Tanggapan
terhadap berita HIV/AIDS di Harian “Radar
Banten” Serang
Oleh: Syaiful W. Harahap
[Sumber: Newsletter ”InfoAIDS” edisi No. 7/Mei 2009]
“Kawasan
Prostitusi Terselubung di Kota Serang”, Harian “Radar Banten”, 13 April 2009. Judul berita ini ‘provokatif’
karena mengesankan ada ‘pembiaran’ dari Pemkot Serang terhadap pelacuran.
Semula peserta “Pelatihan bagi Jurnalis dalam Peliputan HIV/AIDS” yang digelar
oleh KPA Prov. Banten, Forum Diskusi Wartawan Harian (FDWH) Banten, dan MRO
KPAP DKI Jakarta/HCPI di Serang (10-11 April 2009) diminta untuk
mendeskripsikan perilaku berisiko, dalam hal ini terkait dengan hubungan seks.
Tapi,
ketika mereka ‘diterjunkan’ di tempat-tempat yang sering dijadikan ajang
‘transaksi seks’ yang terjadi justru ‘kekagetan’ melihat realitas di depan
mereka. Bahkan, ada yang terpaksa merokok untuk menghadapi pekerja seks yang
mereka jumpai.
Laporan
yang disampaikan pada acara diskusi esok harinya sama sekali jauh dari
deskripsi realitas tapi menggunakan kata-kata normatif serta sensasional.
Misalnya, menor, agresif, dll. Ini mengesankan hanya pekerja seks yang menor
atau agresif. Lagi pula mereka tidak mendeskripsikan seperti apa pekerja seks
yang mereka sebut menor dan agresif itu.
Penggunaan
kata kawasan terhadap tempat pekerja seks itu mangkal tidak tepat karena kata
ini mengesankan suatu daerah yang luas, seperti lokaliasi. Kawasan adalah
bagian-bagian yang satu sama lain saling berhubungan, seperti kawasan industri.
Secara
de jure tidak ada negara yang mengizinkan pelacuran, tapi kegiatannya
dilokalisir. Cara ini akan mencegah penyebaran penyakit-penyakit yang
ditularkan melalui hubungan seks, disebut infeksi menular seksual/IMS, seperti
sifilis, GO, herpes, virus hepatitis B, dan HIV ke masyarakat karena kesehatan
pekerja seks dan pemakaian kondom dapat dikontrol.
Seorang aktivis LSM di Bali yang
mendampingi pekerja seks ‘dihajar’ seorang wartawan di harian yang terbit di
Jakarta. “Mr X (pimpinan LSM tadi) melindungi pelacur.” Itulah kesimpulan
berita di media cetak itu.
Apa
pasal? Rupanya, LSM tadi setiap hari Jumat membawa pekerja seks ke kliniknya di
Denpasar untuk pemeriksaan kesehatan rutin, tertutama yang terkait dengan IMS.
Rupanya, inilah yang dilihat wartawan tadi sebagai kegiatan yang melindungi
pelacur.
Padahal,
yang dilakukan LSM tadi justru melindungi masyarakat, khusunya perempuan, agar
tidak tertular IMS. Soalnya, laki-laki yang menjadi pelanggan pekerja seks akan
menjadi jembatan penyebaran IMS dan HIV dari pekerja seks ke istri atau
pasangan seks mereka. Pemeriksaan rutin akan menurunkan insiden IMS dan HIV di
kalangan pekerja seks.
Terkait
dengan perlindungan terhadap masyarakat itu pulalah yang diharapkan bisa
diperoleh peserta pelatihan. Tapi, mereka rupanya lebih tertarik mengorek
keterangan yang sudah merupakan streotip yaitu konsepsi normatif tentang sifat
suatu kalangan tertentu berdasarkan prasangka yang subjektif.
Coba
simak pernyataan dalam berita itu “Janda beranak dua ini beralasan, memilih menggeluti
kehidupan malam demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Selain tak memiliki
keterampilan lain, ia juga tak bisa berganti pekerjaan karena sulitnya
mendapatkan penghasilan dari pekerjaan lain. Apalagi dengan usianya yang hampir
berkepala empat dan berpendidikan setingkat SLTP.” Di mana pun, kapan pun, dan
siapa pun pekerja seks yang ditanya, maka jawaban yang muncul akan sama seperti
itu.
Yang
diharapkan dari kunjungan lapangan itu justru wartawan bisa ‘memotret’ perilaku
berisiko dengan panca indera mereka dalam bentuk diskripsi. Sebelum mereka ke
lapangan sudah ada diskusi, tapi sebagian besar justu memotretnya dengan
‘kamera moral’.
Sama
sekali tidak ada realitas tentang laki-laki yang menjadi pelanggan pekerja seks
itu. Ini terkait dengan risiko penularan IMS dan HIV di masyarakat, terutama
kaum ibu, dari suami-suami mereka. Dengan menggambarkan, tentu saja berdasarkan
fakta empiris, siapa saja pelanggan pekerja seks itu akan muncul fakta terkait
dengan risiko tertular IMS dan HIV di kalangan perempuan, khususnya ibu rumah
tangga (istri).
Dukungan
data yang diharapkan adalah upaya atau cara pekerja seks untuk melindungi diri
mereka agar tidak tertular IMS dan HIV. Ini dapat dilihat dari penjualan kondom
di sekitar lokasi atau wawancara dengan pekerja seks dan pelanggannya.
Di
kalangan laki-laki ‘hidung belang’ selama ini ada anggapan bahwa pil antibiotik
dosis tinggi dapat mencegah penularan IMS dan HIV. Untuk itu perlu dilihat
tingkat penjualan antibiotik di sekitar lokasi.
Untuk
melihat fakta terkait dengan tingkat penggunana kondom maka digambarkan
pemeriksaan IMS di praktek dokter, klinik, rumah sakit atau sarana kesehatan
lain di sekitar lokasi. Selain itu ada pula data di klinik VCT untuk kasus HIV.
Penggambaran
yang merupakan fakta empiris di realitas sosial akan meningkatkan kepedulian
masyarakat terhadap upaya melindungi diri. Dengan berita yang sensasional tidak
ada harapan menggugah kepedulian masyarakat untuk melindungi diri agar tidak
tertular IMS dan HIV atau dua-daunya sekaligus. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.