07 September 2017

Menyikapi Peringkat Kasus HIV/AIDS Sumut

Oleh: Syaiful W. Harahap[Pemerhati masalah HIV/AIDS dan direktur eksekutif LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta]

“Penyebaran HIV/AIDS Meningkat, Sumut Peringkat Lima.” Itulah judul berita di sebuah harian yang terbit di Medan (2008). Berita itu sama sekali tidak memberikan gambaran tentang epidemi HIV/AIDS di Sumut khususnya dan di Indonesia umumnya. Yang diperlukan adalah upaya mencegah agar tidak ada lagi yang tertular HIV. Ini bisa dilakukan dengan meningkatkan penyuluhan yang berisi materi HIV/AIDS yang akurat.

Di kala banyak negara di dunia, termasuk negara-negara di Afrika yang porak-poranda karena epidemi HIV/AIDS, sudah bisa mengendalikan penularan HIV yang ditandai dengan penemuan kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa yang menunjukkan grafik yang mendatar. Tapi, di negara-negara Asia Pasifik, termasuk Indonesia, yang terjadi justru sebaliknya. Kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa meroket.

Mengapa kedua hal itu bisa terjadi? Di negara-negara yang sudah bisa mengendalikan penularan HIV karena penduduk diberikan materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) HIV/AIDS yang akurat dengan mengedepankan fakta medis sehingga penduduk bisa melindungi diri agar tidak tertular HIV. Sebaliknya, di negara-negara Asia Pasifik materi KIE HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral, dan agama sehingga fakta medis hilang sedangkan mitos (anggapan yang salah) menguat.

Di Indonesia penularan HIV melalui hubungan seks selalu dikait-kaitkan dengan zina, pelacuran, ‘seks bebas’, ‘jajan’, ‘seks menyimpang’, dan homoseksual. Penularan HIV melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam dan di luar nikah (bisa) terjadi kalau salah satu atau kedua-duanya HIV-positif. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan tanpa kondom melalui zina, pelacuran, ‘seks bebas’, ‘jajan’, ‘seks menyimpang’, dan homoseksual.

Satu hal lagi yang sering menjadi mitos adalah ada kesan yang menyebarkan HIV/AIDS adalah pekerja seks. Ini salah karena yang menularkan HIV kepada pekerja seks adalah laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, lajang, duda atau remaja. Mereka bekerja sebagai pegawai, karyawan, sopir, pedagang, guru, dosen, sopir, nelayan, pelajar, mahsiswa, pencopet, perampok, dll. Kemudian, kalau ada pekerja seks yang tertular HIV maka laki-laki yang kemudian menggaulinya tanpa kondom berisiko pula tertular HIV. Laki-laki yang menularkan HIV kepada pekerja seks dan laki-laki yang tertular HIV dari pekerja sekslah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV.

Deteksi Kasus

Dalam berita disebutkan “Dari 193.000 korban HIV/AIDS di Indonesia, …. “. Ini tidak akurat karena angka itu hanyalah estimasi (perkiraan) berdasarkan faktor-faktor yang terkait dengan penularan HIV, seperti jumlah laki-laki pelanggan pekerja seks, pengguna narkoba, dll. Secara nasional kasus yang dilaporkan sampai 31/12-2007 adalah 11.141. Angka ini tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Bandingkan dengan Malaysia yang sudah melaporkan lebih dari 60.000 kasus HIV/AIDS.

Sampai Maret 2008 Sumut berada pada peringkat tujuh secara nasional dengan 424 kasus AIDS. Sebanyak 198 kasus terdeteksi di kalangan penyahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya). Selain itu beberapa kabupaten dan kota di Sumut masuk pula dalam daftar 100 kota/kabupaten prioritas penangangan. Daerah tersebut adalah kabupaten-kabupaten (dalam kurung jumlah kasus AIDS): Madina (2), Tapanuli Selatan (1), Tapanuli Utara (3), Toba Samosir (39), Labuhan Batu (3), Simalungun (1), Deli Serdang (3), Tanjung Balai Asahan, dan Langkat, serta kota-kota: Pematang Siantar (4), Tebing Tinggi (1), Medan (360), dan Serdang Bedagai.

Banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala, ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya dan tidak ada pula keluhan kesehatan terkait AIDS sebelum masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tertular HIV). Namun, pada rentang waktu itu sudah bisa terjadi penularan HIV tanpa disadari melalui: (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah dan cangkok organ tubuh yang tidak diskrining HIV, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, dan alat-alat kesehatan yang dipakai secara bergiliran, dan (d) air susu ibu (ASI).

