Oleh Syaiful W. Harahap
LSM ”InfoKespro”
Jakarta
Beberapa waktu yang lalu muncul wacana
yaitu melakukan tes HIV dari rumah ke rumah di Papua. Anjuran ini kelihatan
sederhana. Tapi, perlu diingat banyak aspek yang terkait dengan wacana itu.
Bahkan, wacana itu sudah menimbulkan stigma (cap buruk) kepada penduduk Papua.
Laporan terakhir (Agustus 2009) menyebutkan sudah terdeteksi 3.434 kasus HIV/AIDS di Tanah
Papua. Angka ini besar. Tapi, angka itu tidak menggambarkan perilaku penduduk
Papua secara umum.
Angka
itu tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya karena epidemi HIV terkait dengan
fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang
sebenarnya. Tapi, bukan berarti kasus yang tidak terdeteksi harus dicari dengan
cara melakukan tes HIV dari rumah ke rumah.
Usulan
itu mengesankan pemahaman yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS. Sikap itu
hanyalah reaksi yang berlebihan karena panik melihat penyebaran HIV/AIDS.
Cara-cara yang dianjurkan pun tidak lagi bernalar. Hal ini terjadi karena
selama ini materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS
selalu dibalut dengan norma, moral, dan agama sehingga yang muncul hanya mitos
(anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.
Misalnya,
mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, seks pranikah, jajan,
selingkuh, waria, dan homoseksual. Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks
di dalam atau di luar nikah (bisa) terjadi kalau salah satu adau kedua-dua
pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan
hubungan seks. Sebaliknya, kalau dua-dua HIV-negatif maka tidak akan pernah
terjadi penularan HIV biar pun hubungan seks mereka lakukan dengan berzina,
melacur, jajan, selingkuh, dan homoseksual.
Seseorang
dianjurkan memakai kondom ketika melakukan hubungan seks kalau dia melakukan
hubungan seks yang berisiko tinggi tertular HIV, yaitu: (a) hubungan seks
dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam atau di luar nikah, (b) hubungan
seks dengan seseroang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK, di
dalam atau di luar nikah.
Kelatahan
memasyarakatkan kondom tanpa acuan yang jelas yang terjadi di negeri ini
bermula dari kabar bahwa Thailand berhasil menekan kasus infeksi HIV baru di
kalangan dewasa melalui program “100 Persen
Kondom” di lokalisasi pelacuran. Program itu tidak bisa dilakukan
di Indonesia karena tidak ada lokalisasi pelacuran yang resmi. Belakangan
muncul aksi ‘membasmi’ semua tempat yang dianggap terkait dengan pelacuran. Ada
anggapan dengan ‘membasmi’ tempat-tempat maksiat maka HIV/AIDS pun hilang. Ini
salah besar karena praktek pelacuran terjadi setiap saat di sembarang tempat.
Tidak
ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan pelacuran. Mengaitkan pelacuran
dengan penularan HIV merupakan salah satu mitos yang menyesatkan masyarakat.
Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi, di dalam atau di luar nikah,
kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak
memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks.
Lalu,
bagaimana dengan tes HIV? Jika disimak dari aspek epidemi maka tidak ada
keharusan bagi setiap orang untuk mejalani tes HIV karena tidak semua orang
melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV. Maka, amat gegabah dan tidak
bernalar kalau mewajibkan setiap orang atau sekelompok orang untuk menjalani
tes HIV.
Soalnya,
dalam tes HIV yang dicari dengan reagent ELISA
adalah antibodi HIV. Antibodi ini baru bisa terdeteksi setelah HIV berada di
dalam darah minimal tiga bulan. Jika tes dilakukan sebelum tiga bulan sejak
tertular (disebut masa jendela) maka hasil tes bisa positif palsu (terdeteksi
positif tapi dalam darahnya tidak ada antibodi HIV) atau negatif palsu
(terdeteksi negative tapi dalam darahnya sudah ada antibody HIV). Untuk
memperoleh hasil tentulah tes HIV harus diulang minimal setiap tiga bulan.
Soalnya, tiap detik bisa terjadi perubahan status HIV seseorang, terutama
orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV.
Tes
HIV pada masa jendela bisa menimbulkan dampak yang buruk karena orang-orang
yang terdeteksi positif (palsu) mengalama stigmatisasi dan diskriminasi padahal
dalam darahnya tidak ada HIV. Sebaliknya, orang-orang yang terdeteksi negative
(palsu) tapi dalam darahnya ada HIV akan menjadi mata rantai penyebaran HIV
secara horizontal antar penduduk tanpa disadari melalui: (a) hubungan seks
tanpa kondom di dalam atau di luar nikah serta homoseksual, (b) transfusi
darah, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo,
alat-alat kesehatan dan cangkok organ tubuh, dan (d) air susu ibu/ASI.
Lalu,
siapa saja, sih, yang
dianjurkan untuk menjalani tes HIV secara sukarela?
Mereka
adalah orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang dianjurkan untuk menjalani
tes HIV adalah yang pernah melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV
yaitu:
(1)
laki-laki dan perempuan yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di
dalam atau di luar nikah serta homoseksual dengan pasangan yang berganti-ganti,
(2)
laki-laki dan perempuan yang pernah melakukan hubungan tanpa kondom di dalam
atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan,
(3)
laki-laki dan perempuan yang pernah menerima transfusi darah yang tidak
diskrining HIV,
(4)
laki-laki dan perempuan yang pernah memakai jarum suntik, jarum tindik, jarum
akupunktur, jarum tattoo, dan alat-alat kesehatan secara bersama-sama dengan
bergiliran dan bergantian, dan
(5)
laki-laki dan perempuan yang pernah menerima cangkok organ tubuh yang tidak
diskrining HIV.
Hanya
mereka itulah yang dianjurkan untuk menjalani tes HIV. Makin banyak penduduk
yang terdeteksi HIV-positif maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV
diputus sehingga kasus infeksi baru HIV bisa ditekan secara nyata. ***
Jakarta, 2009/08/2
Catatan:
pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/08/28/tidak-semua-orang-harus-menjalani-tes-hiv/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.