Oleh: Syaiful W. Harahap*
Sumber: Harian ”Jawa Pos”, Surabaya, 20 Januari 2006
Dalam laporan terbaru yang dikeluarkan Ditjen PPM & PL, Depkes RI, tanggal 13 Januari 2006 disebutkan, pada kurun waktu Oktober - Desember 2005 di Jawa Timur terdeteksi 444 kasus AIDS. Dengan demikian sampai 30 Desember 2005 kasus kumulatif HIV/AIDS di Jawa Timur adalah 1.007 yang terdiri atas 283 HIV+ dan 724 AIDS dengan 397 kasus AIDS pada pengguna narkoba suntik serta 225 meninggal.
Dengan tambahan kasus baru itu maka posisi Jawa Timur pada peringkat jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS secara nasional menepati urutan ketiga. Prevalensi AIDS per 100.000 mencapai 2,08.
Boleh-boleh saja kita melirik angka yang kecil ini dengan sebelah mata. Tapi, ada fakta yang sering luput, yaitu kasus yang terdeteksi hanyalah bagian kecil dari kasus yang sebenarnya di masyarakat. Dalam epidemi HIV/AIDS dikenal istilah fenomena gunung es (iceberg phenomenon) yang memberikan gambaran tentang gunung es di samudra.Puncak gunung es yang dapat dilihat sangat kecil (ini menggambarkan angka yang terdeteksi) tapi bagian yang tidak muncul ke permukaan jauh lebih besar (ini menggambarkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat).
Penularan Diam-diam
Penduduk Jawa Timur yang sudah tertular HIV, tapi tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horisontal antar penduduk. Penularan ini terjadi secara diam-diam tanpa disadari, karena seseorang yang sudah tertular HIV tidak akan merasakan kelainan pada kesehatan dirinya. Sebelum mencapai masa AIDS, antara5 - 10 tahun setelah tertular HIV, tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV.
Tapi, biar pun tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV dia sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain melalui: (a) hubungan seks (heteroseks atau homoseks, seks oral atau seks anal) tanpa kondom didalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) transplantasi atau cangkok organ tubuh, (d) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo dan alat-alat kesehatan, (e) air susu ibu (ASI).
Penularan yang terjadi tanpa disadari itulah yang mendorong penyebaran HIVsecara diam-diam. Persaolan kian besar karena sebelum mencapai masa, AIDS banyak orang yang sudah tertular HIV tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV, karena tidak ada keluhan kesehatan yang has.
Penularan secara diam-diam inilah yang membuat epidemi HIV kian runyam. Sebagian besar kasus HIV/AIDS baru terdeteksi setelah masa AIDS. Artinya, sebelum terdeteksi mereka sudah menjadi mata rantai penyebaran HIV tanpa mereka sadari. Masa AIDS terjadi setelah seseorang tertular HIV antara 5 - 10 tahun. Maka, kalau seseorangterdeteksi HIV-positif pada masa AIDS, maka pada kurun waktu antara 5 - 10 tahun sebelumnya dia menjadi mata rantai penularan HIV.
Banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena selama ini materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan moral dan agama, sehingga yang ditangkap masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah). Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, 'seks bebas', selingkuh, seks oral, seks anal dan gay (homoseks). Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan zina, pelacuran, 'seks bebas', selingkuh, seks oral, seks anal dan gay. Dalam ikatan pernikahan yang sah menurut agama dan negara pun bisa terjadi penularan HIV kalau salah satu dari pasangan itu HIV-positif dan suami tidak memakai kondom pada setiap hubungan seks. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif, maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan tanpa kondom dalam zina, pelacuran, 'seks bebas', selingkuh, jajan, seks oral, seks anal atau homoseks.
Penularan Horisontal
Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi karena kondisi hubungan seks bukan sifat hubungan seks. Kalau salah satu pasangan HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom (kondisi) pada saat melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah (sifat), maka ada risiko penularan HIV karena dalam air mani dan cairan vagina terdapat HIV dalam jumlah yang bisa ditularkan.
Selain dalam air mani dan cairan vagina, HIV dalam jumlah yang dapat ditularkan juga teradapat dalam cairan darah dan ASI orang yang HIV-positif. Penularan HIV melalui darah bisa terjadi kalau ada darah yang mengandung HIV masuk ke tubuh melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alatkesehatan atau terpapar pada permukaan kulit yang ada luka-lukanya. Penularan HIV melalui ASI bisa terjadi kalau ASI yang mengandung HIV masuk ke tubuh melalui proses menyusui.
