19 Oktober 2017

Lokalisasi Pelacuran untuk Melindungi Masyarakat

Oleh: Syaiful W. Harahap
[Pemerhati berita HIV/AIDS di media massa melalui LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta]


Berita “Di Tasik Harus Ada Lokalisasi PSK?” di Harian “PRIANGAN”, Tasikmalaya, edisi 4/3-2008 menunjukkan ambiguitas terhadap realitas sosial. Tanpa lokalisasi pelacuran pun praktek-praktek pelacuran tetap terjadi. Lokalisasi pelacuran terkait dengan kesehatan masyarakat yaitu melindungi masyarakat dari penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks disebut IMS yaitu infeksi menular seksual.

Pelacuran merupakan kegiatan yang seusia dengan kehidupan manusia. Selama ini orang-orang yang memakai kaca mata moral melihat pelacuran dari sudut peremupan yaitu pekerja seks komersial (PSK). Padahal, pelacuran hidup karena kehadiran laki-laki. Tapi, karena yang bicara laki-laki dan memakai kaca mata moral yang menjadi sasaran tembak adalah PSK (baca: perempuan).

Selama ada roda kehidupan maka (praktek) pelacuran tidak akan berhenti. Bahkan, akidah pun dipakai untuk ‘menghalalkan’ pelacuran. Di Jakarta dan beberapa tempat yang melakukan ‘kawin kontrak’, praktek pelacuran ‘dihalalkan’ dengan nikah mut’ah. Secara akidah pernikahan itu sah karena sudah memenuhi rukun nikah yaitu (1) ada calon mempelai laki-laki dan perempuan, (2) ada wali, (3) ada saksi, (4) ijab, dan (5) kobul. Tapi, mereka khilaf bahwa seseorang yang sudah mereka ‘nikahkan’ kemudian ‘bercerai’ setelah beberapa jam atau beberapa hari mempunyai masa idah yaitu tiga bulan. Tapi, perempuan-perempuan itu bisa ‘menikah’ lagi beberapa jam setelah ‘bercerai’.

Praktek Pelacuran

Yang perlu diperhatikan dalam hal pelacuran bukan ada atau tidak lokalisasi, tapi yang perlu diperhatikan adalah praktek pelacuran yaitu kegiatan berupa hubungan seks, dalam hal ini antara laki-laki dan perempuan, dengan imbalan uang yang diberikan laki-laki kepada perempuan. Kegiatan seperti ini tidak hanya terjadi di lokalisasi pelacuran tapi bias terjadi di mana saja dan kapan saja. Siang atau malam hari bias terjadi di losmen, motel, hotel melati atau berbintang, rumah, apartemen, taman, hutan, dll.

Praktek pelacuran ada yang terbuka dan ada pula yang tertutup. Yang terbuka di lokalisasi pelacuran. Sedangkan yang tertutup laki-laki menunggu di satu tempat kemudian perempuan datang menyusul. Ini yang disebut sebagai ‘perempuan panggilan’ karena perempuan yang akan meladeni laki-laki ‘hidung belang’ dipanggil melalui telepon, atau kurir yang bisa seorang pegawai losmen atau hotel, tukang beca, pengojek atau sopir taksi. Ada juga perempuan sudah ‘tersedia’ di losmen atau hotel yang ‘menyamar’ sebagai tamu. Ada pula perempuan dengan dandanan tertentu yang menawarkan diri dengan mangkal di tepi jalan tertentu, di mal atau tempat lain.

Di kala epidemi IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks, seperti sifilis, GO, klamidia, dll.) dan HIV/AIDS sudah ada di pelupuk mata (tidak ada tempat di dunia ini yang bebas AIDS) maka perlu diperhatikan faktor-faktor yang mengandung risiko terhadap penularan IMS dan HIV.

Salah satu faktor yang mendorong tingkat penularan IMS dan HIV adalah kegiatan praktek pelacuran yang terbuka dan tertutup. Jika ditilik dari aspek kesehatan masyarakat maka upaya untuk melindungi masyarakat lebih mudah dilakukan melalui pelacuran terbuka di lokalisasi. PSK yang mangkal di lokalisasi dilatih untuk melindungi diri agar tidak tertular dan tidak menularkan IMS dan HIV.

Satu hal yang perlu diperhatikan dalam kaitan epidemi IMS dan HIV adalah yang pertama kali menularkan IMS dan HIV kepada PSK adalah laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar, duda, lajang, atau remaja yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, petani, sopir, tukang ojek, rampok, garong, pelajar atau mahasiswa. Jika ada PSK yang tertular IMS dan HIV sekaligus maka laki-laki yang kemudian melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan PSK itu akan berisiko tertular IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus.

Kontrol Kesehatan

Mereka itulah, laki-laki yang menularkan IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus dan kemudian laki-laki yang tertular IMS atau HIV atau kedua-duanya sekaligus, yang menjadi mata rantai penyebaran IMS dan HIV/AIDS di masyarakat.

