Ilustrasi
(Sumber: The Indian Express)
Oleh: Syaiful W HARAHAP
Kepri (Provinsi Kepulauan Riau-pen.)
adalah daerah transit bagi penyebaran HIV/AIDS dan narkoba dan obat-obat
terlarang. Karen berbatasan langsung dengan Singapura dan Malaysia. Letak
geografis ini, yang menyebabkan pertumbuhan penderita HIV/AIDS terus meningkat.
Ini dikatakan oleh Direktur Rehabilitasi, Kementerian Sosial (Kemensos), Sonny
W Manalu (HIV/AIDS di Kepri Perlu Penanganan Extra Ordinary, batampos.co.id, 9/10-2017),
Begitu
juga dengan Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Kepri, Doli Boniara, yang mengatakan: “Sebagai
daerah lintas negara, Kepri memang sangat rentan dengan penyebaran HIV/AIDS.
Bukan hanya narkoba juga demikian. Maka kita terus mendapatkan sorotan dari
pusat.”
Mitos dan Penyangkalan
Laporan
Ditjen P2P, Kemenkes RI tanggal 24 Mei 2017 menyebutkan kasus kumulatif
HIV/AIDS di Kepri sebanyak 8.099 yang terdiri atas 6.971 HIV dan 1.128 AIDS. Jumlah ini menempatkan
Kepri pada peringkat ke-10 jumlah kasus terbanyak secara nasional.
‘Hari
gini’ masih saja ada yang mengumbar mitos (anggapan yang salah) tentang
HIV/AIDS. Tidak ada kaitan langsung antara letak geografis dengan HIV/AIDS
karena di negara-negara yang tertutup dan memakai agama sebagai UUD pun tetap
saja banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi.
Pernyataan
itu akan mendorong warga Kepri, terutama yang berbatasan langsung dengan
Singapura dan Malaysia melakukan penyangkalan terkait dengan perilaku berisiko
mereka. Pengidap HIV/AIDS akan menyalahkan letak geografis dan turis.
Padahal,
warga Kepri yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS tertular HIV karena perilaku
seksual mereka yaitu melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah,
tanpa kondom dengan pasagan yang berganti-ganti atau dengan yang sering
berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK). PSK sendiri
dikenal ada dua jenis, yaitu:
(1)
PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau
lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(2)
PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru
sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam
kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau
pemegang kekuasaan), dll.
Bisa
juga Pemprov Kepri menepuk dada dengan mengatakan tidak ada pelacuran di Kepri.
Kalau yang dimaksud adalah lokalisasi pelacuran yang diregulasi, maka itu benar
karena sejak reformasi semua daerah menutup lokasi dan lokalisasi pelacuran,
kecuali di beberapa daerah.
Tapi,
apaka Pemprov Kepri bisa menjamin tidak ada praktek pelacuran yang merupakan
transaksi seks di wilayahnya?
Tentu
saja tidak bisa karena praktek pelacuran berupa transaksi seks dalam berbagai
bentuk selalu ada dan jamak terjadi. Praktek pelacuran terjadi di sembarang
tempat dan sembarang waktu.
Maka,
insiden infeksi HIV di Kepri, khususnya di Batam, justru terutama terjadi
melalui hubungan seksual antara warga dengan PSK. Batam sendiri menjadi salah
satu tujuan utama perputaran atau rotasi PSK yang dijalankan oleh germo. Maka,
Batam jadi ‘pintu masuk’ HIV/AIDS ke Indonesia karena PSK yang ada di Batam
datang dari banyak daerah di Nusantara (Batambisa Jadi ”Pintu Masuk” Epidemi HIV/AIDS Nasional).
Ilustrasi
(Sumber: lovethefold.blogspot.com)
Sebuah berita di Harian “Pikiran Rakyat” Bandung, misalnya, menyebutkan tahun 2005 ribuan
perempuan asal Indramayu, Jabar, jadi
PSK di Batam (6.300 Wanita Indramayu Jadi PSK di Pulau Batam. Mereka Merasa
Menjadi Pahlawan Ekonomi Keluarga (Harian “Pikiran
Rakyat”, 11/11-2005).
