Ilustrasi
(Sumber: www.avert.org)
Oleh: Syaiful W HARAHAP
Perjalanan epidemi HIV/AIDS
di Indonesia sudah berjalan tiga dekade atau 30 tahun sejak kasus HIV/AIDS
pertama terdeteksi di RS Sanglah, Denpasar, Bali, pada tahun 1987. Celakanya,
pembiayaan penanggulangan HIV/AIDS tergantung pada donor asing. Kondisinya kian
runyam karena persentase Odha (Orang dengan HIV/AIDS) yang menjalani pengobatan
dengan obat antiretroviral (ART) hanya 13 persen.
Pada
tahun 2012 penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia menghabiskan dana 87 juta dolar
AS dengan dana donor asing 50,15 juta dolar AS dan dana nasional 36,85 juta
dolar AS. Dengan jumlah ini bantuan donor asing mencapai 57,64 persen. Kasus
kumulatif mencapai 620.000. Infeksi HIV baru 48.000 dengan kematian 38.000.
Bandingkan
dengan Thailand yang melaporkan 450.000 kasus dengan 6.400 kasus baru dan 16.000
kamatian menghabiskan dana penanggulangan 287,20 juta dolar AS yang terdiri
atas 30,52 juta dolar AS bantuan asing dan 256,69 dana nasional (2013). Itu artinya
bantuan asing hanya 10,63 persen. Dengan bantuan donor yang kecil itu Thailand
mampu memberikan obat ARV kepada 69 persen pengidap HIV/AIDS. India dengan
2.100.000 kasus menanggulangi AIDS dengan persentase bantuan donor 28,37 persen
dan memberikan ART kepada 49 persen pengidap HIV/AIDS.
Dari
tabel di atas dapat disimak posisi Indonesia yang berada pada jenjang penerima
donor besar, tapi penanggulangan yang rendah al. dengan cakupan program ART
yang sangat rendah.
Jika
tahun ini bantuan donor terhenti 100 persen, maka pemerintah harus merogoh dana
dari APBN berkisar 90 juta dolar AS atau setara dengan Rp 1,17 triliun. Dana
ini sebagian besar untuk pembelian obat antiretroviral. Obat ARV jadi penting
bagi pengidap HIV/AIDS karena terkait dengan upaya pencegahan dan kematian.
Dengan
meminun obat ARV secara teratur seorang pengidap HIV/AIDS akan memutus mata
rantai penularan HIV karena konsentrasi HIV pada cairan-cairan tubuh yang bisa
jadi media penularan (darah, air mani, cairan vagina dan air susu ibu/ASI)
tidak cukup untuk ditularkan. Dengan ART pula tingkat kematian pengidap
HIV/AIDS bisa dikurangi. Selain itu dengan ART pengidap HIV/AIDS akan tetap
bisa aktif menjalankan kegiatan keseharian sehingga tidak jadi beban keluarga
dan pemerintah.
Dengan
kasus yang tercatat di Ditjen P2P,
Kemenkes RI, per 31 Maret 2017 sebanyak 330.152 diperlukan dana yang besar
untuk membeli obat ARV. Harga obat ARV lini 1 Rp 360.000/bulan/Odha.
Kalau
selama ini obat ARV ditangani oleh pemerintah pusat melalui Kemenkes RI, sudah
saatnya pemerintah-pemerintah kabupaten dan kota memikirkan alokasi dana untuk
program pengobatan Odha dengan obat ARV.
Jika
pemerintah kabupaten dan kota merasa berat mengalokasikan dana untuk pembelian
obat ART, maka hal ini akan jadi cambuk bagi mereka untuk menanggulangi
HIV/AIDS dengan cara-cara yang realistis. Langkah konkret diperlukan agar
insiden infeksi HIV baru bisa ditekan atau diturunkan sehingga penyebaran HIV
rendah yang akhirnya mengurangi jumlah Odha yang memerlukan obat ARV.
Selama
ini pemerintah kabupaten dan kota lebih banyak ‘berpangku tangan’ menunggu
program pusat. Bahkan, tidak jarang program pusat dibendung dengan alasan tidak
sesuai dengan kearifan lokal.
Maka,
muncullah program-program penanggulangan HIV/AIDS dengan pijakan moral dan
agama al. dituangkan dalam bentuk peraturan daerah (Perda) yang justru tidak
menyentuh akar persoalan. Misalnya, mengedepankan ‘iman dan taqwa’, perilaku
sehat, setia dengan pasangan, dll. dalam program penanggulangan yang justru
tidak terukur dan tidak menukik ke pencegahan yang realistis.
Program-program
unggulan di daerah saat ini adalah anjuran tes HIV bagi masyarakat (ini salah
kaprah karena tidak semua orang berperilaku yang berisiko tertular HIV) dan tes
HIV bagi ibu-ibu hamil. Ini adalah program di hilir yang justru perbuatan
melawan hukum karena membiarkan warga tertular HIV karena tidak ada program
penanggulangan di hulu.
Salah
satu pintu masuk HIV/AIDS adalah melalui laki-laki dewasa yang perilaku
seksualnya berisiko tinggi tertular HIV, yaitu:
(1)
Sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah,
dengan perempuan yang berganti-ganti di daerah sendiri atau di luar daerah
bahkan di luar negeri,
(2)
Sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering
berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK). Yang perlu
diingat ada dua tipe PSK, yakni:
(a)
PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau
lokalisasi pelacuran atau di jalanan, dan
(b)
PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru
sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam
kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau
pemegang kekuasaan), dll.
Dengan
kondisi sekarang ketika transaksi seks yang melibatkan PSK langsung tidak
dilokalisir, maka tidak ada program yang bisa dilakukan untuk memaksa laki-laki
memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung.
Sekarang
transaksi seks yang melibatkan PSK langsung dan PSK tidak langsung terjadi di
sembarang tempat dan sembarang waktu. Kondisi ini sama sekali tidak bisa
diintervensi untuk program penanggulangan sehingga insiden kasus infeksi HIV
baru terus terjadi.
Pada
gilirannya orang-orang yang tertular jadi mata rantai penyebaran HIV tanpa
mereka sadari. Ini kelak akan bermuara pada ‘ledakan AIDS’ yang justru menambah
jumlah Odha yang harus minum obat ARV sehingga memperbesar dana untuk AIDS. * [kompasiana.com/infokespro] *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.