Ilustrasi
(Sumber: Time Magazine)
Oleh: Syaiful W HARAHAP
Kalangan ahli sampai
pada kesimpulan bahwa penyangkalan (denial)
seseorang mengapa dia tertular HIV terkait dengan perilaku seksual dirinya atau
pasangannya dan pengetahuan yang tidak akurat terkait dengan pengertian HIV dan
AIDS serta cara-cara penularan dan pencegahannya merupakan faktor utama yang
menyebabkan seseorang tertular HIV.
Sampai
tanggal 31 Maret 2017 laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI tanggal 24 Mei 2017
menunjukkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia mencapai 330.152 yang terdiri
atas 242.699 HIV dan 87.453 AIDS. Estimasi ahli-ahli epidemiologi menyebutkan
kasus HIV/AIDS di Indonesia 600.000. Maka,
baru separuh yang terdeteksi, yang tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran
HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan
di luar nikah.
Memang,
pada kasus ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suaminya tentu buka
karena perilaku seksual mereka, tapi perilaku seksual suami-suami mereka yang
tidak memahami HIV dan AIDS secara benar atau karena termakan mitos (anggapan
yang salah) tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV.
Pejabat
dan tokoh agama di salah satu daerah di Indonesia selalu menolak dan menyangkal
bahwa perilaku seksual sebagian penduduk yang jadi penyebab epidemi HIV di
daerah itu dengan menyalahkan pihak lain (pekerja seks komersial/PSK dari luar
daerah) dan mengusung genosida sebagai orasi moral.
Fakta Medis
HIV
yaitu virus penyebab kerusakan sistem kekebalan tubuh (Human Immunodeficiency Virus)
dan AIDS yakni sindroma kerusakan sistem kekebalan tubuh dapatan karena sistem
kekebalan tubuh dirusak oleh HIV yang ditandai dengan berbagai jenis penyakit (Acquired
Immune Deficiency Syndrome). HIV dan
AIDS adalah fakta medis yaitu bisa diteliti di laboratorium dengan teknologi
kedokteran.
Maka, cara-cara penularan dan pencegahan HIV pun bisa
diketahui secara medis yaitu mencegah agar cairan-cairan tubuh yang mengandung
HIV tidak masuk ke tubuh kita.
Cairan-cairan yang mengandung HIV dalam jumlah yang bisa
ditularkan adalah (1) darah, (2) air mani, (3) cairan vagina, dan (4) air susu
ibu (ASI),
Sedangkan cara-cara penularan adalah (a) darah yang
mengandung HIV melalui transfusi darah, jarum suntik, terpapar ke permukaan
kulit yang ada perlukaan, dan peralatan yang bisa menyimpan darah, (b) melalui
air mani dan cairan vagina yang mengandung HIV pada hubungan seksual (seks
vaginal, seks anal dan seks oral) di dalam nikah dan di luar nikah, (c) melalui
ASI yang mengandung HIV pada proses menyusui.
Jika
disimak cara-cara penularan HIV di atas, maka risiko penularan HIV sama sekali
tidak ada kaitannya secara langsung dengan orientasi seksual yang dikenal yaitu
heteroseksual (laki-laki tertarik secara seksual ke perempuan dan sebaliknya),
homoseksual (secara seksual laki-laki tertarik ke laki-laki atau perempuan
tertarik secara seksual ke perempuan), dan biseksual (laki-laki tertarik secara
seksual ke perempuan dan ke laki-laki).
Maka,
pernyataan yang menyebutkan “secara ilmiah dirumuskan bahwa seks di kalangan gay berisiko lebih
tinggi mendapatkan HIV daripada bukan gay’ tidak akurat. Bukan ‘mendapatkan
HIV’ tapi tertular HIV. Risiko penularan HIV disebut tinggi pada gay karena
seks anal. Pada suami-istri yang melakukan seks anal sebagai variasi pun risiko
penularan HIV sangat tinggi seperti gay kalau (a) salah satu idap AIDS dan (b)
suami tidak pakai kondom
Pemahaman
yang tidak akurat terhadap cara-cara penularan HIV bisa disimak dari jawaban
pertanyaan ini. Setiap pelatihan jurnalisme AIDS salah satu pertanyaan yang penulis
lontarkan adalah: Jika sepasang gay melakukan seks anal tanpa kondom dengan
kondisi dua-duanya HIV-negatif (tidak mengidap HIV), apakah ada risiko
penularan HIV?
Hampir
100 persen peserta selalu menjawab: Ada!
Ini
yang membuat celaka karena mereka menyimpulkan bahwa penularan HIV karena gay melakukan
hubngan seks anal. Padahal, ada risiko penularan HIV pada gay yang melakukan
seks anal kalau salah atu atau kedua-dua pasangan gay itu mengidap HIV dan yang
menganal tidak pakai kondom.
Nikah di Pelacuran
Begitu
juga dengan pertanyaan ini: Jika sepasang remaja melalukan hubungan seksual
pranikah, apakah ada risiko penularan HIV?
Lagi-lagi
hampir semua peserta menjawab: Ada!
