Ilustrasi
(Sumber: www.istockphoto.com)
Oleh: Syaiful W HARAHAP
Jargon-jargon penanggulangan
HIV/AIDS terus berkumandang. Hanya saja jargon-jargon itu hanya sebatas
retorika moral karena tidak menukik ke akar persoalan yaitu penanggulangan di
hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV pada laki-laki dewasa melalui
hubungan seksual berisiko.
Seperti
yang dikumandangkan di Kota Sukabumi, Jawa Barat, ini. Seperti yang disebutkan
oleh Ketua KPA Kota Sukabumi Achmad Fahmi : .... memberikan pengertian tentang
pentingnya melakukan tes HIV dan melanjutkan dengan pengobatan ARV jika
terdiagnosa HIV sedini mungkin (republika.co.id,
20/12-2017).
Sisebutkan
pada tahun 2015 ditemukan 136 kasus HIV/AIDS baru, sedangkan pada tahun 2016
ditemukan 129 kasus HIV/AIDS baru, dan
pada kurun waktu Januari-November 2017 ditemukan 133 kasus HIV/AIDS baru.
Dalam epidemi HIV tes HIV adalah kegiatan di hilir. Kalau ada hasil tes HIV yang reaktif (positif) itu ybs. sudah tertular HIV. Jika seseorang yang melakukan tes HIV secara sukarela terdeteksi reaktif, maka ybs. minimal sudah tertular lebih dari tiga bulan. Nah, pada rentang waktu sejak tertular sampai tes HIV sudah terjadi penularan terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah tanpa disadari oleh pengidap HIV/AIDS.
Tes
HIV penting bukan bagi semua warga Kota Sukabumi, tapi penting bagi, al.:
(1)
warga Kota Sukabumi, laki-laki dan perempuan dewasa, yang pernah atau sering
melalukan perilaku berisko yaitu hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah,
dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai
kondom.
(2)
warga Kota Sukabumi, laki-laki dewasa, yang pernah atau sering melalukan
perilaku berisko yaitu hubungan seksual dengan perempuan yang sering
berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, seperti pekerja
seks komersial (PSK). Perlu diingat ada dua jenis PSK yaitu:
(a)
PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau
lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(b)
PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru
sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam
kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau
pemegang kekuasaan), dll.
Disebutkan
dalam berita KPA Kota Sukabumi menjalankan program untuk mencapai tiga zero
yaitu: tidak ada infeksi baru HIV, tidak ada kematian akibat AIDS dan
tidak ada stigama dan diskriminasi.
Persoalannya
adalah kalau yang dilalukan untuk mencapai “tidak ada infeksi baru HIV” adalah
tes HIV itu tentulah tidak masuk akal karena tes HIV ada di hilir. Langkah ini
membiarkan warga Kota Sukabumi tertular HIV dahulu baru diminta melakukan tes
HIV.
Jika
mau mencapai tahap “zero kasus infeksi HIV baru”, maka tes HIV bukan jawaban
karena warga sudah tertular HIV (di hulu). Laki-laki dewasa tertular HIV
melalui hubungan seksual pada perilaku berisiko. Sedangkan ibu-ibu rumah tangga
tertular dari suami, dan pada bayi yang baru lahir tertular secara vertikal
dari ibu yang mengandungnya, terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan
air susu ibu (ASI).
Menghentikan
insiden infeksi HIV baru adalah hal yang mustahil karena tidak mungkin
mengawasi perilaku seksual semua laki-laki dewasa warga Kota Sukabumi. Dalam
epidemi HIV yang bisa dilakukan adalah menurunkan insiden infeksi HIV baru pada
laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK langsung.
Program
yang dikenal dengan sebutan ‘wajib kondom 100 persen’ bisa dilakukan melalui
intervensi kepada laki-laki yang melalukan hubungan seksual dengan PSK langsung
dengan persyaratan praktek transaksi seks dilokalisir.
Celakanya,
sejak reformasi terjadi euforia yang menutup semua tempat pelacuran sehingga
praktek jual-beli seks yang melibatkan PSK langsung dan PSK tidak langsung pun
terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu sehingga tidak bisa dilakukan
intervensi ‘wajib kondom 100 persen’.
Maka,
insiden infeksi HIV bar pada laki-laki dewasa akan terus terjadi kepada
laki-laki dewasa warga Kota Sukabumi yang melakukan perilaku berisiko yang
selanjutnya ditularkan ke pasangan, terutama istri. Pada terminal terakhir
ibu-ibu yang tertular HIV dari suami menularkan HIV pula ke bayi yang
dikandungnya. Maka, penularan HIV yang tidak bisa dikontrol ini bagaikan ‘bom
waktu’ yang kelak sampai pada kondisi ‘ledakan AIDS’. * [kompasiana.com/infokespro] *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.