07 September 2017

Menyoal Tes HIV Sebelum Menikah

Oleh: Syaiful W. Harahap
[Pemerhati masalah HIV/AIDS dan direktur eksekutif LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta]

Ada dua berita di “Waspada” tentang tes HIV sebagai syarat pernikahan, yaitu (1) MUI setuju tes HIV jadi syarat nikah (8/6-2009), dan Cek penyakit AIDS syarat nikah perlu didukung (9/-2009). Wacana ini sudah lama bergulir. Ada beberapa hal yang luput dari perhatian terkait tes HIV sehingga tes HIV sebagai syarat nikah tidak akan ada gunanya. Tes HIV sebelum nikah sebuah pekerjaan bagaikan ‘menggantang asap’. Wacana ini muncul sebagai reaksi panik terhadap HIV/AIDS.

Soalnya, selama ini sering didengung-dengungkan bahwa norma, moral, dan agama bisa menangkal AIDS. Hal ini sudah dialami oleh Thailand. Di awal tahun 1990-an negeri itu sudah diingatkan tentang epidemi HIV, tapi mereka menampik dengan alasan masyarakatnya berbudaya dan bergama. Apa yang terjadi sepuluh tahun kemudian? Kasus HIV/AIDS yang terdeteksi mendekati angka satu juta. Devisa dari pariwisata hanya menyumbang dua pertiga untuk biaya penanggulangan HIV/AIDS. Sepertiga lagi ditanggung pemerintah dan bantuan donor asing.

Indonesia pun sudah pernah diingatkan tentang laju pertambahan kasus HIV baru, terutama di kalangan pengguna narkoba suntikan. Dr Peter Piot, ketika itu Direktur Eksekutif UNAIDS (lembaga PBB yang khusus menangani AIDS), di Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik (ICAAP VI di Melbourne, Australia, 2001) meminta agar (pemerintah) Indonesia memperhatikan kasus HIV/AIDS yang meningkat dengan tajam. Kondisi itu membuat Indonesia menjadi salah satu dari tiga negara di kawasan Asia Pasifik yang laju pertambahan kasus infeksi HIVnya tertinggi.

Melawan Hukum

Sayang, biar pun di kongres itu banyak pejabat dan wakil dari Indonesia tapi peringatan Dr Piot itu bagaikan ‘anjing menggonggong kafilah berlalu’. Sama sekali tidak ada tindakan nyata yang dilakukan untuk menanggulangi penyebaran HIV, khususnya di kalangan pengguna narkoba. Maka, tidak mengherankan kalau kemudian sampai akhir Maret 2009 Depkes sudah melaporkan 6.668 kasus HIV dan 16.964 kasus AIDS sehingga secara kumulatif mencapai 23.632 dengan 3.492 kematian.

Tanggapan yang muncul kemudian justru tidak realistis. Salah satu di antaranya adalah upaya memaksa calon pasangan menjalani tes HIV. Dalam berita disebutkan wacana tes HIV bagi calon pengantin pertama kali dilontarkan pejabat di Pemprov Bengkulu. Ini bukan yang pertama karena jauh sebelumnya sudah ada beberapa daerah yang mewacanakan hal itu.

Tes HIV adalah salah satu cara untuk mendeteksi apakah seseorang sudah tertular HIV atau belum. Tapi, yang dicari di dalam darah melalui tes HIV bukan virus (HIV), tapi antibody HIV yaitu zat yang diproduksi tubuh untuk melawan HIV. Antibody ini baru bisa dideteksi dengan tes HIV yang memakai reagent ELISA setelah seseorang tertular HIV di atas tiga bulan. Di bawah tiga bulan, disebut masa jendela, tes HIV tidak bisa mendeteksi antibody HIV di dalam darah. Ada tes yang bisa mendeteksi virus (HIV) di dalam darah biar pun pada masa jendela yaitu tes PCR. Tapi, harga tes ini mahal (sekitar Rp 1,5 juta).

Tapi, biar pun tes dilakukan dengan PCR tetap bukan jaminan tidak akan tertular lagi. Selain itu perlu diingat pula bahwa tidak semua orang harus menjalani tes HIV untuk mengetahui status HIV-nya karena tidak semua orang berisiko tertular HIV. Yang berisiko tinggi tertular HIV adalah orang-orang, laki-laki dan perempuan, yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks. Soalnya, ada kemungkinan salah satu dari pasangan yang berganti-ganti itu HIV-positif sehingga ada risiko penularan. Perilaku lain yang berisiko tertular HIV adalah menggunakan jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran, seperti pada penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya).