Pemahamhan
yang salah dan mitos itu terjadi karena sejak awal epidemi HIV di Indonesia,
dan bebarapa negara di dunia, penularan HIV selalu dikait-kaitkan dengan norma,
moral adn agama. Misalnya, disebutkan penularan HIV karena zina, melacur,
selingkuh, seks anal, seks oral, dll.
Yang
paling menyesatkan adalah informasi yang menyebutkan HIV berkembang biak di
lokalisasi pelacuran. Padahal, secara empiris yang menularkan HIV ke PSK
langsung (PSK yang kasat mata) di lokalisasi pelacuran adalah laki-laki yang
melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan PSK. Dalam kehidupan
sehari-hari laki-laki yang menularkan HIV ke PSK bisa sebagai remaja, lajang,
duda atau suami sehingga mereka ini selain menularkan ke PSK yang beristri
menularkan ke istrinya secara horizontal. Kalau istrinya tertular HIV, maka ada
risiko penularan (vertikal) ke bayi yang dikandungnya.
Selanjutnya
ada pula laki-laki yang tertular HIV dari PSK yang mengidap HIV karena
melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa memakai kondom. Laki-laki yang
kemudian tertular HIV dari PSK aalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai remaja, lajang, duda atau suami.
Mereka ini selain menularkan ke PSK bagi yang beristri akan menularkan HIV ke
istrinya secara horizontal. Kalau istrinya tertular HIV, maka ada risiko
penularan (vertikal) ke bayi yang dikandungnya.
Di
awal tahun 1990-an ada satu organisasi mahasiswa yang memakai agama mengusulkan
agar di lokalisasi pelacuran dilakukan nikah mut’ah bagi pasangan yang mau
melakukan hubungan seksual agar tidak terjadi penularan HIV. Ini jelas
menyesatkan karena penularan HIV bukan karena sifat hubungan seksual (zina,
melacur, pranikah, dll.), tapi karena kondisi pada saat terjadi hubungan
seksual (salah satu atau kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak
pakai kondom).
Karena
mitos PSK di lokalisasi tadi, maka banyak laki-laki ‘hidung belang’ yang merasa
tidak berisiko tertular HIV karena mereka melakukan hubungan seksual dengan
cewek atau perempuan yang bukan PSK dan tidak pula di lokalisasi pelacuran.
Bukan PSK
Mereka
lupa kalau cewek atau perempuan yang disebut sebagai PSK tidak langsung itu
juga melakukan perilaku berisiko yang melakukan hubungan seksual dengan
laki-laki yang berganti-ganti tanpa pakai kondom. Nah, PSK tidak langsung,
seperti cewek pemijat, cewek kampus, anak sekolah, ibu-ibu, dll. risiko
tertular HIV juga sama dengan PSK langsung di lokalisasi pelacuran.
Awal
tahun 2000-an ada seroang pejabat teras di sebuah kabupaten di Indonesia bagian
timur yang mengirim surat ke penulis dengan mengatakan bahwa dia merasa tidak
berisiko terulatr HIV karena dia melalukan hubungan seksal dengan cewek cantik,
pintar, dan kaya di hotel berbintang di wilayahnya atau ketika dinas ke Pulau
Jawa. Waktu itu penulis anjurkan agar pejabat itu tes HIV, tapi dia menolak
dengan alasan tadi. Belakangan saya dengar kabar dari seorang teman yang jadi
pendampingnya kondisi kesehatannya terus turun dan penyakitnya tidak pernah
diungkapkan ke keluarga dan instansi tampat dia bekerja.
Kalau
saja pejabat tadi menjalani tes HIV sesuai anjuran, tentulah kondisinya tidak
parah karena kalau waktu itu terdeteksi HIV positif akan dilanjutkan dengan tes
CD4 untuk menentukan langkah penangangan. Jika CD4 di bawah 350 maka akan diberikan obat antiretroviral (ARV).
Obat
ini bukan menyembuhkan HIV atau AIDS, tapi menghambat penggandaan HIV di dalam
darah. Ketika HIV masuk ke tubuh seseorang, maka HIV akan menggandakan diri di
sel-sel darah putih (ini sel kekebalan tubuh) dengan jumlah miliran setiap
hari. Sel-sel darah putih yang dijadikan HIB sebagai ‘pabrik’ rusak. Celakanya,
HIV yang baru diproduksi akan menggandakan diri pula dengan memakai sel darah
putih sebagai ‘pabrik’.
Ketika
sel darah putih dalam tubuh seseorang yang mengidap HIV banyak yang rusak
sampailah pada masa AIDS (secara statistik terjadi antara 5-15 tahun setelah
tertular HIV) yang ditandai dengan penyakit yang mudah masuk yang disebut
infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll. Penyakit mudah masuk karena
sistem kekebalan tubuh yang rendah yaitu ketika sel darah putih banyak yang
rusak.
Maka,
orang-orang yang termakan mitos dan mengait-ngaitkan norma, moral dan agama
dengan HIV/AIDS akan berada pada situasi yang berisiko tinggi tertular HIV
(dari berbagai sumber). * [kompasiana.com/infokespro] *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.