Oleh: Syaiful W. Harahap
"Diskes Tangerang Intensifkan Penderita HIVAIDS Sampai di Pelosok: ([Harian Media Indonesia, 6 Agustus 2008]). Judul berita ini sensasional karena tidak berpijak pada fakta. Penderita HIV/AIDS tidak bisa dicari dengan kasat mata karena tidak ada gejala, tanda dan ciri-ciri khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).
"Diskes Tangerang Intensifkan Penderita HIVAIDS Sampai di Pelosok: ([Harian Media Indonesia, 6 Agustus 2008]). Judul berita ini sensasional karena tidak berpijak pada fakta. Penderita HIV/AIDS tidak bisa dicari dengan kasat mata karena tidak ada gejala, tanda dan ciri-ciri khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).
Disebutkan “Operasi pencarian penderita HIV/AIDS mulai digelar ....” Ini menyesatkan karena penderita HIV/AIDS tidak bisa dikenali dari fisiknya sehingga tidak mungkin bisa dicari baik di masyarakat maupun di kalangan orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV.
Terkait dengan epidemi HIV yang dilakukan bukan mencari penderita HIV/AIDS, tapi mencari angka prevalensi yaitu perbandingan antara yang HIV-positif dengan yang HIV-negatif pada satu kalangan tertentu dan pada kurun waktu yang tertentu pula. Ini dikenal sebagai survailans. Angka prevalensi ini diperlukan untuk menyusun strategi penangangan dan penanggulangan epidemi HIV.
Kasus-kasus yang terdeteksi melalui survailans tidak menggambarkan fakta karena dilakukan dengan rapid test tanpa konfirmasi. Standar prosedur tes HIV yang baku adalah setiap hasil tes harus dikonfirmasi dengan tes lain.
Maka, kasus-kasus HIV-positif yang terdeteksi melalui survailans belum tentu positif karena bisa saja hasil tes itu positif atau negatif palsu. Contoh darah yang terdeteksi HIV-positif bisa saja positif palsu. Artinya pemilik darah itu tidak tertular HIV. Sebaliknya, yang terdeteksi HIV-negatif pun bisa pula negatif palsu. Pemilik darah sebenanya sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi melalui rapid test.
Hasil positif dan negatif palsu bisa terjadi karena tes HIV hanya akurat kalau infeksi HIV sudah terjadi lebih dari tiga bulan. Soalnya, pada kurun waktu sejak tertular sampai tiga bulan, disebut masa jendela, tubuh belum memproduksi antibodi HIV sehingga tes bisa negatif palsu karena belum ada antibodi HIV. Yang dicari melalui rapid test atau tes ELISA bukan virus (HIV), tapi antibodi HIV.
Disebutkan pula “Petugas yang mendatangi lokasi untuk mengambil sampel darah dari beberapa pekerja seks komersil .... “ Selain bias jender cara-cara ini pun kelak akan mendorong masyarakat melakukan stigmatisasi (cap buruk) dan diskriminasi terhadap orang-orang yang hidup dengan HIV/AIDS (Odha).
Terkait dengan pekerja seks ada fakta yang hilang. Yang menularkan HIV kepada pekerja seks adalah laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, lajang atau duda. Laki-laki yang menularkan HIV kepada pekerja seks akan menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk melalui (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah yang tidak diskrining HIV, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, dan alat-alat kesehatan, dan (d) cangkok organ tubuh.
Pekerja seks yang kelak terdeteksi HIV-positif pun ada dua kemungkinan.
Pertama, pekerja seks itu justru ditulari oleh penduduk lokal yang melakukan hubungan seks tanpa kondom. Jika ini yang terjadi maka sudah ada kasus HIV di kalangan masyarakat lokal tapi tidak terdeteksi.
Kedua, pekerja seks itu sudah tertular HIVsebelum ‘praktek’ di Tangerang. Kalau ini yang terjadi maka penduduk lokal yang melakukan hubungan seks dengan pekerja seks tanpa kondom akan berisiko tinggi tertular HIV.
Dalam berita disebutkan “Dinas Kesehatan Kabu-paten Tangerang dan lem-baga Global Found mengintensifkan pencarian penderita HIV/AIDS di wilayah pelosok dan terpencil yang belum diketahui.” Dalam prakteknya, seperti yang disebutkan dalam berita, kasus HIV hanya dicari di kalangan pekerja seks.
Dalam berita tidak dijelaskan mengapa terjadi peningkatan kasus HIV/AIDS di Tangerang. Kasus HIV/AIDS tidak akan pernah berkurang karena laporannya dilakukan secara kumulatif yaitu angka terus ditambah dengan kasus baru.
Pertambahan jumlah kasus HIV/AIDS bisa terjadi karena kegiatan survailans yang tinggi, jangkauan VCT yang luas, dan banyak kasus HIV-positif sudah mencapai masa AIDS sehingga membutuhkan penanganan medis di rumah sakit. Banyak kasus HIV/AIDS justru terdeteksi pada masa AIDS karena orang-orang yang sudah mencapai masa AIDS mudah tertular penyakit dan sulit sembuh sehingga mereka memerlukan pertolongan medis.
Jika di Tangerang kasus HIV dan AIDS banyak terdeteksi pada masa AIDS maka hal itu menunjukkan telah terjadi penyebaran HIV tanpa disadari oleh orang-orang yang terdeteksi HIV pada masa sebelum dirnya mencapai AIDS.
Realitas sosial ini sering tidak muncul ke permukaan sehingga banyak orang yang tidak memahami epidemi HIV dengan benar. Orang-orang yang sudah tertular HIV pun tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena selama ini informasi tentang HIV/AIDS tidak akurat. Akibatnya, masyarakat hanya menangkap mitos (anggapan yang salah atau keliru) tentang HIV/AIDS. Masyarakat hanya mengetahui HIV menular karena pelacuran, narkoba dan homoseksual.
Ada beberapa nama dan istilah tidak akurat, seperti: Lembaga Global Found (yang benar adalah Global Fund). Ada pula disebutkan “.... tempat pengobatan Voluntary Counceling Testing (VCT)”. Ini juga tidak pas karena VCT bukan tempat pengobatan tapi tempat untuk menjalani tes secara sukarela dengan asas rahasia bagi yang merasa dirinya berisiko tertular HIV. Yang lain ada rafid test yang benar adalah rapid test.
[Sumber: Newsletter ”InfoAIDS” edisi No. 6/April 2009]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.