Maka, persoalan bukan karena letak geografis Kepri dan
bukan pula karena kehadiran PSK, tapi karena perilaku warga yang pernah atau
sering melalukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK. Warga yang tertular
HIV kemudian jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat karena mereka tidak
menyadari kalau sudah tertular HIV. Ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda
dan keluhan kesehatan yang khas AIDS pada orang-orang yang tertular HIV sebelum
masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).
Lebih lanjut Manalu mengatakan: “Tidak kita
pungkiri, Kepri, Batam khusus adalah merupakan daerah tujuan yang eksostis
untuk mencari hiburan. Apalagi rentang kendali dengan Singapura dan Malaysia
hanya hitungan menit.”
Lagi-lagi
masalah bukan pada turis, tapi warga lokal. Turis-turis yang mencari pemuasan
seks itu melakukan hubungan seksual dengan PSK di Batam, misalnya. Lalu, warga
ngeseks pula tanpa kondom dengan PSK. Ini akar masalah bukan karena letak
geografis dan turis.
Istri Simpanan
Seorang
dokter di Batam disemprot seorang perempuan muda yang memakai penutup kepala: “Dokter
jangan sembarangan, kami tidak pernah begituan (maksudnya melacur-pen.),” kata
dokter tadi menirukan umpatan pasiennya yang terdeteksi mengidap IMS (infeksi
menular seksual). Dokter itu kian bingung karena adik perempuan tadi juga
mengidap IMS yang sama. Setelah berbincang ketahuan bahwa dua perempuan kakak-beradik
itu jadi istri seorang laki-laki warga Malaysia.
Gambaran
HIV/AIDS dan IMS di kalangan PSK di Batam, di awal tahun 2000-an, bisa disimak
dari pengalaman seorang dokter di sebuah tempat pelacuran. Tidak sedikit PSK
yang berobat ditemukan lebih dari dua jenis IMS. Bahkan, ada PSK yang mengidap
lima jenis IMS. “Saya, bingung, Bang, mana yang duluan saya obati,” kata dokter
tadi ketika itu. Bukan itu saja. Selama pengobatan mereka tetap melayani tamu
sehingga bisa saja terjadi lagi penularan IMS baru.
Nah,
perempuan tadi juga sudah termakan mitos yang selalu mengaitkan HIV/AIDS dan
IMS dengan hubungan seksual di luar nikah, terutama pelacuran. Mitos inilah
salah satu biang keladi insiden infeksi HIV baru di Indonesia karena banyak
laki-laki ‘hidung belang’ yang merasa tidak berisiko tertular HIV dan IMS
karena mereka tidak melakukan hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi
pelacuran.
Manalu
dan Doli menyebutkan langkah penanggulangan HIV/AIDS dengan sosialisasi. Ini
sudah dilakukan sejak awal epidemi HIV di Indonesia. Kalau hanya dengan
sosialisasi hasilnya nol besar karena:
(a)
dibutuhkan waktu yang panjang untuk menyadarkan orang per orang agar tidak
melakukan perilaku berisiko tertular HIV,
(b)
pada rentang waktu menerima sosialisasi sampai ada kesadaran bisa saja ada di
antara yang menerima sosialisasi itu melakukan perilaku berisiko tertular HIV.
Tidak
dijelaskan oleh Manalu apa dan bagaimana penanggulangan HIV/AIDS secara extra ordinary. Yang diperlukan adalah
penanggulangan di hulu yaitu menurunkan, sekali lagi hanhya menurunkan, insiden
infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK. Ini bisa
dilakukan melalui intervensi yaitu memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali
ngeseks dengan PSK.
Tapi,
karena praktek PSK tidak dilokalisir maka intervensi pun tidak bisa dilakukan. Itu
artinya penyebaran HIV/AIDS di Kepri akan terus terjadi yang merupakan ‘bom
waktu’ yang kelak ditandai dengan ‘ledakan AIDS’. * [kompasana.com/infokespro] *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.