Tanggapan
terhadap berita HIV/AIDS di “okezone.com”
Oleh:
Syaiful W. Harahap
[Sumber:
Newsletter “InfoAIDS” edisi No 3/Januari
2009]
Berita “200 Sopir Angkutan di Tasikmalaya Dites HIV/AIDS” di “okezone.com”, 9 Desember 2008, ini tidak
mengedepankan pemahanan terhadap standar prosedur operasi survailans tes HIV.
Berita
ini menunjukkan wartawan tidak memahami survailans tes HIV. Hal yang sama juga
tampak jelas pada Ari Kusmara, Koordinator Harm Reduction KPA Kota Tasikmalaya,
melalui pernyataannya yang dikutip wartawan yaitu “Jika hasilnya nanti ada yang
positif, kami akan melakukan pemanggilan dan pendekatan lebih lanjut hingga
melakukan konseling serta orangnya mau mendapatkan pengobatan. ….”
Pernyataan
itu ngawur karena pada survailans tes HIV tidak ada identitas pada sampel darah
yang diambil. Cara yang diterapkan KPA Kota Tasikmalaya ini jelas melanggar
prosedur dan merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat
terhadap hak asasi manusia (HAM).
Survailans
tes HIV adalah untuk mendapatkan prevalensi yaitu angka perbandingan antara
yang HIV-positif dan HIV-negatif pada kalangan tertentu dan pada kurun waktu
yang tertentu pula. Tes dilakukan dengan asas anonimitas.
Pada
bagian lain disebutkan “Langkah ini diambil lantaran para sopir yang selalu
keluar masuk daerah setiap saat sangat rentan tertular penyakit kelamin karena
kecenderungan menggunakan jasa PSK sangat tinggi.“ Ini kian rancu. Yang mau
dicari prevalensi HIV atau kasus IMS (infeksi menular seksual). Istilah
‘penyakit kelamin’ sudah lama ditinggalkan sehingga tidak dipakai lagi
sekarang.
Penolakan
yang dilakukan sopir merupakan hak mereka. Apalagi tes HIV/AIDS itu tidak
menganut asas anonimitas. Kalau hasilnya akan diberitahu maka harus ada
konseling sebelum darah diambil. Selain itu harus pula ada persetujuan.
Biar
pun survailans sebelum darah diambil harus ada konseling yang menjelaskan
tujuan pengambilan darah dan manfaatnya untuk yang diambil darahnya. Apakah KPA
Kota Tasikmalaya melakukan konseling kepada sopir-sopir sebelum darah mereka
diambil? Kalau jawabannya TIDAK, maka lagi-lagi sudah terjadi pelanggaran
terhadap asas tes HIV yang merupakan perbuatan yang melawan hukum.
Cara-cara
yang dilakukan KPA Kota Tasikmalaya ini merupakan kegiatan yang kontra
produktif karena akan menimbulkan sikap antipati karena ada unsur pemaksaan.
Apalagi sopir dipanggil melalui pengeras suara. Di sini juga ada diskriminasi.
Apakah hanya sopir yang perilakunya berisiko? Bagaimana dengan kondektur,
kernet, dan pegawai terminal, apakah mereka tidak mungkin melakukan perilaku
berisiko tertular HIV?
Sudah
saatnya instansi atau institusi yang terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS
menaati aturan. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.