Tanggapan
terhadap berita HIV/AIDS di Harian “Cenderawasih Pos”, Jayapura
Oleh: Syaiful
W. Harahap
[Sumber: Newsletter ”infoAIDS”
No 2/Desember 2008]
Berita
“KPA Merauke Akan Pasang Bendera Merah Di Lokalisasi
Atau Tempat Hiburan PSKnya Diketahui Terinveksi HIV/AIDS”.
Itulah judul berita di Harian “Cenderawasih Pos” (16/6-2008). Cara
yang diterapkan KPA Merauke ini menyesatkan karena di lokalisasi atau tempat
hiburan yang tidak ada bendera merah tidak ada jaminan bahwa PSK atau pramuria
di sana bebas HIV.
Cara
yang diterapkan KPA Merauke itu tidak objektif karena pekerja seks komersial
(PSK) dan pramuria yang tidak terdeteksi HIV-positif pun tidak ada jaminan
mereka HIV-negatif. Soalnya, ketika dilakukan tes di antara mereka yang
tertular ada yang masih pada masa jendela yaitu baru tertular di bawah tiga
bulan. Pada masa ini tes bisa menghasilkan positif palsu atau negatif palsu.
Selain itu setelah tes, dengan hasil negatif, bisa saja mereka tertular HIV.
Negatif
palsu berarti di dalam darah mereka sudah ada HIV dan mereka sudah bisa
menularkan HIV kepada laki-laki pelanggannya yang tidak memakai kondom saat
sanggama. Ketika darah mereka diambil untuk tes HIV pada masa jendela
belum ada antibodi HIV dalam darahnya. Tes HIV, baik dengan rapid test atau ELISA, mencari antibodi HIV di dalam
darah bukan HIV sehingga hasilnya negatif.
PSK
atau pramuria yang HIV-negatif palsu ini jauh lebih ‘berbahaya’ daripada
PSK atau pramuria yang sudah terdeteksi HIV-positif. Ketika konseling sebelum
tes HIV semua yang akan menjalani tes HIV sudah diajak untuk memutus mata
rantai penyebaran HIV mulai dari diri mereka jika kelak hasil tes mereka
positif. PSK dan pramuria yang tidak terdeteksi HIV-positif menganggap dirinya
HIV-negatif sehingga mereka tidak memaksa laki-laki pelanggannya untuk memakai
kondom saat sanggama.
Sedangkan
positif palsu adalah seseorang yang terdeteksi HIV-positif tapi sebenarnya dia
tidak tertular HIV. Itulah sebabnya setiap tes HIV harus dikonfirmasi atau
diuji ulang dengan tes lain, misalnya, dengan tes Westren blot.
Laki-laki Penular
Persoalan
lain yang luput dari mata KPA Merauke adalah tentang dua kemungkinan terkait
dengan PSK dan pramuria yang terdeteksi HIV-positif.
Pertama, ada
kemungkinan PSK dan pramuria yang terdeteksi HIV-positif di Merauke tertular HIV
dari laki-laki penduduk lokal atau pendatang. Laki-laki itu bisa sebagai
seorang suami, pacar, jejaka, duda, atau remaja yang bekerja sebagai pejabat,
pegawai, karyawan, mahasiswa, pelajar, nelayan, perampok, dll. Kalau ini yang
terjadi maka tanpa disadari sudah terjadi penularan HIV antar penduduk secara
horizontal tanpa mereka sadari.
Hal
itu bisa terjadi karena laki-laki yang menularkan HIV juga tidak menyadari
dirinya HIV-positif karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas
AIDS pada fisiknya sebelum masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tertular).
Kedua, kemungkinan
PSK atau pramuria yang terdeteksi HIV-positif di Merauke sudah tertular
sebelum ke Merauke. Kalau ini yang terjadi maka laki-laki pelanggan PSK
penduduk lokal atau pendatang berisiko tertular HIV. Kalau ada laki-laki
penduduk lokal yang tertular HIV maka mereka akan menjadi mata rantai
penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Yang beristri akan menularkan
HIV kepada istrinya (horizontal). Kalau istrinya tertular maka ada risiko
penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya (vertikal). Bisa juga ditularkannya
ke PSK lain. Yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada PSK atau pasangan
seksnya.
Fakta-fakta
di ataslah yang luput dari perhatian KPA Merauke sehingga mereka membuat
langkah yang menyesatkan. Tempat yang ditandai dengan bendera biru (menurut KPA
Merauke tidak ada PSK atau premuria yang HIV-positif) terkesan aman. Padahal,
bisa saja di sana ada PSK atau pramuria yang sudah tertular HIV tapi belum
terdeteksi. atau ‘barang baru’.
Bias Gender
Seseorang
bisa saja tertular HIV setiap saat ketika dia melakukan perilaku berisiko
tinggi tertular HIV maka untuk memastikan semua PSK dan pramuria di Merauke
HIV-negatif maka harus dilakukan tes HIV setiap saat. PSK dan pramuria merupakan
orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi karena melakukan hubungan seks
dengan pasangan (laki-laki pelanggan) yang berganti-ganti. Ada kemungkinan
salah satu dari laki-laki pelanggan mereka HIV-positif sehingga PSK dan
pramuria berisiko tertular HIV jika laki-laki pelanggannya tidak memakai
kondom. Pelanggan PSK dan pramuria, penduduk lokal atau pendatang,
berisiko tertular HIV.
Pemasangan
bendera merah dikatakan oleh Kadis Kesehatan Kab. Merauke, drg. Josef Rinta,
sebagai shock therapy. Ini tidak efektif karena biar pun semua
PSK dan pramuria yang terdeteksi HIV-positif ‘dikandangkan’, masih banyak PSK
atau pramuria yang tidak terdeteksi HIV-positif. Selain itu laki-laki yang
menjadi pelanggan PSK dan pramuria di sana tidak ada jaminan semuanya
HIV-negatif.
Kunci
penanggulangan epidemi HIV bukan pada PSK atau pramuria, tapi pada laki-laki
penduduk lokal atau pendatang karena merekalah yang menjadi mata rantai
penyebaran HIV. Cara yang diterapkan KPA Merauke ini bias gender karena hanya
melihat perempuan (PSK dan pramuria) sebagai biang keladi penyebaran HIV.
Buktinya,
dalam berita disebutkan bahwa cara baru yang diterapkan KPA Merauke itu
karena “ …. Pekerja Sex Komersial (PSK) atau Pramuria yang diketahui terinveksi
HIV/AIDS namun tetap melakukan aktivitasnya tanpa menggunakan kondom.”
Mengapa
bukan laki-laki yang diwajibkan memakai kondom? Ini terjadi karena sudut
pandang instansi terkait di Merauke dari posisi moralitas laki-laki.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.