Oleh: Syaiful W. Harahap
[Pemerhati berita HIV/AIDS di media massa melalui LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta]
“Jangan coba-coba dalam berhubungan badan tanpa memakai kondom. Bila ketahuan, ancaman denda sudah menunggu sampai Rp 50 juta.” Itulah lead berita “Rapat Pansus HIV/AIDS Alot , Tak Pakai Kondom Diancam Denda Rp 50 Juta” di Harian “Bali Post” edisi 23 Februari 2008.
Kalau pernyataan itu dibaca selintas maka ada pertanyaan besar: Apa hak Pemkab Badung memaksa pasangan suami istri agar memakai kondom jika melakukan hubungan seks? Rupanya, kewajiban memakai kondom dalam berita itu terkait dengan penanggulangan epidemi HIV.
Tapi, lagi-lagi hal itu menunjukkan kepanikan Pemkab Badung, dan daerah-daerah lain di Indonesia, dalam menghadapi epidemi HIV. Soalnya, selama ini Indonesia menampik ‘kehadiran’ HIV/AIDS di Indonesia dengan alasan bangsa ini adalah bangsa yang berbudaya, beragama dan ber-Pancasila. Penyangkalan itu terjadi karena selama ini HIV/AIDS dikait-kaitkan dengan norma, moral dan agama. Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis sehingga cara-cara pencegahannya pun dapat dilakukan dengan teknologi kedokteran.
Sudah banyak kabupaten, kota, dan provinsi di Indonesia yang menelurkan Perda Penanggulangan HIV/AIDS, mulai dari Papua sampai Riau. Hasilnya? Nol besar.
Mengapa? Ya, karena perda-perda itu sarat dengan moral. Penanggulangan HIV/AIDS hanya mengedepankan moral yang sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan penularan HIV. Misalnya, dalam perda disebutkan mencegahan HIV adalah dengan “meningkatkan iman dan taqwa” (Perda AIDS Riau). Bagaimana mengukur iman dan taqwa yang bisa mencegah HIV?
Begitu pula dengan Perda Prov. Bali No. 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan HIV/AIDS tetap saja mengedepankan moral. Pasal 20 ayat 1 a menyebutkan ” Masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berperanserta dalam kegiatan penanggulangan HIV/AIDS dengan cara meningkatkan ketahanan keluarga untuk mencegah penularan HIV/AIDS.” Apa yang dimaksud dengan ketahanan keluarga? Ini jargon moral. Lalu, bagaimana mengukur ketahanan keluarga yang bisa mencegah penularan HIV? Lagi pula penularan HIV melalui transfusi darah sama sekali tidak ada kaitannya dengan ketahanan keluarga.
Dalam berita juga disebutkan “Orang yang memiliki risiko menderita HIV/AIDS .… “ Ini tidak benar karena yang berisiko adalah perilaku orang per orang yang tidak terkait dengan suku, ras, agama, jabatan, status sosial, dll. Seorang pelacur pun bisa tidak berisiko kalau dia hanya mau meladeni laki-laki yang memakai kondom ketika berhubungan seks. Sebaliknya, ‘orang baik-baik’ bisa berisiko ketika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.
Biar pun ada ancaman kurungan dan denda puluhan bahkan ratusan juta rupiah bagi orang yang tidak mau memakai kondom pada hubungan seks yang berisiko sama sekali tidak ada manfaatnya dalam menanggulangi penularan HIV. Soalnya, bisa saja penduduk Badung melakukan hubungan seks berisiko di luar kabupaten, di luar provinsi bahkan di luar negeri sehingga perda itu tidak mengikat. Kalau ada penduduk Badung yang tertular di luar Badung maka mereka pun akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di Badung. Yang beristri akan menularkan kepada istrinya atau perempuan lain yang menjadi pasangan seksnya atau kepada pekerja seks. Yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada pasangan seksnya atua kepada pekerja seks.
Yang perlu dilakukan adalah menggencarkan penyuluhan HIV/AIDS dengan materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) yang akurat yaitu mengedepankan HIV/AIDS sebagai fakta medis sehingga masyarakat memahami HIV/AIDS dengan benar sehingga setiap orang memahami cara-cara pencegahan yang realistis. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.