Belakangan ini ada cara
berpikir yang tidak akurat yaitu mengesankan bahwa jumlah kasus baru yang
terdeteksi menunjukkan keberhasilan penanggulangan yakni kasus penularan baru berkurang.
Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI (20/11-2016), menyebutkan sampai tanggal 30
September 2016 kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia tercatat 302.004 yang
teridiri atas 219036 HIV dan 82.968 AIDS dengan 10.132 kematian. Secara global
kasus HIV/AIDS di akhir tahun 2015 mencapai 36,7 juta dengan 1,1 juta kematian.
Tentu saja pola pikir itu perlu dibawa
ke realitas sosial di social settings
terkait dengan epidemi HIV/AIDS.
Penyalahguna
Narkoba
Kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi ada
pada tahap infeksi HIV yaitu belum ada gejala-gejala terkait AIDS. Kondisi ini
secara statistik bisa terjadi sejak tertular sampai beberapa tahun kemudian.
Kasus HIV baru sering terdeteksi pada ibu-ibu yang hamil karena ada program
yang menganjurkan perempuan yang sedang hamil menjalani tes HIV secara
sukarela. Kasus baru infeksi HIV juga terdeteksi ketika ada yang menjalani tes
untuk berbagai keperluan atau anjuran dari konselor serta aktivis LSM yang
bergerak di bidang AIDS. Sedangkan temuan lain adalah pada pengidap HIV/AIDS
yang sudah masuk masa AIDS, secara statistik terjadi antara 5-15 tahun sejak
tertular HIV, karena ada gejala dan keluhan kesehatan terkait AIDS.
Pertama, mengapa
penemuan kasus baru berkurang atau turun?
Kedua, bagaimana
mekanisme penemuan kasus baru sebelumnya?
Ketiga, bagaimana
mekanisme penemuam kasus baru sekarang ketika disebutkan kasus baru yang
terdeteksi berkurang?
Jawaban terhadap tiga pertanyaan ini
akan menunjukkan apakah cara berpikir bahwa penemuan kasus baru yang turun
merupakan bukti bahwa kasus penularan baru juga berkurang.
Terkait dengan pertanyaan pertama ada
beberapa kemungkinan penyebabnya, al.: di tahun 1990-an banyak kasus HIV/AIDS
terdeteksi pada penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya)
dengan jarum suntik secara bergantian karena mereka diwajibkan tes HIV sebelum
menjalani rehabilitasi. Belakangan penanganan narkoba yang dijalankan
pemeirntah melalui BNN (Badan Narkotika Nasional) kian bagus sehingga
penyalahguna baru semakian berkurang. Tentu saja ini membuat jumlah kasus
HIV/AIDS yang terdeteksi pada penyalahguna narkoba kian sedikit.
Jumlah penemuan kasus baru yang kian
bekurang juga bisa terjadi karena selama ini ketika ada ‘sedekah’ berupa hibah
dari donor-donor internasional banyak kegiatan penjangkauan sampai ke masyarakat.
Tapi, sejak Pemerintahan di masa Presiden SBY masuk ke G-20 atau negara maju,
maka Indonesia dilarang menerima ‘sedekah’ sehingga banyak kegiatan penjangkuau
yang berhenti.
Maka, penemuan kasus baru pun tidak lagi
aktif atau jemput bola, tapi sudah pada kondisi pasif. Yang terjadi hanya
menunggu ada yang ingin tes HIV atau pasien yang berobat ke rumah sakit. Tenaga
medis dianjurkan aktif dengan mengamati pasien dengan penyakit yang terkait
AIDS untuk selanjutnya dianjurkan tes HIV.
Sama juga halnya dengan jumlah kasus
yang sedikit. Banyak kepala daerah yang menepuk dada karena di daerahnya jumlah
kasus HIV/AIDS yang dilaporkan sedikit. Ini menyesatkan karena bisa saja kasus
yang terdeteksi sedikit karena mekanisme pendeteksian kasus HIV/AIDS hanya
pasif.
Bisa juga terjadi fasilitas tes HIV
tidak ada di daerah tsb., atau hanya ada di ibukota provinsi atau ibu kota
kabupaten. Tentu ini jadi faktor penghalang. Kondisinya kian runyam karena di
daerah itu tidak ada LSM yang bergerak aktif dalam penyuluhan dan penjangkuan
HIV/AIDS sampai ke masyarakat dan populasi kunci.
Ada daerah yang bangga karena kasus HIV/AIDS
yang terdeteksi sedikit. Penguasa daerah itu pun menganggap hal itu sebagai
hasil dari sistem pemerintah yang khusus. Padahal, ketika banyak daerah sudah
menjalankan survailans tes HIV terhadap berbagai komunitas di daerah itu sampai
tahun 2004 hanya sekali dilakukan survailans tes HIV yang terbatas. Setelah
tahun itu pun fasilitas tes HIV juga sangat terbatas. Akibatnya, ada warga dari
daerah itu yang tes HIV dan mengambil obat di luar daerah tsb.
17 Pintu Masuk
AIDS
Ada pula daerah yang menganggap dengan
memenjarakan pekerja seks komersial (PSK) yang terdeteksi mengidap IMS (infeksi
menular seksual, seperti sifilis, kencing nanah, dll.) otomatis penularan baru
HIV/AIDS berkurang. Tentu ini menyesatkan karena:
(a) bisa saja yang menularkan IMS ke PSK
itu adalah laki-laki dewasa penduduk setempat sehingga laki-laki ini jadi mata
rantai penularan IMS di masyarakat,
(b) sebelum PSK itu ditangkap dia sudah
melayani puluhan bahkan ratusan laki-laki dewasa penduduk setempat yang pernah
atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, dan
(c) bisa saja ada PSK yang dipenjarakan
itu sekaligus juga mengidap HIV/AIDS sehingga laki-laki dewasa yang pernah ata
sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK tsb. tertular IMS
sekaligus HIV/AIDS.
Laki-laki pada kasus (b) dan (c) juga
akan jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat. Semua terjadi tanpa
disadari karena pada batas tertentu tidak ada gejala dan keluhan kesehatan yang
khas infeksi HIV/AIDS.
Berbangga kasus HIV/AIDS sedikit
boleh-boleh saja asalkan bisa mencegah penularan HIV melalui 17 pintu masuk,
al.:
(1) pemerintah daerah tsb. bisa menjamin
tidak ada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual, di dalam dan di
luar nikah, dengan kondisi laki-laki
tidak pakai kondom dengan perempuan yang berganti-ganti,
(2) pemerintah daerah tsb. bisa menjamin
tidak ada perempuan dewasa yang melakukan hubungan seksual, di dalam dan di
luar nikah, dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom, dengan laki-laki yang
berganti-ganti,
(3) pemerintah daerah tsb. bisa menjamin
tidak ada laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan
perempuan yang sering ganti-ganti pasangan, seperti PSK.
Kalau jawabannya TIDAK, maka jumlah
kasus yang sedikit tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di
masyarakata karena penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung
es. Angka yang dilaporkan digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke
atas permukaan air laut, sedangkan angka atau kasus yang tidak terdeteksi
digambarkan sebagai bongkahan gunug es di bawah permukaan laut.
Jadi, tidak ada kaitan langsung antara
penurunan jumlah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi dengan jumlah kasus infeksi HIV
baru. Kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi jadi ‘bom waktu’ yang kelak
akan terjadi ‘ledakan AIDS’. *** [kompasiana.com/infokespro] ***
Ilustrasi (Sumber: www.cdi.it)