Tanggapan
terhadap berita HIV/AIDS di Harian “Pontianak Post” dan Harian “ANALISA” Medan
Oleh:
Syaiful W Harahap
[Sumber: Newsletter “InfoAIDS” edisi No 3/Januari 2009]
BERITA
“Perlu, Tes HIV/AIDS Sebelum Menikah”
di Harian “Pontianak Post” edisi 16
Januari 2007 “Muslim di Malaysia Wajib
Tes HIV sebelum Nikah” di Harian “ANALISA” Medan (20 Desember 2008)
danmenunjukkan pemahaman HIV/AIDS yang tidak akurat. Hal ini terjadi karena
selama ini materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) HIV/AIDS selalu
dibalut dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang
salah) tentang HIV/AIDS.
Misalnya,
penularan HIV dikait-kaitkan dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, seks
bebas dan gay (homoseks). Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks bisa
terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu atau kedua pasangan itu
HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama.
Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak akan pernah terjadi
penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan dengan zina, melacur, selingkuh,
jajan, seks bebas dan gay.
Persoalan
besar dalam pandemi HIV adalah penularan HIV terjadi secara diam-diam tanpa
disadari karena orang-orang yang sudah tertular HIV tidak menyadari bahwa
dirinya sudah HIV-positif. Ini terjadi karena tidak ada tanda, gejala atau
ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV sebelum
masa AIDS (antara 5 – 10 tahun setelah tertular HIV). Namun, penularan HIV
kepada orang lain sudah bisa terjadi melalui: (a) hubungan seks tanpa kondom di
dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik, jarum tindik,
jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan dan cangkok organ tubuh,
dan (d) air susu ibu/ASI melalui proses menyusui.
Walaupun
penularan HIV terjadi tanpa disadari bukan berarti semua orang harus menjalani
tes HIV karena tidak semua orang berisiko (tinggi) tertular HIV. Lagi pula jika
ada keharusan tes HIV sebelum menikah maka hal itu akan merendahkan harkat dan
martabat menusia karena semua orang yang akan menikah dianggap berperilaku
berisiko tinggi tertular HIV. Bayangkan, semua laki-laki dan perempuan yang
akan menikah diharuskan tes HIV.
Bagaimana
dengan laki-laki yang masih perjaka dan perempuan yang masih perawan?
Apakah
mereka harus menjalani tes HIV? Apa alasan sehingga mereka harus tes HIV?
Lalu,
siapa-(siapa) saja, sih, yang harus menjalani tes HIV? Mereka adalah
orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV yaitu: (1) Laki-laki
atau perempuan yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau
di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah
satu dari mereka HIV-positif; (2). Laki-laki atau perempuan yang pernah
melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang
yang sering berganti-ganti pasangan karena ada kemungkinan salah satu dari
mereka HIV-positif; dan (3). Laki-laki atau perempuan yang pernah menerima
transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan (4) Laki-laki atau perempuan
yang pernah cangkok organ tubuh yang tidak diskrining HIV.
Untuk
mengetahui apakah seseorang sudah tertular HIV atau belum hanya dapat diketahui
melalui tes HIV. Tes HIV dengan tes ELISA baru bisa akurat kalau sudah tertular
diatas tiga bulan. Masa tiga bulan sejak tertular disebut sebagai masa jendela
(window period). Kalau ada calon pe-ngantin yang menjalani tes HIV pada masa
jendela maka hasil tes bisa negatif palsu. Artinya, di da-rah yang
ber-sangkutan sudah ada HIV tapi tidak ter-deteksi. Kalau ini yang terjadi maka
tes HIV se-bagai syarat menikah pun akan sia-sia. Hanya menggantang asap.
Ada
tes yang dapat mendeteksi HIV di dalam darah sejak tertular yaitu tes PCR.
Biaya tes ini Rp 1,5 juta. Namun, tetap ada risiko karena tes HIV bukan vaksin.
Artinya, biar pun hasil tes HIV-negatif tidak menjamin selama hidup akan tetap
HIV-negatif. Misalnya, calon pengantin menjalani tes HIV dengan PCR tanggal 2
September 2006 pukul 10.00. Hasilnya negatif. Tapi, bisa saja terjadi beberapa
jam kemudian atau setelah menikah dia melakukan perilaku berisiko dan tertular
HIV.
Karena
tidak ada vaksin HIV maka tidak ada orang yang (bisa) bebas dari HIV jika
perilakunya berisiko tinggi. Agar ‘bebas HIV/AIDS’ bukan melalui tes HIV tapi
menjaga perilaku yaitu menghindari perilaku berisiko tinggi tertular HIV.
Ada
penularan yang sama sekali tidak terkait dengan perilaku yaitu transfusi darah
dan jarum suntik. Kalau seorang donor yang tertular HIV (catatan: donor tidak
menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak pernah menjalani tes HIV)
menyumbangkan darahnya pada masa jendela maka skrining HIV tidak bisa
mendeteksi antibodi HIV di dalam darah yang didonorkannya. Kalau darah itu
lolos dan ditransfusikan kepada orang lain maka orang yang menerima darah itu
akan tertular HIV. Probabilitas penularan HIV melalui (transfusi) darah yang
mengandung HIV adalah 90 persen.
‘Surat
keterangan bebas HIV/AIDS’ tidak bisa menjadi terobosan yang sistematis dalam
menanggulangi HIV/AIDS karena tes HIV bukan vaksin HIV. Penularan HIV bisa
terjadi kapan saja, di mana saja dan kepada siapa saja terhadap setiap orang
yang melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV.
Lagi
pula kalau semua calon pengantin diwajibkan menjalani tes HIV maka kita sudah
meng-generalisir bah-wa semua orang berperilaku yang berisiko tinggi tertular
HIV. Ini merupa-kan suatu peng-hinaan terhadap orang-orang yang sudah menjaga
dirinya agar tidak me-lakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV.
Anjuran
‘bebas HIV/AIDS’ sebagai syarat menikah menunjukkan kegalauan yang berlebihan
karena pemahaman yang tidak komprehensif terhadap HIV/AIDS. Kalau saja HIV/AIDS
dipahami sebagia fakta medis maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena
penularan HIV hanya terjadi melalui cara-cara yang sangat spesifik. Selain itu
setiap orang bisa melindungi diri agar tidak tertular HIV.
Berbeda
dengan TBC, flu, diare, malaria dan demam berdarah yang bisa menular dengan
mudah melalui udara, air dan nyamuk. Sangat sulit melindungi diri agar tidak
tertular TBC, flu, dan demam berdarah. Begitu pula dengan penyakit yang diturunkan
secara genetik, seperti diabetes, thalasemia, dll. tidak bisa dicegah.
Sebaliknya,
penularan HIV dapat dicegah dengan cara-cara yang sangat realistis. Mencegah
HIV melalui hubungan seks adalah dengan cara tidak melakukan hubungan seks
tanpa kondom dengan orang yang HIV-positif. Mencegah HIV melalui tranfusi darah
adalah dengan tidak menerima transfusi darah yang mengandung HIV. Mencegah HIV
melalui jarum suntik adalah dengan cara tidak memakai jarum suntik yang
tercemar HIV.
Karena
tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas pada diri seseorang yang sudah
tertular HIV maka risiko penularan melalui hubungan seks, di di dalam atau di
luar nikah, dapat dihindari dengan memakai kondom setiap kali sanggama.
* Penulis adalah pemerhati HIV/AIDS di
LSM “InfoKespro” Jakarta dan pengasuh Rubrik “Konsultasi HIV/AIDS” di Harian
“Pontianak Post”. [Harian “Pontianak Post”, 23 Januari 2007]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.