Oleh: Syaiful W. Harahap
"200 Sopir Angkutan di Tasikmalaya Dites HIV" (“okezone.com”, 9 Desember 2008]). Berita ini tidak mengedepankan pemahanan terhadap standar prosedur operasi survailans tes HIV. Berita ini menunjukkan wartawan tidak memahami survailans tes HIV. Hal yang sama juga tampak jelas pada Ari Kusmara, Koordinator Harm Reduction KPA Kota Tasikmalaya, melalui pernyataannya yang dikutip wartawan yaitu “Jika hasilnya nanti ada yang positif, kami akan melakukan pemanggilan dan pendekatan lebih lanjut hingga melakukan konseling serta orangnya mau mendapatkan pengobatan. ....”
Pernyataan itu ngawur karena pada survailans tes HIV tidak ada identitas pada sampel darah yang diambil. Cara yang diterapkan KPA Kota Tasikmalaya ini jelas melanggar prosedur dan merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM).
Survailans tes HIV adalah untuk mendapatkan prevalensi yaitu angka perbandingan antara yang HIV-positif dan HIV-negatif pada kalangan tertentu dan pada kurun waktu yang tertentu pula. Tes dilakukan dengan asas anonimitas.
Pada bagian lain disebutkan “Langkah ini diambil lantaran para sopir yang selalu keluar masuk daerah setiap saat sangat rentan tertular penyakit kelamin karena kecenderungan menggunakan jasa PSK sangat tinggi.“ Ini kian rancu. Yang mau dicari prevalensi HIV atau kasus IMS (infeksi menular seksual). Istilah ‘penyakit kelamin’ sudah lama ditinggalkan sehingga tidak dipakai lagi sekarang.
Penolakan yang dilakukan sopir merupakan hak mereka. Apalagi tes HIV/AIDS itu tidak menganut asas anonimitas. Kalau hasilnya akan diberitahu maka harus ada konseling sebelum darah diambil. Selain itu harus pula ada persetujuan.
Biar pun survailans sebelum darah diambil harus ada konseling yang menjelaskan tujuan pengambilan darah dan manfaatnya untuk yang diambil darahnya. Apakah KPA Kota Tasikmalaya melakukan konseling kepada sopir-sopir sebelum darah mereka diambil? Kalau jawabannya TIDAK, maka lagi-lagi sudah terjadi pelanggaran terhadap asas tes HIV yang merupakan perbuatan yang melawan hukum.
Cara-cara yang dilakukan KPA Kota Tasikmalaya ini merupakan kegiatan yang kontra produktif karena akan menimbulkan sikap antipati karena ada unsur pemaksaan. Apalagi sopir dipanggil melalui pengeras suara. Di sini juga ada diskriminasi. Apakah hanya sopir yang perilakunya berisiko? Bagaimana dengan kondektur, kernet, dan pegawai terminal, apakah mereka tidak mungkin melakukan perilaku berisiko tertular HIV?
Sudah saatnya instansi atau institusi yang terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS menaati aturan.
[Sumber: Newsletter “InfoAIDS” edisi No 3/Januari 2009]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.