Oleh: Syaiful W. Harahap
[Sumber: Newsletter "WartaAIDS" Nomor 40, 15 Maret 1999]
Di saat epidemi HIV/AIDS menunjukkan kecenderungan peningkatan di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia, kasus infeksi TBC pun meningkat pula dengan tajam. Perkiraan WHO (1996) menyebutkan 200.000 penduduk Indonesia terinfeksi TBC aktif. Indonesia sendiri berada pada urutan ketiga dalam jumlah penderita TBC di dunia, setelah Cina dan India. TBC sendiri menjadi pembunuh nomor dua di Indonesia setelah penyakit jantung dan pembuluh darah.
TBC menjadi perhatian ahli kesehatan dan epidemiologi dunia karena erat kaitannya dengan infeksi oportunistik di kalangan Odha. TBC menjadi pembunuh terbesar di kalangan Odha. Namun, dalam dua kali penelitian WHO terhadap penderita TBC di Indonesia tidak ditemukan penderita TBC yang HIV positif. Namun, kasus per kasus pernah terdeteksi. Paling tidak sudah lima penderita TBC yang dideteksi terinfeksi HIV. Sebaliknya, tidak ada pula data resmi Odha yang mengidap TBC. Data di Pokdisus AIDS FKUI/RSCM menunjukkan TBC menjadi infeksi oportunistik terbanyak kedua pada sejumlah Odha yang dirawat di RSCM.
Persoalan yang dihadapi Indonesia dalam pengobatan dan pencegahan TBC, menurut dr. Tjandra Yoga Aditama, SpP(K), DTM&H, DTC, dokter ahli paru di RSUP Persahabatan Jakarta, belum semua orang bicara dalam bahasa yang sama. Tjandra menunjuk cara pelaporan, misalnya, setiap fasilitas kesehatan melaporkannya ke instansi masing-masing. Karena tidak ada angka yang pasti itulah, menurut Tjandra, sangat sulit ditentukan pola
yang tepat untuk memerangi epidemi TBC.
Selain itu dalam konteks TBC ada dua sisi yang saling mendukung yaitu upaya menemukan penderita dan mengobatinya. Masalahnya, menurut Tjandra, jika sudah ditemukan penderita TBC persoalan baru muncul (lagi). Pengobatan tersedia, tapi penderita tidak teratur memakan obatnya. Akibatnya, terjadi resistansi obat dan infeksi TBCnya kambuh
lagi.
Ketidaktaatan memakai obat ini menjadi alasan yang sangat umum. Setelah dua bulan memakan obat, misalnya, seorang pasien TBC tidak merasakan ada keluhan lagi. Mereka pun menghentikan pemakaian obat karena mereka merasa tidak berguna lagi meneruskannya.
Padahal, pengobatan TBC harus dilakukan secara terus-menerus dengan memakan obat secara rutin selama enam bulan. Dalam program pengobatan TBC yang sudah baku, yang dikenal sebagai DOTS, pengobatan itu diawasi secara langsung.
Namun, dalam prakteknya pengawasan ini sering tidak efektif. Selain pengawas itu hanya bersifat sukarela (relawan), mereka pun umumnya dari pihak keluarga. RSUP Persahabatan sendiri, menurut Tjandra, mulai melakukan ujicoba terhadap 30 pasien TBC dengan melibatkan anggota keluarga dan pegawai rumah sakit sebagai pengawas. Pegawai baru diturunkan jika pengawasan anggota keluarga tidak efektif. Ujicoba ini
akan terus dikembangkan. Dalam waktu dekat Persahabatan akan menambah pasien yang ikut ujicoba sehingga mencapai 50 pasien. Selama ini ujicoba berjalan baik.
Pengawasan itu sangat penting karena, "Jika terjadi resistansi ongkos pengobatan akan naik sampai 30 kali lipat," kata Tjandra. Tapi, hal ini sering luput dari perhatian penderita TBC dan keluarganya karena setelah memakan obat dua bulan penderita merasa sudah sembuh pengobatan pun dihentikan. Pengobatan untuk pasien yang sudah resistan pun sangat spesifik karena menyangkut beberapa faktor dalam indikasi medis.
Sayangnya, jika TBCnya kambuh kembali mereka sering pindah ke rumah sakit atau dokter lain. Tidak jarang terjadi pengobatan pun dimulai dari awal lagi. Inilah yang dirisaukan Tjandra. "Tidak ada mekanisme yang memungkinkan seorang dokter mencari pasien TB yang tidak datang lagi berobat," ujar Tjandra. Pasien TB tetap harus diawasi dokternya
agar program penyembuhan berjalan mulus sehingga tidak terjadi resistansi obat. Maka, tracking (pelacakan) terhadap pasien TB yang memutuskan pengobatan sebelum menyelesaikan program penyembuhan merupakan suatu upaya untuk memastikan agar pengobatan tetap berjalan sesuai dengan prosedur yang baku. Persoalannya, tidak ada suatu sistem atau mekanisme yang memungkinan dokter atau rumah sakit mengawasi
pasien TB sampai menyelesaikan program pengobatan.
Pengalaman Tjandra menunjukkan sekitar 10% penderita mengalami MDR-TBC yang disebut Tjandra sebagai resistansi ganda, karena tidak taat menjalani pengobatan dan berpindah-pindah dokter. Saat ini seorang pasien TB mengeluarkan biaya untuk obat (generik) Rp 2.000/hari. Selain biaya yang mahal seseorang yang sudah mengalami resistansi ganda juga akan menghadapi persoalan efektivitas obat karena kemampuannya sudah menurun sampai di bawah 60%. Sedangkan sebelum terjadi resistansi efektivitas obat di atas 90%.
Sebaliknya, pengobatan tersedia tapi cara yang sistematis untuk menemukan penderita TBC pun tidak ada sehingga dokter dan rumah sakit hanya menunggu. Di sisi lain banyak pula yang 'menyembunyikan' anggota keluarganya jika diketahui mengidap TBC. Menurut Tjandra hal ini gejala umum, tapi dia berharap sikap ini dapat diubah karena TBC dapat
disembuhkan. Untuk merubah sikap itu Tjandra melihat media massa memegang peranan yang penting dengan menyebarkan informasi yang akurat dan objektif.
Untuk meningkatkan efektivitas penyuluhan, penelitian dan lain-lain dokter paru membentuk Kelompok Kerja (Pokja) TB-FK UI. Melalui Pokja inilah, menurut Tjandra, yang juga menjadi ketuanya, dokter paru akan membahas masalah TBC di Indonesia sebagai bagian dari program nasional dalam memerangi TBC. Soalnya, Tjandra melihat penelitian TBC di
Indonesia justru dilakukan oleh ahli dari negara-negara yang kasus TBCnya kecil. Inilah yang juga dilihat Tjandra sebagai tantangan untuk dokter paru.
Walaupun di Indonesia baru ada 350 dokter ahli paru dan sebagian besar berada di kota besar, menurut Tjandra itu bukan halangan dalam menanggulangi TBC di Indonesia karena, "Dokter umum pun bisa menangani pasien TBC," katanya.
Jadi, persoalan yang mendasar di Indonesia, menurut Tjandra, adalah menerapkan pengobatan yang baku (DOTS) dengan pengawasan yang efektif jika ditemukan penderita TBC. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.