Seorang laki-laki yang tertular IMS akan mengalami gejala, misalnya kencing teradsa nyeri, beberapa hari setelah tertular sehingga bisa diketahui. Tapi, lain halnya dengan HIV/AIDS. Orang-orang yang tertular HIV tidak menyadari dirinya sudah tertular hIV karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya dan tidak ada pula keluhan kesehatan sebelum masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tertular HIV). Tapi, para rentang waktu ini sudah bisa terjadi penularan HIV, lagi-lagi tanpa disadari, melalui: (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) cangkok organ tubuh, (d) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, dan alat-alat kesehatan, (e) air susu itu (ASI).

Dalam kaitan epidemi IMS dan HIV inilah kemudian masalah lokalisasi dan praktek pelacuran perlu diperhatikan. Yang bisa ditangani oleh instansi, dalam hal ini Dinas Kesehatan, adalah pelacuran terbuka di lokalisasi. PSK di lokalisasi menjalani pemeriksaan kesehatan secara rutin. PSK yang terdeteksi mengidap IMS diobati dan dilarang untuk melayani tamu sebelum penyakitnya sembuh.

Memang, yang bisa dikontrol secara rutin adalah IMS, sedangkan terhadap HIV/AIDS hanya dilakukan survailans tes HIV (didahului dengan konseling, dilakukan secara sukarela dan anonim) yaitu untuk memperoleh angka prevalensi (perbandingan antara yang HIV-positif dan HIV-negatif pada kurun waktu tertentu). Angka-angka ini dipakai untuk merancang kegiatan penyuluhan untuk pencegahan dan sebagai peringatan bagi laki-laki ‘hidung belang’ agar tidak melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan PSK di lokalisasi itu.

Untuk melindungi masyarakat dari ancaman penularan IMS dan HIV maka laki-laki ‘hidung belang’ diwajibkan memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks dengan PSK. Kalau ‘hidung belang’ yang mengidap IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus maka mereka tidak menularkannya kepada PSK. Sebaliknya, kalau PSK yang mengidap IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus maka ‘hidung belang’ tidak tertular IMS atau HIV sehingga mereka tidak akan menjadi mata rantai penularan HIV ke masyarakat.

Perda Anti Pelacuran

Agar peraturan ini efektif maka jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS yang dihukum bukan PSK tapi germonya (di lokalisasi pelacuran ada germo yang mempekerjakan beberapa PSK). Soalnya, kalau yang dihukum PSK maka kewajiban memakai kondom tidak akan berjalan karena lelaki ‘hidung belang’ akan menolak permintaan PSK dengan mendatangi germo untuk memaksa PSK meladeninya tanpa kondom.

Yang sulit dikontrol justru PSK yang melakukan praktek pelacuran secara tertutup. Untuk itulah kalau ada lokalisasi pelacuran maka orang-orang yang terlibat praktek pelacuran di luar lokalisasi (germo, PSK, laki-laki ‘hidung belang’, penyedia tempat, dll.) diancam dengan hukuman yang berat. Hukuman diperberat kalau PSK yang tertangkap kemudian terdeteksi mengidap IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus karena mereka tidak memakai kondom.

Jika bertolak dari upaya menyelamatkan masyarakat maka lokalisasi pelacuran bukanlah tindakan melegalkan pelacuran karena tanpa lokalisasi pun praktek pelacuran terus terjadi. Inilah yang mengancam masyarakat karena laki-laki yang melakukan hubungan seks dengan perempuan (baca: PSK) di losmen, motel, hotel, rumah, apartemen, dll. Berisiko tinggi tertular IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus. Kalau mereka tertular maka mereka akan menularkannya kepada orang lain.

PSK di pelacuran tertutup sering disamarkan sebagai ‘anak sekolah’, ‘ayam kampus’, ‘cewek salon’, dll. Apa pun namanya sehingga tidak menggambarkan PSK tapi mereka itu tetaplah sebagai orang yang berisiko tinggi tertular IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus karena mereka melakukan hubungan seks dengan pasangan yang berganti-ganti.

Sampai sekarang sudah banyak daerah (kabupaten, kota, dan provinsi) yang menelurkan peraturan daerah (Perda) yang melarang pelacuran dan penanggulangan HIV/AIDS. Tapi, hasilnya nol besar karena yang diatur tidak menyentuh inti persoalan yaitu upaya untuk mencegah penularan IMS dan HIV dengan cara yang masuk akal serta melindungi masyarakat. Perda-perda itu justru mengedepankan moral sebagai alat untuk mencegah penularan IMS dan HIV serta mengancam orang-orang yang menularkan HIV. Padahal, lebih dari 90 persen penularan HIV terjadi tanpa disadari.

Salah satu upaya untuk memutus mata rantai penyebaran IMS dan HIV melalui Perda adalah dengan mebuat ketentuan yang mewajibkan laki-laki memakai kondom jika melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperi PSK, baik di lokalisasi pelacuran maupun di pelacuran tertutup. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.