilis, virus hepatitis B, klamidia, virus kanker serviks, jengger ayam,
dll.) dan HIV/AIDS.
Soalnya,
dengan membubarkan dan menutup lokasi pelacuran maka praktek pelacuran dan
transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu sehingga tidak
bisa lagi dikontrol melalui regulasi.
Selama
promosi kondom dan melokalisir praktek pelacaran ditolak, maka selama itu pula
insiden infeksi HIV baru tidak bisa diturunkan yang pada gilirannya laki-laki
yang tertular HIV jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakata yang kelak
bermuara pada ‘ledakan ADIS’. ***