27 September 2017

CATATAN: Perda Tidak Akan Bisa Menanggulangi AIDS



Oleh: Syaiful W Harahap
[Sumber: Harian ”Swara Kita”, Manado, 11 Maret 2008]

BERITA “Pemprov Diminta Pro Aktif, Perda AIDS ‘Disepelekan’” di “Swara Kita” Manado, Sulut, edisi 23 Februari 2008 menunjukkan pemahaman terhadap pencega-han HIV yang akurat masih ren-dah di banyak kalangan. Sudah ada beberapa kota, kabupaten dan provinsi yang meneluarkan Perda Penanggulangan HIV/AIDS tapi hasilnya nol besar karena perda itu tidak menyen-tuh persoalan yang mendasar terkait dengan pencegahan HIV.

Di Tanah Papua, misalnya, su-dah ada beberapa Perda AIDS mulai dari Merauke sampai Na-bire, tapi epidemi HIV tetap men-jadi persoalan besar di sana. Fakta menunjukkan jumlah ibu rumah tangga yang tertular HIV dikabarkan lebih banyak dari-pada pekerja seks yang terde-teksi HIV-positif. Ini menunjuk-kan bahwa suami-suami mereka pernah atau sering melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan perempuan (heteroseksual) atau laki-laki (biseksual) yang berisiko tinggi tertular HIV yaitu tidak memakai kondom dengan pasangan yang berganti-ganti. Atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan di Tanah Pupua, di luar Tanah Papua atau di luar negeri.

Kalau saja pihak-pihak yang merancang Perda AIDS di Tanah Papua mau membuka mata dan hati dengan melihat realitas sosial tadi tentulah materi Perda akan menukik ke upaya-upaya pencegahan yang realistis. Yaitu menganjurkan kepada penduduk agar tidak melakukan hubungan seks yang berisiko tinggi. Perda memberikan pencerahan kepada penduduk agar memamahi cara-cara penularan dan pencegahan yang masuk akal. Terkait dengan fakta di atas yang perlu disampaikan adalah penduduk diminta agar menghindari hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti psangan, seperti pekerja seks.

Celakanya, Perda-perda di sana justru mengedepankan moral sebagai cara untuk mencegah penularan HIV. Misalnya, melarang penduduk melakukan hubungan seks di luar nikah, melakukan hubungan seks dengan perempuan yang bukan istri, atau melarang hubungan seks yang menyimpang. Ini semua normatif dan moralistik yang hanya menghasilkan mitos (anggapan yang salah) karena tidak ada kaitannya secara langsung dengan penularan HIV.

MITOS AIDS

Sebagai virus HIV terdapat dalam (a) cairan darah (laki-laki dan perempuan), (b) air mani (laki-laki, pada sperma tidak ada HIV), (c) cairan vagina (perempuan), dan (d) air susu ibu/ASI (perempuan). Penularan HIV melalui darah yang mengandung HIV bisa terjadi melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik, jaum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan, dan cangkok organ tubuh. Penularan HIV melalui air manu dan cairan vagina yang mengandung HIV bisa terjadi pada saat hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, penetrasi tanpa kondom. Penularan HIV melalui ASI yang mengandung HIV bisa terjadi melalui proses menyusui. Cara-cara penularan ini jelas tidak ada kaitannya secara langsung dengan norma, moral, dan agama.

Di beberapa negara di kawasan Afrika, Eropa Barat, Australia dan Amerika Utara kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa sudah mulai menunjukkan grafik yang mendatar. Padahal, tidak ada bat dan vaksin HIV/AIDS. Lalu, bagaimana hal itu bisa terjadi? Rupanya, masyarakat di sana sudah memahami cara-cara pencegahan yang realistis yaitu menghindari perilaku berisko tinggi tertular HIV: (1) menghindari hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif, (2) menghindari hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, karena ada kemungkinan salah satu dari pelanggan PSK itu HIV-positif, (3) menghindari transfusi darah dan cangkok organ tubuh yang tidak diskrining HIV, (4) menghindari pemakaian jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, dan alat-alat kesehatan secara bersama-sama dengan bergiliran.

Nah, kalau materi dalam Perda-perda itu tetap mengedepankan norma, moral, dan agama tentulah tidak menyentuh persoalan yang mendasar karena HIV/AIDS adalah fakta medis. Artinya dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga cara-cara pencegahannya pun dapat dilakukan dengan teknologi medis yang benar-benar masuk akal dan dapat dilakukan oleh setiap orang.

Mencegah penularan HIV yang realistis adalah menghindarkan agar cairan-cairan tubuh yang mengadung HIV tidak masuk ke dalam tubuh orang lain melalui: (a) hubungan seks di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, (d) cangkok organ tubuh, dan (e) menyusui. Ini fakta. Tapi, karena selama ini materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) tentang HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral, dan agama maka yang muncul dari berbagai penyuluhan hanya mitos sehingga masyarakat tidak memahami cara-cara pencegahan yang realistis.

Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, seks bebas, seks menyimpang, dan homoseksual. Penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, tidak ada kaitannya secara langsung dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, seks bebas, seks menyimpang, dan homoseksual karena penularan (bisa) terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks mereka lakukan dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, seks bebas, seks menyimpang, dan homoseksual.

Tanpa Disadari

Pada Perda AIDS Riau, misalnya, disebutkan bahwa cara mencegah penularan HIV adalah dengan ‘Meningkatkan Iman dan Taqwa’. Bagaimana mengukur tingkat iman dan taqwa yang dapat mencegah penularan HIV? Selain itu Perda ini pun menyuburkan stigma (cap buruh) terhadap orang-orang yang tertular HIV karena mereka dianggap tidak beriman dan tidak bertaqwa. Apakah seorang bayi yang lahir dari ibu yang HIV-positif tertular HIV karena dia tidak beriman dan tidak bertaqwa?

Perda AIDS Kota Palembang pun mengedepankan upaya pencegahan dengan memberikan ancaman hukuman pidana kepada orang-orang yang dengan sengaja menularkan HIV. Padahal, sekitar 90 persen penularan HIV terjadi tanpa disadari. Perda ini tidak bisa mengendalikan penularan HIV karena yang ‘ditembak’ justru orang yang sudah mengangkat bendera putih yaitu orang-orang yang sudah terdeteksi HIV-positif. Kalangan ini, disebut Odha (Orang dengan HIV/AIDS) sudah sepakat menghentikan penularan HIV mulai dari diri mereka. Sementara itu banyak orang di masyarakat yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi justru menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk tanpa disadarinya.

Perda AIDS di Bali dan Jawa Timur pun sama saja. Tetap mengedepankan aspek moral tinimbang fakta medis dalam upaya menanggulangi AIDS. Akibatnya, perda-perda AIDS itu pun tidak menyentuh persoalan yang mendasar dalam penanggulangan HIV/AIDS yaitu perilaku berisiko tanpa dikaitkan dengan norma, moral dan agama.

Karena penularan HIV lebih banyak terjadi tanpa disadari maka upaya penanggulangan dengan dukungan hukum, dalam hal ini Perda, harus ditujukan kepada fakta ini. Karena penularan bisa terjadi tanpa disadari maka yang perlu ditegaskan dalam Perda adalah kewajiban kepada setiap orang untuk memakai kondom jika melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan di wilayah Perda, di luar wilayah Perda, atau di luar negeri. (penulis seorang pemerhati HIV/AIDS melalui LSM—media watch—“InfoKespro” Jakarta) *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.