13 Juli 2017

Tes HIV Sebelum Nikah yang Sia-sia

Tanggapan terhadap berita HIV/AIDS di Harian “Pontianak Post” dan Harian “ANALISA” Medan

Oleh: Syaiful W Harahap
[Sumber: Newsletter “InfoAIDS” edisi No 3/Januari 2009]

BERITA “Perlu, Tes HIV/AIDS Sebelum Menikah” di Harian “Pontianak Post” edisi 16 Januari 2007 “Muslim di Malaysia Wajib Tes HIV sebelum Nikah” di Harian “ANALISA” Medan (20 Desember 2008) danmenunjukkan pemahaman HIV/AIDS yang tidak akurat. Hal ini terjadi karena selama ini materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) HIV/AIDS selalu dibalut dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

Misalnya, penularan HIV dikait-kaitkan dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, seks bebas dan gay (homoseks). Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu atau kedua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan dengan zina, melacur, selingkuh, jajan, seks bebas dan gay.

Persoalan besar dalam pandemi HIV adalah penularan HIV terjadi secara diam-diam tanpa disadari karena orang-orang yang sudah tertular HIV tidak menyadari bahwa dirinya sudah HIV-positif. Ini terjadi karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5 – 10 tahun setelah tertular HIV). Namun, penularan HIV kepada orang lain sudah bisa terjadi melalui: (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan dan cangkok organ tubuh, dan (d) air susu ibu/ASI melalui proses menyusui.

Walaupun penularan HIV terjadi tanpa disadari bukan berarti semua orang harus menjalani tes HIV karena tidak semua orang berisiko (tinggi) tertular HIV. Lagi pula jika ada keharusan tes HIV sebelum menikah maka hal itu akan merendahkan harkat dan martabat menusia karena semua orang yang akan menikah dianggap berperilaku berisiko tinggi tertular HIV. Bayangkan, semua laki-laki dan perempuan yang akan menikah diharuskan tes HIV.

Bagaimana dengan laki-laki yang masih perjaka dan perempuan yang masih perawan?

Apakah mereka harus menjalani tes HIV? Apa alasan sehingga mereka harus tes HIV?

Lalu, siapa-(siapa) saja, sih, yang harus menjalani tes HIV? Mereka adalah orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV yaitu: (1) Laki-laki atau perempuan yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari mereka HIV-positif; (2). Laki-laki atau perempuan yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan karena ada kemungkinan salah satu dari mereka HIV-positif; dan (3). Laki-laki atau perempuan yang pernah menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan (4) Laki-laki atau perempuan yang pernah cangkok organ tubuh yang tidak diskrining HIV.

Untuk mengetahui apakah seseorang sudah tertular HIV atau belum hanya dapat diketahui melalui tes HIV. Tes HIV dengan tes ELISA baru bisa akurat kalau sudah tertular diatas tiga bulan. Masa tiga bulan sejak tertular disebut sebagai masa jendela (window period). Kalau ada calon pe-ngantin yang menjalani tes HIV pada masa jendela maka hasil tes bisa negatif palsu. Artinya, di da-rah yang ber-sangkutan sudah ada HIV tapi tidak ter-deteksi. Kalau ini yang terjadi maka tes HIV se-bagai syarat menikah pun akan sia-sia. Hanya menggantang asap.

Ada tes yang dapat mendeteksi HIV di dalam darah sejak tertular yaitu tes PCR. Biaya tes ini Rp 1,5 juta. Namun, tetap ada risiko karena tes HIV bukan vaksin. Artinya, biar pun hasil tes HIV-negatif tidak menjamin selama hidup akan tetap HIV-negatif. Misalnya, calon pengantin menjalani tes HIV dengan PCR tanggal 2 September 2006 pukul 10.00. Hasilnya negatif. Tapi, bisa saja terjadi beberapa jam kemudian atau setelah menikah dia melakukan perilaku berisiko dan tertular HIV.

Karena tidak ada vaksin HIV maka tidak ada orang yang (bisa) bebas dari HIV jika perilakunya berisiko tinggi. Agar ‘bebas HIV/AIDS’ bukan melalui tes HIV tapi menjaga perilaku yaitu menghindari perilaku berisiko tinggi tertular HIV.

Ada penularan yang sama sekali tidak terkait dengan perilaku yaitu transfusi darah dan jarum suntik. Kalau seorang donor yang tertular HIV (catatan: donor tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak pernah menjalani tes HIV) menyumbangkan darahnya pada masa jendela maka skrining HIV tidak bisa mendeteksi antibodi HIV di dalam darah yang didonorkannya. Kalau darah itu lolos dan ditransfusikan kepada orang lain maka orang yang menerima darah itu akan tertular HIV. Probabilitas penularan HIV melalui (transfusi) darah yang mengandung HIV adalah 90 persen.

‘Surat keterangan bebas HIV/AIDS’ tidak bisa menjadi terobosan yang sistematis dalam menanggulangi HIV/AIDS karena tes HIV bukan vaksin HIV. Penularan HIV bisa terjadi kapan saja, di mana saja dan kepada siapa saja terhadap setiap orang yang melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV.

Lagi pula kalau semua calon pengantin diwajibkan menjalani tes HIV maka kita sudah meng-generalisir bah-wa semua orang berperilaku yang berisiko tinggi tertular HIV. Ini merupa-kan suatu peng-hinaan terhadap orang-orang yang sudah menjaga dirinya agar tidak me-lakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV.

Anjuran ‘bebas HIV/AIDS’ sebagai syarat menikah menunjukkan kegalauan yang berlebihan karena pemahaman yang tidak komprehensif terhadap HIV/AIDS. Kalau saja HIV/AIDS dipahami sebagia fakta medis maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena penularan HIV hanya terjadi melalui cara-cara yang sangat spesifik. Selain itu setiap orang bisa melindungi diri agar tidak tertular HIV.

Berbeda dengan TBC, flu, diare, malaria dan demam berdarah yang bisa menular dengan mudah melalui udara, air dan nyamuk. Sangat sulit melindungi diri agar tidak tertular TBC, flu, dan demam berdarah. Begitu pula dengan penyakit yang diturunkan secara genetik, seperti diabetes, thalasemia, dll. tidak bisa dicegah.

Sebaliknya, penularan HIV dapat dicegah dengan cara-cara yang sangat realistis. Mencegah HIV melalui hubungan seks adalah dengan cara tidak melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan orang yang HIV-positif. Mencegah HIV melalui tranfusi darah adalah dengan tidak menerima transfusi darah yang mengandung HIV. Mencegah HIV melalui jarum suntik adalah dengan cara tidak memakai jarum suntik yang tercemar HIV.

Karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas pada diri seseorang yang sudah tertular HIV maka risiko penularan melalui hubungan seks, di di dalam atau di luar nikah, dapat dihindari dengan memakai kondom setiap kali sanggama.

* Penulis adalah pemerhati HIV/AIDS di LSM “InfoKespro” Jakarta dan pengasuh Rubrik “Konsultasi HIV/AIDS” di Harian “Pontianak Post”. [Harian “Pontianak Post”, 23 Januari 2007]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.