19 Oktober 2017

Sensasi Mengaburkan Fakta Medis HIV/AID

Oleh: Syaiful W. Harahap
[Pemerhati masalah HIV/AIDS di media massa melalui LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta]

Berita “Penyebaran HIV Kian Mencemaskan, Setiap Enam Hari Muncul Satu Kasus” di “Pikiran Rakyat” edisi 23 September 2007 sangat sensasional tapi tidak menggambarkan realitas sosial. Inilah salah satu kelemahan informasi terkait HIV/AIDS di negeri ini. Narasumber tidak bisa memberikan fakta empiris dan wartawan pun sering terjebak hanya menyuarakan statement pejabat atau pakar yang dalam jurnalistik hanya sebagai fakta opini.

Lead berita dengan kesimpulan “Laju penularan serangan penyakit HIV-AIDS di Kota Tasikmalaya semakin mencemaskan. Hasil penilitian yang dilakukan Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya, setiap enam hari muncul satu kasus yang terinfeksi HIV-AIDS” menunjukkan pemahaman yang tidak komprehensif terhadap HIV/AIDS.

Pertama, HIV tidak menyerang karena penularannya hanya melalui cara-cara yang sangat khas, antara lain melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan orang yang HIV-positif. HIV tidak menular melalui udara, air, dan pergaulan sehari-hari. Bandingkan dengan flu atau TBC yang bisa menular melalui udara, atau diare yang menular melalui air.

Kedua, penggunaan kata mencemaskan hanya sebatas sensasi karena tidak digambarkan realitasnya (kenyataannya). Misalnya, bagaimana kasus HIV/AIDS menjadi persoalan kesehatan masyarakat di Tasikmalaya, ketidakmampuan Odha (Orang dengan HIV/AIDS) untuk berobat, dampak AIDS terhadap perekonomian, dll. Kalau saja digambarkan realitas sosial terkait HIV/AIDS maka tidak perlu memakai kata mencemaskan. Dengan pemaparan epidemi HIV/AIDS dalam konteks realitas sosial akan tergambar kecemasan.

Ketiga, dari aspek epidemiologi kegiatan terkait penyakit menular, seperti HIV, yang dilakukan adalah survailans bukan penelitian. Survailans adalah kegiatan tes HIV terhadap kalangan tertentu dan pada kurun waktu yang tertentu pula untuk mendapatkan angka prevalensi (perbandingan antara yang HIV-positif dan HIV-negatif). Asas survailans adalah anonimitas, kerahasiaan, dan kerelaan.

Keempat, kasus-kasus yang terdeteksi adalah kasus yang sudah lama. Kalau seseorang terdeteksi sebagai HIV-positif maka minimal dia sudah tertular HIV tiga bulan sebelumnya. Jika seseorang terdeteks HIV-positif sudah pada masa AIDS maka minimal dia sudah tertular antara 5 atau 10 tahun sebelumnya. Orang-orang ini menjadi mata rantai penyebaran HIV tanpa mereka sadari. Bagi yang sudah terdeteksi HIV-positif akan memutus mata rantai penyebaran HIV mulai dari dirinya. Sebaliknya, orang-orang yang belum terdeteksi akan terus menjadi mata rantai penyebaran HIV.

Disebutkan “ …. jumlah kasus HIV/AIDS yang mencapai 141 didasarkan pada hasil penilitian yang dilakukan P2PL terhadap kelompok berisiko dengan cara mengambil sampel darahnya. Kegiatan itu dilakukan sejak tahun 2003 hingga September 2007.” Fakta ini membuktikan yang dilakukan adalah survailans sehingga sifatnya anonimitas. Maka, hasil survailans tidak otomatis sebagai kasus HIV/AIDS karena untuk memastikan HIV-positif setiap tes harus dikonfirmasi dengan tes lain. Pada survailans tes dilakukan dengan memaki rapid test atau ELISA. Hasil tes ini tidak valid karena standar prosedur tes HIV yang baku mengharuskan ada tes konfirmasi.

Salah satu faktor yang mendorong penyebaran HIV adalah banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum mencapai masa AIDS (antara 5 – 10 tahun setelah tertular HIV). Tapi, pada kurun waktu itu penularan bisa terjadi tanpa disadari melalui: (a) hubungan seks di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik, jarum akupunktur, jarum tindik, jarum tattoo, dan alat-alat kesehatan, (d) cangkok organ tubuh, dan (e) air susu ibu/ASI melalui proses menyusui. Begitu pula dengan orang yang baru tertular tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS.

Ada fakta yang luput dari perhatian yaitu “ …18 di antaranya meninggal dunia”. Sebelum mereka meninggal dunia ada kemungkinan sudah terjadi penularan kepada orang lain. Bagi yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya atau perempuan lain. Yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada pacarnya atau pekerja seks. Orang-orang yang tertular itulah kemudian yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk.

Dalam berita disebutkan “Sebagian besar,yang terkena atau tertular HIV-AIDS di Kota Tasikmalaya ini adalah pengguna narkoba yang menggunakan jarum suntik, jumlahnya 103 orang. Empat orang berasal dari kelompok pekerja seks.” Informasi ini tidak akurat karena risiko penularan HIV melalui penyalahgunaan narkoba dengan jarum suntik bisa terjadi kalau mereka memakai narkoba beramai-ramai dengan jarum suntik yang sama dipakai bergiliran dan bergantian. Risiko muncul karena ada kemungkinan salah satu dari mereka HIV-positif sehingga yang memakai jarum bersama-sama berisiko tertular HIV.

Jumlah kasus yang mencapai 103 pada pengguna narkoba suntik tidak bisa dianggap remeh karena biasanya satu pengguna narkoba suntik akan bergantian dengan tiga sampai lima temannya. Andaikan satu kelompok terdiri atas lima pengguna maka minimal sudah ada 515 pengguna narkoba yang berisiko tertular HIV di Tasikmalaya. Nah, kalau yang 515 ini menyuntuk pula dengan temannya yang lain dari kelompok semula maka angkanya akan terus bertambah seperti deret ukur. Inilah yang sering tidak kita sadari sehingga sering muncul nada sinis terhadap upaya penanggulangan HIV di kalangan pengguna narkoba. “Ya, biarkan saja lama-lama juga mati.” Ini sering muncul di masyarakat. Tapi, banyak yang tidak menyadari sebelum mereka mati mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari melalui hubungan seks, transfusi darah, dll.

Kepala Bidang Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL), Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya, dr. H. Hasni Mukti, mengatakan masalah penyebaran HIV-AIDS di Kota Tasikmalaya memang sangat mengkhawatirkan. Celakanya, tidak disebutkan seperti apa kekhawatiran itu. Mengapa mengkhawatirkan? Bagaimana kekhawatiran terjadi?
Lagi-lagi inilah informasi yang tidak komprehensif karena pembaca (masyarakat) tidak bisa menangkap fakta tentang penyebaran HIV/AIDS di Tasikmalaya. Soalnya, HIV/AIDS tidak kasat mata seperti diare, TBC, demam berdarah yang ciri-cirinya dapat diketahui dengan mata telanjang. Kalau saja digambarkan mata rantai penyebaran HIV tentu saja masyarakat akan memahaminya dengan baik sehingga mereka menyadari risiko tertular. Pada gilirannya masyarakat akan melindungi dirinya sendiri agar tidak tertular HIV.

Selama informasi tentang HIV/AIDS tidak akurat maka selama itu pulalah penyebaran HIV akan terus berlangsung danpat disadari oleh banyak orang. Pada gilirannya epidemi HIV akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan kasus AIDS. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.