Celakanya, di Indonesia tidak ada mekanisme yang bisa mendeteksi penduduk yang sudah tertular HIV. Di Malaysia ada mekanisme yang bisa mendeteksi penduduk yang tertular HIV yaitu melalui skirining rutin terhadap pasien klinik penyakit kelamin, pengguna narkoba, perempuan hamil, polisi, narapidana, donor darah, dan pasien TB. Ada pula survai khusus terhadap pekerja seks, homoseksual, pelajar dan mahasiswa. Maka, angka yang terdeteksi di Malaysia pun lebih realistis daripada di Indonesia.

Disebutkan pula “ …. HIV/AIDS bukan hanya permasalahan kesehatan, tetapi juga merupakan masalah sosial, pendidikan, dan …. “. Anggapan ini terjadi karena mitos yang menyelimuti HIV/AIDS selama ini. HIV/AIDS adalah fakta medis. Artinya dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga cara-cara pengobatan dan pencegahannya pun dapat dilakukan secara medis. Epidemi HIV/AIDS berdampak ke sektor sosial, ekonomi dll.

Secara sosial muncul stigmatisasi (pemberian cap buruk atau negatif) dan diskriminasi (membeda-bedakan). Ini muncul karena mitos. Diskriminasi yang paling dominan terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) justru terjadi di sarana kesehatan. Pemerintah pun ikut pula menyuburkan stigma. Di Prov. Riau, misalnya, Dalam Perda Penanggulangan AIDS disebutkan bahwa cara mencegah penularan HIV/AIDS adalah dengan ‘iman dan taqwa’. Pertama, bagaimana mengukur iman dan taqwa yang bisa mencegah penularan HIV? Kedua, orang-orang yang tertular HIV dikesankan sebagai orang yang tidak beriman dan tidak bertaqwa. Bayangkan orang-orang yang tertular dari transfusi darah atau dari suaminya. Apakah mereka ini tidak beriman dan tidak bertaqwa?

Penangangan Hulu

Ada pula kutipan “Artinya penyakit ini bukan hanya penyakit yang menyentuh perseorangan, tetapi sudah masuk ke dalam keluarga. … “ HIV adalah virus yang menular dari seseorang yang HIV-positif ke seseorang melalui cara-cara yang sangat spesifik. Kalau di satu keluarga suami HIV-positif maka ada risiko penularan ke istrinya (horizontal). Kalau istrinya tertular maka ada pula risiko penularan ke anak yang dikandungnya kelak terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI.

Tentang ‘guru agama dan keluarganya termasuk tiga anaknya sudah terjangkit HIV/AIDS’ perlu dipertanyakan. Apakah keluarga di sini termasuk saudara suami atau istri? Kalau yang dimaksud keluarga adalah keluarga inti maka ada kemungkinan ketiga anak itu lahir setelah istrinya tertular. Kalau anak yang sudah lahir sebelum istrinya tertular maka risiko tertular dalam keluarga sangat kecil. Kemungkinannya hanya melalui darah.

Belakangan ini penanggulangan HIV/AIDS lebih ditujukan kepada pengobatan Odha. Dana dari APBD lebih banyak untuk keperluan penanganan Odha. Ini artinya yang ditangani adalah hilir. Berapa pun dana yang disedikan tidak akan cukup kalau masalah di hulu (penularan) tidak diatasi karena, misalnya, ketika terdeteksi 10 Odha tapi pada saat yang sama lebih dari 10 orang yang tertular HIV. Penanganan pada Odha memutus mata rantai penyebaran HIV serta menjaga kesehatan Odha dengan memberikan obat antiretroviral yaitu obat yang dapat menghambat laju pertumbuhan HIV di dalam darah.

Untuk menanggulangi penyebaran HIV yang diperlukan adalah penanganan di hulu. Artinya, upaya untuk mencegah penyebaran HIV antar penduduk lebih ditingkatkan agar jumlah yang orang yang tertular tidak bertambah (lagi).

Dalam kaitan inilah diperlukan penyuluhan dengan materi KIE yang akurat. Yang perlu dianjurkan kepada masyarakat untuk melindungi diri agar tidak tertular HIV adalah tidak melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV yaitu: (a) menghindarkan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, (b) menghindarkan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks atau perempuan panggilan.

Sedangkan bagi yang sudah pernah melakukan perilaku berisiko dianjurkan agar menjalani tes HIV sukarela. Semakin banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputuskan. ***

Pernah dimuat di: http://aidsmediawatch.blogspot.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.