Tanggapan terhadap berita HIV/AIDS di Harian “Fajar Banten”
Oleh: Syaiful
W. Harahap*
Berita “Jihad
Lawan HIV/AIDS” di Harian “Fajar
Banten” (9 Juli 2008) menunjukkan sebaliknya. Agama justru dipakai untuk
‘memerangi’ AIDS dengan memakai istilah jihad dalam menanggulangi HIV/AIDS.
Padahal, tidak ada kaitan langsung antara agama dengan penularan HIV.
Penggunaan kata jihad akan menimbulkan stigma baru terhadap HIV/AIDS karena
mengesankan HIV/AIDS sebagai ‘musuh Islam’.
Pada Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik (ICAAP)
VI Oktober 2001 di Australia Direktur Eksekutif UNAIDS (badan dunia di bawah
PBB yang mengurus masalah HIV/AIDS), Dr. Peter Piot, sudah mengingatkan agar
Indonesia memperhatikan epidemi HIV dengan serius karena pertambahan kasus
infeksi HIV baru di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia. Lagi-lagi
peringatan itu dianggap sebagai ‘anjing menggonggong kafilah berlalu’.
Peringatan Piot terutama terkait dengan kasus HIV yang banyak terdeteksi di
kalangan penyalahgunaan narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan
jarum suntik.
Kalau saja pemerintah mendengarkan peringatan itu
tentulah penyebaran HIV melalui penyalahgunaan narkoba dengan jarum suntik
tidak seperti sekarang ini. Dari data yang dikeluarkan Ditejn PPM&PL,
Depkes RI, menunjukkan dari 11.868 kasus AIDS yang dilaporkan sampai 31 Maret
2008 yang terdeteksi di kalangan penyalahguna narkoba suntik mencapai 5.834
atau 49,16 persen secara nasional. Angka ini hanya yang dilaporkan. Masih ada
angka yang belum terdeteksi atau yang tidak dilaporkan oleh rumah sakit,
dokter, atau panti rehabilitiasi narkoba yang mendeteksi kasus AIDS.
Sebagai fakta medis HIV/AIDS tidak ada kaitannya
secara langsung dengan norma, moral dan agama. Maka, dengan memakai kata jihad
dalam menanggulangi HIV/AIDS mengesankan hanya agama Islam yang terkait dengan
HIV/AIDS karena jihad merupakan terminologi yang dipakai dalam agama Islam.
Epidemi HIV sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan agama.
Selain itu pemakaian kata jihad dalam penanggulangan
HIV/AIDS pun akan menimbulkan stigma (cap buruk) pada diri Odha (Orang dengan
HIV/AIDS). Jika jihad dilakukan terhadap HIV/AIDS tentulah secara langsung
terkait dengan Odha karena HIV/AIDS ada pada diri Odha. Tidak bisa memerangi
HIV/AIDS terlepas dari diri orang yang mengidapnya. Selama ini ada kesan
penularan HIV terjadi karena perilaku yang terkait dengan moral.
Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks, baik di
dalam maupun di luar nikah, bisa terjadi kalau salah satu atau kedua-dua
pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali
sanggama. Dalam kaitan ini jelas tidak ada kaitannya dengan norma, moral, dan
agama karena pada banyak kasus penularan terjadi tanpa disadari karena pasangan
itu tidak mengetahui dirinya sudah tertular HIV. Inilah persoalan besar dalam
epidemi HIV.
Pertanyaannya kemudian adalah: Mengapa banyak orang
yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV?
Seseorang yang sudah tertular HIV tidak menunjukkan
tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum
masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tertular). Pada masa AIDS sudah mulai ada
penyakit, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, ruam, jamur, TB, dll.
Penyakit ini sulit disembuhkan karena daya tahan tubuh sudah rusak yang
ditandai dengan kerusakan yang besar pada sel-sel darah putih. Sel-sel darah
putih yang menjadi benteng dalam tubuh rusak karena dijadikan HIV sebagai ‘pabrik’
untuk menggandakan dirinya.
Penyebaran HIV kian tidak terkendali karena penularan
terjadi secara diam-diam tanpa disadari. Ini terjadi karena biar pun tidak ada
tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah
tertular HIV, tapi pada rentang waktu sebelum masa AIDS sudah bisa terjadi
penularan HIV.
Kondisi inilah yang tidak dipahami banyak orang karena
selama ini informasi tentang HIV/AIDS sering dibalut dengan norma, moral, dan
agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Padahal, HIV/AIDS
adalah fakta medis. Artinya dapat diuji di laboratorium dengan teknologi
kedokteran sehingga cara-cara pencegahannya pun dapat dilakukan secara medis.
Mencegah penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam
atau di luar nikah, adalah dengan cara jangan melakukan hubungan seks dengan
orang yang sudah tertular HIV. Ini fakta medis. Hal ini sama sekali tidak ada
kaitannya secara langsung dengan norma, moral, dan agama.
Masalah besar dalam epidemi HIV adalah orang-orang
yang sudah tertular HIV tidak bisa dikenali dengan mata telanjang karena tidak
ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik mereka. Dalam
kaitan inilah sering terjadi penularan HIV tanpa disadari karena ada yang
melakukan hubungan seks, baik di dalam maupun di luar nikah, dengan seseorang
yang tidak diketahui status HIV-nya. Kegiatan ini dikenal sebagai perilaku yang
berisiko tinggi tertular atau menularkan HIV yaitu (a) laki-laki atau perempuan
yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di
luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah
satu dari pasangan itu HIV-positif, dan (b) laki-laki atau perempuan yang
pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar
nikah, dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pelaku
kawin-cerai dan pekerja seks, karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan
mereka HIV-positif.
Kalau jihad akan tetap dipakai dalam penanggulangan
HIV maka yang diperangi dengan jihad bukan HIV sebagai virus atau Odha sebagai
pengidap HIV tapi perilaku yang berisiko tinggi tertular atau menularkan HIV.
Tapi, tunggu dulu. Bagaimana caranya menerapkan jihad
untuk menghentikan perilaku berisiko pada diri orang per orang? Tentu tidak
semudah membalik telapak tangan. Yang diperlukan bukanlah jihad tapi
meningkatkan penyuluhan dengan materi informasi HIV/AIDS yang akurat agar
masyarakat, terutama yang perilakunya berisiko tinggi, memahami risiko yang
dihadapinya akibat perilakunya. Pada gilirannya mereka diajak untuk menjalani
tes HIV secara sukarela. Orang-orang yang terdeteksi HIV-positif akan diajak
untuk memutus mata rantai penyebaran HIV mulai dari dirinya. Maka, semakin
banyak kasus HIV yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran
HIV secara horisontal di masyarakat dapat diputus.
Namun, penggunaan kata jihad akan menambah
‘keangkeran’ HIV/AIDS. Padahal , sebagai virus HIV tidak berbeda dengan virus,
kuman atau bakteri lain yang dapat dicegah tanpa harus mengait-ngaitkannya
dengan norma, moral, dan agama. ***
* Penulis seorang pemerhati masalah HIV/AIDS dan
direktur eksekutif LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta.
[Sumber: http://www.gemadepok.com/index.php?mod=article&cat=Opini&article=41]
– Thursday, 08.07.2008, 04:42pm (GMT+7)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.