Ilustrasi
(Sumber: healthandlearning.org)
Oleh: Syaiful W HARAHAP
Gubernur DKI Jakarta
Djarot Saiful Hidayat menyebut Jakarta berada di peringkat ke-4 terbesar
provinsi yang memiliki penderita HIV/AIDS. Ia mengatakan Jakarta berada di
bawah Papua, Papua Barat dan Jawa Timur. Ini ada dalam berita “Jakarta Masuk Provinsi
Tertinggi Nomor 4 Jumlah Penderita HIV/AIDS” di tribunnews.com, 20/9-2017.
Jika mengacu ke data yang dikeluarkan oleh Ditjen P2P,
Kemenkes RI, melalui laporan triwulanan pada tanggal 24 Mei 2017 berupa kasus
HIV/AIDS dari tahun 1987-Maret 2017, maka DKI Jakarta ada pada peringkat
pertama secara nasional dalam jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS yaitu 55.527 yang
terdiri atas 46.758 HIV dan 8.769 AIDS.
Jumlah itu ada di atas Jawa Timur (50.057), Papua
(38.984), Jawa Barat (29.939) dan Jawa Tengah (24.569). Jumlah lengkap per provinsi dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
Sayang,
dalama berita tidak disebutkan sumber yang dikutip oleh Gubernur Djarot. Kalau
saja Pak Gubernur dapat informasi yang akurat, maka yang perlu disampaikan
adalah di antara kasus yang dilaporkan di Jakarta ada yang bukan penduduk DKI.
Tapi, karena mereka tes HIV di Jakarta, maka nama mereka masuk laporan kasus di
DKI yang kemudian menambah jumlah kasus.
Di
bagian lain dalam berita Pak Gubernur mengatakan “ .... para penderita HIV/AIDS
itu bisa diobati jika pengobatan dilakukan secara rutin.”
Memang,
HIV/AIDS ada obatnya tapi tidak bisa disembuhkan. Obat yang ada yaitu obat
antiretroviral (ARV) hanya menekan laju duplikasi atau pertambahan virus di
dalam darah. Jika HIV masuk ke tubuh seseorang, al. melalui hubungan seksual
tanpa kondom, di dalamd an di luar nikah, dengan pengidap HIV/AIDS, maka HIV
akan menggandakan diri di dalam darah yang jumlahnya bisa sampai triliunan setiap
hari.
HIV
menggandakan diri di sel-sel darah putih dengan menjadikan sel tsb sebagai
‘pabrik’. Setelah terjadi penggandaan sel-sel darah putih yang dijadikan
‘pabrik’ tadi rusak. Dalam tubuhn sel darah putih adalah sistem kekebalan
tubuh. Ketika banyak sel darah putih yang rusak itu artinya sistem kekebalan
tubuh rendah dan mudah terserang penyakit.
Pada
tahap tertentu sistem kekebalan tubuh yang rendah disebut masa AIDS yang secara
statistik terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV. Celakanya, sebelum
masa AIDS orang-orang yang mengidap HIV/AIDS tidak menunjukkan gejala dan ybs.
pun tidak mengalami gangguan kesehatan yang khas HIV/AIDS sehingga mereka
menyebarkan HIV tanpa mereka sadari.
Obat
ARV bukan diminum rutin, tapi diminum seumur hidup ketika CD4 sudah di bawah
350. CD4 diketahui melalui tes laboratorium bagi orang-orang yang mengidap
HIV/AIDS.
Disebutkan
pula “Selain melakukan pengobatan, Pemprov DKI juga akan menggalakkan upaya
pencegahan penyakit mematikan tersebut.”
Sampai
hari ini belum ada kasus kematian pada pengidap HIV/AIDS karena HIV atau AIDS,
sehingga penyebutan ‘penyakit mematikan’ adalah ngawur.
Pencegahan
macam apa yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta? Ternyata bukan pencegahan yang
konkret, tapi hanya pencegahan dengan retorika moral yaitu “ .... pihaknya juga
fokus menanamkan nilai positif dalam keseharian masyarakat, agar perilaku
masyarakat bisa berubah menjadi lebih sehat.”
Orang-orang
yang melakukan perilaku berisiko tertular HIV adalah orang-orang yang sehat, al,:
(a)
laki-laki atau perempuan yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual
dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan
pasangan yang berganti-ganti, dan
(b)
laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan perempuan
yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK)
langsung dan PSK tidak langsung.
Nilai
positif macam apa, Pak Gubernur?
Tidak
ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan nilai-nilai negatif. Risiko tertular
HIV melalui hubungan seksual, misalnya, bisa terjadi karena kondisi hubungan
seksual (salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom) bukan
karena sifat hubungan seksual (di luar nikah, zina, melacur, dll.).
Selama
Pemprov DKI Jakarta hanya mengedepankan moral dalam menanggulangi HIV/AIDS,
maka selama itu pulalah insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki
dewasa melalui hubungan seksual berisiko, akan terus terjadi.
Selanjutnya,
warga DKI yang tertular HIV, terutama laki-laki dewasa, akan jadi mata rantai
penyebaran HIV di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di
dalam dan di luar nikah.
Penyebaran
HIV yang terjadi secara diam-diam merupakan ‘bom waktu’ yang kelak dakan
terjadi ‘ledakan AIDS’, * [kompasiana.com/infokespro] *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.