04 Oktober 2017

Tanggapan Terhadap Perda AIDS Puncak Jaya, Papua

Pemkab Puncak Jaya, Papua, menelurkan Perda No. 14 Tahun 2005 tanggal 22 Juni 2005 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS. Ini perda kelima dari 28 Perda AIDS yang ada di Nusantara.

Oleh: Syaiful W. Harahap

Di saat kasus HIV/AIDS ‘merebak’ di banyak negara kita seakan terlena karena dari tahun ke tahun sejak kasus AIDS ‘pertama’ dipublikasikan tahun 1987 kasus AIDS yang dilaporkan hanya hitungan jari. Inilah yang selalu dijadikan pemerintah sebagai pembenaran terhadap ketidakmungkinan kasus HIV/AIDS ‘merebak’ di Indonesia.

Publikasi kasus AIDS pertama ini pun bernuansa moral karena kasus kematian terkait AIDS terjadi pada orang bule (WN Belanda) di RS Sanglah, Denpasar, Bali, sehingga anggapan AIDS ‘hanya’ di luar negeri menjadi kuat. Setahun kemudian, 1988, kasus kematian terkait AIDS juga terjadi di RS Sanglah, Denpasar, yang menimpa seorang penduduk asli Indonesia. Kalau diamati penduduk tadi sudah tertular HIV antara tahun 1978 dan 1983 jauh sebelum WN Belanda tadi datang ke Bali.

Ada beberapa kejadian lain yang menyuburkan mitos bahwa ‘AIDS penyakit orang luar’. Misalnya, salah satu pertanyaan bagi calon donor di UTD-PMI adalah “Kapan Anda terakhir ke luar negeri?” Pertanyaan ini menunjukkan bahwa (risiko) AIDS hanya ada di luar negeri.

Pada Konferensi AIDS Internasional Asia Pasifik (ICAAP) VI tahun 2001 di Melbourne, Australia, Dr. Peter Piot, Direktur Eksekutif UNAIDS, sudah mengingatkan Indonesia terkait dengan peningkatan kasus HIV/AIDS. Tapi, lagi-lagi pemerintah berpangku tangan.

Namun, apa yang terjadi lima tahun kemudian? Kita melihat kasus HIV/AIDS mulai bermunculan dari berbagai daerah.

Celakanya, pandemi bukan ditanggapi dengan ‘kepala dingin’ yaitu bertolak dari penanggulangan yang realistis, tapi dengan reaksi yang berlebihan dan tidak realistis bahkan irrasional.

Moral dan agama digenjot sehingga HIV/AIDS sebagai fakta medis pun tenggelam dan HIV/AIDS menjadi bagian dari mitos (anggapan yang salah). Berbagai jargon moral dan agama dimasukkan ke materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) HIV/AIDS.

Bahkan, di peraturan daerah (Perda) terkait AIDS juga sarat dengan atuaran moral dan agama yang sama sekali tidak terkait langsung dengan pandemi HIV. Penekanan aspek norma, moral, dan agama pada HIV/AIDS akan menimbulkan dampak yang merugikan, menyudutkan, menyuburkan stigma dan diskriminasi terhadap orang-orang yang tertular HIV.

Perda AIDS Prov. Riau, misalnya, menyebutkan cara mencegah HIV adalah dengan meningkatkan ‘iman dan taqwa’. Ini jargon agama Islam. Bagaimana dengan penduduk yang beragama lain?

Lalu, kalau ada orang yang tertular HIV, apakah karena mereka tidak beriman dan tidak bertaqwa? Akibatnya, orang pun akan menuding orang-orang yang tertular HIV sebagai orang yang tidak beriman dan tidak bertaqwa. Padahal, banyak orang yang tertular HIV karena tidak mengetahui cara-cara pencegahan yang akurat yang juga terjadi karena KIE tentang HIV/AIDS dibalut moral dan agama. Apakah ini yang kita harapkan dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS?

Di saat kita terlena dan mengedepankan norma, moral, dan agama dalam penanggulangan HIV/AIDS, apa yang terjadi? Kasus demi kasus terdeteksi karena masyarakat tidak memahami cara-cara pencegahan yang masuk akal karena penularan HIV dikaitkan dengan moral dan agama. Misalnya, penularan HIV disebutkan karena zina, pelacuran, jajan, selingkuh, waria, dan homoseksual.

Seorang wartawan di Denpasar, Bali, misalnya, tetap pada pendiriannya bahwa dua laki-laki yang HIV-negatif akan ‘kena AIDS’ kalau mereka melakukan anal seks (terjadi pada pelatihan wartawan untuk penulisan AIDS oleh PPPKMI Jakarta dengan dukungan Global Fund, Oktober 2005). Di beberapa pelatihan serupa juga selalu terungkap bahwa tetap ada wartawan yang yakin bahwa laki-laki dan perempuan yang dua-duanya HIV-negatif akan ‘kena AIDS’ kalau mereka berzina, selingkuh, seks pranikah, jajan, dan melacur.

Fakta ini menggambarkan pemahaman masyarakat terhadap HIV/AIDS hanya berdasarkan mitos. Ini semua terjadi karena selama ini materi KIE tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan moral dan agama.

Hal yang sama terdapat pada Perda Puncak Jaya ini. Pada pasal 5 ayat 1 disebutkan “Pencegahan HIV/AIDS dan IMS dilakukan melalu cara (a) Tidak melakukan hubungan seksual secara menyimpang dan berganti-ganti pasangan seks.” Ini jelas ‘cara moral’ yang sama sekali tidak terkait dengan pencegahan penularan HIV yang akurat.

