Oleh: Syaiful W. Harahap
[Sumber: Newsletter "WartaAIDS" Nomor 55, 8 November 1999]
Rencana Dinas Kesehatan (Dinkes) Kodya Malang, Jatim, membuka puskesmas khusus bagi Odha di Pandanwangi (Suara Pembaruan, 19/8-1999) dinilai dr. Adi Sasongko, staf Yayasan Kusuma Buana (YKB), sebuah LSM yang banyak berkecimpung dalam penanganan masalah-masalah HIV/AIDS dan PMS di Jakarta, tidak benar karena akan menyuburkan stigma terhadap Odha.
"Mereka justru tidak belajar dari sejarah," kata Adi. Rupanya, tahun 1960-an Depkes membangun rumah sakit (RS) kelamin di Surabaya yang ternyata tidak berhasil untuk menangani penyakit-penyakit menular seksual (PMS). Soalnya, PMS, khususnya kencing nanah dan sifilis, selalu dihubung-hubungkan dengan sikap moral. Padahal, hepatitis B (disebut juga penyakit kuning) juga menular melalui hubungan seksual yang tidak aman. RS Kelamin itu sendiri didirikan dekat tempat-tempat pelacuran dengan maksud menjaring orang-orang yang terinfeksi PMS.
Adi tidak setuju terhadap puskesmas AIDS karena untuk menanggulangi epidemi PMS dan HIV tidak tepat dilakukan dengan pendekatan yang ada "label"nya. Selama ini masyarakat selalu mengaitkan PMS dan HIV dengan moral, sehingga orang-orang yang akan berobat akan dinilai sebagai orang yang tidak bermoral karena label itu sudah melekat pada PMS dan HIV.
Menurut Kepala Dinkes Kodya Malang, dr. Subagyo, keberadaan puskesmas khusus AIDS itu sangat penting karena banyak warga yang berisiko tinggi merasa malu datang untuk berkonsultasi dan berobat. Dengan membuat label Puskesmas AIDS tentu saja banyak yang enggan datang karena sudah ada stigma terhadap Odha. Jadi, sangatlah beralasan kalau Adi kemudian mengatakan rencana itu tidak masuk akal.
Lagi pula perlu diingat dalam masalah PMS dan HIV/AIDS tidak ada yang berisiko tinggi karena penyebaran dan penularan PMS dan HIV/AIDS sangat tergantung kepada perilaku. Tidak jelas pula apa dasar dr. Subagyo mengatakan penduduk di sekitar Pandanwangi, Malang, banyak yang berisiko tinggi.
Apakah dengan tujuh Odha di Malang sudah bisa disimpulkan kalau penduduk Malang berisiko tinggi tertular HIV? Kesimpulan itu jelas tidak objektif karena penularan PMS dan HIV tidak hanya tergantung kepada prevalensi. Di daerah yang prevalensinya tinggi pun tidak akan terjadi penularan PMS dan HIV jika ada upaya preventif berupa pencegahan. Tentara Belanda yang bertugas menjadi penjaga perdamaian di Kamboja, misalnya, tidak ada yang terinfeksi PMS dan HIV karena mereka dibekali dengan kondom yang dalam teknologi kesehatan merupakan satu-satunya cara untuk mencegah terjadinya infeksi PMS dan HIV.Sedangkan tentara dari negara lain justru ada yang terinfeksi HIV.
Dalam kaitan HIV/AIDS dan PMS, menurut Adi, yang perlu ditingkatkan adalah upaya-upaya pendeteksian secara dini. Hal ini perlu karena banyak kasus PMS dan HIV terselubung yang terjadi karena lolos dari diagnosis. Fasilitas-fasilitas kesehatan luput mendeteksi PMS karena tidak ada sistem yang mendukung diagnosis pada pasien-pasien yang berobat.
WHO sendiri, menurut Adi, sudah membuat acuan yang dapat dipakai untuk mendeteksi PMS melalui sindroma. Dengan mengetahui gejala-gejala PMS seorang tenaga medis yang sudah terlatih akan dapat mendiagnosis penyakit yang diderita seseorang, khususnya yang berkaitan dengan PMS.Diagnosis PMS dapat dilakukan tanpa laboratorium karena sindroma (kumpulan gejala) yang sudah dikategorikan akan dapat menuntun seorang tenaga medis terhadap gejala-gejala PMS.
Adi melihat pendeteksian dini sebaiknya dilakukan di instalasi kesehatan primer, seperti puskesmas dan rumah sakit, karena ke fasiltias kesehatan inilah umumnya penduduk datang berobat. Kondisi inilah yang membuat jangkauan puskesmas dan rumah sakit jauh lebih luas daripada dokter-dokter praktek. Banyak faktor yang membuat penduduk memilih puskesmas dan rumah sakit, misalnya, karena biaya yang jauh lebih murah jika dibandingkan dengan praktek dokter pribadi.
Untuk mengefektifkan penanggulangan PMS melalui deteksi dini di pusat-pusat kesehatan masyarakat itu harus pula dibarengi dengan penyediaan obat-obatan yang diperlukan untuk pengobatan PMS sesuai dengan sindroma yang didiagnosis tenaga medis. Pengobatan yang tepat sangat diperlukan karena kalau tidak langsung diobati tentulah akan menimbulkan kesakitan pada diri pasien dan di sisi lain bisa pula terjadi penyebaran. Infeksi baru akan muncul beranting, apalagi pengidap PMS itu berperilaku yang berisiko tinggi menularkan PMS. "Obat ini sangat perlu karena hasil diagnosis yang tidak langsung diobati kan sia-sia dan pasien itu kembali menjadi angka yang terselubung," kata Adi.
Agar pendeteksian itu efektif sumber daya manusia (SDM) pun harus disiapkan. YKB dan Lahsi, LSM di Jakarta, sudah melatih puluhan bidan di Jakarta agar mampu mendiagnosis PMS. Pemilihan bidan karena banyak yang berobat ke sana, khususnya ibu-ibu. Persoalan yang muncul, menurut Adi, para bidan itu terbentur kepada aspek legal karena rambu-rambu medis yang tidak membenarkan mereka mengobati pasien PMS. Bidan sendiri empunyai kapasitas untuk pemeriksaan fisik, sehingga amat beralasan kalau seorang bidan dibenarkan mendiagnosis PMS.
Jika seorang bidan yang berhasil mendiagnosis PMS harus merujuk pasien tersebut ke dokter praktek atau rumah sakit, Adi yakin pasien itu akan drop out karena kemungkinan besar mereka tidak akan berobat. Bidan sendiri dilihat Adi sebagai ujung tombak dalam penanganan PMS, khususnya di kalangan ibu-ibu rumah tangga.
Dari pelatihan yang diselenggarkan YKB dan Lahsi terhadap bidan-bidan itu semula memang muncul sikap yang memberi nilai negatif terhadap pasien PMS, tapi setelah didiskusikan para bidan itu dapat memahami PMS secara proporsional sehingga mereka tidak lagi bertindak sebagai polisi moral. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.