Oleh: Syaiful W. Harahap
[Pemerhati berita HIV/AIDS di media massa melalui LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta]
Walapun sudah banyak daerah, mulai dari kabupaten, kota sampai provinsi yang menelurkan peraturan daerah (Perda) tentang penanggulangan AIDS yang hasilnya nol besar, namun Pemprov DKI Jakarta tetap akan mendanai pengesahan Perda AIDS. Itulah yang tersurat pada berita “1,5 Juta Pria Jakarta Berisiko Tularkan HIV/AIDS” di harian "Suara Pembaruan" edisi 12/1-2008. Perda-perda yang sudah ada menitikberatkan pencegahan pada penularan yang disengaja dan mengedepankan moral. Cara ini ‘bak menggantang asap’.
Sia-sia.
Di Tanah Papua, misalnya, sudah ada beberapa Perda AIDS yaitu Merauke (2003), Nabire (2003), Puncak Jaya (2005), dan Sorong (2006), tapi epidemi HIV tetap menjadi persoalan besar di sana karena jumlah ibu rumah tangga yang tertular HIV dikabarkan lebih banyak daripada pekerja seks yang terdeteksi HIV-positif. Kalau saja pihak-pihak yang merancang Perda AIDS di sana mau membukat mata dan hati dengan melihat realitas sosial tentulah materi Perda akan menukik ke upaya-upaya pencegahan yang realistis. Di luar Papua ada Perda AIDS di Jawa Timur (2004), Bali (2006), Riau (2006), dan Palembang (2007).
Celakanya, Perda-perda di Papua justru mengedepankan moral sebagai cara untuk mencegah penularan HIV. Misalnya, melarang penduduk melakukan hubungan seks di luar nikah, melakukan hubungan seks dengan perempuan yang bukan istri, atau melarang hubungan seks yang menyimpang. Ini semua moralistik yang menghasilkan mitos (anggapan yang salah).
Padahal, di beberapa negara di kawasan Afrika, Eropa Barat, Australia dan Amerika Utara kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa sudah mulai menunjukkan grafik yang mendatar. Obat dan vaksin HIV/AIDS tidak ada. . Lalu, bagaimana hal itu bisa terjadi? Rupanya, masyarakat di sana sudah memahami cara-cara pencegahan yang realistis yaitu menghindari perilaku berisko tinggi tertular HIV: (1) menghindari hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif, (2) menghindari hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, karena ada kemungkinan salah satu dari pelanggan PSK itu HIV-positif, (3) menghindari transfusi darah, (4) menghindari pemakaian jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, dan alat-alat kesehatan secara bersama-sama dengan bergiliran.
Nah, kalau materi dalam Perda-perda itu tetap mengedepankan moral tentulah tidak menyentuh persoalan yang mendasar karena HIV/AIDS adalah fakta medis. Artinya dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga cara-cara pencegahannya pun dapat dilakukan dengan cara-cara yang masuk akal.
Pada Perda AIDS Riau, misalnya, disebutkan bahwa cara mencegah penularan HIV adalah dengan ‘Meningkatkan Iman dan Taqwa’. Bagaimana mengukur tingkat iman dan taqwa yang dapat mencegah penularan HIV? Selain itu Perda ini pun menyuburkan stigma (cap buruh) terhadap orang-orang yang tertular HIV karena mereka dianggap tidak beriman dan tidak bertaqwa. Apakah seorang bayi yang lahir dari ibu yang HIV-positif tertular HIV karena dia tidak beriman dan tidak bertaqwa?
Perda AIDS Kota Palembang pun mengedepankan upaya pencegahan dengan memberikan ancaman hukuman pidana kepada orang-orang yang dengan sengaja menularkan HIV. Padahal, sekitar 90 persen penularan HIV terjadi tanpa disadari. Perda ini tidak bisa mengendalikan penularan HIV karena yang ‘ditembak’ justru orang yang sudah mengangkat bendera putih yaitu orang-orang yang sudah terdeteksi HIV-positif. Kalangan ini, disebut Odha (Orang dengan HIV/AIDS) sudah sepakat menghentikan penularan HIV mulai dari diri mereka. Sementara itu banyak orang di masyarakat yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi justru menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk tanpa disadarinya.