Melindungi diri agar tidak tertular HIV adalah mencegah agar darah, air mani, cairan vagina atau ASI yang mengandung HIV tidak masuk ke dalam tubuh. Namun, kita tidak bisa mengenali orang-orang yang sudah tertular HIV. Inilah fenomena AIDS. Tapi, setiap orang dapat melindungi dirinya dengan cara yang realistis agar tidak tertular HIV, yaitu menghindari perilaku berisiko tinggi tertular HIV: (a) tidak melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, di mana saja dengan pasangan yang berganti-ganti, karena ada kemungkinan salah satu dari mereka HIV-poistif, (b) tidak melakukanhubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, di mana saja dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, karena ada kemungkinan salah satu dari pelanggan mereka HIV-poistif, (c) tidak menerima transfusi darah dan cangkok organ tubuh yang tidak diskrining HIV, (d) tidak memakai jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, pisau cukur dan alat-alat kehatan yang tidak steril.
Jika ada penduduk Jawa Timur, laki-laki atau perempuan, yang pernah melakukan perilaku berisiko, baik di Jawa Timur, di luar Jawa Timur atau di luar negeri tertular HIV, maka mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk.
Untuk memutus mata rantai penyebaran HIV di Jawa Timur dapat dilakukan dengan meningkatkan penyuluhan dengan materi KIE AIDS yang akurat, yaitu materi yang mengedepankan fakta medis, agar penduduk yang pernah melakukan perilaku berisiko tinggi mau menjalani tes HIV secara sukarela. Dengan mengetahui status HIV, maka seseorang dapat diajak untuk memutus mata rantai penyebaran HIV. Misalnya, bagi yang sudah beristri dianjurkan agar selalu memakai kondom kalau melakukan hubungan seks.
Penduduk yang terdeteksi HIV-positif ditangani secara medis sehingga tetap bisa produktif. Misalnya, pemberian obat antiretroviral (ARV), yaitu obat untuk menekan penggandaan HIV di dalam darah. Sedangkan bagi yang tidak tertular dianjurkan agar tidak melakukan perilaku berisiko tinggi. ***
Dalam laporan terbaru yang dikeluarkan Ditjen PPM & PL, Depkes RI, tanggal 13 Januari 2006 disebutkan, pada kurun waktu Oktober - Desember 2005 di Jawa Timur terdeteksi 444 kasus AIDS. Dengan demikian sampai 30 Desember 2005 kasus kumulatif HIV/AIDS di Jawa Timur adalah 1.007 yang terdiri atas 283 HIV+ dan 724 AIDS dengan 397 kasus AIDS pada pengguna narkoba suntik serta 225 meninggal.
Dengan tambahan kasus baru itu maka posisi Jawa Timur pada peringkat jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS secara nasional menepati urutan ketiga. Prevalensi AIDS per 100.000 mencapai 2,08.
Boleh-boleh saja kita melirik angka yang kecil ini dengan sebelah mata. Tapi, ada fakta yang sering luput, yaitu kasus yang terdeteksi hanyalah bagian kecil dari kasus yang sebenarnya di masyarakat. Dalam epidemi HIV/AIDS dikenal istilah fenomena gunung es (iceberg phenomenon) yang memberikan gambaran tentang gunung es di samudra.Puncak gunung es yang dapat dilihat sangat kecil (ini menggambarkan angka yang terdeteksi) tapi bagian yang tidak muncul ke permukaan jauh lebih besar (ini menggambarkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat).
Penularan Diam-diam
Penduduk Jawa Timur yang sudah tertular HIV, tapi tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horisontal antar penduduk. Penularan ini terjadi secara diam-diam tanpa disadari, karena seseorang yang sudah tertular HIV tidak akan merasakan kelainan pada kesehatan dirinya. Sebelum mencapai masa AIDS, antara5 - 10 tahun setelah tertular HIV, tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV.
Tapi, biar pun tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV dia sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain melalui: (a) hubungan seks (heteroseks atau homoseks, seks oral atau seks anal) tanpa kondom didalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) transplantasi atau cangkok organ tubuh, (d) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo dan alat-alat kesehatan, (e) air susu ibu (ASI).
Penularan yang terjadi tanpa disadari itulah yang mendorong penyebaran HIVsecara diam-diam. Persaolan kian besar karena sebelum mencapai masa, AIDS banyak orang yang sudah tertular HIV tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV, karena tidak ada keluhan kesehatan yang has.
