Ilustrasi
(Sumber: www.123rf.com)
Oleh: Syaiful W HARHAP
“Upaya untuk penanggulangan penyakit HIV/Aids di Kota
Magelang terus dilakukan. Satu di antaranya dengan pembentukan Raperda
Penanggulangan HIV/AIDS sebagai upaya perlindungan kepada para penderita
penyakit mematikan tersebut, atau kerap disebut orang dengan HIV/Aids (ODHA).
Ini ada di berita “Bentuk Raperda Penanggulangan HIV/AIDS, Penderita HIV/AIDS di Kota
Magelang Akan Lebih Terlindungi” (tribunjogja.com,
12/11-2017).
Ada beberapa hal yang luput dari perhatian
wartawan yang menulis berita ini dan narasumber Ketua DPRD Kota Magelang, Jawa Tengah, Budi Prayitno.
Pertama, orang-orang yang tertular HIV/AIDS tidak otomatis
menderita karena sebelum masa AIDS (secara statistik terjadi pada rentang waktu
5-15 tahun setelah tertular HIV) tidak ada gejala-gejala penyakit terkait
HIV/AIDS. Jadi, yang tepat adalah pengidap HIV/AIDS atau Odha (Orang dengan
HIV/AIDS).
Kedua, di Indonesia sudah ada 98 peraturan daerah (Perda)
penanggulangan HIV/AIDS baik tingkat provinsi (21), kabupaten (54) dan kota
(23) serta 10 peraturan (pergub 4, perbub 5 dan perwali 1). Tapi, perda-perda
itu hanyalah ‘macan kertas’ yang tidak berguna karena pasal-pasal
penanggulangan sama sekali tidak menyentuh akar persoalan. Bahkan, banyak perda
tsb. yang hanya mengedepankan norma, moral dan agama dalam penanggulangan
HIV/AIDS. Tentu saja ini tidak akan bekerja karena HIV/AIDS adalah fakta medis
sehingga penanggulangannya pun bisa
dilakukan dengan cara-cara yang konkret.
Ketiga, disebutkan ‘ .... penderita penyakit mematikan ....’.
Ini jelas ngawur karena belum ada kasus kematian pengidap HIV/AIDS atau Odha
yang meninggal karena HIV atau AIDS. Kematian pada pengidap HIV/AIDS atau Odha
terjadi di masa AIDS ketika Odha mudah diserang penyakit-penyakit karena sistem
kekebalan tubuh yang lemah yang disebut infeksi oportunistik, seperti TB,
diare, dll. Penyakit infeksi oportunistik inilah yang menyebabkan kematian pada
Odha.
Keempat, perlindangan terhadap Odha bukan penanggulangan
insiden infeksi HIV baru di hulu tapi upaya pemberdayaan Odha di hilir Itu
artinya Pemkot Magelang membiarkan warga tertular HIV dulu baru dilindungi.
Bertolak
dari perda-perda AIDS yang sudah ada yang terjadi tidak lebih dari copy-paste.
Kita tunggu apakah Perda AIDS Kota Megelang ini kelak memuat pasal-pasal
penanggulangan yang konkret.
Di Jawa
Tengah sudah ada 17 Perda AIDS, tapi karena tidak lebih dari copy-paste dan
tidak menyentuh akar persoalan HIV/AIDS maka perda-perda itu tidak bisa
diandalkan untuk menanggulangi insiden infeksi HIV baru di hulu [Baca: Perda AIDS Provinsi Jawa Tengah Mengabaikan (Lokalisasi) Pelacuran].
Dari
berita tsb. penjelasan yang ditonjolkan oleh Ketua DPRD Kota Magelang hanya
seputar perlindungan dan pemberdayaan terhadap Odha. Tidak ada pemaparan
tentang langkah-langkah konkret pencegahan insiden infeksi HIV baru pada
laki-laki dewasas melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).
Bisa
dimaklumi kalau Ketua DPRD
Kota Magelang, Budi Prayitno, menampik bahwa ada risiko penularan melalui PSK
dengan alasan di Kota Magelang tidak ada lokalisasi atau lokasi pelacuran.
Secara de jure ini benar karena sejak
reformasi lokalisasi pelacuran yang dijadikan sebagai tempat rehabilitasi dan
resosialisasi PSK ditutup. Bahkan, Mensos Khofifah Indar
Parawansa menjadikan penutupan lokasi pelacuran sebagai prioritas tanpa
memikirkan dampak buruknya terhadap epidemi HIV/AIDS.
Pertanyaan untuk Ketua DPRD Kota Magelang adalah: Apakah ada
jaminan di Kota Magelang tidak ada praktek pelacuran dalam bentuk transaksi
seks?
Secara de facto
tentulah tidak bisa dibantah karena praktek pelacuran terjadi dalam berbagai
bentuk dengan menggunakan telepon genggam dan media sosial. Itu artinya di Kota
Megelang ada insiden infeksi HIV baru yang melibatkan laki-laki dewasa dengan
PSK langsung dan PSK tidak langsung.
-
PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau
lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
--
PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru
sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam
kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau
pemegang kekuasaan), dll.
Laki-laki
dewasa yang tertular HIV/AIDS dalam kehidupan
sehari-hari bisa sebagai suami sehingga ada risiko penularan terhadap
istri (horizontal) yang berakhir kelak pada bayi yang dikandung istri
(penularan vertikal). Kalau laki-laki itu punya istri lebih dari satu, maka
kian banyak perempuan dan bayi yang berisiko tertular HIV.
Yang
perlu di atur dalam Perda AIDS adalah program konkret untuk mencegah agar
insiden infeksi HIV baru di hulu bisa diturukan atau dikurangi jumlahnya yaitu
pada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan PSK.* [kompasiana.com/infokespro] *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.