Sebagai virus HIV terdapat dalam (a) cairan darah (laki-laki dan perempuan), (b) air mani (laki-laki, pada sperma tidak ada HIV), (c) cairan vagina (perempuan), dan (d) air susu ibu/ASI (perempuan). Penularan HIV melalui darah yang mengandung HIV bisa terjadi melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik, jaum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan, dan cangkok organ tubuh. Penularan HIV melalui air manu dan cairan vagina yang mengandung HIV bisa terjadi pada saat hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, penetrasi tanpa kondom. Penularan HIV melalui ASI yang mengandung HIV bisa terjadi melalui proses menyusui.
Mencegah penularan HIV yang realistis adalah menghindarkan agar cairan-cairan tubuh yang mengadung HIV tidak masuk ke dalam tubuh orang lain melalui cara-cara di atas. Ini fakta. Tapi, karena selama ini materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) tentang HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral, dan agama maka yang muncul dari berbagai penyuluhan hanya mitos.
Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, seks bebas, seks menyimpang, dan homoseksual. Penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, tidak ada kaitannya secara langsung dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, seks bebas, seks menyimpang, dan homoseksual karena penularan (bisa) terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks mereka lakukan dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, seks bebas, seks menyimpang, dan homoseksual.
Dalam berita disebutkan “Diperkirakan ada 1,5 juta pria di DKI Jakarta saat ini berisiko menularkan HIV/AIDS”. Dikatakan perilaku 1,5 juta pria itulah yang akan dikontrol dan diawasi sebagai upaya untuk mencegah penularan HIV. Pertanyaannya adalah: Bagaimana Perda bisa mengawasi dan mengontrol perilaku orang per orang? Soalnya, setiap orang bisa saja berperilaku yang berisiko tinggi tertular HIV. Tidak hanya 1,5 juta yang diperkirakan itu. Selain itu perilaku berisiko tinggi juga bisa dilakukan di luar yurisdiksi Perda (baca: di luar DKI Jakarta), termasuk di luar negeri.
Berita juga menyebutkan bahwa “ …. 27,43 persen penderita AIDS berada di Jakarta atau yang tertinggi di Indonesia.” Ada fakta yang hilang di sini yaitu banyak Odha yang terdeteksi di Jakarta berasal dari luar daerah karena di daerah mereka tidak ada fasilitas tes HIV. Kalau di Jakarta semua ada termasuk biaya tes HIV yang gratis.
Perda AIDS di Bali dan Jawa Timur pun sami mawon. Tetap mengedepankan aspek moral tinimbang fakta medis dalam upaya menanggulangi AIDS.
Karena penularan HIV lebih banyak terjadi tanpa disadari maka upaya penanggulangan dengan dukungan hukum, dalam hal ini Perda, harus ditujukan kepada fakta ini. Karena penularan bisa terjadi tanpa disadari maka kepada setiap orang diwajibkan memakai kondom jika melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan di wilayah Perda atau di luar wilayah Perda serta di luar negeri.
Persoalan baru muncul: Bagaimana memantau orang per orang apakah mereka memakai kondom jika melakukan hubungan seks berisiko? Salah satu cara adalah dengan menjalankan tes rutin, sentinel, dan khusus kepada kalangan-kalangan tertentu. Hal ini dilakukan di beberapa negara. Di Malaysia, upamanya, menjalankan skrining rutin terhadap pasien klinik PSM, pengguna narkoba suntikan, perempuan hamil, polisi, narapidana, donor darah, dan pasein TB.
Maka tidak mengherankan kalau kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di Malaysia sudah melampui angka 60.000. Bandingkan dengan Indonesia yang baru melaporkan 16.288. Padahal, angka yang dilaporkan tidak menggambarkan fakta karena epidemi HIV terkait dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat.
Biar pun orang-orang yang terdeteksi HIV-positif dikarantina penularan HIV tidak akan berhenti karena di masyarakat banyak orang yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi. Yang bersangkutan pun tidak merasakan sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum masa AIDS (antara 5 – 10 tahun setelah tertular). Pada rentang waktu inilah terjadi penularan secara diam-diam antar penduduk, terutama melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah.
Untuk memutus mata rantai penyebaran HIV antar penduduk maka perlu digalakkan penyuluhan dengan materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) HIV/AIDS yang akurat dengan mengepankan fakta medis. Penyuluhan diharapkan akan mendorong orang-orang yang pernah melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV mau menjalani tes HIV. Semakin banyak kasus HIV yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.