Nah, terkait dengan tes HIV bagi calon pengantin maka akan sangat merugikan kalau pasangan itu diharuskan menjalani tes HIV karena mereka masih perawan dan perjaka. Kalau tes tetap diwajibkan maka kita sudah melakukan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM). Selain itu kita pun sudah menuduh calon pengantin itu sebagai orang yang perilaku seksnya berisiko.

Jika tetap ingin memastikan status HIV calon pengantin maka lakukanlah konseling (bimbingan) tentang HIV/AIDS yang bermuara kepada perilaku mereka yang terkait dengan hubungan seks dan penyalahguna. Jika salah satu atau kedua-duanya pernah melakukan perilaku berisiko maka anjurkan tes HIV. Tapi, ingat lagi tes akan efektif jika perilaku berisiko yang pernah mereka lakukan sudah lebih dari tiga bulan. 

Lagi pula tes HIV bukan vaksin. Andaikan hasil tes HIV calon pengantin sebelum mereka menikah negatif, ini bukan jaminan karena bisa saja setelah menikah ada di antara pasangan itu yang melakukan perilaku berisiko tertular HIV.

Grafik Mendatar

Ada anggapan HIV merupakan ‘penyakit turunan’ sehingga muncul kekhawatiran seorang ibu yang HIV-positif akan otomatis menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya. Padalah, kemungkinan tertular dari seorang ibu yang HIV-positif ke bayi yang dikandungnya di bawah delapan persen jika ditangani secara medis sejak hamil sampai melahirkan. Bandingkan dengan beberapa penyakit genetika yang otomatis diturunkan ke anak.
\
Tapi, biar pun ada penyakit genetika yang menghasilkan keturunan yang selamanya akan tergantung kepada obat dan alat medis, tapi tidak menjadi sorotan. Ini terjadi karena selama ini HIV/AIDS dikaitkan dengan norma, moral, dan agama. Padahal, penularan HIV tidak ada kaitannya secara langsung dengan norma, moral, dan agama karena HIV juga menular melalui cara-cara yang sama sekali tidak terkait dengan seks, seperti transfuse darah dan jarum suntik.

Disebutkan tes HIV bagi calon penganting ‘untuk menyelamatkan warga agar keturunannya nanti tidak tertular dari penyakit berbahaya akibat menurunnya kekebalan tubuh itu.’ Ini tidak akurat karena penularan HIV dari ibu-ke-bayi bisa dicegah dengan teknologi kedokteran. Sementara itu ada penyakit yang otomatis diturunkan seratus persen dan menimbulkan kesakitan pada keturannya tapi tidak mendapat perhatian. Korban penyakit keturunan (genetika) ini tidak sedikit jumlahnya.

Di beberapa negara di kawasan Afrika, Eropa Barat, AS, dan Australia kasus infeksi baru di kalangan dewasa mulai menunjukkan grafik yang mendatar. Ini terjadi karena masyarakat di sana sudah mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat. Sebaliknya, di kawasan Asia Pasifik kasus infeksi baru di kalangan dewasa terus meningkat dengan tajam. Ini terjadi karena masyarakat di kawasan ini tidak memamahi cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat. Soalnya, selama ini informasi tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma, moral, dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

Tanggapan terhadap epdemi HIV di Indonesia bagaikan ‘orang yang kebakaran jenggot’. Ketika kasus mulai terdeteksi sama sekali tidak ada tanggapan, tapi ketika kasus demi kasus terkuak mulai panik. Beberapa daerah membuat peraturan daerah (Perda) penanggulangan AIDS, tapi sama sekali isinya tidak menyentuh upaya pencegahan yang realistis. Sudah ada 27 daerah mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota yang menelurkan Perda AIDS. Semua Perda itu hanya mengedepankan aspek norma, moral, dan agama sebagai cara menanggulangi epidemi HIV. Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis yang pencegahannya bisa dilakukan dengan teknologi kedokteran.

Di kala HIV/AIDS sudah di pelupuk mata maka yang perlu digencarkan adalah penyuluhan dengan informasi yang benar yaitu mengedepankan cara-cara penularan dan pencegahan yang faktual. ***

Pernah dimuat di: http://aidsmediawatch.blogspot.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.