Penularan secara diam-diam inilah yang membuat epidemi HIV kian runyam. Sebagian besar kasus HIV/AIDS baru terdeteksi setelah masa AIDS. Artinya, sebelum terdeteksi mereka sudah menjadi mata rantai penyebaran HIV tanpa mereka sadari. Masa AIDS terjadi setelah seseorang tertular HIV antara 5 - 10 tahun. Maka, kalau seseorangterdeteksi HIV-positif pada masa AIDS, maka pada kurun waktu antara 5 - 10 tahun sebelumnya dia menjadi mata rantai penularan HIV.
Banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena selama ini materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan moral dan agama, sehingga yang ditangkap masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah). Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, 'seks bebas', selingkuh, seks oral, seks anal dan gay (homoseks). Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan zina, pelacuran, 'seks bebas', selingkuh, seks oral, seks anal dan gay. Dalam ikatan pernikahan yang sah menurut agama dan negara pun bisa terjadi penularan HIV kalau salah satu dari pasangan itu HIV-positif dan suami tidak memakai kondom pada setiap hubungan seks. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif, maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan tanpa kondom dalam zina, pelacuran, 'seks bebas', selingkuh, jajan, seks oral, seks anal atau homoseks.
Penularan Horisontal
Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi karena kondisi hubungan seks bukan sifat hubungan seks. Kalau salah satu pasangan HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom (kondisi) pada saat melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah (sifat), maka ada risiko penularan HIV karena dalam air mani dan cairan vagina terdapat HIV dalam jumlah yang bisa ditularkan.
Selain dalam air mani dan cairan vagina, HIV dalam jumlah yang dapat ditularkan juga teradapat dalam cairan darah dan ASI orang yang HIV-positif. Penularan HIV melalui darah bisa terjadi kalau ada darah yang mengandung HIV masuk ke tubuh melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alatkesehatan atau terpapar pada permukaan kulit yang ada luka-lukanya. Penularan HIV melalui ASI bisa terjadi kalau ASI yang mengandung HIV masuk ke tubuh melalui proses menyusui.
Melindungi diri agar tidak tertular HIV adalah mencegah agar darah, air mani, cairan vagina atau ASI yang mengandung HIV tidak masuk ke dalam tubuh. Namun, kita tidak bisa mengenali orang-orang yang sudah tertular HIV. Inilah fenomena AIDS. Tapi, setiap orang dapat melindungi dirinya dengan cara yang realistis agar tidak tertular HIV, yaitu menghindari perilaku berisiko tinggi tertular HIV: (a) tidak melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, di mana saja dengan pasangan yang berganti-ganti, karena ada kemungkinan salah satu dari mereka HIV-poistif, (b) tidak melakukanhubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, di mana saja dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, karena ada kemungkinan salah satu dari pelanggan mereka HIV-poistif, (c) tidak menerima transfusi darah dan cangkok organ tubuh yang tidak diskrining HIV, (d) tidak memakai jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, pisau cukur dan alat-alat kehatan yang tidak steril.
Jika ada penduduk Jawa Timur, laki-laki atau perempuan, yang pernah melakukan perilaku berisiko, baik di Jawa Timur, di luar Jawa Timur atau di luar negeri tertular HIV, maka mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk.
Untuk memutus mata rantai penyebaran HIV di Jawa Timur dapat dilakukan dengan meningkatkan penyuluhan dengan materi KIE AIDS yang akurat, yaitu materi yang mengedepankan fakta medis, agar penduduk yang pernah melakukan perilaku berisiko tinggi mau menjalani tes HIV secara sukarela. Dengan mengetahui status HIV, maka seseorang dapat diajak untuk memutus mata rantai penyebaran HIV. Misalnya, bagi yang sudah beristri dianjurkan agar selalu memakai kondom kalau melakukan hubungan seks.
Penduduk yang terdeteksi HIV-positif ditangani secara medis sehingga tetap bisa produktif. Misalnya, pemberian obat antiretroviral (ARV), yaitu obat untuk menekan penggandaan HIV di dalam darah. Sedangkan bagi yang tidak tertular dianjurkan agar tidak melakukan perilaku berisiko tinggi. ***
Syaiful W. Harahap, Pemerhati HIV/AIDS dan direktur eksekutif LSM "InfoKespro" Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.