Penularan HIV dan IMS melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, bisa terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif atau mengidap IMS dan laki-laki atau perempuan tidak memakai kondom setiap melakukan hubungan seks. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif dan tidak mengidap IMS maka tidak ada penularan HIV dan IMS biar pun mereka berzina, melacur, selingkuh, jajan, menyimpang, homoseksual, dll.

Maka, penularan HIV dan IMS melalui hubungan seks tergantung kepada KONDISI HUBUNGAN SEKS bukan SIFAT HUBUNGAN SEKS. Artinya, biar pun di dalam ikatan pernikahan yang sah (sifat) ada risiko penularan HIV kalau salah satu atau dua-duanya HIV-positif (kondisi). Sebaliknya, biar pun di luar nikah, jajan, selingkuh, me-lacur, waria, atau homo-seksual (sifaf) kalau dua-duanya HIV-negatif (kondisi) maka tidak ada penularan HIV.

Pada pasal 5 ayat 1 disebutkan “Pencegahan HIV/AIDS dan IMS dilakukan melalui cara (b) Setia pada satu pasangan tetap.” Ini juga moralistik karena bisa saja terjadi kesetiaan kepada satu pasangan yang berganti-ganti. Pada kurun waktu tertentu seorang laki-laki setiap pada seorang perempuan. Tapi, bisa saja terjadi sebelum mereka saling setia mereka juga pernah saling setia dengan pasangan lain. Begitu seterusnya.

Pada pasal 4 disebutkan “HIV dapat menular kepada orang lain melalui: (a) Hubungan seksual yang tak terlindung.” Ini tidak akurat karena penularan HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah (bisa) terjadi kalau salah satu atau dua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks. Kalau dua-duanya HIV-negatif terlindung atau tidak, sah atau tidak, maka tidak ada penularan HIV.

Pada pasal 4 ayat b disebutkan “HIV dapat menular kepada orang lain melalui: Jarum/alat suntik yang sekali pakai dibuang.” Ini tidak jelas maksudnya.

Cara-cara pencegahan yang ‘ditawarkan’ selalu bersifat moralistik padahal pencegahan HIV dapat dilakukan dengan teknologi kedokteran yang realistis.

Pada pasal 5 ayat 1 disebutkan “Pencegahan HIV/AIDS dan IMS dilakukan melalui cara (c) Menggunakan kondom pada setiap kontak seksual yang beresiko tertular virus HIV dan IMS.” Lho, bagaimana kontak seksual yang beresiko? Pada padal 1 ayat 11 disebutkan “Perilaku seksual beresiko adalah perilaku berganti-ganti pasangan seksual tanpa menggunakan kondom.”

Yang terjadi adalah banyak laki-laki merasa tidak berganti-ganti pasangan karena dia selalu ‘memakai’ PSK yang sama setiap kali melepas hasrat seksual. Bahkan, ada yang menjadikan hubungan mereka pada taraf ‘pacar’ dan ‘suami’. Lagi-lagi penegasan tidak akurat karena dibalut dengan moral.

Perilaku berisiko (ejaan sesuai dengan KBBI-pen.) melalui hubungan seks bisa terjadi kalau melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah serta homoseksual tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK.

Selama materi KIE tetap dibalut dengan moral dan agama maka selama itu pula yang ditangkap masyarakat hanya mitos. Inilah yang mencelakakan masyarakat.

Di beberapa negara kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa mulai menunjukkan grafik yang mendatar. Tapi, mengapa di kawasan Asia Pasifik justru sebaliknya?

Ya, lagi-lagi terjadi karena mitos. Di banyak negara masyarakat sudah memahami cara-cara pencegahan yang realistis melalui hubungan seks yang memakai kondom pada hubungan seks yang berisiko. Sebaliknya, di kawasan Asia Pasifik yang terjadi justru ‘debat kusir’ soal kondom dengan mempertentangkan aspek kesehatan masyarakat dengan moral dan agama.

Perda ini lagi-lagi merendahkan harkat dan martabat PSK sebagai manusia dengan menyebut mereka sebagai penjaja seks komersial. Penjaja berarti orang yang menjajakan atau menawarkan sesuatu dengan berkeliling.

Pertanyaannya adalah: apakah PSK menjajakan diri dengan berkeliling? Fakta menunjukkan PSK menunggu di tempat. Yang datang ‘membeli’ justru laki-laki. Dan, perlu diingat laki-laki pulalah yang menularkan HIV atau IMS atau dua-duanya sekaligus kepada PSK. Fakta ini selalu ditutup-tutupi sehingga mengesankan PSK-lah yang menjadi biang keladi penyebaran HIV dan IMS. Penggelapan fakta ini selain bias gender juga menyesatkan masyarakat.

Celakanya, ketika ada PSK yang terdeteksi HIV-positif atau mengidap IMS yang dipersoalkan hanya PSK itu. Padahal, ada fakta lain yang merupakan realitas sosial yang digelapkan yaitu ada laki-laki yang menularkan dan tertular. Laki-laki inilah yang merupakan mata rantai penyebaran HIV dan IMS. Mereka menjadi jembatan dari PSK ke populasi.

Lagi-lagi fakta ini luput atau memang sengaja diluputkan agar PSK dikesankan tidak bermoral, sedangkan laki-laki pelanggan lebih bermoral.

[Sumber: Newsletter ”InfoAIDS” edisi No. 7/November 2006]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.