28 September 2017

Sejak Reformasi Prostitusi Terselubung

Oleh: Syaiful W. Harahap

"Kawasan Prostitusi Terselubung di Kota Serang" (Harian “Radar Banten”, 13 April 2009). Judul berita ini ‘provokatif’ karena mengesankan ada ‘pembiaran’ dari Pemkot Serang terhadap pelacuran. Semula peserta “Pelatihan bagi Jurnalis dalam Peliputan HIV/AIDS” yang digelar oleh KPA Prov. Banten, Forum Diskusi Wartawan Harian (FDWH) Banten, dan MRO KPAP DKI Jakarta/HCPI di Serang (10-11 April 2009) diminta untuk mendeskripsikan perilaku berisiko, dalam hal ini terkait dengan hubungan seks.

Tapi, ketika mereka ‘diterjunkan’ di tempat-tempat yang sering dijadikan ajang ‘transaksi seks’ yang terjadi justru ‘kekagetan’ melihat realitas di depan mereka. Bahkan, ada yang terpaksa merokok untuk menghadapi pekerja seks yang mereka jumpai.

Laporan yang disampaikan pada acara diskusi esok harinya sama sekali jauh dari deskripsi realitas tapi menggunakan kata-kata normatif serta sensasional. Misalnya, menor, agresif, dll. Ini mengesankan hanya pekerja seks yang menor atau agresif. Lagi pula mereka tidak mendeskripsikan seperti apa pekerja seks yang mereka sebut menor dan agresif itu.

Penggunaan kata kawasan terhadap tempat pekerja seks itu mangkal tidak tepat karena kata ini mengesankan suatu daerah yang luas, seperti lokaliasi. Kawasan adalah bagian-bagian yang satu sama lain saling berhubungan, seperti kawasan industri.

Secara de jure tidak ada negara yang mengizinkan pelacuran, tapi kegiatannya dilokalisir. Cara ini akan mencegah penyebaran penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks, disebut infeksi menular seksual/IMS, seperti sifilis, GO, herpes, virus hepatitis B, dan HIV ke masyarakat karena kesehatan pekerja seks dan pemakaian kondom dapat dikontrol.

Seorang aktivis LSM di Bali yang mendampingi pekerja seks ‘dihajar’ seorang wartawan di harian yang terbit di Jakarta. “Mr X (pimpinan LSM tadi) melindungi pelacur.” Itulah kesimpulan berita di media cetak itu.

Apa pasal? Rupanya, LSM tadi setiap hari Jumat membawa pekerja seks ke kliniknya di Denpasar untuk pemeriksaan kesehatan rutin, tertutama yang terkait dengan IMS. Rupanya, inilah yang dilihat wartawan tadi sebagai kegiatan yang melindungi pelacur.

Padahal, yang dilakukan LSM tadi justru melindungi masyarakat, khusunya perempuan, agar tidak tertular IMS. Soalnya, laki-laki yang menjadi pelanggan pekerja seks akan menjadi jembatan penyebaran IMS dan HIV dari pekerja seks ke istri atau pasangan seks mereka. Pemeriksaan rutin akan menurunkan insiden IMS dan HIV di kalangan pekerja seks.

Terkait dengan perlindungan terhadap masyarakat itu pulalah yang diharapkan bisa diperoleh peserta pelatihan. Tapi, mereka rupanya lebih tertarik mengorek keterangan yang sudah merupakan streotip yaitu konsepsi normatif tentang sifat suatu kalangan tertentu berdasarkan prasangka yang subjektif.

Coba simak pernyataan dalam berita itu “Janda beranak dua ini beralasan, memilih menggeluti kehidupan malam demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Selain tak memiliki keterampilan lain, ia juga tak bisa berganti pekerjaan karena sulitnya mendapatkan penghasilan dari pekerjaan lain. Apalagi dengan usianya yang hampir berkepala empat dan berpendidikan setingkat SLTP.” Di mana pun, kapan pun, dan siapa pun pekerja seks yang ditanya, maka jawaban yang muncul akan sama seperti itu.

Yang diharapkan dari kunjungan lapangan itu justru wartawan bisa ‘memotret’ perilaku berisiko dengan panca indera mereka dalam bentuk diskripsi. Sebelum mereka ke lapangan sudah ada diskusi, tapi sebagian besar justu memotretnya dengan ‘kamera moral’.

Sama sekali tidak ada realitas tentang laki-laki yang menjadi pelanggan pekerja seks itu. Ini terkait dengan risiko penularan IMS dan HIV di masyarakat, terutama kaum ibu, dari suami-suami mereka. Dengan menggambarkan, tentu saja berdasarkan fakta empiris, siapa saja pelanggan pekerja seks itu akan muncul fakta terkait dengan risiko tertular IMS dan HIV di kalangan perempuan, khususnya ibu rumah tangga (istri).

Dukungan data yang diharapkan adalah upaya atau cara pekerja seks untuk melindungi diri mereka agar tidak tertular IMS dan HIV. Ini dapat dilihat dari penjualan kondom di sekitar lokasi atau wawancara dengan pekerja seks dan pelanggannya.

Di kalangan laki-laki ‘hidung belang’ selama ini ada anggapan bahwa pil antibiotik dosis tinggi dapat mencegah penularan IMS dan HIV. Untuk itu perlu dilihat tingkat penjualan antibiotik di sekitar lokasi

Untuk melihat fakta terkait dengan tingkat penggunana kondom maka digambarkan pemeriksaan IMS di praktek dokter, klinik, rumah sakit atau sarana kesehatan lain di sekitar lokasi. Selain itu ada pula data di klinik VCT untuk kasus HIV.

Penggambaran yang merupakan fakta empiris di realitas sosial akan meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap upaya melindungi diri. Dengan berita yang sensasional tidak ada harapan menggugah kepedulian masyarakat untuk melindungi diri agar tidak tertular IMS dan HIV atau dua-daunya sekaligus.

[Sumber: Newsletter ”InfoAIDS” edisi No. 7/Mei 2009]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.