12 September 2017

AIDS di Jembrana, Peringatan bagi Penduduk Lokal

Sikap yang diambil oleh Pemkab Jembrana dalam menanggapi kasus HIV/AIDS di daerahnya bagaikan orang yang kebakaran jenggot. Hal ini terkesan dari berita berjudul ''Pascatemuan 12 Penderita HIV/AIDS, Gilimanuk Diobrak-abrik'' yang dimuat ”Bali Post” edisi 14 Januari 2005.

Cara yang ditempuh Pemkab dengan merazia pendatang bagaikan ''menggantang asap'' karena epidemi HIV/AIDS sudah masuk ke populasi (masyarakat). Hal ini bisa terjadi jika ada penduduk Jembrana yang melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan pekerja seks di Jembrana atau di luar Jembrana.

Karena sudah ada lima pekerja seks yang HIV-positif (''Tahun 2004, 12 Penderita HIV/AIDS Ditemukan di Jembrana'', Bali Post, 13 Januari 2004) maka penduduk Jembrana yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan pekerja seks di Jembrana sudah berisiko tertular HIV. Kalau ada penduduk yang tertular maka yang bersangkutan akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal.

Bagi yang beristri maka dia akan menularkannya kepada istrinya atau ke pekerja seks yang lain. Sedangkan yang belum beristri dia akan menularkannya kepada pasangan seksnya, seperti pacar atau pekerja seks lain. Maka, yang terjadi adalah penularan HIV secara horizontal antarpenduduk. Bahkan, bisa saja terjadi pekerja seks justru tertular HIV dari penduduk lokal.

Kalau saja Pemkab Jembrana lebih arif maka yang perlu dilakukan adalah meningkatkan penyuluhan dengan materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) yang komprehensif berupa anjuran agar laki-laki yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan pekerja seks di Jembrana atau di luar Jembrana supaya menjalani tes HIV sukarela. Hanya cara ini yang dapat memutus mata rantai penyebaran HIV di Jembrana karena penduduk yang terdeteksi HIV-positif dapat ditangani agar menjaga perilakunya. Misalnya, memakai kondom jika melakukan hubungan seks, tidak mendonorkan darah serta tidak berganti-ganti jarum suntik bagi pemakai narkoba.

Razia yang hanya ditujukan untuk pendatang merupakan perbuatan yang diskriminatif.
Apakah hanya pendatang yang berisiko menularkan atau tertular HIV?

Jika sembilan orang yang berhasil dirazia langsung diambil darahnya tanpa melalui konseling (bimbingan) dan persetujuan yang bersangkutan maka hal ini merupakan perbuatan melawan hukum dan pelanggaran HAM. Soalnya, standar prosedur oprasi tes HIV mensyaratkan konseling dan pernyataan kesediaan. Jika tanpa konseling dan kesediaan maka tes hanyalah survailans dengan syarat anonimitas (contoh darah tidak diberi tanda atau nama). Kalau contoh darah diberi tanda maka hal itu sudah melanggar standar prosedur operasi tes HIV.

Syaiful W. Harahap
Jl. Pisangan Lama III RT 010/07 No. 1, Jakarta 13230

URL: http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2005/1/19/s6.htm
[Sumber: Harian ”Bali Post”, 19 Januari 2005]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.