16 Oktober 2017

Pemahaman yang Tidak Akurat Terhadap HIV/AIDS

Oleh: Syaiful W. Harahap
[Pemerhati berita HIV/AIDS di media massa melalui LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta]

Salah satu faktor yang menghambat upaya penanggulangan epidemi HIV/AIDS adalah pemahaman yang tidak akurat di semua lapisan masyarakat terhadap HIV/AIDS. Hal ini membuat masyarakat tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan yang masuk akal. Selama materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) tentang HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral, dan agama maka masyarakat hanya menangkap mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

Dalam berita “1.033 Penderita HIV/AIDS Di Sumut, 80 Orang Meninggal” di Harian “WASPADA” edisi 9 Oktober 2007, misalnya, disebutkan “ …. 616 HIV dan 417 positif terjangkit AIDS.” Informasi ini tidak akurat karena yang positif adalah (tertular) HIV bukan AIDS. AIDS sendiri bukan penyakit tapi suatu kondisi ketika sistem kekebalan seseorang yang tertular HIV sudah rapuh yang ditandai dengan berbagai penyakit yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TB, ruam, dll. Karena AIDS bukan penyakit maka AIDS pun tidak menular. Yang menular adalah HIV karena HIV adalah virus yang tergolong sebagai retrovirus yaitu virus yang bisa menggandakan diri di sel-sel darah putih manusia.

Jika seseorang didiagnosis secara medis sudah AIDS maka dia sudah tertular HIV antara 5 atau 10 tahun sebelumnya. Hal inilah yang membuat persoalan HIV ruwet karena pada rentang waktu antara 5 – 10 tahun sebelum terdeteksi terjadi penularan HIV tanpa disadari karena pada kurun waktu itu tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiki orang-orang yang sudah tertular HIV. Bayangkan ada 417 orang yang sudah terdeteksi AIDS. Sebelum mereka mengetahui dirinya AIDS (antara 5 sampai 10 tahun sebelumnya) maka selama itu pulalah mereka menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari melalui: (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) cangkok organ tubuh, (d) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, dan alat-alat keseharan, dan (e) air susu ibu/ASI melalui proses menyusui.

Fakta lain yang sering luput dari perhatian adalah terkait dengan Odha (Orang dengan HIV/AIDS) yang meninggal dunia. Sebelum mereka meninggal dunia mereka pun sudah menularkan HIV kepada orang lain lagi-lagi tanpa mereka sadari. Bagi yang beristri maka dia menularkan HIV kepada istrinya atau perempuan lain yang menjadi pasangan seksnya. Yang tidak beristri menularkan HIV kepada pacarnya atau pekerja seks. Maka, yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal adalah laki-laki bukan pekerja seks karena yang menularkan HIV kepada pekerja seks adalah laki-laki. Kemudian kalau ada pekerja seks yang tertular HIV maka laki-laki yang mengencaninya pun berisiko pula tertular HIV.

Belakangan ini kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi di kalangan remaja. Tapi, tidak ada penjelasan yang komprehensif mengapa hal itu terjadi. Akibatnya, muncul stigma (cap buruk) terhadap remaja terutama karena kasus HIV/AIDS di kalangan remaja terdeteksi pada penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) melalui jarum suntik yang dipakai bersama-sama dengan bergiliran.

Kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi di kalangan remaja pada pengguna narkoba suntik karena mereka diwajibkan menjalani tes HIV ketika hendak masuk pusat rehabilitasi narkoba. Fakta inilah yang tidak muncul sehingga memberikan gambaran buruk terhadap remaja. Sebaliknya, remaja dan orang dewasa yang tertular melalui hubungan seks tidak bisa ‘dijaring’ karena tidak ada mekanisme yang ‘memaksa’ mereka untuk menjalani tes HIV.

Di bagian lain disebutkan Sekdaprovsu Drs H Muhyan Tambuse mengungkapkan, perlu pencerdasan kepada masyarakat agar dapat memahami seluk beluk penularan HIV/AIDS serta ikut dalam mencegah meluasnya penyakit yang mematikan ini. Persoalannya adalah selama ini materi KIE tentang HIV/AIDS tidak akurat karena dibalut dengan norma, moral, dan agama.

Misalnya, penularan HIV dikait-kaitkan dengan zina, pelacuran, ‘seks bebas’, ‘jajan’, selingkuh, seks menyimpang, dan homoseksual. Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak selalu memakai kondom setiap kali sanggama. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan dengan cara zina, pelacuran, ‘seks bebas’, ‘jajan’, selingkuh, seks menyimpang, dan homoseksual.

Karena mitos itu pulalah muncul berbagai gerakan yang menolak (lokalisasi) pelacuran. Yang terkait langsung dengan penularan HIV bukan (lokalisasi) pelacuran, tapi hubungan seks yang berisiko tinggi tertular HIV yaitu melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks. Orang-orang yang berperilaku berisiko itulah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV antara penduduk. Semua terjadi tanpa disadari.

Maka, salah satu cara menanggulangi epidemi HIV/AIDS adalah dengan memutus mata rantai penyebaran HIV. Mata rantai dapat diputus jika orang-orang yang sudah tertular HIV terdeteksi. Mereka inilah kemudian yang diajak untuk menghentikan penularan HIV mulai dari dirinya sendiri. Bagi laki-laki dianjurkan agar selalu memakai kondom jika sanggama. Sedangkan bagi perempuan yang terdeteksi HIV-positif dianjurkan agar memeriksakan diri jika hamil karena penularan HIV dari ibu ke bayi yang dikandungnya bisa dicegah.

Untuk itulah diperlukan materi KIE yang akurat yaitu yang mengedepanakn fakta medis tentang HIV/AIDS. Melalui penyuluhan yang gencar diharapkan orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV mau menjalani tes HIV secara sukarela. ***.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.